Kamis, 20 Juni 2013

Iblis dan Malaikat

Yang merisaukan dari iblis dan malaikat,
kita sering kesulitan membedakannya.
@noffret


Lebih dari tiga tahun yang lalu, saya direkrut sebuah lembaga dalam suatu proyek penelitian di suatu tempat. Dalam penelitian itu, saya dipasangkan dengan seseorang—yang kita sebut saja—bernama Firman. Jadi, berdasarkan skedul, saya akan bekerja bersama Firman sampai pekerjaan itu selesai.

Waktu itu saya belum mengenal Firman, sebagaimana dia juga belum mengenal saya. Jika kita harus bekerja dengan seseorang hingga berhari-hari, kita merasa perlu tahu seperti apa karakter orang itu, agar bisa berimprovisasi dengannya, demi kelancaran kerja. Dalam pekerjaan yang menggunakan otak, kita selalu bisa menemukan genius yang ternyata kurang waras, atau berkepribadian mengerikan. 

Jadi, saya pun menemui direktur lembaga yang menugasi kami, dan bertanya, “Kenapa saya harus bekerja dengan orang ini?”

Jawaban yang saya dapatkan, “Dia orang terbaik yang bisa kita temukan.”

Itu penilaian profesional—jawaban standar yang akan kita dengar jika berurusan dengan lembaga profesional mana pun. Mereka tentu hanya menginginkan orang-orang terbaik di bidangnya, orang-orang dengan kualitas kelas satu. Jadi, saya pun menegaskan, “Maksud saya, bagaimana kepribadian orang ini?”

Dia tersenyum, “Sejujurnya kami tidak tahu. Tetapi, kami mempertemukan kalian untuk bekerja, bukan untuk menjalin hubungan spesial.”

Bagus sekali, pikir saya.

Yang agak merisaukan, beberapa teman—yang mengenal Firman—memberitahu saya bahwa Firman “agak tidak beres”—apa pun maksudnya. Seseorang bahkan menjelek-jelekkan Firman dan menyebutnya “orang yang tidak bisa diajak berkawan”. Sementara kawan yang lain lagi menyatakan bahwa Firman adalah orang yang “keras”, “tidak bisa ditolak”, dan “egois”. Karena itulah, saya kemudian merasa perlu menanyakannya langsung pada orang yang menugaskan kami, mengenai kepribadian si Firman.

Karena akhirnya saya tidak bisa menolak atau meminta agar Firman diganti orang lain, maka kami kemudian bertemu dan benar-benar bekerja bersama. Hari pertama ketika bertemu, saya menilainya sebagai sosok yang biasa-biasa saja. Tetapi, karena adanya “bisikan” dari teman-teman yang telah lebih dulu mengenalnya, saya pun bersikap hati-hati. Saya tidak ingin pekerjaan kami kacau di tengah jalan hanya gara-gara perselisihan antarkawan.

Lalu pekerjaan itu pun dimulai. Kami berangkat ke lokasi yang ditentukan, menginap di tempat yang telah disiapkan, dan mengerjakan semua yang harus dikerjakan. Estimasi awal, pekerjaan itu akan selesai dalam 15 hari. Jadi, saya pun sempat membatin, bahwa setengah bulan mendatang saya akan hidup bersama seseorang yang “keras”, “tidak bisa ditolak”, “egois”, dan “tidak bisa diajak berkawan”. Oh, well, kedengarannya seperti ujian mental, pikir saya.

Tetapi, ajaib, yang saya khawatirkan tidak terjadi. Selama kami bekerja bersama dalam hari-hari itu, saya mendapati Firman sebagai sosok yang baik—jauh lebih baik dibanding yang saya bayangkan sebelumnya, akibat bisikan orang-orang tentangnya. Dia memang sosok yang “keras” dan “tidak bisa ditolak”, tetapi—berdasarkan pengalaman saya dengannya—dia menempatkan karakter itu dalam hal positif, dan saya sama sekali tidak keberatan dengan sifatnya itu.

Bahkan, selama menjalani hari-hari bersamanya, saya mendapati Firman sebagai teman yang cocok. Bukan hanya dalam pekerjaan, tetapi juga sebagai pribadi. Dia pendengar yang baik, punya selera humor yang menyenangkan, dan tak pelit membagikan pengalaman serta pengetahuannya. Hari-hari yang semula saya bayangkan menjadi hari-hari sulit ternyata bisa kami lalui sebagai hari-hari yang menyenangkan.

Finish-nya, pekerjaan yang semula diperkirakan akan selesai dalam waktu setengah bulan, bisa kami selesaikan hanya dalam waktu 10 hari. Kami telah menjadi teamwork yang tepat dan serasi, bisa saling mengimbangi, bisa saling mengikuti. Sisa waktu 5 hari yang kami miliki kemudian kami gunakan untuk menjalani hidup sebagai sepasang kawan. Sejak itu, kami bersahabat sampai hari ini.

Selama tiga tahun menjadi temannya, saya masih bertanya-tanya, mengapa ada cukup banyak orang yang menilai Firman dengan negatif. Padahal, berdasarkan pengalaman menjadi kawannya selama bertahun-tahun ini, saya menilai Firman sebagai orang yang baik.

