Selasa, 12 Maret 2013

Beberapa Hal yang Perlu Kita Bicarakan Menyangkut Twitter (4)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Ketika mendengar pernyataan terakhir itu, jujur saja saya tertawa. Orang bisa mudah menerbitkan buku kalau memiliki banyak follower…? Kedengarannya asyik sekali. Rupanya, di zaman ini, orang tidak membutuhkan proses belajar dan kecerdasan yang cukup untuk bisa menerbitkan buku. Hanya dengan jumlah follower banyak di Twitter, maka… sim salabim, penerbit akan dengan senang hati menerbitkan buku karyamu.

Benarkah memang seperti itu? Semula saya tidak percaya. Dengan logika yang waras, saya sulit menerima kenyataan bahwa ada orang bisa mudah menerbitkan buku kalau memiliki banyak follower. Menerbitkan buku tidak semudah kedengarannya. Tak peduli anak presiden sekalipun, orang tidak gampang menerbitkan buku kalau memang tidak punya kemampuan untuk itu. Apalagi hanya dengan modal banyak follower di Twitter.

Tetapi, beberapa orang kemudian menunjukkan bukti-buktinya. Mereka menyodorkan setumpuk nama yang saat ini telah menerbitkan buku, dan membandingkan jumlah follower mereka di Twitter. Beberapa nama yang mereka sodorkan itu memang “nama baru” dalam dunia penerbitan, dan sama sekali belum pernah menulis buku satu pun. Benarkah mereka sekarang menerbitkan buku karena banyaknya jumlah follower mereka di Twitter?

Dari buku-buku karya “selebtwit” yang pernah saya baca, beberapa di antaranya berisi kumpulan tweet mereka di Twitter, sementara beberapa lainnya murni karya penulisan—bisa novel, bisa pula catatan-catatan tertentu. Umumnya pula, di sampul buku-buku itu tertulis nama akun si penulis (yang biasanya diawali tanda @). Bagi saya itu lucu, karena kesannya “maksa banget” ingin mengenalkan akun Twitternya.

Sekali lagi, benarkah memang penerbit sekarang menjadikan jumlah follower seseorang sebagai pertimbangan mereka dalam menerbitkan buku?

Salah satu orang yang saya follow di Twitter adalah editor di sebuah penerbitan. Dalam salah satu tweet-nya, editor itu menjelaskan bahwa penerbitnya memang menerbitkan buku dari orang-orang yang disebut “selebtwit”. Tetapi, menurutnya, para “selebtwit” itu tidak serta-merta menerbitkan buku tanpa kualifikasi.

Artinya, meski orang-orang itu memiliki banyak follower di Twitter, tapi penerbit juga mempertimbangkan isi atau karya mereka. Dalam bahasa yang lugas, tak peduli kau memiliki jutaan follower sekalipun, kau tidak bisa serta merta menerbitkan buku kalau kenyataannya tidak bisa menulis dengan baik.

Nah, argumentasi dari editor itu pula yang saya gunakan ketika bercakap-cakap dengan beberapa orang yang sinis menyangkut topik ini. Orang-orang sinis itu menyatakan bahwa standar penerbitan sekarang benar-benar telah jeblok karena siapa pun bisa menerbitkan buku hanya dengan modal jumlah follower di Twitter. Saya katakan pada mereka, bahwa mereka telah keliru memahami, dan saya nyatakan argumentasi di atas.

Tetapi, mereka membalikkan argumentasi saya dengan mudah. Mereka bilang, “Sekarang begini saja. Mungkinkah penerbit mau repot-repot meminta si A (nama seorang selebtwit) untuk menerbitkan buku, jika si A tidak memiliki ratusan ribu follower? Memangnya dulu penerbit ke mana saja ketika si A baru memiliki sepuluh follower? Fakta bahwa ada penerbit mau repot-repot meminta si A agar menulis buku—meski kualitas tulisannya pas-pasan—dengan jelas menunjukkan kalau penerbit itu memandang penting jumlah follower si A.”

Argumentasi itu membuat saya bungkam.

Saya memang tahu, ada orang-orang yang diminta secara khusus oleh penerbit untuk menulis buku. Bukan karena orang itu terkenal pintar menulis (misalnya karena orang itu memiliki blog yang dibaca ribuan orang, atau aktif menulis di koran/majalah), tetapi karena orang itu memiliki banyak follower di Twitter. Itu fakta yang mungkin pahit, tapi memang ada, bahkan cukup banyak. Ketika menemukan fakta itu, mau tak mau saya juga berpikir bahwa penerbit memang mempertimbangkan jumlah follower seseorang ketika menerbitkan bukunya.

