Selasa, 21 Mei 2013

Jalan Sunyi Sang Pencari

Malaikat mengepakkan sayap
pada sunyi yang dipeluk para pencari.
@noffret


—Untuk lelaki yang kucintai

Tangis bayi memecah malam di sebuah tempat bernama Asqalan, tidak jauh dari Gaza, Palestina. Kelahirannya hanya berselang beberapa saat setelah kematian orang besar di sana, dan sang bayi kelak menjadi orang besar penerusnya. Bayi itu bernama Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Shafi’i, yang kemudian akrab dipanggil Asy-Syafi’i atau Imam Syafi’i. Kelahirannya menandai jalan panjang dalam sunyi.

Asy-Syafi’i lahir pada tahun 150 Hijriyah, tahun yang sama ketika Imam Abu Hanifah, ulama besar di sana, meninggal dunia. Ia tumbuh dan besar dalam keluarga sederhana. Pada waktu berusia 2 tahun, Asy-Syafi’i diajak sang ayah ke Syam untuk suatu keperluan. Di tengah perjalanan, sang ayah meninggal dunia, dan Asy-Syafi’i pun menjadi yatim. Kemudian, kakeknya, yang ada di Makkah, membawa Asy-Syafi’i ke sana, dan bocah itu pun hidup bersama kakeknya.

Di Makkah, bocah itu mulai menunjukkan kecerdasan sekaligus kecintaannya yang luar biasa pada ilmu pengetahuan. Ketika anak-anak lain asyik bermain dan tertawa-tawa, Asy-Syafi’i duduk di majelis-majelis, mendengarkan para ulama menyampaikan ilmu. Ketika anak-anak lain baru belajar menulis, Asy-Syafi’i telah mampu merangkai syair-syair indah. Bahkan, pada usia 7 tahun, ia telah hafal Al-Qur’an—prestasi yang sulit ditandingi siapa pun.

Sebagai anak yatim, kehidupan Asy-Syafi’i tak bisa dibilang mudah. Kakeknya miskin, sementara ibunya yang janda tidak mampu memberikan penghidupan yang layak. Tetapi bocah itu memiliki kegigihan tak terkalahkan sekaligus kecintaan luar biasa pada ilmu pengetahuan. Mengetahui ibunya tak bisa membelikannya buku, Asy-Syafi’i pun mengumpulkan tembikar, sisa-sisa kulit, pelepah kurma, hingga tulang-tulang yang ia temukan, untuk menuliskan semua ilmu yang diperolehnya.

Setiap hari, ketika waktunya luang, Asy-Syafi’i berkeliling ke sana kemari, mendatangi kantor-kantor, untuk meminta kertas-kertas bekas yang tak dipakai lagi. Pada kertas-kertas yang masih kosong ia menuliskan ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya, syair-syair gubahannya, juga pemikiran-pemikirannya, yang kelak akan menjadi karya besarnya.

Bocah Asy-Syafi’i tumbuh bersama kecintaan pada ilmu pengetahuan, dan cinta itu pula yang kemudian menjadi cinta terbesarnya dalam hidup. Ia telah merasakan kenikmatan ilmu sejak masih sangat kecil—dan ketika seseorang telah mengecup manisnya rahasia ilmu, dia tak akan sanggup berpaling atau membagi cintanya. Lebih kuat dari candu apa pun, kenikmatan ilmu akan membuatmu rela meninggalkan kenikmatan lain apa pun.

Suatu siang, ketika berusia 12 tahun, Asy-Syafi’i merasa kelaparan, namun tidak ada makanan yang bisa dimakannya. Untuk menghibur diri, ia pun berjalan-jalan sendirian sambil menyenandungkan syair-syair yang diciptakannya sendiri. Pada waktu itulah ia berpapasan dengan seorang juru tulis, yang terpesona pada keindahan syair-syair Asy-Syafi’i.

Si juru tulis menghentikan langkahnya, dan menyapa bocah itu, “Nak, kau masih sangat muda. Dan kau juga pasti sangat cerdas. Kenapa kau sia-siakan bakatmu hanya untuk syair?”

Asy-Syafi’i menyahut dengan sopan, “Apa maksud Anda?”

“Maksudku,” sahut si juru tulis yang bijak, “kenapa kau tidak belajar fiqih?”

