Sabtu, 24 Agustus 2013

Posting Keseribu

“Dan cermin pun retak,” kata Lady of Shallot, “dari sisi ke sisi.”
“Dan hidup pun berdetak,” kataku, “dari sunyi ke sunyi.”
@noffret


Catatan yang sedang kalian baca adalah posting keseribu di blog ini. Rasanya baru kemarin saya membuat blog, dan tanpa terasa tahun-tahun berganti, hingga catatan yang terkumpul di sini telah mencapai seribu. Ngeblog, kalau dipikir-pikir, tak jauh beda dengan menabung di celengan. Setiap hari kita masukkan keping demi keping uang tanpa terasa, dan tiba-tiba celengan itu berat karena penuh terisi.

Selama lima tahun menulis di blog ini, saya telah menulis cukup banyak hal, khususnya hal-hal yang saya minati, atau yang saya pikir dan rasakan. Sebagian mungkin penting, sebagian mungkin tidak. Sebagian mungkin bagus, sebagian mungkin tidak. Tak jauh beda dengan menulis di buku diary, kadang catatan yang kita tulis di dalamnya ada yang menyenangkan dan ada yang tidak.

Berkaitan dengan isi tulisan, ada kalanya sebuah catatan saya tulis dengan hati senang, namun ada pula yang saya tulis dengan sedih. Ada yang saya tulis dengan sangat serius, ada pula yang saya buat dengan main-main. Hanya di blog saya bisa mengeksplorasi gaya menulis sebebas-bebasnya, hingga seribu catatan yang terposting di sini pun memiliki gaya berbeda-beda, meski tetap membawa karakter khas saya.

Untuk memperingati posting keseribu, saya memilih 10 catatan yang memiliki kesan tersendiri bagi saya ketika menulisnya. Berdasarkan uraian berikut, kalian mungkin akan memahami apa yang ada di dalam pikiran dan hati saya ketika menulis catatan-catatan ini.


Sang Mistikus

Banyak yang mengira Sang Mistikus adalah personifikasi diri saya. Tidak, saya bukan Sang Mistikus dalam catatan itu, meski saya ingin menjadi dirinya. Di tengah-tengah hidup yang serba sibuk dan bising ini, saya sangat merindukan sosok seperti Sang Mistikus—orang yang menjalani hidup dengan tenang dan hening, tanpa usaha unjuk diri, dan menjalani hidup dalam sunyi.

Gaya hidup manusia zaman kita adalah gaya hidup yang kacau. Masuknya dunia maya (internet) ke dalam dunia nyata menjadikan kita terombang-ambing di antara dua dunia—disadari atau tidak. Dunia maya pula yang mengajari kita untuk eksis dan unjuk diri, ingin dikenal atau terkenal, karena dunia maya menawarkan berbagai cara mudah untuk bisa terkenal.

Keinginan untuk unjuk diri itu pula yang kemudian—disadari atau tidak—kadang menjauhkan kita dari diri sendiri. Kita sibuk menjalin hubungan dan mati-matian memoles diri di dunia maya, namun sering lupa bahwa kita tinggal di dunia nyata. Kita tahu ada orang di Twitter yang mati kecelakaan, tapi bisa jadi kita tidak tahu ada tetangga sekampung yang meninggal dunia.

Upaya berlebihan untuk unjuk diri, bagi saya adalah penyakit yang menghinggapi banyak orang di zaman kita. Karena ingin terkenal, banyak orang melakukan segala cara—bahkan yang paling konyol dan tak masuk akal—di dunia maya ataupun di dunia nyata. Sepertinya, keinginan hidup banyak manusia di zaman ini adalah menjadi terkenal.

Dan itulah paradoks manusia zaman sekarang. Keinginan untuk menjadi terkenal membuat kita sibuk melakukan apa saja demi membuka mata orang lain, membuka mata dunia, padahal mata pertama yang harus terbuka untuk melihat diri kita adalah mata kita sendiri.

Sekali lagi, itulah paradoks manusia di zaman kita. Terlalu sibuk mengurusi mata orang lain dan mati-matian berusaha membuka mata dunia agar melihat kita, namun mata kita sendiri tertutup. Kita tidak mengenal diri sendiri, karena terlalu sibuk unjuk diri, sibuk pamer, sibuk memanggil-manggil dunia agar melihat ke arah kita. Upaya untuk dikenal orang lain sering menjadikan kita tidak mengenal diri sendiri.

