Jumat, 27 September 2013

Garis Waktu

Begitu. Ya, itulah yang ingin kukatakan. Satu jam lalu.


Siang cukup terik. Saya keluar dari kantor pos, kemudian menuju jalanan tempat deretan penjual makanan dan minuman yang ada di samping kanan kantor pos. Jalanan itu tak terlalu ramai. Di bagian pinggirnya ada sebuah bekas rel kereta api yang nyaris terkubur di dalam aspal, dan di sekitar rel kereta api tak terpakai itulah penjual siomay, gorengan, dan aneka minuman, berderet setiap siang. Sementara di belakang deretan para penjual itu berdiri tembok setinggi 1,5 meter.

Saya menuju ke tempat penjual siomay goreng, juga meminta segelas es kelapa muda. Siang itu benar-benar sempurna untuk menikmati keduanya. Kemudian saya duduk di sekitar rel yang adem karena diteduhi pohon-pohon rimbun.

Ketika sedang asyik menyeruput es kelapa muda sambil menunggu siomay digoreng, perhatian saya tertarik pada sesosok bocah lelaki yang sedang duduk sendirian. Bocah itu duduk di atas bekas rel kereta api, menghadap ke arah tembok, sambil melempar-lemparkan kerikil. Usianya mungkin sepuluh, sebelas, atau sekitar itu. Pakaiannya tampak kumal, dan penampilannya tak bisa dibilang bersih. Tetapi, yang membuat saya tertarik bukan penampilannya, melainkan suara yang dibisikkannya.

Bocah itu terus-menerus berbisik (mungkin lebih tepat disebut berkata lirih dan perlahan), “Seolah-olah dunia ini hanya miliknya... seolah-olah dunia ini hanya miliknya...” sambil tangannya melempar-lemparkan kerikil ke arah tembok. “Uh, seolah-olah dunia ini hanya miliknya... seolah-olah dunia ini hanya miliknya...”

Bocah itu mungkin filsuf, pikir saya. Jarak kami hanya tujuh atau delapan meter, dan saya bisa mendengar cukup jelas kata-kata yang diucapkannya, meski suaranya lirih dan perlahan. Kemudian, didorong keinginan spontan, saya memanggil bocah itu, “Dek, mau es?”

Dia menengok ke arah saya dengan mimik terkejut. “Ap-apa, Bang...?”

“Kamu mau es?” ulang saya.

Dia mengangguk. Tapi wajahnya datar. Lalu dia bangkit dan menuju ke arah saya dengan langkah canggung. Saya memesankan segelas es kelapa muda, dan bocah itu menikmatinya tak jauh dari tempat saya duduk.

Lalu siomay saya selesai digoreng, dan penjualnya menyerahkan sepiring siomay yang tampak lezat kepada saya. Bocah tadi masih asyik menikmati minuman di gelasnya. Saya kembali menawari, “Kamu mau siomay?”

Lagi-lagi bocah itu menengok ke arah saya dengan mimik terkejut, “Ap-apa, Bang...?”

“Kamu mau siomay?”

“Uh... ya,” dia menjawab ragu-ragu.

“Pesan dan pilihlah sendiri.”

Dia patuh, dan bangkit menuju ke gerobak penjual siomay. Saya terus menikmati siomay di piring saya hingga habis. Kemudian menikmati es di gelas, dan menyulut rokok. Siomay pesanan bocah tadi sudah selesai digoreng, dan sekarang bocah itu tampak asyik menikmati siomay di piringnya. Tempat duduknya masih cukup jauh dari tempat saya.

Siang yang panas. Dan saya duduk di tempat yang teduh. Bersama sepiring siomay goreng, segelas es kelapa muda, asap rokok, dan seorang bocah.

Setelah bocah itu selesai menghabiskan siomay dan minuman di gelas, saya membayar ke penjualnya. Kemudian, saya memanggil bocah tadi agar duduk di dekat saya. Dia mendekat, dan duduk dengan kikuk.

Saya berkata kepadanya, “Aku boleh pinjam kalimatmu?”

Dia menjawab dengan bingung, “Ka-kalimat apa, Bang?”

“Itu, kalimat yang tadi kamu ulang-ulang di sana itu.”

“Ka-kalimat apa, sih?” Dia benar-benar bingung.

Saya mengisap rokok, kemudian menjelaskan perlahan-lahan, “Tadi, kamu duduk di sana sambil melempar-lemparkan kerikil ke arah tembok. Dan, kalau tidak keliru, kamu terus bilang, ‘seolah-olah dunia ini hanya miliknya... seolah-olah dunia ini hanya miliknya...’ Nah, itu kalimat yang kumaksud.”

“Oh, itu,” sahutnya dengan wajah datar.

“Nah, aku boleh pinjam kalimat itu?”

“Pin-pinjam...?” dia tampak terkejut.

“Iya, kalimat itu milikmu. Aku mendengar kalimat itu dari kamu. Kalau aku ingin pakai kalimat itu, artinya aku pinjam dari kamu. Boleh?”

“Bo-boleh, Bang.” Kini dia tampak semakin bingung. “Uh... tap-tapi pinjam buat apa?”

Sekarang saya yang bingung. Berbicara pada seorang profesor kadang-kadang jauh lebih mudah daripada berbicara pada seorang bocah. Bagaimana saya harus menjelaskan kepada bocah ini bahwa sebuah kalimat milik seseorang kadang dipinjam dalam sebuah tulisan atau ucapan? Bagaimana saya harus menjelaskan kepadanya tentang arti “kutipan” dan “kutipan yang diizinkan”?

