Jumat, 13 September 2013

Anak Saya Telah Lahir

Tahukah kau, mengapa aku begitu menyayangimu,
lebih dari yang lain? Karena kau menulis.
Suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi,
sampai jauh, jauh di kemudian hari...
—Pramoedya Ananta Toer


Catatan ini sebenarnya sudah saya siapkan dua minggu yang lalu. Namun, karena kondisi badan sedang tidak sehat, baru sekarang saya bisa mempostingnya di blog ini. Selama dua minggu kemarin, karena tubuh yang lemah, saya hanya bisa berbaring-baring di atas tempat tidur, tidak bisa menulis, malas nge-tweet, dan menghabiskan hari-hari hanya dengan membaca buku sambil bersandar pada bantal.

Untungnya, selama sakit itu, saya punya hiburan yang menyenangkan hati, yaitu kelahiran anak yang telah saya nanti-nantikan selama ini. Ya, anak saya telah lahir! Berikut ini wujudnya.


Dalam bingkai sejarah kontemporer, abad 20 menjadi abad yang penting sekaligus berpengaruh dalam peradaban dan kehidupan manusia zaman sekarang, karena di abad itulah berbagai macam peristiwa besar terjadi, orang-orang berpengaruh lahir dan mati, berbagai alat dan teknologi penting ditemukan, dan negara-negara di berbagai belahan dunia meraih kemerdekaan.

Sejarawan Eric Hobsbawm, penulis buku The Age of Extremes, bahkan menyebut abad 20 sebagai abad yang singkat, karena begitu banyaknya peristiwa yang muncul, serta begitu cepatnya perkembangan peradaban manusia terjadi di segala bidang selama abad tersebut.

Di abad 20, Perang Dunia I dan II meletus, yang memberikan pengaruhnya hingga di masa sekarang. Di abad 20 pula, berbagai penemuan penting dalam bidang kesehatan ditemukan—dari vaksin antipolio, vitamin, aspirin, transfusi darah, transplantasi organ, sampai pil antihamil, plester luka, dan pembalut wanita. Di dunia hiburan, abad 20 menjadi saksi lahirnya The Beatles, Superman, James Bond, dan ikon-ikon lain yang kemudian menjadi legenda.

Teknologi-teknologi canggih juga banyak ditemukan dan diciptakan selama abad 20. Dari kalkulator, radio, televisi, komputer, hingga telepon, ponsel, dan internet, yang menjadikan dunia semakin kecil, batas ruang dan waktu makin menipis. Di abad 20, satelit mulai diciptakan, kendaraan, kapal, radar, dan pesawat-pesawat canggih dibuat, serta untuk pertama kalinya manusia sampai di Bulan.

Pentingnya abad 20 itu pula yang lalu mencetuskan gagasan di kepala saya untuk menulisnya dalam sebuah buku, agar menjadi semacam album yang bisa dinikmati tanpa lekang waktu. Sejak pertama kali muncul, ide itu begitu menggoda, hingga saya sempat tak bisa tidur memikirkannya. Tiap malam saya membayangkan bagaimana konsep penulisannya, mereka-reka alur dan kronologinya, hingga perlahan namun pasti ide itu mulai mengkristal. 

Ketika akhirnya kristal ide itu semakin jelas, dan saya mulai menemukan konsep penulisan yang tepat, saya menghadapi kendala yang sebelumnya tak pernah terbayang. Ide itu membutuhkan riset terhadap ribuan data, dan itu artinya saya harus tenggelam dalam lautan kisah, fakta, peristiwa, dan data lain yang pasti tak terhitung banyaknya. Bahkan sebelum mulai menulisnya, kepala saya sudah pening.

Tapi ide itu benar-benar menggoda, dan ia seperti terus memanggil-manggil saya untuk menuliskannya. Maka, suatu hari, lebih dari dua tahun yang lalu, saya mulai menulis halaman pertama yang kemudian menjadi naskah paling tebal—dan paling memusingkan—yang pernah saya kerjakan. Sebegitu berat penggarapannya, hingga saya nyaris memutuskan untuk berhenti di tengah jalan.