Karena itulah saya merindukan sosok seperti Sang Mistikus. Saya yakin orang semacam itu masih ada di zaman ini—orang yang bisa hidup tenang dan tenteram tanpa ambisi menjadi terkenal, orang yang menjalani hidup dengan baik dalam keheningan yang khusyuk, orang yang mengenali diri sendiri seutuhnya dan tak peduli jika orang lain tak mengenalnya. Kapan pun saya menemukan orang semacam itu, saya akan merundukkan kepala untuk mencium tangannya.


Petuah Filsuf Gila

Catatan tentang Filsuf Gila mendatangkan banyak sekali komentar di e-mail saya, dan sebagian mereka meminta agar saya kembali menulis tentang Filsuf Gila. Saya berharap di waktu-waktu mendatang akan bisa memenuhi permintaan itu, dan kembali menulis tentang sosok nyentrik sang Filsuf Gila.

Dalam bayangan saya ketika menulisnya, Filsuf Gila tak jauh beda dengan Sang Mistikus, yang tak peduli popularitas. Bedanya, kalau Sang Mistikus menjalani hidup hanya di rumahnya tanpa pernah keluar, Filsuf Gila menikmati hari-harinya dengan keluyuran di jalan-jalan (kelak akan saya tuliskan lebih detail deskripsinya). Selain itu, Sang Mistikus punya sifat lembut, sedang Filsuf Gila berwatak keras. (Coba perhatikan perbedaan gaya bicara keduanya dalam catatan-catatan itu).

Saya juga mencintai sosok Filsuf Gila, seperti saya mencintai sosok Sang Mistikus. Mereka adalah orang-orang tercerahkan—tangan-tangan yang membawa obor dalam genggaman. Dan siapa pun yang membawa obor menyala di tangannya dapat menerangi siapa saja tanpa membuat dirinya kehilangan cahaya.

Sang Mistikus maupun Filsuf Gila adalah sosok-sosok yang saya rindukan, orang-orang yang ingin saya temui. Karena saya tidak bisa menemukannya, maka saya pun menciptakan sosok mereka dalam tulisan. Saya senang ketika menulisnya, saya senang ketika menciptakan sosok mereka, dan saya senang ketika mengetahui banyak orang yang juga menyukai tulisan-tulisan tentang mereka.


Rembulan Luka

Ini catatan yang saya tulis untuk Shirley Ardell Mason, wanita pertama di dunia yang diidentifikasi mengidap kepribadian ganda, akibat disiksa orangtuanya. Bagi yang mungkin belum mengenalnya, dan ingin tahu tentangnya, silakan kunjungi Wikipedia. Situs ensiklopedia itu memiliki artikel yang cukup lengkap mengenai kisah hidup Shirley Ardell Mason.

Sampai hari ini, para psikolog dan psikiater masih belum sepakat tentang kepribadian ganda. Sebagian dari mereka menerima bahwa kepribadian ganda memang ada, sedang sebagian lagi menolak dan menyatakan kepribadian ganda sebenarnya tidak ada. Saya ada di kubu yang percaya kepribadian ganda memang ada, dan Shirley Ardell Mason memang mengidap hal itu.

Bagi saya, Shirley Ardell Mason adalah potret kebodohan serta kebrengsekan para orangtua. Bayi-bayi yang terlahir ke dunia ini karena diinginkan orangtuanya. Anak-anak yang hidup di dunia ini tidak memaksa keluar dari rahim ibunya, tapi karena kehendak orangtuanya. Karenanya pula, memperlakukan anak dengan baik adalah kewajiban setiap orangtua, dan seharusnya orangtua yang menganiaya anaknya dihukum penjara.

Ada kalanya, cara mendidik yang dianggap baik bagi orangtua sebenarnya justru cara mendidik yang buruk. Tetapi, sayangnya, orangtua sering menganggap diri lebih benar bahkan pasti benar, khususnya di hadapan anak-anak mereka.

Dunia sudah lelah mendengar tangis derita anak-anak seperti Shirley Ardell Mason. Kita tidak ingin melahirkan Shirley Ardell Mason yang lain. Karenanya, jangan pernah memiliki anak, jika kita belum mampu mendidik dan membesarkan mereka dengan baik. Dan penuh kasih.


