Minggu, 27 Oktober 2013

Ironi

Kebohongan adalah kejujuran yang tertunda.
@noffret


Seusai acara malam itu, bocah-bocah bergerombol di berbagai sudut—ada yang update status di media sosial, ada yang asyik ngobrol, ada yang saling berkenalan dengan bocah lain yang masih asing, ada pula yang bengong sambil merokok sendirian. Beberapa yang lain langsung menuju ke kamarnya untuk tidur, karena malam telah larut. Sementara yang lain lagi tampak khusyuk mempelajari berkas-berkas di tangannya.

Di satu sudut, saya duduk berdua dengan seorang bocah yang sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya. Tampaknya dia sedang mengecek e-mail, sementara saya asyik merokok dan membiarkan dia sibuk dengan aktivitasnya.

Setelah membalas beberapa e-mail yang masuk, bocah itu mencolek bahu saya, dan berkata, “Kenal ini?”

Saya menoleh ke arah laptop di pangkuannya, dan laman Twitter tampak terhampar di layar. Bocah itu menunjuk sebuah akun di Twitter. Saya tahu akun itu, dan itu pula yang saya katakan padanya.

Bocah itu mengangguk. “Mau dengar sesuatu yang ironis?”

“Sure,” saya menjawab.

Dia menceritakan, “Dulu, kami saling follow di Twitter, karena memang kenal—secara normatif. Kami menjalin kerjasama, dan semua berjalan baik-baik saja. Sampai suatu hari, aku mendapati mereka—pemilik akun itu—melakukan kecurangan terhadap kerjasama kami. Aku langsung tahu fakta itu, tapi semula kudiamkan. Kupikir, mungkin mereka akan menjelaskan perbuatannya kepadaku, memberi alasan yang masuk akal, jadi aku pun tidak mau asal tuduh.”

Saya masih mendengarkan.

Bocah itu melanjutkan, “Tapi mereka—pemiliki akun itu—tak pernah memberi penjelasan apa pun. Anehnya, tidak lama setelah kecurangan yang kuceritakan tadi, akun itu meng-unfollow aku di Twitter. Tanpa sebab apa-apa. Dan mereka tetap tidak memberikan penjelasan apa pun mengenai kecurangan yang dilakukannya terhadap kerjasama kami.”

“Dan kamu tetap mendiamkan saja?” tanya saya, setelah mengembuskan asap rokok.

“Semula, ya. Setelah kutunggu cukup lama, dan mereka tetap tidak memberi penjelasan apa-apa, aku mencoba mengubungi, pura-pura menawarkan kerjasama baru. Aku tak menyinggung sedikit pun mengenai kecurangan yang mereka lakukan—kupikir biarlah mereka sendiri yang membukanya, agar kami masing-masing lebih nyaman.”

Saya mengangguk, memahami maksudnya, dan menghargai sikapnya.

Dia meneruskan, “Tapi mereka tetap bungkam, tidak menjelaskan apa pun perihal kecurangan itu. Lalu aku mencoba bertanya mengenai sesuatu yang mereka lakukan, dan kau tahu bagaimana reaksi mereka? Bukannya langsung menjawab atau memberi penjelasan, mereka justru pura-pura tak tahu! Lucunya, tanpa kuminta, mereka kemudian memberi penjelasan yang isinya dalih yang seolah membenarkan kecurangan yang mereka lakukan kepadaku.”

“Tunggu—aku belum memahami maksudmu.”

“Begini,” bocah itu menjelaskan dengan sabar, “dalam kerjasama yang kami lakukan, kami terikat oleh kontrak yang disepakati bersama. Nah, mereka melakukan sesuatu yang tidak terdapat dalam kontrak, atau belum diatur dalam kontrak yang mengikat kerjasama kami waktu itu. Dari sudut pandang hukum dan profesional, kira-kira apa yang seharusnya mereka lakukan jika akan melakukan hal semacam itu?”

“Konfirmasi,” saya menjawab, “mereka melakukan konfirmasi kepadamu, atas sesuatu yang akan mereka lakukan.”