Akhirnya, saya berkata perlahan-lahan, “Begini. Kadang-kadang aku menulis sesuatu, di kertas atau di komputer. Kalau aku memasukkan kalimatmu tadi ke dalam tulisanku, artinya aku pinjam kalimatmu. Kalimat tadi, yang kamu ucapkan itu, langsung kudengar dari mulutmu. Artinya, kalimat itu sebuah ucapan, bukan tulisan. Kalau aku menulis sesuatu, dan di dalamnya menyebutkan kalimat itu diucapkan olehmu, aku tak perlu meminta izinmu, karena jelas kusebutkan kalimat itu keluar dari mulutmu. Tetapi, jika aku menulis kalimat itu tanpa menyertakanmu dalam tulisanku, maka aku harus minta izinmu untuk menggunakannya.”

Entah penjelasan saya bisa dipahami atau dia pura-pura paham, bocah itu mengangguk-angguk. “Oooh, gitu,” ucapnya dengan wajah datar.

“Jadi, aku boleh pinjam kalimatmu?”

“Iy-iya, boleh, Bang. Pakai aja.”

....
....

Ketika saya pulang ke rumah, saya membuka Twitter, dan menuliskan kalimat bocah tadi sebagai tweet. Saya kutip secara persis kalimatnya kata per kata, “Seolah-olah dunia ini hanya miliknya.”

Kemudian, saya kembali menulis kalimat itu dalam tweet lain, namun kali ini saya edit redaksinya, menjadi, “Seolah-olah dunia ini hanya milik mereka.”

Tidak ada kerikil yang saya lempar-lemparkan, tidak ada orang yang menawari siomay dan es kelapa muda. Bahkan mungkin tidak ada yang membaca tweet saya. Tapi tidak apa-apa. Saya sudah senang. Karena desakan batin yang ingin saya suarakan telah diwakili sebaris kalimat bernas, yang butuh kesadaran dan kepekaan untuk bisa memahaminya.

Oh, well, seolah-olah dunia ini hanya miliknya, seolah-olah dunia hanya milik mereka.

Noffret’s Note: Memories

Entah mengapa, setiap kali mendengarkan
Memories-nya Within Temptation, rasanya
aku kembali ke masa lalu yang paling kuinginkan.
—Twitter, 26 Mei 2012

Setiap kali gelisah, dan ingin menenangkan pikiran,
lagu itulah yang kudengarkan. Memories seperti
terapi pikiran yang menenangkan.
—Twitter, 26 Mei 2012

Aku duduk, menyandar, memejamkan mata,
menghayati setiap denting yang terdengar
dalam Memories, dan aku merasa damai.
—Twitter, 26 Mei 2012

Bersama Memories, aku bisa menerbangkan
dan melayangkan angan pikiranku ke mana pun.
Ke tempat mustahil sekalipun.
—Twitter, 26 Mei 2012

Dalam alunan Memories, aku bisa menjadi Alice
yang masuk Wonderland, merayapi Negeri Oz,
bahkan tersenyum pada Cinderella.
—Twitter, 26 Mei 2012

Di atas semuanya itu, Memories membantuku
bercakap dengan diri sendiri, merefleksikan hari,
hati, dan mimpi-mimpi.
—Twitter, 26 Mei 2012

Memories juga mengajarkanku cara tersenyum
kepada masa lalu, mengikhlaskan masa lampau
untuk meneruskan langkahku.
—Twitter, 26 Mei 2012

Memories adalah perpaduan sempurna denting piano,
gesekan biola, mini orkestra, dan vokal
yang amat indah. Video klipnya pun sempurna.
—Twitter, 26 Mei 2012

Terberkatilah Within Temptation untuk Memories,
untuk lagu-lagu indah mereka,
serta untuk idealisme yang selalu terjaga.
—Twitter, 26 Mei 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

E-Mail Dengan Nama Biskuit

Lelaki pertama berkata, “Apa yang ada dalam benakmu, jika seseorang berkirim e-mail kepadamu, menggunakan nama merek biskuit?”

Lelaki kedua mengerutkan kening. “Sori, aku belum paham. Bagaimana maksudmu?”

“Maksudku, seseorang berkirim e-mail untukmu, dan e-mailnya menggunakan nama biskuit. Apa yang kaupikirkan jika menerima e-mail seperti itu?”

“Tentunya dia punya nama, kan? Maksudku, orang bisa saja menggunakan nama seaneh apa pun untuk e-mail-nya. Tapi biasanya dalam e-mail itu kan ada nama yang benar. Maksudku, bisa saja aku membuat e-mail dengan nama blablabla@gmail.com. Tapi biasanya kan ada nama jelas yang menyertai e-mail itu, yaitu namaku yang benar.”

“Bagaimana kalau tidak? Maksudku, nama e-mail yang aneh itu tidak disertai nama jelas. Oh, well, aku tidak akan repot membahasnya kalau saja e-mail aneh itu disertai nama jelas, karena itu hal biasa. Tapi ini sama sekali tidak disertai nama yang benar, selain hanya e-mail itu. E-mail dengan nama biskuit.”

Lelaki kedua terdiam sesaat, kemudian berujar, “Mungkin dia tidak ingin kau tahu siapa dirinya.”