Senandung Gerimis

Setiap lelaki memiliki sosok perempuan yang sangat dicintai, seorang kekasih yang sangat berarti dalam hidup. Saya juga memiliki sosok semacam itu, seorang perempuan yang pernah menjadi kekasih, pasangan yang membuat tenteram saat ada di dekatnya. Dia makhluk terindah yang pernah saya miliki, cinta terbesar yang pernah saya kenali.

Suatu waktu, bertahun lalu, alam semesta mempertemukan saya dengan seorang perempuan yang sangat indah... dan saya jatuh cinta kepadanya. Dia bukan cinta pertama, tapi mungkin cinta terbesar.

Kami saling jatuh cinta, saling mabuk kepayang, dan kami pun menjalani hari-hari indah sebagai sepasang kekasih. Waktu itu saya pikir kami akan saling memiliki selamanya, dan saya merasa hidup telah lengkap. Tapi kemudian takdir merenggutnya, dan sejak itu saya menjalani hari-hari dengan tangis kehilangan. Dan penyesalan. Dan kepedihan.

Seseorang meninggalkan jejak di hati kita, dan jejak itu begitu dalam di sana. Ketika dia pergi, hidup kita pun tak pernah sama lagi.

Saya malu mengakui, saya masih sering mengingatnya. Kadang-kadang, saat melewati jalan atau tempat-tempat yang pernah kami kunjungi, saya merasa hati menghangat, dan mata membasah. Senandung Gerimis adalah salah satu catatan yang saya tulis di tempat kami pernah bergandeng tangan sebagai sepasang kekasih, saat langit menurunkan gerimis, saat saya masih bisa mendengar suara dan tawanya yang indah.


Pembodohan Massal Bernama Isu Pemanasan Global

Di antara yang lain, catatan mengenai pemanasan global menjadi posting paling panjang di blog ini. Semula, posting panjang itu makalah yang saya tulis untuk keperluan presentasi. Dua tahun setelah mempresentasikannya, saya posting di blog ini dengan menghilangkan istilah-istilah dan penjelasan rumit yang mungkin sulit dipahami orang awam.

Mungkin tidak kita sadari, saat ini kita sedang berada di tengah kancah peperangan. Perang itu terjadi di mana-mana, di sekeliling kita, bahkan mungkin kita ikut terlibat di dalamnya. Perang di sekeliling kita tidak menggunakan pasukan tentara dan bom atau rudal-rudal kasatmata, melainkan perang pemikiran. Ini adalah perang tingkat tinggi, tempat otak dan kata-kata menjadi senjata paling mematikan. Dan sama seperti perang kasatmata yang membutuhkan biaya besar, perang pemikiran di sekeliling kita juga melibatkan biaya milyaran dollar.

Isu pemanasan global adalah salah satu perang terkenal di zaman kita. Perang ini tidak melibatkan pasukan tentara dan senjata-senjata besar, tapi melibatkan para pemikir dan ilmuwan, serta back-up uang dalam jumlah yang sangat besar. Ada banyak pihak yang terlibat dalam perang ini—dari para birokrat, ilmuwan, pemikir, jurnalis, sampai para konglomerat—dan korban-korban telah berjatuhan di banyak tempat, tanpa kita sadari.

Setiap kali kita mendukung atau menolak suatu isu, maka saat itu pula kita telah berpihak pada satu kubu yang tengah berperang. Dan itu mengandung implikasi sangat besar, karena ikut menentukan siapa yang akan menjadi pemenang perang. Dan pemenang perang, kita tahu, adalah para penulis sejarah. Kita hari ini ikut menentukan sejarah macam apa yang kelak akan dibaca anak cucu kita di masa depan. Tergantung siapa yang menang dalam peperangan hari ini, dialah yang akan menulis sejarah. Kita tentu tidak ingin sejarah ditulis dengan kebohongan.

Karena itu, saya sengaja memposting catatan panjang mengenai isu pemanasan global di blog ini, untuk mengajak siapa pun agar tidak buru-buru mendukung suatu isu yang tengah beredar. Tak peduli sebesar dan seterkenal apa pun suatu isu, tidak menjamin isu itu memang benar. Isu yang paling tolol dan konyol pun bisa sangat terkenal jika dibiayai milyaran dollar. Dan itulah yang terjadi dengan isu pemanasan global.