“Exactly!” sahutnya. “Dan mereka tidak melakukan itu! Mereka langsung melakukan sesuatu yang jelas-jelas tidak diatur dalam kontrak kami, dan yang mereka lakukan jelas-jelas merugikanku. Tanpa konfirmasi, tanpa pemberitahuan, dan kemudian pura-pura tak tahu ketika kusinggung soal itu. Mungkin mereka pikir aku tidak akan tahu. Dan itu sungguh membuatku tertawa. Hari gini, apa yang tidak bisa kita investigasi?”

“Jadi, apa yang kemudian kamu lakukan?”

“Seperti yang kubilang tadi, aku tetap pura-pura tak tahu kecurangan mereka, dan rupanya sikapku justru membuat mereka kelabakan. Mungkin, mereka menunggu aku bertanya mengapa mereka melakukan hal itu, dan kemudian mereka akan menjawab. Tapi aku sengaja tak bertanya.”

Setelah meneguk air di gelasnya, dia berkata, “Dan, kau tahu? Orang selalu dikejar perasaan bersalahnya sendiri. Mereka tahu perbuatan mereka salah, karena telah mencurangi aku, merugikanku. Karena aku tidak juga menegur kesalahan itu, mereka justru kebingungan. Kapan saja terjadi komunikasi di antara kami, mereka terus berusaha menyodorkan penjelasan yang isinya dalih pembenaran atas kecurangan yang telah mereka lakukan terhadapku. Aku tetap diam, pura-pura tidak paham, dan mereka terus berusaha menyodorkan dalih sialan itu.”

Saya berusaha mencerna penjelasannya. Kemudian, dengan asap mengepul dari mulut, saya berkata perlahan-lahan, “Well, dari mana kamu tahu kalau penjelasan yang mereka berikan itu dalih untuk membenarkan perbuatan yang telah mereka lakukan?”

“Pertanyaan bagus!” sahutnya. “Orang yang menjalin kerjasama dengan mereka bukan cuma aku.” Setelah itu dia menyebutkan sederet nama yang semuanya juga saya kenal.

“Nah,” dia melanjutkan, “aku bertanya pada teman-teman kita yang juga menjalin kerjasama dengan mereka, adakah yang mendapat penjelasan seperti yang diberikan kepadaku? Tidak—tidak satu pun dari teman kita yang menerima penjelasan seperti yang kuterima. Apa artinya itu? Sangat gamblang! Karena kecurangan itu hanya dilakukan terhadapku, maka hanya aku yang menerima penjelasan yang sebenarnya dalih itu. Mungkin, kalau ada orang lain yang juga mereka curangi, mereka juga akan memberikan penjelasan atau dalih yang sama untuk membenarkan kecurangan mereka.”

Saya mengangguk-anggukkan kepala, memahami maksud penjelasannya. “Sampai sekarang mereka tetap belum menjelaskan... well, perbuatan yang mereka lakukan kepadamu?”

“Belum,” dia menjawab. “Dan itulah lucunya. Alih-alih bertanggung jawab secara profesional dengan memberikan penjelasan agar kami sama-sama nyaman, mereka justru melakukan perbuatan yang sangat tolol. Mula-mula, seperti yang kuceritakan tadi, mereka meng-unfollow aku di Twitter. Mungkin karena khawatir aku memuntahkan kemarahan di Twitter. Kemudian, ketika aku mencoba menyinggung kecurangan yang telah mereka lakukan, mereka pura-pura tak tahu. Setelah itu, bukannya memberi klarifikasi atau bahkan minta maaf, mereka justru menyodorkan penjelasan yang sama sekali tak kuminta—penjelasan yang isinya dalih untuk membenarkan kecurangan mereka.”

Rokok saya habis. Saya mematikan puntung rokok di asbak, meneguk air, dan menunggu dia kembali melanjutkan.