“Benar.” Lelaki pertama mengangguk. “Tapi kupikir bukan cuma itu. Di dunia maya, semua orang bisa menyamarkan diri dan mengaku sebagai siapa saja. Maksudku, aku bisa saja berkirim e-mail pada seseorang dengan menggunakan nama lain untuk menyamarkan identitasku. Itu mudah, kita tinggal mencari suatu nama yang cocok, lalu menggunakannya sebagai identitas e-mail. Tapi yang jelas aku tidak akan menggunakan nama biskuit sebagai nama e-mailku. Itu terlalu aneh.”

Lelaki kedua tersenyum. “Jadi, apa yang kaupikirkan?”

Lelaki pertama membalas senyum kawannya. “Kau tahu kalimat apa yang paling menggelisahkan di dunia?”

“Coba katakan.”

“Kenapa aku selalu menarik orang gila?”

Keduanya tertawa.

Jumat, 13 September 2013

Anak Saya Telah Lahir

Tahukah kau, mengapa aku begitu menyayangimu,
lebih dari yang lain? Karena kau menulis.
Suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi,
sampai jauh, jauh di kemudian hari...
—Pramoedya Ananta Toer


Catatan ini sebenarnya sudah saya siapkan dua minggu yang lalu. Namun, karena kondisi badan sedang tidak sehat, baru sekarang saya bisa mempostingnya di blog ini. Selama dua minggu kemarin, karena tubuh yang lemah, saya hanya bisa berbaring-baring di atas tempat tidur, tidak bisa menulis, malas nge-tweet, dan menghabiskan hari-hari hanya dengan membaca buku sambil bersandar pada bantal.

Untungnya, selama sakit itu, saya punya hiburan yang menyenangkan hati, yaitu kelahiran anak yang telah saya nanti-nantikan selama ini. Ya, anak saya telah lahir! Berikut ini wujudnya.


Dalam bingkai sejarah kontemporer, abad 20 menjadi abad yang penting sekaligus berpengaruh dalam peradaban dan kehidupan manusia zaman sekarang, karena di abad itulah berbagai macam peristiwa besar terjadi, orang-orang berpengaruh lahir dan mati, berbagai alat dan teknologi penting ditemukan, dan negara-negara di berbagai belahan dunia meraih kemerdekaan.

Sejarawan Eric Hobsbawm, penulis buku The Age of Extremes, bahkan menyebut abad 20 sebagai abad yang singkat, karena begitu banyaknya peristiwa yang muncul, serta begitu cepatnya perkembangan peradaban manusia terjadi di segala bidang selama abad tersebut.

Di abad 20, Perang Dunia I dan II meletus, yang memberikan pengaruhnya hingga di masa sekarang. Di abad 20 pula, berbagai penemuan penting dalam bidang kesehatan ditemukan—dari vaksin antipolio, vitamin, aspirin, transfusi darah, transplantasi organ, sampai pil antihamil, plester luka, dan pembalut wanita. Di dunia hiburan, abad 20 menjadi saksi lahirnya The Beatles, Superman, James Bond, dan ikon-ikon lain yang kemudian menjadi legenda.

Teknologi-teknologi canggih juga banyak ditemukan dan diciptakan selama abad 20. Dari kalkulator, radio, televisi, komputer, hingga telepon, ponsel, dan internet, yang menjadikan dunia semakin kecil, batas ruang dan waktu makin menipis. Di abad 20, satelit mulai diciptakan, kendaraan, kapal, radar, dan pesawat-pesawat canggih dibuat, serta untuk pertama kalinya manusia sampai di Bulan.

Pentingnya abad 20 itu pula yang lalu mencetuskan gagasan di kepala saya untuk menulisnya dalam sebuah buku, agar menjadi semacam album yang bisa dinikmati tanpa lekang waktu. Sejak pertama kali muncul, ide itu begitu menggoda, hingga saya sempat tak bisa tidur memikirkannya. Tiap malam saya membayangkan bagaimana konsep penulisannya, mereka-reka alur dan kronologinya, hingga perlahan namun pasti ide itu mulai mengkristal. 

Ketika akhirnya kristal ide itu semakin jelas, dan saya mulai menemukan konsep penulisan yang tepat, saya menghadapi kendala yang sebelumnya tak pernah terbayang. Ide itu membutuhkan riset terhadap ribuan data, dan itu artinya saya harus tenggelam dalam lautan kisah, fakta, peristiwa, dan data lain yang pasti tak terhitung banyaknya. Bahkan sebelum mulai menulisnya, kepala saya sudah pening.

Tapi ide itu benar-benar menggoda, dan ia seperti terus memanggil-manggil saya untuk menuliskannya. Maka, suatu hari, lebih dari dua tahun yang lalu, saya mulai menulis halaman pertama yang kemudian menjadi naskah paling tebal—dan paling memusingkan—yang pernah saya kerjakan. Sebegitu berat penggarapannya, hingga saya nyaris memutuskan untuk berhenti di tengah jalan.

Yang membuat proses penggarapan naskah ini sangat berat, karena saya harus berhadapan dengan tumpukan data—kisah, peristiwa, sejarah—yang terentang selama seratus tahun sepanjang abad 20. Selama seratus tahun itu, tentunya tak terhitung banyaknya kisah dan peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi, tokoh-tokoh penting yang lahir dan mati, serta berbagai penemuan dari bidang kesehatan sampai teknologi.