Saya tidak bermaksud konklusif, karenanya saya mempersilakan siapa pun untuk mematahkan semua argumentasi yang saya paparkan dalam catatan itu. Jika ada yang bisa mematahkan argumentasi yang saya paparkan, saya terbuka untuk meralat kesimpulan. Namun, selama tidak ada yang bisa mematahkan argumentasi yang saya paparkan—dan sampai hari ini memang belum ada yang bisa mematahkannya—maka saya tetap berpegang pada keyakinan bahwa isu pemanasan global hanyalah sebentuk pembodohan massal.


Gurat Natijah

“Natijah” adalah istilah bahasa Arab yang berarti “simpulan”. Istilah itu cukup populer di Malaysia, namun sepertinya masih asing di Indonesia. Gurat Natijah adalah catatan yang saya tulis sebagai hadiah ulang tahun untuk wanita yang saya kagumi, Ayu Utami.

Bagi saya, Ayu Utami adalah sosok seorang mbakyu, wanita yang tidak hanya memiliki kasih dan kelembutan, namun juga kecerdasan dan kebijaksanaan. Mencari wanita cantik itu mudah—oh, well, sangat mudah—tapi menemukan wanita cantik yang cerdas dan bijaksana, sama sulitnya menemukan sehelai rambut di antara jerami kusut.

Saya mengagumi Ayu Utami, bukan hanya karya-karyanya, namun juga idealisme yang dimilikinya. Pernah, saya mendapati foto-foto Ayu Utami yang sedang bersama Djenar Maesa Ayu ketika mereka masih belia, dan tampak “binal”. Tapi itu tidak mengurangi kekaguman dan rasa hormat saya kepadanya.

Saya tertawa ketika menyaksikan foto-foto itu, dan membayangkan bahwa perjalanan hidup seorang manusia, khususnya seorang wanita, memang bisa unik dan tak terbayang. Seorang wanita yang binal di masa mudanya bisa berubah menjadi pemikir yang arif, sama halnya seorang wanita yang tampak alim dan lembut di masa mudanya bisa berubah menjadi nenek sihir yang jahat.

Wanita mengagumkan di dunia adalah wanita yang menyadari bahwa dia memiliki pilihan, dan tidak ada satu orang pun yang berhak merenggut pilihan itu darinya. Kedengarannya remeh, eh? Tapi ada banyak wanita yang tidak sadar dia memiliki pilihan, kemudian hanyut dalam gelombang masyarakat dan tuntutan sosial. Mereka sibuk mencari pacar ketika banyak wanita lain punya pacar, mereka buru-buru menikah setelah banyak wanita lain menikah. Mereka tidak punya pilihan, hidup mereka ditentukan oleh lingkungan, kultur, dan masyarakatnya.

Ayu Utami berani menunjukkan sikap yang menjadi pilihan dan idealismenya. Dia seperti Alice dalam kisah Alice in Wonderland, yang menyadari bahwa takdir setiap orang—setiap wanita—ada dalam pilihannya, bukan ditentukan oleh kultur masyarakat. Itu menjadi alasan saya mengaguminya. Satu-satunya hal yang saya sayangkan menyangkut Ayu Utami hanyalah... dia akhirnya menikah.

Tetapi, well, itu pun pilihannya.


Hukum Semesta

Catatan ini cukup singkat, tapi saya harus memikirkan dan mengendapkannya bertahun-tahun sebelum menuliskannya.

Selama bertahun-tahun, saya mengamati, mempelajari, dan meneliti, bahwa ada satu hal yang tak pernah berubah dalam hidup. Sebuah hukum yang berjalan tanpa undang-undang tertulis, tapi kekuatannya jauh lebih mengerikan dari semua hukum yang tertulis. Sebuah aturan tak kasatmata yang berlaku bagi semua orang, di semua tempat, dari semua golongan. Saya menyebutnya Hukum Semesta.

Bertahun-tahun lalu, ketika masih remaja, saya menyaksikan seorang lelaki salih yang dihormati masyarakatnya. Dia pengusaha yang cukup kaya, taat beribadah, baik pada tetangga, ringan tangan pada sesama, pendeknya sosok yang dianggap sempurna oleh masyarakat. Tapi lelaki ini menjalani hidup yang ironis—ia memiliki empat anak yang semuanya tidak beres.