“Lucu, kalau diingat-ingat,” dia berkata sambil tersenyum ironis. “Seseorang sengaja mencurangimu, dan kamu pura-pura tak tahu. Karena merasa bersalah, dia jadi tidak tenang. Tetapi, bukannya minta maaf, dia justru sibuk mengarang dalih yang terus disodor-sodorkan kepadamu, dengan tujuan kamu memaklumi perbuatannya. Padahal, kalian sama-sama tahu telah terjadi kecurangan di sini, dan dia tetap tidak tenang selama kamu masih bungkam. Lucu, karena kamu yang dirugikan, tapi dia yang tidak tenang.”

Kalimat terakhir itu terus terngiang-ngiang di telinga saya. Lucu, karena kamu yang dirugikan, tapi dia yang tidak tenang.

Bocah itu benar. Tidak ada yang lebih menyiksa di dunia ini selain perasaan bersalah karena menyadari telah merampas hak milik orang lain. Tak peduli ditutupi dalih apa pun, hati kecil manusia tetap jujur—bahwa kesalahan tetap kesalahan, dan kecurangan tetap kecurangan, meski ditutupi dalih atau alasan pembenaran apa pun.

Sering kali, penjahat tidak mati karena dibalas korbannya—mereka mati perlahan-lahan disiksa perasaan bersalahnya.

Noffret’s Note: Kapan Kawin?

“Kapan kawin? Kawin Kapan?” |
Yang mau kawin aku, kok kamu yang pusing?
—Twitter, 2 Oktober 2012

“Kapan kawin? Kawin Kapan?” |
Kalau sekarang aku kawin, terus kamu mau apa?
—Twitter, 2 Oktober 2012

“Kapan kawin? Kawin Kapan?” |
Emang penting, gitu?
Sampai ditanya-tanyain melulu?
—Twitter, 2 Oktober 2012

“Kapan kawin? Kawin Kapan?” |
Hari gini masih ngeributin urusan kawin
orang lain? Kasiaaaaan deh lu!
—Twitter, 2 Oktober 2012

“Kapan kawin? Kawin Kapan?” |
Hari gini masih ngeributin urusan kawin
orang lain? Pengangguran banget!
—Twitter, 2 Oktober 2012

“Kapan kawin? Kawin Kapan?” |
Kalau aku kawin sekarang, dan hidupku
jadi sengsara, kamu mau tanggung jawab?
—Twitter, 2 Oktober 2012

“Kapan kawin? Kawin Kapan?” |
Nanti, nunggu kamu cerai!
—Twitter, 2 Oktober 2012

“Kapan kawin? Kawin Kapan?” |
Dih, kalau hidupmu sengsara,
jangan ngajak-ngajak orang lain, dong!
—Twitter, 2 Oktober 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

Hari yang Aneh

Bocah itu sedang melangkah di trotoar yang sepi, ketika seorang lelaki menghentikannya, dan menyapa dengan sopan.

“Maafkan saya,” kata lelaki itu. “Apakah Anda hutan?”

“Apa?” Si bocah terkejut.

“Apakah Anda hutan?” Si lelaki mengulangi pertanyaannya.

“Saya hutan?” sahut si bocah. “Bukan! Saya orang.”

Lalu si lelaki berpaling ke dinding di sebelahnya, dan berkata lirih pada dinding, “Dia orang.”

Si bocah melanjutkan perjalanan. Hari yang aneh, pikirnya.
 
Minggu, 20 Oktober 2013

10 Aktor Hollywood yang Filmnya Selalu Saya Tonton

 Nonton film, kalau aktingnya gak meyakinkan, 
rasanya seperti dibohongi terang-terangan.


Mungkin kebanyakan orang—bahkan teman-teman saya—mengira hobi saya baca buku. Salah! Hobi saya nonton film. Membaca buku, bagi saya, bukan hobi. Tapi kebutuhan. Bahkan primer. Karena itu, saya tidak bisa tidak membaca buku—itu sudah jadi kebutuhan seperti saya butuh makan dan bernapas. Saya bisa mati kalau tidak membaca buku.

Nah, di sela-sela mengerjakan kebutuhan (membaca buku), saya juga kadang meluangkan waktu untuk menikmati hobi (menonton film). Kesukaan saya sih film action. Atau fantasi. Atau drama, jika ceritanya benar-benar bagus atau diperankan aktor/aktris favorit saya.