Yang membuat proses penggarapan naskah ini sangat berat, karena saya harus berhadapan dengan tumpukan data—kisah, peristiwa, sejarah—yang terentang selama seratus tahun sepanjang abad 20. Selama seratus tahun itu, tentunya tak terhitung banyaknya kisah dan peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi, tokoh-tokoh penting yang lahir dan mati, serta berbagai penemuan dari bidang kesehatan sampai teknologi.

Menghadapi lautan data itu, saya harus memilah dan memilih mana yang layak untuk ditulis, dan mana yang sebaiknya diabaikan. Itu memerlukan ketekunan membaca, dan kecermatan riset tingkat dewa. Dan, oh well, itu sungguh memusingkan kepala!

Tapi “kepusingan” itu belum selesai. Setelah hampir mati tenggelam di lautan data, dan akhirnya bisa memilah mana yang layak diambil dan mana yang sebaiknya dibuang, saya menghadapi pekerjaan berat berikutnya. Yaitu menyusun semua data yang terseleksi agar semuanya runtut dan kronologis. Setelah itu selesai, saya masuk pada pekerjaan berat selanjutnya, yaitu mengubah tumpukan data membosankan itu menjadi tulisan yang enak dibaca. Dalam hal ini, saya benar-benar harus mengerahkan semua kemampuan menulis saya.

Jadi begitulah. Dari hari ke hari saya terus khusyuk mengerjakan naskah itu, paragraf demi paragraf, alinea demi alinea, lembar demi lembar, hingga perlahan namun pasti jumlah halamannya terus merangkak naik. Saat mencapai 300-an halaman, rasa bosan mulai menyerang. Itu gejala yang biasa dialami banyak penulis, khususnya para penulis yang jarang menulis naskah tebal, seperti saya.

Rata-rata, ketebalan naskah mencapai final setelah memasuki 200-300 halaman. Meski tidak ada aturan baku mengenai hal itu, tapi banyak penulis yang mulai lelah dan bosan setelah naskah yang dikerjakannya memasuki halaman 300-an. Karenanya pula, rata-rata buku yang ditulis para profesional memiliki jumlah naskah setebal itu.

Tapi naskah yang sedang saya garap ini tampaknya masih jauh dari final, meski halamannya telah memasuki angka 300-an. Dalam bayangan saya waktu itu, sepertinya naskah ini masih membutuhkan ratusan halaman lagi, dan saya tidak yakin kapan akan selesai. Di satu sisi, saya menjadikan penulisan naskah ini sebagai tantangan bagi diri saya sendiri. Di sisi lain, saya kadang merasa tersiksa akibat rasa lelah dan bosan yang kerap menyerang.

Ketika jumlah halamannya mencapai 500-an, lelah dan bosan semakin menjadi-jadi. Sementara pengerjaan naskah itu telah memakan waktu berbulan-bulan, dan tampaknya masih lama untuk selesai. Pada waktu-waktu itulah saya kadang ingin menghentikan penulisan naskah itu, karena merasa tak sanggup meneruskannya.

Tetapi, setiap kali keinginan itu muncul, suara di kepala saya seperti mengingatkan, “Ini pertama kali bagimu mengerjakan naskah yang sangat tebal. Segala hal yang pertama memang sering sulit dan mengesalkan. Tapi kalau kau tidak mau mencobanya, kapan kau akan bisa? Ayolah, teruskan naskahmu. Tunjukkan pada dirimu sendiri kalau kau bisa, tak peduli berapa pun lamanya, tak peduli seperti apa pun sulitnya!”

Maka saya pun meneruskan. Lembar demi lembar lagi. Paragraf demi paragraf lagi. Alinea demi alinea lagi. Dan bulan demi bulan berganti, halaman naskah itu semakin bertambah. Sering kali, setiap kali mulai merasa bosan, saya menghibur diri dengan membaca timeline di Twitter, dan menulis tweet-tweet iseng. Di waktu-waktu itu pula, saya terus menulis catatan untuk blog ini, sebagai pengalih rasa bosan.

Sampai akhirnya waktu satu tahun terlampaui. Satu tahun! Dan naskah yang sedang saya kerjakan itu belum juga selesai!