Anak pertama, lelaki, sudah menikah, dan berkali-kali dilaporkan istrinya sendiri ke polisi akibat kasus KDRT yang mengerikan. Akhir kisah, mereka bercerai, dan kasus itu pun mencoreng nama baik ayahnya yang salih. Anak kedua, juga lelaki, menjadi penjahat yang keluar masuk penjara. Anak ketiga, perempuan, hamil di luar nikah, menggugurkan kandungannya, lalu menjalani kehidupan yang liar. Anak terakhir, lelaki, tertangkap polisi karena menjadi pecandu narkoba.

Bagaimana bisa “cobaan” semacam itu menimpa lelaki salih yang taat pada Tuhan dan sangat baik pada sesama? Dulu, ketika masih remaja, saya percaya ucapan masyarakat bahwa kenakalan anak-anak si lelaki salih itu adalah “ujian atau cobaan Tuhan”. Ketika saya dewasa, didorong rasa penasaran, saya menelusuri dan meriset kehidupan lelaki salih itu hingga ke akar-akarnya. Dan hasilnya cukup mengejutkan.

Dari penelusuran, saya mendapati kehidupan lelaki salih itu relatif lurus. Tapi ada satu fakta penting yang tak bisa dibilang kecil, yaitu dia pernah merenggut hak milik orang lain. (Kisah selengkapnya tidak bisa saya jelaskan di sini, karena menyangkut privasi orang). Si lelaki salih mungkin lupa pada perbuatannya, tapi orang yang haknya telah ia rampas masih sakit hati atas perbuatan jahatnya. Sebegitu sakit hati, hingga orang itu tidak sudi melayat ketika si lelaki salih meninggal dunia.

Kisah lelaki salih itu hanya satu di antara banyak kisah lain yang pernah saya telusuri dengan tekun selama bertahun-tahun. Petaka dalam bentuk apa pun yang menimpa seseorang—jika ditelusuri sampai ke akar-akarnya—akan membawa kita pada fakta yang nyaris sama; orang itu pernah merampas hak milik orang lain, dan korban yang dirampasnya sakit hati.

Mungkin jarak antara petaka yang menimpa dan perbuatan jahatnya sangat lama, sampai bertahun-tahun, tapi entah bagaimana caranya hukuman itu pasti datang, dalam bentuk apa pun. Aturannya sederhana; kau merampas kebahagiaan orang lain, maka alam semesta akan merampas kebahagiaanmu. Karena itulah saya sangat percaya pada ajaran yang menyatakan bahwa, “Doa paling mustajab adalah doa orang teraniaya.”

Keadilan adalah keseimbangan. Itu semacam bandul yang jika kita gerakkan ke kanan akan memantul ke kiri, sebentuk hukum alam yang tak bisa diganggu gugat.

Kalau kita menebang satu batang pohon, maka jumlah oksigen di atmosfer akan berkurang. Semakin banyak pohon ditebang, jumlah oksigen semakin berkurang. Kita mungkin tidak merasakan atau menyadari, tapi itulah yang terjadi. Berkurangnya oksigen di atmosfer adalah bentuk keadilan akibat kita menebang pohon. Begitu pula yang terjadi jika kita “menebang” hak milik orang lain. Keadilan adalah keseimbangan.

Jika saya merampas milikmu, kemudian kau membalas, masalahnya selesai. Perbuatan jahat saya sudah terbalas oleh perbuatan jahatmu. Seimbang. Yang berbahaya adalah jika saya merampas milikmu, tapi kau tidak bisa membalas. Ketika itu terjadi, artinya ada pihak yang teraniaya. Maka alam semesta yang kemudian mengambil alih, dan membalas perbuatan saya. Jika alam semesta yang membalas, oh well... bahkan bersembunyi ke ujung neraka pun akan tetap dikejar.

Sekali lagi, keadilan adalah keseimbangan. Yesus menyatakan, “Orang yang menabur kecurangan akan menuai bencana.” Sedang Rasulullah Muhammad menyatakan, “I’mal maa syi’ta kamaa tadiinu tudaanu—lakukan apa saja yang ingin kaulakukan, tapi ingatlah kau akan mendapat balasan sebagaimana yang kaulakukan.”