Menyangkut aktor, ada cukup banyak aktor Hollywood yang saya sukai, jumlahnya mungkin lebih dari 40. Namun, ketika menulis catatan ini, saya sengaja membatasi dan memilih 10 yang benar-benar saya sukai, yang film-filmnya selalu saya tunggu. Berikut ini hasilnya—saya tulis secara alfabetis berdasarkan nama mereka. Mungkin ada satu dua aktor yang juga favoritmu dalam daftar ini.


Brandon Routh


Bagi saya, Brandon Routh adalah cowok paling keren sedunia. Bocah ini seperti tidak lahir di Bumi, tapi... di Crypton! Oh, well, kenyataannya, saya “jatuh hati” kepadanya setelah dia berperan sebagai Superman dalam film Superman Returns. Meski banyak orang bilang Christopher Reeve atau Henry Cavill adalah pemeran terbaik untuk Superman, tapi pilihan saya jatuh pada Brandon Routh. Cowok ini tidak hanya tampan, tapi juga kalem dan elegan.

Yang mengagumkan, Brandon Routh tidak hanya keren dalam film, tapi juga di luar film. Saya telah memperhatikan ratusan foto cowok ini di internet, dan bisa dikatakan semuanya keren! Seperti yang tadi saya bilang, cowok ini seperti tidak lahir di Bumi. Wajahnya seperti dipahat dengan sempurna, postur tubuhnya seperti dibentuk dalam cetakan, dan sikapnya seperti telah terprogram dengan rapi di komputer. Dia benar-benar sosok yang elegan!

Karenanya, saya benar-benar sangat kecewa wa wa wa wa, ketika tahu film Superman terbaru (Man of Steel) tidak lagi diperankan Brandon Routh. Padahal, cuma dia yang paling pas memerankan bocah dari Crypton. Semoga Tuhan mengampuni kekeliruan Hollywood!


Christian Bale

Yang mengagumkan dari Christian Bale adalah kemampuannya dalam mewujudkan karakter yang ia perankan dalam film. Menjadi Trevor Reznik dalam film The Machinist, Christian Bale mewujud sosok introver, kurus, perokok berat, dan depresi, yang bekerja di sebuah pabrik. Kemudian, dalam film Rescue Dawn, dia memerankan serdadu yang tertangkap di Vietnam, dan hidup dalam keputusasaan. Tubuhnya kurus, kotor, dekil, dan tampak sangat menderita.

Dua peran itu mungkin agak mirip. Sama-sama miskin, sama-sama menderita, sama-sama kurus, sama-sama tidak ganteng. Tetapi, ketika memerankan Bruce Wayne dalam film Batman, sosoknya benar-benar berubah. Tubuhnya padat berisi, tampan dan bersih, serta memancarkan sikap percaya diri yang terkesan angkuh, khas bocah milyuner.

Christian Bale yang ada dalam film Rescue Dawn dengan Christian Bale yang muncul dalam film Batman seperti dua orang yang berbeda, dan itulah yang membuat saya kagum! Dia benar-benar tahu menghayati peran, bahkan rela menurunkan berat badannya hingga puluhan kilo—suatu sikap profesional seorang artis yang seharusnya ditiru artis Indonesia.


Daniel Craig

Para penggemar James Bond seharusnya berterima kasih pada Daniel Craig, karena dia mengembalikan sosok asli James Bond sebagaimana yang ditulis Ian Fleming dalam novel-novelnya. Daniel Craig benar-benar sempurna memerankan James Bond sesuai versi Ian Fleming—dingin, berbahaya, mematikan.

Diperankan Daniel Craig, James Bond tidak perlu “dihias” mobil futuristik atau senjata super canggih. Ia sudah “sempurna” tanpa semua itu. Meski sebagian orang mungkin lebih senang Bond diperankan Pierce Brosnan yang tampak “mahal”, tapi Brosnan menjadikan James Bond justru tampak kekanakan. Brosnan terlalu “bersih” untuk James Bond. Selain itu, dia juga kurang “manusiawi”, karena tidak pernah jatuh, tidak pernah kalah, tidak pernah bisa diperdaya.

