Jumat, 08 Februari 2013

Kadang-kadang Saya Merasa Menjadi Magneto (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya kembali teringat wajah-wajah mereka—orang-orang yang tampak biasa, namun memiliki khayalan-khayalan fantastis, bahkan gila. Dan mereka tak jauh beda dengan saya, karena saya pun memiliki khayalan fantastis, yakni menjadi Magneto. Yang membedakan, sekali lagi, tingkat obsesi kita pada sosok khayalan.

Namun, terlepas dari semua itu, seperti apa pun khayalan dan tingkat obsesi kita, semuanya masih dapat dianggap “tidak masalah” selama khayalan itu tidak mengganggu apalagi sampai menyerang orang lain. Misalnya lelaki yang berkhayal dirinya dapat mengutuk siapa pun menjadi batu. Tidak masalah—bahkan tidak masalah jika ia yakin itu bukan khayalan—selama hal itu tidak mengganggu dan melukai orang lain. Kenyataannya toh itu khayalan, dan tidak ada orang lain yang dapat dikutuknya menjadi batu.

Begitu pula orang yang mengkhayalkan dirinya dapat terbang, bisa berjalan di atas air, atau lainnya—semuanya juga tidak masalah, sama tidak masalahnya dengan diri saya yang berkhayal menjadi Magneto, atau Arifin yang berkhayal menjadi Edward Cullen. Setiap kita punya sosok khayalan, apa pun bentuknya, bagaimana pun latar belakangnya.

Yang kadang menjadi masalah, ketika khayalan yang kita miliki mendorong kita untuk menyerang orang lain—dalam apa pun bentuknya. Misalnya, ada orang yang berkhayal dirinya nabi, atau semacamnya. Orang itu mengklaim menerima wahyu dari Tuhan, atau mendengar suara langit, atau apa pun sebutannya. Kemudian, karena merasa dirinya “sang pemilik kebenaran”, dia pun sibuk menyalah-nyalahkan orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya.

Apakah di zaman internet ini masih ada orang seperti itu? Oh, well, kita semua tahu kenyataannya. Sama seperti orang-orang waras lain yang biasa kita saksikan sehari-hari, orang yang merasa dirinya nabi juga tampak biasa—mereka menjalani hidupnya seperti orang-orang lain, beraktivitas dan bekerja seperti orang lain. Tetapi, mereka merasa dirinya nabi atau semacamnya—dan itulah masalah kita.

Masalah kita—karena dari orang-orang semacam itulah berbagai masalah dan persoalan antarmanusia terjadi. Orang-orang yang merasa dirinya nabi itu sangat suka menyalah-nyalahkan orang lain, hanya karena berbeda pikiran. Dan ketika ditanya apa yang dijadikannya dasar sehingga berani menyalahkan orang lain, mereka pun dengan jumawa menyatakan, “Karena itulah suara langit yang harus saya sampaikan pada kalian!”

Oh, well, terdengar gila, eh?

Mahasiswa psikologi punya joke rahasia, berbunyi, “Tidak ada orang yang waras, semua orang sebenarnya gila!”

Mungkin memang benar, bahwa sewaras-waras kita tetap tersimpan kegilaan di dalamnya, sehingga kita tidak bisa mengklaim waras seutuhnya. Tetapi, yang membedakan, adalah kadar kegilaannya. Ada yang kadar kegilaannya lebih kecil dibanding kewarasannya, ada pula yang kegilaannya lebih besar dibanding kewarasannya. Jenis terakhir itulah yang memiliki potensi berbahaya, karena dia tidak bisa membedakan mana khayalan dan mana kenyataan.

Kita semua pasti pernah membaca atau mendengar statemen yang menyatakan, “Kebohongan yang dinyatakan berulang-ulang akan dipercaya sebagai kebenaran.”

Statemen itu bermakna ganda. Dalam arti, kebohongan itu bisa dikatakan orang lain kepada kita, bisa pula kita katakan pada diri sendiri. Misalnya, mula-mula saya mengkhayalkan diri saya menjadi Magneto. Semula, saya tahu itu hanya khayalan. Tetapi, karena saya kecewa pada realitas kehidupan saya yang hanya menjadi cowok biasa, saya lalu terobsesi pada sosok Magneto, dan kemudian mengulang-ulang khayalan itu, mengubahnya menjadi sugesti, dan menegaskan aktualitasnya.

Seiring berlalunya waktu, persepsi saya mulai bergeser. Kalau semula saya menyadari bahwa sosok Magneto hanya khayalan, lama-lama—karena terus-menerus saya yakini kebenarannya—maka saya pun mulai meyakini bahwa saya memang Magneto. Kebohongan, tak peduli sejelas apa pun, akan berubah menjadi kebenaran yang kita percaya, jika kebohongan itu dinyatakan terus-menerus, atau berulang-ulang.