Waktu itu, halaman naskah telah mencapai 800-an, dan saya tahu masih banyak hal yang harus dimasukkan ke dalamnya. Sekarang proses pengerjaannya telah memakan waktu satu tahun. Berapa lama lagi saya harus menyelesaikan naskah ini? Rasa bosan dan lelah kembali menyerang. Hasrat ingin berhenti kembali menggoda. Tapi ini sudah kepalang basah, dan saya pikir sungguh konyol kalau saya berhenti sekarang.

Akhirnya, dengan pikiran yang lelah, saya membulatkan tekad. Kalau memang pengerjaan naskah ini mengharuskan waktu bertahun-tahun, persetan, saya akan terus melakukannya! Tidak ada istri yang harus disayang-sayang, tidak ada anak yang harus dimanja-manja. Satu-satunya tanggung jawab hidup saya sekarang hanyalah menyelesaikan naskah itu!

Plato menghabiskan 14 tahun ketika menulis karya agungnya, Republic. Noah Webster bahkan menghabiskan lebih dari 60 tahun ketika menyusun kamus besarnya, Webster’s Dictionary. Kalau saya baru menghabiskan waktu 1 tahun, itu tidak ada apa-apanya dibanding mereka!

Maka saya pun kembali khusyuk menulis naskah itu. Dan, kali ini, bersama tekad membulat dan semangat membara, saya tak peduli lagi pada waktu. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, yang saya kerjakan cuma naskah itu. Sekarang pertambahan halamannya semakin cepat dari hari ke hari, dan saya makin bergairah. Akhirnya, naskah yang saya bayangkan mulai mewujud, dengan ketebalan lebih dari seribu halaman.

Tiba-tiba saya merasa telah memecahkan rekor!

Selama bertahun-tahun menulis buku, baru kali ini saya menulis naskah yang tebalnya lebih dari 1.000 halaman. Itu sesuatu yang benar-benar membuat saya bangga, karena akhirnya bisa menunjukkan pada diri sendiri bahwa saya bisa. Ketika akhirnya naskah itu selesai, semua rasa bosan dan lelah terasa hilang. Seperti masa kehamilan menyiksa yang telah sampai pada batas waktunya, tangis pertama sang bayi membuncahkan perasaan bahagia.

Lalu naskah itu pun masuk penerbit. Dan selanjutnya anak saya terlahir. Sekarang, naskah berjudul Buku Pintar Sejarah & Pengetahuan Dunia Abad 20 telah mewujud menjadi buku berukuran besar sekaligus tebal, dan sudah bisa didapatkan di toko-toko buku terkemuka di seluruh Indonesia.


Buku ini diterbitkan oleh Arruz Media, penerbit yang sebelumnya juga telah menerbitkan dua buku saya (Sains Sinting seri 1 dan 2). Sewaktu mendapatkan kiriman buku ini dari penerbitnya, saya merasa ingin menangis sambil tertawa. Ketika menyentuhnya, menciuminya, saya merasakan seperti sedang menghadapi anak saya yang paling hebat. Di antara buku-buku saya yang lain, buku ini tampak seperti raksasa. Oh well, saya sangat mencintainya!

Melalui buku ini, kita akan menyaksikan apa saja yang terjadi selama seratus tahun terakhir yang telah kita tinggalkan, untuk mengenang dan mempelajari apa saja yang telah diwariskan peradaban abad lalu kepada generasi sekarang. Seperti yang dikatakan Oliver Wendell Holmes, “Jika ingin mengerti apa yang terjadi hari ini atau mencoba memutuskan apa yang akan terjadi pada hari esok, saya harus menengok ke masa lampau.”

Ditambah sepuluh tahun di awal abad 21, buku ini akan membukakan banyak hal tentang apa saja yang perlu kita ketahui selama abad 20 dan awal abad 21. Mulai dari peperangan demi peperangan, penemuan-penemuan penting dalam banyak bidang, tokoh-tokoh terkenal, peristiwa-peristiwa besar yang layak dikenang, hingga kisah-kisah humanisme yang kini menjadi bagian dari sejarah.

Dipaparkan dengan menarik dan sistematis, buku besar yang padat pengetahuan ini akan menjadi teman belajar yang menyenangkan.

 
;