Karena itu, saya benar-benar bersyukur James Bond diambil alih Daniel Craig. Dia menjadikan James Bond lebih manusiawi, yang meski hebat tapi kadang-kadang terjatuh ketika mengejar musuh, yang meski pintar tapi kadang bisa tertipu, yang meski tangguh tapi terkadang juga kalah. Daniel Craig adalah James Bond, dan James Bond adalah Daniel Craig. As you wish!


Denzel Washington

Entah mengapa, setiap kali melihat Denzel Washington tersenyum, apalagi tertawa, saya selalu terpengaruh ikut tersenyum dan ikut tertawa. Dia memiliki senyum dan tawa menyenangkan, sehingga mampu mempengaruhi orang yang melihatnya. Karena itu pula, setiap kali menyaksikan filmnya, saya selalu menunggu-nunggu saat Washington tersenyum atau tertawa memamerkan gigi-giginya.

Di antara film-film yang diperankannya, saya paling suka Man on Fire. Dalam film ini, Denzel Washington berperan sebagai John Creasy, seorang veteran yang menjadi pengawal pribadi anak konglomerat, yang diperankan aktris cilik Dakota Fanning, yang aktingnya juga sangat mengagumkan.

Bagi saya, semua film yang diperankan Denzel Washington pasti bagus, dan layak ditonton. Lebih dari itu, kesenangan dan kebahagiaan saat menyaksikannya tersenyum dan tertawa, rasanya layak dihargai dengan waktu dua jam duduk diam di gedung bioskop atau di depan layar monitor.


Ian MacKellen

Di antara yang lain, mungkin kecintaan saya pada Ian MacKellen terdengar sangat “tidak akademis”. Jujur saja, saya mulai tertarik mencari film-film Ian MacKellen setelah menyaksikannya memerankan tokoh Magneto dalam trilogi X-Men. Saya mengagumi dan mengidolakan Magneto. Karena kebetulan Magneto diperankan Ian MacKellen—dan dia juga sangat bagus memerankannya—maka saya pun ikut mengagumi Ian MacKellen.

Kenyataannya, orang ini memang hebat dalam berakting. Selain mampu menghidupkan sosok Magneto yang “agung” dan complicated, dia juga hebat dalam memerankan tokoh lain, semisal menjadi veteran Nazi dalam film Apt Pupil, atau menjadi Gandalf dalam Lord of the Ring.

Saya sering membayangkan, kalau saja Ian MacKellen adalah kakek saya, pasti saya akan rajin mengunjunginya, dan bercakap-cakap tentang apa saja dengannya sambil bermain catur. Dia pasti teman bicara yang menyenangkan. Kadang-kadang saya juga berpikir kalau dia sebenarnya memang Magneto.


Jason Statham

Sepertinya semua orang menyukai Jason Statham. Sepertinya sulit menemukan orang yang tidak menyukai Jason Statham. Setidaknya, sampai detik ini saya belum pernah menemukan orang yang tidak suka Jason Statham.

Oh, well, saya suka Statham. Dia benar-benar sosok seorang bocah! Coba sebutkan film yang dibintanginya, dan hampir bisa dipastikan kita akan menyukai aktingnya yang mengasyikkan.

Dalam trilogi Transporter, kita menyaksikannya sebagai “tukang sopir” yang asoy. Dalam Death Race, kita menyaksikannya sebagai narapidana yang asoy. Dalam Chaos dan The Bank Job, kita menyaksikannya sebagai bajingan yang asoy. Dalam Safe, kita menyaksikannya sebagai “orang tidak jelas” yang asoy. Bahkan ketika dikumpulkan dengan bocah-bocah keren lain dalam The Expendable, pesona Statham tetap menonjol. Dan tetap asoy.

Kesimpulannya, Jason Statham adalah bocah Hollywood yang asoy. Pantas saja semua orang menyukainya.