Asy-Syafi’i tahu itu nasihat yang baik. Maka ia pun memutuskan untuk belajar fiqih. Pada waktu itu, ulama fiqih yang sangat dihormati (mufti) di Makkah adalah Muslim ibn Khalid Az-Zanji. Asy-Syafi’i mendatangi ulama itu, dan meminta untuk dapat belajar kepadanya. Az-Zanji menerima Asy-Syafi’i, dan segera menyaksikan betapa bocah itu memang tergila-gila pada ilmu.

Dari pagi sampai larut malam, Asy-Syafi’i nyaris tak pernah melepaskan kitab-kitab fiqih yang dipelajarinya di tempat Az-Zanji. Ketika kelelahan di larut malam, kadang bocah itu tertidur sambil mendekap buku-bukunya, lalu telah terbangun dan belajar lagi sementara para santri lain masih pulas mendengkur. Az-Zanji, sang guru, menyaksikan semuanya itu dengan ketakjuban bercampur kebanggaan.

Hasilnya, dalam waktu tiga tahun, Asy-Syafi’i telah menguasai ilmu fiqih secara cumlaude. Sementara orang-orang lain membutuhkan waktu puluhan tahun untuk bisa mencapai hal itu, Asy-Syafi’i telah diberi restu oleh gurunya untuk memberikan fatwa, karena ilmunya dinilai telah mencukupi. Maka Asy-Syafi’i pun menjadi ulama paling muda sepanjang sejarah—ia telah mendapat restu untuk berfatwa pada usia 15 tahun.

Tetapi kecintaan pada ilmu menjadikan Asy-Syafi’i tidak puas sampai di situ. Meski gurunya telah memberi restu untuk berfatwa dan menjadi guru, Asy-Syafi’i memilih untuk kembali menimba ilmu. Kali ini, ia berangkat ke Madinah, untuk berguru fiqih pada Imam Malik bin Anas.

Pada waktu itu, Imam Malik adalah ulama terbesar di Madinah, yang memiliki santri tak terhitung banyaknya. Usianya juga sudah sangat renta. Ketika pertama kali mereka berjumpa, Imam Malik sudah merasakan aura kecerdasan anak muda di hadapannya, meski ia tidak tahu siapa bocah itu. Jadi, sebagaimana pada santri-santri baru lainnya, Imam Malik pun berkata pada Asy-Syafi’i, “Datanglah besok pagi ke majelis ini, dan seseorang akan membacakan Al-Muwaththa’ untukmu.”

Al-Muwaththa’ adalah kitab yang merupakan karya besar Imam Malik (ia menulisnya selama 40 tahun), dan kitab tebal itu pula yang diajarkan Imam Malik kepada para muridnya. Biasanya, para murid atau santri baru masih kebingungan membaca dan memahami kitab itu, sehingga ada petugas khusus yang akan mengajarkannya terlebih dulu sebelum kemudian bertemu langsung dan diajar oleh Imam Malik. Hal itu pulalah yang dinyatakan Imam Malik pada Asy-Syafi’i, ketika bocah itu datang pertama kali untuk menjadi muridnya.

Tetapi, di luar dugaan Imam Malik, Asy-Syafi’i berkata dengan sopan, “Maafkan saya, Guru. Saya telah menghafal kitab itu.”

Imam Malik terkejut. Tetapi kemudian berkata, “Baiklah kalau begitu. Besok kau datang langsung ke majelisku.”

Besoknya, seperti yang dijanjikan, Asy-Syafi’i mendatangi majelis Imam Malik, dan dia diminta membaca kitab tersebut. Asy-Syafi’i membaca kitab Al-Muwaththa’ di hadapan Imam Malik, sang penulis kitab tersebut, dan sang guru mendengarkannya dengan khusyuk.

Menyaksikan gurunya tampak memejamkan mata, Asy-Syafi’i khawatir Imam Malik merasa bosan, dan dia pun menghentikan bacaannya. Tetapi Imam Malik segera membuka matanya kembali, dan berkata sungguh-sungguh, “Teruskan bacaanmu, Nak, teruskan. Kau membaca kitab itu dengan fasih sekali!”

Seperti ketika berguru pada Az-Zanji di Makkah, Asy-Syafi’i lagi-lagi lulus cumlaude dalam waktu singkat. Dia segera mendapat restu dari Imam Malik untuk mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya. Pada waktu itu, usia Asy-Syafi’i baru menginjak 25 tahun. Imam Malik sangat mengagumi muridnya yang satu itu, sebagaimana Asy-Syafi’i juga sangat mencintai gurunya. Sebegitu cintanya pada sang guru, Asy-Syafi’i memutuskan untuk tetap tinggal di sana, demi selalu dapat berdekatan dengan Imam Malik.