Begitu pula dengan orang-orang yang merasa dirinya nabi, atau mendengar suara langit, atau semacamnya. Semula, orang-orang itu menyadari bahwa itu hanya khayalannya sendiri. Tetapi, dengan berbagai alasan dan realitas yang dihadapinya, orang itu pun lalu mengulang-ulang khayalannya tersebut hingga menjadi sugesti, dan lama-lama meyakininya. Meyakini bahwa dirinya nabi, bahwa dirinya menerima wahyu, atau bahwa dirinya mendengar suara langit.

Memang kasihan orang-orang semacam itu. Mereka kecewa dan mungkin sakit hati pada realitas kehidupan yang dihadapi dan dijalaninya, kemudian menghibur diri dengan cara mengkhayalkan dirinya sebagai sosok lain yang istimewa. Tetapi rasa kasihan kita kadang berubah menjadi kejengkelan, karena orang-orang itu kemudian menyerang kita dengan dasar yang tak masuk akal. Kalau kita dianggap berbeda dengan dirinya, maka kita pun akan disalah-salahkan, bahkan dikafir-kafirkan.

Dan kalau kita bertanya mengapa dia menyalahkan kita, dia tidak menjawab dengan penjelasan yang waras, tapi dengan argumentasi yang sinting, yakni karena dia menerima wahyu, atau karena dia mendengar suara langit, atau bahwa dialah sang pemilik kebenaran tunggal. Kasihan… juga menjengkelkan!

….
….

Pada hari Jum’at, 20 Juli 2012, tepat pukul 00:30, bioskop Century 16 di Denver, Colorado, mengadakan pemutaran perdana film Batman: The Dark Knight Rises. Pada waktu itulah seorang lelaki berusia 24 tahun, bernama James Eagan Holmes masuk ke gedung bioskop dengan membawa senjata jenis riffle, shotgun, dan dua pistol, yang disembunyikannya di balik pakaian.

Pemuda itu datang dengan penampilan yang unik, dengan rambut dicat oranye. Tetapi, orang-orang lain tak curiga dengan kehadirannya. Seperempat jam setelah film diputar, tiba-tiba pemuda itu melemparkan gas air mata ke tengah-tengah penonton bioskop, dan menembakkan senjatanya dengan membabi buta. Penonton dalam gedung bioskop pun kacau tak karuan. Dalam kekacauan itu, sebanyak 12 orang tewas tertembak, dan 58 lainnya luka-luka.

Yang paling sinting dalam insiden itu adalah pengakuan si pelaku. Beberapa saat setelah melakukan kejahatan terang-terangan itu, polisi menangkap James Holmes. Ketika ia ditanya mengapa menembaki orang-orang di bioskop, James Holmes dengan yakin berkata, “I’m the Joker!”

Tidak hanya itu. James Holmes bahkan telah menyiapkan ranjau dan berbagai senjata lain di apartemennya untuk menjebak siapa pun yang mencoba mendatangi tempat tinggalnya—persis seperti Joker dalam film Batman.

Apa yang terjadi pada James Holmes? Pihak berwenang yang menangani kasus itu menyatakan bahwa James Holmes mungkin terobsesi pada Joker dalam film Batman, sebegitu terobsesinya sampai-sampai dia meyakini bahwa dirinya adalah Joker. Sekarang pemuda yang meyakini dirinya Joker itu telah ditangkap, dan tentunya sekarang telah meringkuk dalam penjara... atau rumah sakit jiwa.

Yang membedakan saya dengan James Holmes adalah, saya membayangkan diri saya Magneto, tapi tetap menyadari bahwa saya bukan Magneto. James Holmes membayangkan dirinya Joker, dan dia terobsesi pada Joker, hingga meyakini dirinya benar-benar Joker. Setelah dia yakin dirinya benar-benar Joker, dia pun mengumpulkan berbagai senjata dan menyerang orang-orang lain.

Karena penyerangan yang dilakukannya, James Holmes ditangkap, diadili, dipenjara, atau mungkin dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Tapi bagaimana dengan orang-orang lain yang mirip dirinya? Kita tahu, ada orang-orang yang mirip James Holmes, namun dalam versi berbeda. Jika James Holmes meyakini dirinya Joker dan menyerang membabi buta, di sekitar kita ada orang-orang yang meyakini dirinya nabi dan juga menyerang orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya.

Orang-orang yang mirip James Holmes kadang meyakini dirinya menerima wahyu atau mendengar suara langit, kemudian sibuk menyalah-nyalahkan orang lain sambil menganggap dirinya paling benar sendiri. Apa bedanya orang-orang semacam itu dengan James Holmes? Mereka sama-sama terobsesi dengan khayalannya, dan kemudian meyakini dirinya sebagai sosok khayalannya. Yang membedakan, James Holmes sudah teridentifikasi kegilaannya, namun orang-orang gila di sekitar kita masih gentayangan di mana-mana.

 
;