Keanu Reeves

Ketika Hollywood mencari pemeran Neo untuk film The Matrix, mereka benar-benar tepat memilih Keanu Reeves. Rasanya sulit membayangkan Neo diperankan aktor lain. Keanu Reeves, di mata saya, adalah blasteran antara makhluk Bumi dengan makhluk antah berantah. Karena itu pula, sekali lagi Hollywood tidak salah pilih ketika mengastingnya untuk film Constantine dan The Day the Earth Stood Still.

Tetapi, di antara film-filmnya, saya paling suka ketika Keanu Reeves muncul dalam film Speed. Itu salah satu film favorit saya. Sepanjang film, nyaris tidak ada jeda ketegangan dalam film itu—karakteristik film action yang selalu membuat saya tergila-gila. Dan keberadaan Keanu Reeves menjadikan Speed makin istimewa.

Oh, well, terpujilah Tuhan yang telah menciptakan Keanu Reeves. Dan terpujilah Hollywood yang telah mengorbitkan Keanu Reeves.


Matt Damon

Mungkin jarang yang tahu, ketika dulu Matt Damon menyatakan dirinya ingin menjadi aktor, teman-temannya menertawakan. Dia masih SD atau SMP waktu itu—bertubuh kurus, tampak lemah, dengan wajah dan penampilan yang tidak meyakinkan. Karena itu pula teman-temannya tertawa ketika mendengar bocah kuper itu bercita-cita menjadi aktor.

Tetapi Matt Damon percaya pada cita-citanya. Kenyataannya, di dunia ini cuma dia satu-satunya yang percaya bahwa dirinya bisa menjadi aktor. Semua orang meragukannya, bahkan keluarganya. Karena itu, sejak menyatakan cita-citanya, dia pun menempa dirinya sendiri dengan latihan yang nyaris tanpa henti. Berlatih akting, membentuk tubuh, menguatkan otot.

Dalam kata-katanya sendiri, Matt Damon menceritakan, “Setiap pagi, aku selalu berkata pada diri sendiri, ‘Ayo Matt, kita berlatih! Lalu aku berolah raga, berlari, berlatih sampai letih, bahkan sampai mau mati’.”

Sekarang semua usaha dan kerja kerasnya terbayar lunas. Matt Damon telah menjadi salah satu bocah paling diperhitungkan di Hollywood. Ketika sutradara Paul Greengrass ingin memfilmkan serial Jason Bourne sebagai penghormatan kepada mendiang novelis Robert Ludlum, hampir semua bocah Hollywood sepakat memilih Matt Damon. Di antara jutaan penggemar Matt Damon dari seluruh dunia, saya termasuk di antaranya.


Russel Crowe

Russel Crowe adalah aktor—itu fakta yang tak bisa digugat. Sepertinya, orang ini bisa memerankan apa saja dengan keluwesan dan kealamian yang sempurna, sehingga kita bisa menyatakan bahwa sebenarnya dia tidak sedang berakting. Sodorkan naskah skenario kepadanya, dan Russel Crowe akan muncul dari lembaran naskah itu. Tampaknya, Tuhan sengaja menciptakan Russel Crowe untuk memeriahkan Hollywood.

Coba lihat. Dalam Gladiator atau dalam Robin Hood, Russel Crowe mampu menghidupkan sosok yang diperankannya dengan sangat baik.

Oke, mungkin mudah saja memerankan tokoh yang gedebak-gedebuk di arena liar. Tapi ketika bocah ini—maksud saya Russel Crowe—diminta memerankan sosok ilmuwan John Nash dalam A Beautiful Mind, dia juga mampu memerankannya dengan sempurna. Tidak semua orang mampu berpindah dari alam liar ala Robin Hood ke lingkungan akademis ala John Nash!

Jika saya perhatikan, di hampir semua filmnya—The Next Three Days, Body of Lies, American Gangster, dan lainnya—Russel Crowe mampu memerankan semua tokohnya dengan luwes dan alami, seolah-olah dia memang dilahirkan ke dunia untuk menjadi tokoh itu. Karenanya, Russel Crowe adalah aktor—itu fakta yang tak bisa digugat.