Menghadapi lautan data itu, saya harus memilah dan memilih mana yang layak untuk ditulis, dan mana yang sebaiknya diabaikan. Itu memerlukan ketekunan membaca, dan kecermatan riset tingkat dewa. Dan, oh well, itu sungguh memusingkan kepala!

Tapi “kepusingan” itu belum selesai. Setelah hampir mati tenggelam di lautan data, dan akhirnya bisa memilah mana yang layak diambil dan mana yang sebaiknya dibuang, saya menghadapi pekerjaan berat berikutnya. Yaitu menyusun semua data yang terseleksi agar semuanya runtut dan kronologis. Setelah itu selesai, saya masuk pada pekerjaan berat selanjutnya, yaitu mengubah tumpukan data membosankan itu menjadi tulisan yang enak dibaca. Dalam hal ini, saya benar-benar harus mengerahkan semua kemampuan menulis saya.

Jadi begitulah. Dari hari ke hari saya terus khusyuk mengerjakan naskah itu, paragraf demi paragraf, alinea demi alinea, lembar demi lembar, hingga perlahan namun pasti jumlah halamannya terus merangkak naik. Saat mencapai 300-an halaman, rasa bosan mulai menyerang. Itu gejala yang biasa dialami banyak penulis, khususnya para penulis yang jarang menulis naskah tebal, seperti saya.

Rata-rata, ketebalan naskah mencapai final setelah memasuki 200-300 halaman. Meski tidak ada aturan baku mengenai hal itu, tapi banyak penulis yang mulai lelah dan bosan setelah naskah yang dikerjakannya memasuki halaman 300-an. Karenanya pula, rata-rata buku yang ditulis para profesional memiliki jumlah naskah setebal itu.

Tapi naskah yang sedang saya garap ini tampaknya masih jauh dari final, meski halamannya telah memasuki angka 300-an. Dalam bayangan saya waktu itu, sepertinya naskah ini masih membutuhkan ratusan halaman lagi, dan saya tidak yakin kapan akan selesai. Di satu sisi, saya menjadikan penulisan naskah ini sebagai tantangan bagi diri saya sendiri. Di sisi lain, saya kadang merasa tersiksa akibat rasa lelah dan bosan yang kerap menyerang.

Ketika jumlah halamannya mencapai 500-an, lelah dan bosan semakin menjadi-jadi. Sementara pengerjaan naskah itu telah memakan waktu berbulan-bulan, dan tampaknya masih lama untuk selesai. Pada waktu-waktu itulah saya kadang ingin menghentikan penulisan naskah itu, karena merasa tak sanggup meneruskannya.

Tetapi, setiap kali keinginan itu muncul, suara di kepala saya seperti mengingatkan, “Ini pertama kali bagimu mengerjakan naskah yang sangat tebal. Segala hal yang pertama memang sering sulit dan mengesalkan. Tapi kalau kau tidak mau mencobanya, kapan kau akan bisa? Ayolah, teruskan naskahmu. Tunjukkan pada dirimu sendiri kalau kau bisa, tak peduli berapa pun lamanya, tak peduli seperti apa pun sulitnya!”

Maka saya pun meneruskan. Lembar demi lembar lagi. Paragraf demi paragraf lagi. Alinea demi alinea lagi. Dan bulan demi bulan berganti, halaman naskah itu semakin bertambah. Sering kali, setiap kali mulai merasa bosan, saya menghibur diri dengan membaca timeline di Twitter, dan menulis tweet-tweet iseng. Di waktu-waktu itu pula, saya terus menulis catatan untuk blog ini, sebagai pengalih rasa bosan.

Sampai akhirnya waktu satu tahun terlampaui. Satu tahun! Dan naskah yang sedang saya kerjakan itu belum juga selesai!

Waktu itu, halaman naskah telah mencapai 800-an, dan saya tahu masih banyak hal yang harus dimasukkan ke dalamnya. Sekarang proses pengerjaannya telah memakan waktu satu tahun. Berapa lama lagi saya harus menyelesaikan naskah ini? Rasa bosan dan lelah kembali menyerang. Hasrat ingin berhenti kembali menggoda. Tapi ini sudah kepalang basah, dan saya pikir sungguh konyol kalau saya berhenti sekarang.

Akhirnya, dengan pikiran yang lelah, saya membulatkan tekad. Kalau memang pengerjaan naskah ini mengharuskan waktu bertahun-tahun, persetan, saya akan terus melakukannya! Tidak ada istri yang harus disayang-sayang, tidak ada anak yang harus dimanja-manja. Satu-satunya tanggung jawab hidup saya sekarang hanyalah menyelesaikan naskah itu!

Plato menghabiskan 14 tahun ketika menulis karya agungnya, Republic. Noah Webster bahkan menghabiskan lebih dari 60 tahun ketika menyusun kamus besarnya, Webster’s Dictionary. Kalau saya baru menghabiskan waktu 1 tahun, itu tidak ada apa-apanya dibanding mereka!

Maka saya pun kembali khusyuk menulis naskah itu. Dan, kali ini, bersama tekad membulat dan semangat membara, saya tak peduli lagi pada waktu. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, yang saya kerjakan cuma naskah itu. Sekarang pertambahan halamannya semakin cepat dari hari ke hari, dan saya makin bergairah. Akhirnya, naskah yang saya bayangkan mulai mewujud, dengan ketebalan lebih dari seribu halaman.