Kita tidak bisa menanam biji pepaya dan berharap tumbuh pohon durian, karena itu melanggar hukum alam. Kita pun tak bisa berharap hidup tenang, jika ada orang lain teraniaya akibat perbuatan yang kita lakukan. Keadilan adalah keseimbangan.

Itulah satu hal penting yang saya pelajari selama bertahun-tahun tentang hidup. Bahwa dosa paling berbahaya adalah merampas milik orang lain, karena dosa itu akan menuntut pembayaran—kapan pun, dalam bentuk apa pun—tak peduli kita masih ingat atau sudah lupa.

Dosa kepada Tuhan mungkin bisa diurus di akhirat—jika kita memang percaya keberadaan Tuhan dan akhirat. Tapi dosa kepada manusia sering kali harus dibereskan di dunia. Jika manusia pelakunya tidak mau membereskannya, maka Hukum Semesta yang akan mengambil alih dan “membereskannya”, agar kehidupan tetap seimbang.

Ehmm... salah satu ajaran agama yang penting namun terkesan sepele adalah ini, “Jangan sampai tetesan air dari genteng rumahmu jatuh di tanah milik tetanggamu.” Itu terdengar sangat sepele, sebegitu sepele hingga banyak orang tidak menghiraukan. Tetapi ajaran itu mengandung implikasi yang besar, karena menyangkut hak orang lain. Jika air hujan dari genteng kita jatuh di tanah tetangga, maka kita telah melanggar hak orang lain.

Sekarang pikirkan. Jika tetesan air saja tidak boleh sampai melanggar hak orang lain, apalagi hal-hal lain yang lebih besar? Jika tetesan air saja tidak boleh sampai menetes di tanah orang lain, bayangkanlah dosa macam apa—dan petaka mengerikan macam apa yang akan terjadi—jika kita sampai merampas tanah milik orang lain.

Keadilan adalah keseimbangan. Para penganut ajaran Dharma menyebutnya, “Hukum Karma”. Orang kejawen menyebutnya, “Molo”. Para intelektual di kampus menyebutnya, “Hukum Kausalitas”. Orang barat menyebutnya, “Serendipity”. Saya menyebutnya, “Hukum Semesta”.


The History of Love

Mendapatkan komentar pembaca blog di e-mail sudah saya anggap biasa, karena blog ini tidak menyediakan kolom komentar. Beberapa pembaca yang “gatal” ingin berkomentar biasanya mengirimkan komentarnya via e-mail. Dan posting The History of Love mendatangkan komentar paling banyak. Tidak lama setelah rangkaian catatan itu saya posting di blog, inbox e-mail saya segera “banjir”. Rata-rata, isi komentar hanya berkisar, “Itu pasti kisahmu!” dan, “Lanjutin kisah itu!”

Ketika menulis The History of Love, yang ada dalam pikiran hanyalah ingin mengabadikan salah satu keping dalam kehidupan saya, dan tidak ada rencana untuk menjadikannya kisah bersambung. Tapi rupanya banyak pembaca yang mengira catatan itu masih akan berlanjut, dan mereka menunggu-nunggu kelanjutannya. Setelah lama saya tidak menulis lanjutan kisah itu, banyak yang menagih agar saya membuat sambungannya. Inbox saya di Formspring juga banyak menerima permintaan sama, “Lanjutkan The History of Love!”

Terus terang saya bingung, karena sedari awal tidak berniat menjadikan catatan itu sebagai cerita bersambung. Kisah itu selesai sampai di situ, kelanjutannya hanya ada di pikiran saya, dan tidak ada rencana menuliskannya.

Setelah mengendapkan hal ini cukup lama, akhirnya saya pikir mungkin akan lebih baik kalau saya melanjutkan kisah The History of Love. Tapi tidak di blog. Mungkin akan saya tulis dalam sebuah novel utuh, sehingga kisahnya tidak harus nyata seratus persen. Tapi saya tidak bisa menjanjikan kapan waktunya. Nanti, kalau waktu saya sudah luang, mungkin saya akan mulai menulis novel itu. Dan, kalau sudah terbit, kalian harus membelinya!