Di Twitter, beberapa orang yang sinis atas fenomena tersebut juga sering menyindir adanya penulis-penulis dadakan, yang menerbitkan buku karena jumlah follower mereka yang bejibun. Bahkan, beberapa yang sangat sinis pernah menulis tweet, “Lu belum bisa disebut selebtwit kalau belum nerbitin buku.”

Sepertinya, di zaman ini, Twitter memiliki pengaruh yang amat besar dalam kehidupan sebagian orang. Jika dulu seseorang hanya dicap “kurang gaul” kalau belum punya Twitter, sekarang situs yang disebut microblogging itu juga memainkan banyak peran dan kemungkinan, dari menjadi seleb dadakan, menghasilkan uang dengan menjadi buzzer, sampai menjadi penulis yang dapat menerbitkan buku.

Sebegitu pentingnya Twitter dan follower saat ini, sampai-sampai sebagian orang melakukan berbagai cara untuk mengiklankan akun Twitternya, meski dengan cara yang aneh, semisal dengan menggunakan nama akun Twitternya di sampul buku. Twitter, rupanya, bukan hanya sekadar tempat untuk sharing dan berkomunikasi atau menjalin pertemanan melalui internet, tapi juga telah berfungsi sebagai identitas yang amat penting.

Bahkan untuk orang yang tergolong sudah terkenal sekalipun, identitas Twitter rupanya masih diperlukan. Kenyataan itu saya ketahui ketika belum lama membaca sebuah majalah, dan di dalamnya terdapat wawancara dengan seseorang yang terkenal, yang memiliki jutaan follower di Twitter. Dalam wawancara di majalah itu, foto si orang terkenal dipampangkan, dan identitasnya di Twitter (username yang menggunakan tanda @) dicetak secara menonjol.

Kebetulan, saya mengenal redaktur majalah itu. Waktu kami bertemu dan bercakap-cakap, topik obrolan kami sampai pada wawancara tersebut. Dia menceritakan, bahwa penonjolan akun Twitter itu memang persyaratan yang diminta si orang terkenal. Jadi, orang terkenal wanna be itu mau diwawancarai, dengan syarat identitas atau akun Twitternya ditonjolkan.

Cerita itu membuat saya geleng-geleng kepala. Sebegitu pentingnyakah identitas Twitter?

Dan kalau seseorang yang telah memiliki jutaan follower saja masih repot-repot berusaha seperti itu, tampaknya tidak mengherankan jika orang yang follower-nya beberapa biji juga melakukan hal yang sama. Twitter, di zaman ini, sepertinya telah menjelma bagai udara yang dibutuhkan banyak orang. Fungsinya telah bergeser jauh, dari sekadar untuk berinteraksi di dunia maya, telah berubah menjadi kebutuhan yang nyaris primer.

Dan “pertunjukan” di Twitter memang bisa dibilang tak ada habisnya. Meski dibatasi 140 karakter, timeline selalu penuh fenomena baru, hal-hal baru, berita baru, bahkan kegilaan-kegilaan baru. Di Twitter, ada akun yang konon ditujukan untuk penyebaran fitnah. Ada akun yang—lagi-lagi konon—ditujukan untuk melakukan disinformasi, pembelokan informasi, membelokkan isu, atau hal lainnya.

Sedangkan yang lebih ringan, di Twitter juga muncul beragam karakter yang kadang-kadang aneh dan tak masuk akal. Hanya di Twitter ada orang yang ocehannya tidak jelas, tapi di-follow puluhan ribu orang, dan selalu dinantikan tweet-tweet-nya.

Hanya di Twitter pula ada cowok yang “nyepik” ribuan cewek dengan santai tanpa merasa malu atau risih. Dan, oh ya, di Twitter pun rupanya ada beberapa orang yang ingin menjadi “nabi” dengan cara menyerang keyakinan orang lain sambil memuja keyakinannya sendiri.

Twitter telah mengjungkirbalikkan logika, bahkan kewarasan sebagian orang. Jika dulu orang berpedoman bahwa ucapan baik perlu didengarkan tak peduli siapa yang menyatakannya, maka di zaman ini pedoman bijak semacam itu sudah tak relevan.

Sekarang, di zaman Twitter, yang perlu didengarkan bukan ucapannya, melainkan siapa yang mengatakan. Banyak tweet bagus tapi diabaikan orang karena penulisnya bukan selebtwit. Sebaliknya, banyak tweet tak berguna dan tak punya manfaat apa-apa tapi didengarkan dengan khusyuk—di-mention, di-retweet, dan difavoritkan—banyak orang, karena penulisnya tergolong selebtwit. Kearifan bukan hal penting di Twitter, dan para berhala telah menjadi sesembahan follower.

“Aku berpikir, maka aku ada,” kata Descartes. Sayangnya, para pemuja Twitter tidak sepaham dengannya.

 
;