Tiba-tiba saya merasa telah memecahkan rekor!

Selama bertahun-tahun menulis buku, baru kali ini saya menulis naskah yang tebalnya lebih dari 1.000 halaman. Itu sesuatu yang benar-benar membuat saya bangga, karena akhirnya bisa menunjukkan pada diri sendiri bahwa saya bisa. Ketika akhirnya naskah itu selesai, semua rasa bosan dan lelah terasa hilang. Seperti masa kehamilan menyiksa yang telah sampai pada batas waktunya, tangis pertama sang bayi membuncahkan perasaan bahagia.

Lalu naskah itu pun masuk penerbit. Dan selanjutnya anak saya terlahir. Sekarang, naskah berjudul Buku Pintar Sejarah & Pengetahuan Dunia Abad 20 telah mewujud menjadi buku berukuran besar sekaligus tebal, dan sudah bisa didapatkan di toko-toko buku terkemuka di seluruh Indonesia.


Buku ini diterbitkan oleh Arruz Media, penerbit yang sebelumnya juga telah menerbitkan dua buku saya (Sains Sinting seri 1 dan 2). Sewaktu mendapatkan kiriman buku ini dari penerbitnya, saya merasa ingin menangis sambil tertawa. Ketika menyentuhnya, menciuminya, saya merasakan seperti sedang menghadapi anak saya yang paling hebat. Di antara buku-buku saya yang lain, buku ini tampak seperti raksasa. Oh well, saya sangat mencintainya!

Melalui buku ini, kita akan menyaksikan apa saja yang terjadi selama seratus tahun terakhir yang telah kita tinggalkan, untuk mengenang dan mempelajari apa saja yang telah diwariskan peradaban abad lalu kepada generasi sekarang. Seperti yang dikatakan Oliver Wendell Holmes, “Jika ingin mengerti apa yang terjadi hari ini atau mencoba memutuskan apa yang akan terjadi pada hari esok, saya harus menengok ke masa lampau.”

Ditambah sepuluh tahun di awal abad 21, buku ini akan membukakan banyak hal tentang apa saja yang perlu kita ketahui selama abad 20 dan awal abad 21. Mulai dari peperangan demi peperangan, penemuan-penemuan penting dalam banyak bidang, tokoh-tokoh terkenal, peristiwa-peristiwa besar yang layak dikenang, hingga kisah-kisah humanisme yang kini menjadi bagian dari sejarah.

Dipaparkan dengan menarik dan sistematis, buku besar yang padat pengetahuan ini akan menjadi teman belajar yang menyenangkan.

Noffret’s Note: Definisi

Kebijaksanaan adalah kemampuan melihat
satu masalah dari dua sudut pandang.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kesempatan adalah waktu yang kita sadari
sepenuhnya untuk digunakan. Kesempitan adalah
waktu yang hilang, atau terbuang.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kesadaran adalah kemampuan membedakan
segala hal yang memang bisa dibedakan, dan
memisah yang memang bisa dipisahkan.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kenangan adalah sesuatu yang kita ingat
karena kita ingin mengingatnya. Jika tidak,
itu bukan kenangan. Tapi bayang-bayang.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kedewasaan adalah kesadaran, kemauan, dan
kemampuan, untuk memilih meneruskan atau
meninggalkan, mengingat atau melupakan.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kebiasaan adalah perbuatan asing yang kita
lihat dan lakukan berulang-ulang. Kejanggalan
adalah hal biasa yang baru kita kenal.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kesendirian adalah kondisi seorang diri
yang kita inginkan. Kesepian adalah kondisi
terasing yang tidak kita harapkan.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kemuliaan adalah ketika kita berkesempatan
melemparkan lumpur yang sama pada orang lain
yang melemparkannya, namun tidak kita lakukan.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kegelapan adalah terang yang belum sampai.
Malam adalah waktu yang merangkak menjemput pagi.
—Twitter, 7 Desember 2012

Keindahan adalah segala hal di muka bumi
yang dibalut satu sifat bernama elegan.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kemungkinan adalah kepastian yang bisa berubah.
Kepastian adalah kemungkinan yang telah ditetapkan.
Ketetapan adalah pasti dan mungkin.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kecemburuan adalah ketidakmampuan menerima
kenyataan bahwa ternyata ada yang melebihi kita.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kesempurnaan adalah relativitas yang kita terima,
cacat yang tak terlihat, kekurangan yang tidak
kita rasakan, lubang yang tak tampak.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kemiskinan adalah segala hal yang kita anggap kurang.
Kekayaan adalah segala sesuatu yang tidak kita butuhkan.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kesulitan adalah hal biasa yang baru kita hadapi.
Kemudahan adalah hal sulit yang biasa kita temui.
Jauh selalu terasa di awal perjalanan.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kegelapan adalah sinar terang yang tertunda,
karena seusai malam selalu terbit cahaya.
—Twitter, 7 Desember 2012

Kesedihan adalah kebahagiaan yang tersakiti.
Kebahagiaan adalah kesedihan yang telah pergi.
—Twitter, 7 Desember 2012

Awal adalah akhir yang belum kita tahu. Kelahiran
adalah kematian yang belum sampai pada waktu.
—Twitter, 7 Desember 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

Twitter, 19 Januari 2013

“Tuhan, sebenarnya dia itu bag... ah, sudahlah, Tuhan. Kepalaku pusing. Kerjaan masih banyak, urusan masih numpuk, capek, dan ingin tidur.”