Nyanyian Bumi

Kehidupan manusia adalah kumpulan paradoks, itu yang ada dalam pikiran saya. Dulu, ketika masih bodoh, masih purba, manusia dapat menjalani hidup dengan baik tanpa merusak Bumi. Seiring bergantinya abad, manusia semakin cerdas dan berkeadaban, tapi perilaku mereka bukannya makin baik tapi justru makin buruk. Dan makin serakah.

Manusia purba membunuh hewan sekadarnya untuk keperluan makan, manusia modern memburu dan membunuh hewan sebanyak-banyaknya untuk kesenangan dan perdagangan. Manusia purba menebang pohon untuk membangun rumah mereka, manusia modern mengguduli hutan untuk rumah, pemukiman, hingga swalayan. Manusia purba mengenal kata cukup dalam kesederhanaan, manusia modern tidak mengenal kata cukup—bahkan jika hartanya tidak habis dimakan tujuh turunan.

Kita mungkin bisa menyatakan, “Yeah, populasi zaman sekarang jauh lebih banyak dibanding masa dulu, dan populasi yang makin padat menjadikan manusia kian kompetitif. Persaingan itu menjadikan manusia modern terkesan serakah, karena ingin tetap bertahan hidup.”

Benar, itulah masalahnya. Dan itulah masalah kita, hari ini.

Manusia terus beranak pinak tanpa henti, dan populasinya terus mengalami ledakan. Akibatnya, persaingan hidup kian kompetitif. Dalam kompetisi mempertahankan hidup, manusia modern pun melakukan apa saja agar tetap bertahan hidup. Ironisnya, di tengah-tengah kenyataan semacam itu pun, manusia tidak juga sadar bahwa salah satu inti masalah kita hari ini adalah populasi.

Kalau ada orang masih lajang, mereka “disiksa” dengan pertanyaan “kapan kawin?” Setelah mereka kawin atau menikah, mereka kembali disiksa dengan pertanyaan “kapan punya anak?” Setelah mereka punya satu anak, mereka masih terus disiksa dengan pertanyaan, “kapan nambah anak?” Mungkin ilustrasi ini terkesan sepele, atau bahkan berlebihan, tapi yang jelas populasi manusia terus bertambah. Dan setan-setan di sekeliling kita masih terus bergentanyangan mengajukan pertanyaan sialan berbunyi, “Kapan kawin? Kapan punya anak? Kapan nambah anak?”

Populasi manusia sulit, bahkan tak bisa, dihentikan. Bahkan setelah program Keluarga Berencana dikampanyekan di banyak negara. Manusia terus bereproduksi, makin hari makin banyak, dan hal itu menjadikan kehidupan di Bumi makin semrawut, persaingan kian panas, dan akhirnya... akan tiba suatu masa ketika persediaan hasil Bumi tidak lagi mencukupi untuk jumlah manusia yang ada. Pernahkah kita memikirkan kenyataan itu?

Untuk bertahan hidup, manusia memakan hasil Bumi, hewan dan tumbuhan. Hewan dan tumbuhan membutuhkan lahan—hutan, sawah, dan ladang. Kian hari, karena jumlah manusia kian banyak, sawah dan ladang diubah menjadi rumah dan pemukiman, sementara hutan disulap menjadi swalayan. Artinya, bersama makin banyaknya manusia, hasil Bumi kian sedikit, dan kian menipis. Karena jumlah manusia dan hasil Bumi makin tak seimbang, maka akan tiba suatu masa ketika manusia harus kelaparan karena tidak ada lagi yang bisa dimakan.

Sekali lagi, pernahkah kita memikirkan kenyataan itu?

Di dunia ini memang ada orang-orang yang telah memikirkan kemungkinan itu. Mereka tahu populasi manusia tidak bisa dihentikan, karena reproduksi terus berjalan. Karena program KB sulit dijalankan, maka mereka pun mencari dan menggunakan cara lain untuk menekan jumlah populasi. Maka virus-virus berbahaya pun dibuat, penyakit-penyakit baru diciptakan, dan berbagai skenario perang dimunculkan. Tujuannya satu; mengurangi jumlah penduduk Bumi, menekan populasi manusia. (Kelak, topik ini akan saya jelaskan secara tuntas di catatan lain).

Charles Darwin sudah mengingatkan berabad lalu, bahwa kompetisi akan mengantar pemenang untuk bertahan. Ironisnya, kita bukan berusaha memahami maksud Darwin, tapi malah sibuk menyalah-nyalahkannya.