Tom Cruise

Coba sebutkan film jelek yang dibintangi Tom Cruise. Sepertinya tidak ada, karena semua film yang dibintangi Tom Cruise pasti bagus. Bahkan Collateral—yang di dalamnya Cruise berperan sebagai antagonis kejam campur bajingan—tetap dianggap film bagus. Dan orang tetap menyukai Tom Cruise.

Daya tarik utama Tom Cruise, bagi sebagian orang, mungkin tampangnya yang ganteng. Tapi dia juga memiliki kemampuan akting yang hebat. Jika seseorang tidak bisa berakting, iblis di neraka pun akan tahu meski orang itu punya wajah luar biasa ganteng. Orang yang main film karena kegantengan atau penampilannya semata, demi segala demi, sangat membosankan untuk dilihat. Apalagi dilihat sampai dua jam di gedung bioskop yang gelap.

Seorang penulis harus bisa menulis dengan baik. Seorang sopir harus bisa menyetir dengan baik. Seorang guru harus bisa mengajar dengan baik. Seorang tukang sapu harus bisa menyapu dengan baik. Begitu pun seorang aktor harus mampu berakting dengan baik. Jika kebetulan ia bertampang cakep, itu nilai plus. Tapi inti pentingnya tetap pada kemampuan dalam bekerja—apa pun yang dikerjakannya.

Tom Cruise bisa berakting dengan baik. Hal itu, puji Tuhan, juga ditunjang tampang mempesona. Maka film-filmnya pun jadi menyenangkan untuk ditonton. Di antara semua filmnya yang pernah saya tonton, saya paling suka serial Mission Impossible. Dari seri pertama sampai seri terakhir (The Ghost Protocol), filmnya makin bagus dan makin bagus. Jika saya bisa dilahirkan kembali, mungkin saya akan minta dilahirkan sebagai Tom Cruise!

Efek Menikah

Seorang bocah ditanya ibunya, “Kenapa kamu tidak menikah?”

“Aku telah melihat efek mengerikan yang terjadi pada teman-temanku yang menikah,” jawab si bocah, “dan aku tidak ingin mengalami efek yang sama.”

Ibunya heran. “Memangnya efek apa yang terjadi pada teman-temanmu?”

“Mereka cepat sekali tua.”

Percayalah pada Palang Pintu

Seseorang berkata, “Jangan pernah percaya pada apa pun yang kaulihat di Facebook.”

Saya menyahut, “Jadi, apa yang sebaiknya saya percaya?”

Dia terdiam sejenak, kemudian berkata hati-hati, “Percayalah pada palang pintu.”

....
....

Saya butuh waktu berbulan-bulan untuk memikirkannya.

Rabu, 16 Oktober 2013

Dilema Buku Terjemahan

Selama aku masih bisa menikmati nasi uduk,
batagor, rokok, teh hangat, dan buku bagus,
aku tidak punya alasan untuk mengeluh.
@noffret


Lima tahun yang lalu, para kutubuku di seluruh dunia heboh membicarakan trilogi novel, yang gemanya ikut menyebar ke Indonesia. Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja trilogi novel itu dengan sebutan Novel X. Di milis para kutubuku, trilogi novel itu dibicarakan berhari-hari, dan kehebohannya membuat siapa pun yang belum membaca jadi penasaran setengah mati.

Kebetulan, waktu itu saya belum membacanya. Seperti para penggila buku yang lain, saya pun segera memburu buku-buku tersebut. Kau tahu, jika para kutubuku menghebohkan suatu buku, kau bisa percaya buku itu memang bagus. Jadi saya pun searching di internet, mencari website yang menyediakannya.

Pada waktu itu, trilogi Novel X belum masuk ke Indonesia. Kalau saya memaksa membeli, maka saya harus membeli buku impor. Di situs Amazon, ketiga seri novel itu tersedia, dan harganya cukup mencekik leher—sekitar 1,4 juta. Cukup mahal, karena masing-masing novel tersebut sama-sama tebal, sekitar 900-an halaman.