....
....

Kemudian, dalam tidur yang amat letih, aku bermimpi seolah-olah Tuhan berkata, “Kenapa tidak kautanyakan saja kepadanya?”

Aku terbangun, terkejut, dan tanpa sadar berbicara sendiri, “Aku tak berani, Tuhan. Aku selalu deg-degan setiap kali ingin melakukannya.”

Lalu aku memeluk guling, dan tertidur lagi. Karena masih letih.

Keesokan harinya, saat terbangun dari tidur, aku melihat timeline, ingin memastikan bahwa aku benar-benar menulis tweet itu.

Ternyata memang benar.

Meski aku ragu apakah benar Tuhan datang dalam mimpiku.

Yang jelas, aku masih deg-degan.

Sampai sekarang.

Kata-kata Paling Tidak Akademis Abad Ini

“Aku dibeliin rumah, ya.”

Senin, 02 September 2013

Memelihara Macan

Kejujuran dan integritas merayap seperti ular.
Kebohongan dan publisitas melesat seperti elang.
@noffret 


Dulu, pada 1990-an, aktor terkenal Jackie Chan pernah memelihara macan. Tepatnya anak macan. Dia mendapatkan anak macan itu dari sebuah kebun binatang, dan kemudian ia pelihara di rumah. Waktu itu, si anak macan masih kecil, seukuran kucing di kampung kita. Dan Jackie Chan memeliharanya dengan baik, menyediakan daging segar untuknya setiap hari, hingga si anak macan tumbuh besar.

Ketika anak macan itu sudah sebesar anjing dewasa, Jackie Chan kadang membawanya jalan-jalan. Tentu saja dengan rantai kuat yang mengikat leher si anak macan. Jadi, ketika para tetangganya jalan-jalan bersama anjing kesayangan mereka, Jackie Chan jalan-jalan dengan macan. Pemandangan itu pun selalu menarik perhatian, karena tidak setiap orang bisa asyik keluyuran dengan macan.

Kenyataannya, Jackie Chan juga harus memenuhi cukup banyak persyaratan hingga bisa memelihara anak macan. Pemerintah Daerah tempatnya tinggal memberi izin Jackie Chan untuk memelihara hewan berbahaya itu, dengan syarat Jackie Chan menyediakan kandang yang aman—benar-benar aman—sehingga si anak macan tidak sampai keluar tanpa pengawasan. Selain itu, Jackie Chan juga diwajibkan menyerahkan anak macan itu ke kebun binatang, jika si anak macan telah tumbuh cukup besar dan dikhawatirkan mulai sulit dipelihara.

Memelihara macan sangat berisiko. Berbeda dengan memelihara kucing atau anjing, macan memiliki insting liar yang sulit dijinakkan. Selain memiliki nafsu makan yang “mewah”, macan juga tidak peduli jika sewaktu-waktu harus menyerang pemilik atau pemeliharanya. Meski Jackie Chan telah memeliharanya sejak masih bayi, macan itu bisa saja menyerang dan mencabik-cabik Jackie Chan kapan pun, dengan alasan apa pun.

Macan adalah kucing besar dengan insting liar. Jika kucing rumahan yang telah dijinakkan sejak ribuan tahun lalu saja kadang masih sulit diatur, maka macan jauh lebih sulit diatur. Karenanya, Jackie Chan pun menuruti syarat yang ditetapkan untuknya, dan ia menyerahkan macan miliknya ke kebun binatang, setelah si macan tampak mulai liar dan mulai sulit dipelihara. Di kebun binatang, macan itu akhirnya hidup di bawah pengawasan pawang yang benar-benar ahli dalam mengurus macan.

Jika kita memelihara anjing sejak kecil, hampir bisa dipastikan anjing itu akan jinak dan setia kepada kita. Di dunia ini, anjing adalah teman paling setia yang bisa didapatkan manusia. Meski kadang anjing juga menggigit pemiliknya, tapi jarang sekali kita mendengar ada anjing yang membunuh tuannya. Dalam hal kesetiaan, anjing adalah hewan peliharaan ideal.

Kucing juga jinak pada pemiliknya, khususnya kucing-kucing beradab yang akademis—maksudnya bukan kucing garong. Kalau kita memelihara kucing, apalagi sejak kecil, biasanya kucing itu akan jinak dan senang tinggal di rumah kita. Bahkan jika dia sudah benar-benar nyaman di rumah kita, dia tidak mau disuruh pergi. Umpama kita sudah bosan dengannya, kemudian membuangnya ke tempat jauh, kucing itu tahu jalan pulang, dan sampai lagi di rumah kita.

Berbeda dengan macan. Tak peduli kita telah memeliharanya sejak bayi, macan itu tetap berbahaya ketika mulai tumbuh besar. Tak peduli kita telah menghidupinya sejak kecil, memberinya makan setiap hari, macan tetap berpotensi menyerang pemiliknya. Ketika masih kecil, anak macan memang tampak jinak. Ia bisa dielus-elus, diajak jalan-jalan, dan tampak menyenangkan dijadikan kawan. Tetapi, ketika ia mulai tumbuh besar dan dewasa, sifat aslinya mulai keluar, naluri liarnya mulai tampak, dan bahaya siap menyerang pemiliknya.