Evolusi masih terus terjadi—diakui atau tidak. Dari tahun ke tahun, manusia masih terus berevolusi. Tidak lagi secara fisik, tapi secara psikis. Kalau dulu manusia mengenal keramahan, sekarang manusia mulai asing satu sama lain. Kalau dulu manusia mengenal ketulusan, sekarang semuanya serba pamrih. Kalau dulu manusia ringan tangan pada sesama, sekarang sudah terlalu sibuk dengan diri sendiri. Dan semua itu terjadi karena adanya kompetisi. Kompetisi melahirkan evolusi.

Masalah kita hari ini adalah masalah populasi. Semakin banyak jumlah manusia, Bumi yang kita tinggali makin rusak binasa. Itu fakta yang tak bisa dibantah. Karenanya pula, saya sampai menulis bahwa satu-satunya kepunahan yang bermanfaat bagi Bumi hanyalah kepunahan manusia. Jika pohon dan hewan punah, Bumi akan berubah menjadi neraka. Tapi jika manusia yang punah, maka Bumi akan menjelma surga.

Dan para perusak Bumi bukan hanya mereka yang menebang pohon serta menggunduli hutan, bukan hanya mereka yang membangun pabrik-pabrik dengan cerobong asap yang mengotori udara, tapi juga mereka yang terus bertanya-tanya “kapan kawin?” pada sesamanya. Orang-orang nyinyir itu juga termasuk para perusak Bumi, karena pertanyaan sialan mereka terus mendorong naiknya jumlah populasi.

Akan tiba suatu masa ketika umat manusia menyadari bahwa mereka bukan pemimpin di muka Bumi, dan bahwa setan yang mereka perangi sebenarnya bersemayam di dalam diri mereka sendiri.


Jalan Sunyi Sang Pencari

Di dunia yang semrawut dan bising oleh hiruk-pikuk manusia yang sibuk unjuk diri, selalu ada orang-orang yang menyisih ke tepi, dan menjalani hidup dalam sunyi. Hanya bersama buku, hanya bersama ilmu, dan kesadaran bahwa hidup adalah jalan pembelajaran.

Jalan Sunyi Sang Pencari adalah catatan yang saya tulis untuk orang yang saya cintai dengan sepenuh hormat dan kekaguman, seorang pembelajar sejati, Imam As-Syafi’i. Dia benar-benar manusia langka, dalam arti sebenarnya.

Karena kemiskinannya, Imam Syafi’i harus kesana kemari mengumpulkan kertas-kertas bekas untuk menulis ilmu dan pengetahuan yang didapatkannya. Ketika kertas-kertas bekas sulit diperoleh, ia mengumpulkan tulang belulang demi bisa terus menulis.

Sampai suatu hari, kamarnya penuh tulang hingga ia tak punya tempat lagi. Pada waktu itulah ia memutuskan untuk menghafal semua pengetahuan yang diperolehnya, sehingga tak perlu repot-repot menulis. Keputusan itu kemudian menjadikannya penghafal ilmu yang luar biasa.

Ketika kemudian ia telah terkenal sebagai guru sekaligus pembelajar hebat, orang-orang bertanya, “Bagaimana cara Anda belajar?”

Imam Syafi’i menjelaskan, “Setiap kali aku mendengarkan orang menyampaikan ilmu, aku akan mendengarkannya seolah-olah belum pernah mendengarnya, dan aku mengerahkan seluruh anggota tubuhku untuk menyimak. Aku mengumpulkan pengetahuan seperti orang kelaparan mencari makan, kemudian menikmatinya dengan rasa syukur. Aku mencari ilmu pengetahuan baru seperti ibu yang kehilangan anak satu-satunya, dan tak memiliki apa pun selain itu.”

Jelas, Imam Syafi’i bukan orang sok pintar yang mudah menyalah-nyalahkan orang lain hanya karena beda pemikiran. Ia juga bukan orang sok suci yang menganggap dirinya paling benar sendiri dan kemudian mengafirkan orang lain hanya karena beda keyakinan. Ia sosok guru sejati, yang menjauh dari kedangkalan, dan khusyuk menyelami kedalaman.

Saya mencintai semangat belajarnya, saya mengagumi keagungan pribadinya, dan saya tidak malu mengakui bahwa saya ingin meneladani jalan hidupnya.

 
;