Jika saya harus memberikan penilaian untuk pribadinya, penilaian saya hampir bisa dipastikan positif. Dia teman yang setia, ringan tangan saat dimintai tolong, tidak pernah ingkar janji, tidak segan minta maaf jika bersalah, dan sejujurnya saya sangat bersyukur bisa menemukan teman seperti dirinya. Jika sewaktu-waktu saya memerlukannya, dia selalu sedia. Jika kebetulan sedang sibuk, dia akan memberikan jawaban yang baik, dan tidak mencari-cari alasan yang menjengkelkan.

Mengimbangi kebaikannya, saya pun bersikap sebagai teman yang baik untuknya. Selama bertahun-tahun bersama, kami menjalani persahabatan yang menyenangkan, saling memberi dan menerima, berbagi dan saling mengisi.

Sampai suatu malam, saya dan Firman masuk ke sebuah kafe, dan seseorang di sana menyapa Firman, “Tadi siang aku kirim SMS, kenapa sampai sekarang tidak dibalas?”

Dengan santai, Firman menjawab, “Seminggu yang lalu aku kirim SMS ke kamu, dan kamu tidak membalas. Kenapa kamu berharap aku membalas SMS-mu?”

Kemudian, ketika kami hanya berdua setelah makan malam itu, Firman berkata pada saya, “Di dunia ini ada keparat-keparat yang menganggap kesalahan dirinya sebagai hal biasa, tapi kesalahan orang lain dianggap istimewa. Ada orang yang dikirimi SMS dan tidak membalas, dan menganggap itu hal biasa. Tapi jika kita yang dikirimi SMS dan tidak membalas, dia meributkan hal itu seolah dia tidak pernah melakukan hal yang sama. Jika dia dimintai tolong dan menolak, dia menganggap itu hal biasa. Tapi jika kita yang dimintai tolong dan menolak, dia akan menganggap itu kesalahan. Jika dia berjanji dan ingkar, dia akan menganggapnya hal biasa. Tapi jika kita yang berjanji dan ingkar, dia menganggapnya kesalahan. Jika dia melakukan kesalahan, dia menganggapnya hal biasa. Tapi jika kita melakukan hal yang sama, dia tidak terima.”

Saya mengangguk, menyadari kebenaran kata-katanya.

Lalu Firman melanjutkan, “Dan keparat-keparat semacam itu, ironisnya, adalah orang-orang yang kita kenal. Karena menganggap kita kawan, mereka kadang berlaku seenaknya, ingkar janji seenaknya, melakukan kesalahan seenaknya, dan menganggap semua itu hal biasa. Orang memperlakukan orang lain sebagaimana dia memperlakukan kita. Demi setan, aku tidak bisa menghargai orang yang tidak bisa menghargai orang lain, dan aku juga punya kebiasaan untuk membalas perlakuan orang terhadapku. Mereka baik, aku menjadi orang baik untuknya. Mereka buruk, aku pun menjadi orang buruk untuknya. Kupikir itu cukup adil.”

Sekali lagi saya mengangguk, karena—sebagai manusia—saya pun memiliki kecenderungan semacam itu. Kita tidak mungkin tersenyum pada orang yang meludahi muka kita, sebagaimana kita tidak mungkin mampu memalingkan muka untuk seseorang yang begitu baik kepada kita. Aturannya sederhana—kalau kau menjadi iblis, orang lain akan menjadi iblis bagimu. Kalau kau menjadi malaikat, orang lain pun akan menjadi malaikat bagimu.

Jadi, sejak itulah saya mulai menyadari mengapa ada beberapa orang yang menilai Firman dengan negatif. Mereka hanya melihat satu bagian pada diri Firman, tapi melupakan bagian lainnya. Padahal, manusia adalah satu kepribadian yang utuh—ia tak bisa dinilai bagian per bagian. Tidak ada manusia yang baik seutuhnya, pun tidak ada manusia yang buruk seutuhnya. Menilai manusia hanya dari satu bagian sama halnya menilai gajah dari sudut pandang orang buta.

Karenanya, di hari-hari ini, setiap kali saya mendengar orang menjelek-jelekkan orang lain, atau mendengar penilaian buruk yang dilontarkan seseorang terhadap orang lainnya, saya tidak akan buru-buru percaya. Bisa jadi, seseorang yang dianggap buruk sebenarnya orang baik yang kurang dikenali, seseorang yang dianggap “tidak bisa diajak berkawan” ternyata justru seorang kawan yang setia dan menyenangkan.

Itu hanya masalah sudut pandang, dan sudut pandang kita—sayangnya—sering kali tidak lengkap, dan kemudian menghadirkan vonis kepagian. Ada malaikat dan iblis di dalam setiap kita, pun dalam diri orang lain. Kadang-kadang, kita menyaksikan sinar malaikatnya, namun kadang pula kita melihat iblis gelap di dalam dirinya. Dan... begitu pula yang dilihat orang lain pada diri kita.

Tak pernah ada gunanya bersikap sok suci. Pun tak pernah ada gunanya meributkan kejelekan orang lain.

 
;