Karenanya, memelihara macan bukan pilihan yang baik, ia bahkan pilihan yang buruk dan berbahaya. Karenanya pula, Jackie Chan pun memilih menyerahkan macan piaraannya ke kebun binatang setelah si macan mulai sulit diatur.

Padahal, Jackie Chan bukan orang sembarangan. Ketika bermain film action, dia satu-satunya aktor yang tidak mau digantikan stuntman ketika melakukan adegan-adegan berbahaya. Artinya, dia benar-benar menjalani aksi gila-gilaan dalam filmnya—jatuh bangun, berdarah-darah, bahkan patah tulang. Konon, Jackie Chan adalah orang yang paling sering mengalami patah tulang di dunia ini, akibat kenekatannya dalam film. Karena “rekor” itu pula, tidak ada perusahaan asuransi yang mau menerima pengajuan asuransi dari Jackie Chan.

Tetapi bahkan sebegitu pun, Jackie Chan tetap menyadari bahwa memelihara macan sungguh riskan dan berbahaya—bagi dirinya sendiri, juga bagi orang lain. Kalau Jackie Chan saja khawatir memelihara macan, sepertinya sangat bodoh kalau kita mencobanya.

Nah, bertahun-tahun lalu, ada sekelompok jenderal di Indonesia yang bertemu dan membicarakan rencana memelihara macan. Tujuan semula, macan peliharaan itu akan digunakan untuk menjalankan aksi-aksi tertentu yang tidak bisa mereka lakukan secara langsung. Dengan menggunakan macan peliharaan, pikir mereka, beberapa hal bisa dilakukan oleh si macan, dan tangan mereka tetap bersih.

Jadi begitulah. Rencana itu dimatangkan, dan macan mulai dipelihara, diberi makan, diberi pengarahan, dan dimulailah aksi-aksi si macan. Ketika macan itu mulai bertingkah di berbagai tempat, orang-orang mulai terganggu, dan melaporkan perbuatan macan itu ke polisi. Tapi kepolisian di mana pun tidak ada yang menangkap macan itu, hingga si macan terus leluasa melakukan apa pun yang diinginkannya.

Semakin dewasa si macan, aksi-aksi dan perbuatannya makin berbahaya—namanya juga macan. Ketika sampai pada tahap itu, beberapa jenderal yang dulu memeliharanya mulai khawatir. Mereka berusaha mengendalikan si macan. Tapi mereka lupa, bahwa macan adalah binatang liar dengan insting liar yang sulit dijinakkan apalagi ditundukkan. Sekali ia tumbuh besar, ia menjadi berbahaya.

Sekarang, macan itu telah benar-benar besar. Aksi-aksinya semakin liar, perbuatannya semakin brutal, dan ia semakin sulit ditundukkan. Dan, mungkin, karena merasa dirinya macan, binatang itu pun menyerang apa pun yang ingin diserangnya, menggigit apa pun yang ingin digigitnya, dan perlahan namun pasti merasa dirinyalah sang penguasa. Oh, well, bukan hanya itu. Lama-lama, macan itu merasa dirinyalah yang paling benar, dan yang berbeda dengannya pasti salah.

Maka si macan sekarang bukan lagi hewan buas yang berbahaya, ia juga menganggap dirinya sang pemilik kebenaran tunggal. Bagi si macan, hanya ada dua opsi di negeri ini. Opsi pertama mengikuti jalan mereka dan menjadi teman, atau opsi kedua menolak klaim mereka dan menjadi lawan. Tidak ada toleransi bagi si macan, karena kebenaran telah menjadi monopoli mereka.

Sebagaimana macan di hutan sulit ditundukkan ketika telah besar, macan di negeri kita juga begitu. Sudah ratusan atau bahkan jutaan kali macan yang mengganggu itu dilaporkan ke polisi atas perbuatan-perbuatan mereka yang mengganggu, tapi hasilnya sering kali tak jelas. Sementara itu, si macan makin buas, makin liar, makin sulit ditundukkan, dan korban-korban terus berjatuhan.

Apa pun bentuknya, memelihara macan sungguh berbahaya.

Tetapi, rupanya, ada orang-orang yang tidak belajar dari kenyataan itu. Alih-alih menghindari perbuatan yang sama, ada beberapa orang yang justru mengulang kebodohan yang sama. Mereka memelihara macan.

Semula, macan-macan peliharaan itu memang tampak jinak dan menyenangkan. Mereka mengaum dengan ramah, dan orang-orang tidak takut mendekatinya karena macan-macan itu tampak jinak. Tetapi dasar macan, ia tetap hewan liar dengan insting menyerang. Ketika merasa telah dewasa dan kuat, macan-macan itu pun mulai sulit dikendalikan, bahkan oleh pemeliharanya. Sekarang, macan-macan itu mengaum dengan galak, sehingga orang-orang khawatir.

Yang lebih mengkhawatirkan, macan-macan itu sekarang juga tahu bagaimana menjual aumannya. Mereka akan mengaum kepada orang-orang tertentu yang ditujunya. Jika orang yang dituju memberinya makan, mereka akan berhenti mengaum. Jika orang yang dituju tidak mau mengurusi mereka, macan-macan itu pun tidak hanya mengaum, tetapi juga menggigit, dan mencabik-cabik.