Akhirnya, ketika Imam Malik meninggal dunia, Asy-Syafi’i pergi ke Yaman. Di Yaman, ia belajar pada Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli, dan para ulama lain, sampai kemudian diangkat menjadi Wali Negeri karena kecerdasan dan keluasan ilmunya. Tapi rupanya menjadi pejabat pemerintah tidak cocok bagi seorang idealis seperti Asy-Syafi’i.

Sistem pemerintahan di Yaman pada waktu itu tak jauh beda dengan sistem pemerintahan negara di mana pun. Korupsi, kolusi, suap, dan berbagai kejahatan antara pejabat dan pengusaha, merajalela dari tingkat atas sampai paling bawah. Asy-Syafi’i mampu menjaga dirinya untuk tidak terlibat dalam hal-hal kotor semacam itu, tetapi dia telah terjebak dalam sistemnya.

Di masa itu, ada seorang berpengaruh di Yaman bernama Sofyan ibn Uyainah. Dia semacam kontraktor dan konglomerat yang biasa mendapat banyak proyek dari pemerintah berkat koneksi dan suap. Ketika Asy-Syafi’i menjabat sebagai Wali Negeri di Yaman, Ibn Uyainah seperti membentur dinding. Asy-Syafi’i tidak mempan disuap, tidak bisa diajak kolusi, tidak pernah korupsi, dan tidak bisa diiming-imingi apa pun. Kenyataan itu menjadikan Ibn Uyainah jengkel sekaligus frustrasi.

Akhirnya, demi mendongkel Asy-Syafi’i dari jabatannya, Ibn Uyainah menggunakan cara kotor. Ia memfitnah Asy-Syafi’i dengan tuduhan tasyayyu’, atau subversif, yakni melakukan kegiatan melawan pemerintah. Upaya fitnah itu berjalan lancar, karena uang Ibn Uyainah mengalir ke mana-mana, menyuap siapa pun yang dapat disuap, membungkam siapa pun yang dapat dibungkam, dan hasilnya Asy-Syafi’i pun dipecat dari jabatannya, serta diusir dari Yaman.

Keluar dari Yaman, dengan hati terluka akibat fitnah, Asy-Syafi’i pergi ke Baghdad. Ia bermaksud untuk kembali menjadi sang pengabdi ilmu, dan kali ini ia ingin belajar fiqih Imam Hanafi. Kemewahan menjadi pejabat pemerintah rupanya tidak cocok bagi dirinya, dan dia pun kini tahu bahwa jalan hidupnya ada dalam sunyi. Bersama buku. Bersama ilmu. Bersama para guru.

Jika Imam Malik di Madinah adalah pakar dalam bidang fiqih ahli hadist, maka Imam Hanafi adalah pakar dalam bidang fiqih ahli ra’yu (fiqih yang menitikberatkan pada kekuatan akal atau logika).

Di Baghdad, Asy-Syafi’i tekun mempelajari ilmu tersebut di bawah bimbingan Imam Hanafi, hingga kemudian menjelma menjadi orang pertama yang mampu menguasai dua disiplin ilmu fiqih sekaligus. Karenanya pula, ketika akhirnya Asy-Syafi’i menjadi guru dan mengajarkan ilmunya, para ulama pun menyebut fiqih Asy-Syafi’i sebagai sintesis fiqih Imam Malik dan fiqih Imam Hanafi.

Di Baghdad pula Imam Syafi’i mulai mengajar hingga usianya menanjak tua. Kemudian ia pindah ke Mesir, dan kembali menjadi guru di sana hingga saat kematiannya, pada akhir bulan Rajab, 204 Hijriyah. Ia mati sebagai pecinta ilmu sejati, lelaki yang seumur hidup memeluk sunyi.

Dalam kitab Miftaahus Sa’aadah, Thasy Al-Kubri menyebut Imam Syafi’i sebagai, “Ulama ahli fiqih, ushul, hadist, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya, yang memiliki kredibilitas dalam moral maupun agama, seorang yang penuh kesederhanaan namun menjalani hidup dengan kemuliaan.”

Sementara Imam Tajuddin As-Subkhi mengenang Asy-Syafi’i sebagai, “Lelaki yang ilmunya memenuhi bumi.”

 
;