Orang-orang resah dengan perbuatan macan-macan itu. Tetapi, sebagaimana macan yang dulu, macan peliharaan yang sekarang pun sama sulitnya ditundukkan. Berkali-kali penyerangannya dilaporkan, tapi tak pernah ada tindakan. Berkali-kali orang yang menjadi korban si macan mengadukan ke pihak berwenang, tapi tetap tidak ada kejelasan.

Dalam hal macan, yang menjadi masalah mungkin bukan hanya macannya, melainkan juga siapa pemeliharanya. Macan yang benar-benat liar mungkin tinggal dibunuh dan selesai. Tapi macan liar yang dipelihara agak repot mengurusnya, karena ada birokrasi panjang yang harus ditempuh, sepanjang jalan setapak di hutan gelap.

Macan di hutan memang berbahaya. Tetapi, rupanya, macan di kota jauh lebih berbahaya. Macan di hutan hanya sibuk mencari makan, macan di kota juga sibuk mencari uang.

Noffret’s Note: Berhala

Kita lebih mudah mempercayai kebohongan
yang dikatakan berulang-ulang,
daripada menerima kebenaran yang asing.
—Twitter, 17 Juli 2012

Lebih banyak dusta yang kita percaya
karena dibungkus dengan indah,
dibanding kebenaran yang tampak lusuh.
—Twitter, 17 Juli 2012

Seperti selokan kotor di pinggiran kota,
kenyataan sering tampak tepat di depan mata.
Tetapi kita menutup hidung, atau memejamkan mata.
—Twitter, 17 Juli 2012

Kita hidup di zaman ketika berhala lebih
dihormati dibanding manusia, ketika dusta
disembah di atas altar pencitraan.
—Twitter, 17 Juli 2012

Yang penting di zaman ini bukan benar atau salah,
tapi pencitraan yang tepat, sehingga bajingan
bisa tampak seperti pahlawan.
—Twitter, 17 Juli 2012

Animisme sedang berulang. Berhala kembali disembah.
Dan, kali ini, berhala itu bernama pencitraan,
spektrum media, dan gaya tanpa dosa.
—Twitter, 17 Juli 2012

Ironisnya, kemunafikan berteriak lantang, sementara
kebenaran diam di kegelapan. Kebohongan
menyanyi bising, kemurnian memeluk hening.
—Twitter, 17 Juli 2012

Pencitraan itu seperti lagu cinta. Enak didengar,
tetapi palsu. Kemurnian seperti api. Menerangi
gelap, tapi tak ada yang mendekati.
—Twitter, 17 Juli 2012

Seperti kosmetik menutupi koreng luka dan kulit
belang-belang, orang butuh pencitraan
karena berdiri di atas limbah busuk kebohongan.
—Twitter, 17 Juli 2012

Dan pencitraan paling murah sekaligus paling murahan
adalah... well, kau tahu, sikap seolah paling suci di muka bumi.
—Twitter, 17 Juli 2012

Jadi inilah berhala di zaman kita. Yang kita hormati bahkan
jilati muntahannya, hanya karena dia bernama “Siapa”.
—Twitter, 17 Juli 2012

Angin yang menggerakkan pohon,
ataukah pohon yang menggerakkan angin?
Di zaman kita, jawabannya tergantung media.
—Twitter, 17 Juli 2012

Telur lebih dulu, ataukah ayam lebih dulu?
Bagi kebanyakan orang, jawaban yang benar
tergantung siapa yang mengatakan.
—Twitter, 17 Juli 2012

Dunia kita menepiskan gembel yang menyatakan
kebenaran, dan lebih suka mendengarkan raja
yang memuntahkan kebohongan.
—Twitter, 17 Juli 2012

Dan akhirnya, Saudara-saudara, mari kita lihat
para berhala yang sibuk memberhalakan dirinya.
—Twitter, 17 Juli 2012

Maaf, Tuan Berhala, aku lebih tertarik pada manusia.
—Twitter, 17 Juli 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Noffret’s Note: Kebohongan

Kalau kita semua berasal dari sejarah yang sama
penuh kebohongan, sungguh aneh setiap kali
melihat ada orang saling menyalahkan.
—Twitter, 7 Januari 2013

Kalau kita bisa tertawa bangga ketika melihat
kebohongan pihak lain dibongkar, kenapa sikap
kita beda jika itu terjadi pada kebohongan kita?
—Twitter, 7 Januari 2013

“Sejarah ditulis oleh pemenang,” katanya. Kini aku
mulai khawatir sejarah juga menjadi induk kebohongan,
dan semua orang hanyalah korban.
—Twitter, 7 Januari 2013

Yang mengerikan hidup pada zaman kita adalah
kenyataan bahwa setiap orang berusaha berdamai
dengan kebohongan, atau berjalan di dalamnya.
—Twitter, 7 Januari 2013

Aku khawatir peradaban kita hanyalah collateral,
korban tak diinginkan dari kebohongan yang dibuat
berabad-abad silam. Dan itu mengerikan.
—Twitter, 7 Januari 2013

Di zaman ketika kebohongan menjadi udara,
orang-orang bernapas di dalamnya. Yang paling licik
adalah para penjual dan penjaja kebohongan.
—Twitter, 7 Januari 2013


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Pelajaran Hidup dari Zaman Adam Sampai Akhir Zaman

Kalau kita bisa hidup dengan baik tanpa mengganggu apalagi merugikan orang lain, maka itulah kehidupan terbaik.

 
;