Sampai kemudian saya mendapat kabar trilogi Novel X akan segera diterjemahkan di Indonesia. Itu kabar yang sangat menyenangkan. Maka saya pun menunda pembelian, dan memilih menunggu edisi bahasa Indonesia yang tentunya lebih murah. Hingga suatu hari, buku terjemahan edisi pertama dan kedua trilogi itu akhirnya terbit di Indonesia, dan tersedia di toko-toko buku.

Dengan nafsu membara, saya pun segera pergi ke toko buku, dan mendapatkan dua edisi Novel X—seri satu dan seri dua—seri tiganya waktu itu belum terbit. Tampilannya hebat, sampulnya hebat, dan ketebalannya yang 900-an halaman juga tampak hebat. Benar-benar makanan sempurna untuk kutubuku, pikir saya waktu itu.

Sesampai di rumah, saya langsung melahap seri satu novel itu, dan membacanya nyaris tanpa henti. Seperti yang telah dihebohkan para kutubuku di milis, novel itu memang hebat—ceritanya memukau, karakter-karakternya unik, idenya orisinal, dan cara penceritaannya pun bagus. Karena semua kualitas tersebut, novel yang sangat tebal itu pun dapat dinikmati tanpa rasa bosan.

Sayangnya, ada kesalahan fatal dalam terjemahan Novel X.

Di Indonesia, terjemahan Novel X diterbitkan oleh salah satu penerbit islami. Sebenarnya tidak masalah penerbit islami menerjemahkan novel berbahasa Inggris dari negara mana pun. Yang jadi masalah jika di dalam novel itu terdapat adegan atau kisah yang dianggap “tidak/kurang islami”, dan kemudian penerbit dengan seenaknya sendiri memotong atau menyensor bagian itu.

Kenyataan itulah yang terjadi pada Novel X. Novel itu memang ditujukan untuk pembaca dewasa. Berkaitan dengan jalan ceritanya, ada beberapa adegan yang terkesan vulgar di dalam Novel X—agak-agak mirip dengan adegan vulgar ala novel Shidney Sheldon, kalau kalian paham maksud saya. Nah, adegan-adegan vulgar itu dihilangkan oleh penerbit yang menerjemahkan.

Sebenarnya, penerjemahan novel itu pun tidak bisa dibilang bagus. Sejak pertama kali membaca, saya sudah bisa menilai penerjemahannya kurang profesional, dan terlalu “harfiah”. Namun itu belum jadi masalah. Meski penerjemahannya relatif buruk, pembaca masih bisa menikmati, karena aslinya Novel X memang bagus.

Tetapi, ketika sampai pada adegan yang dipotong, amarah saya benar-benar meletup. Sebagai penikmat buku sejati, pemotongan adegan itu membuat saya merasa dicurangi. Penerbit—yang menerjemahkan novel itu—dengan seenaknya sendiri menghilangkan beberapa bagian yang seharusnya disampaikan kepada pembaca sesuai novel aslinya.

Yang menjengkelkan, pemotongan adegan itu dilakukan dengan kasar—maksudnya asal potong, tanpa usaha menutup “lubang” yang terbuka akibat terjadinya pemotongan. Efeknya terasa jelas penyensorannya. Para pembaca pemula mungkin tidak menyadari adanya pemotongan atau penyensoran. Tapi para kutubuku akan mengetahuinya. Seperti alarm, insting saya memberitahu bahwa sebenarnya di bagian itu ada suatu adegan yang seharusnya ada, tapi telah dihilangkan.

Gara-gara kenyataan itu, saya tidak puas membaca terjemahan novel tersebut. Meski telah mengkhatamkannya, dan mengakui bahwa Novel X memang bagus, saya tetap belum puas. Saya ingin tahu adegan apa sebenarnya yang ada dalam kisah itu hingga sampai membuat penerbit di Indonesia memotongnya. Membaca jalan ceritanya, saya bisa membayangkan adegan macam apa yang disensor tersebut, tapi saya ingin tahu aslinya.

Maka, dengan kedongkolan yang membara, saya membeli edisi bahasa Inggris novel tersebut, dan membacanya kembali. Dalam edisi bahasa Inggris, semua adegannya utuh, jalan ceritanya lengkap. Dan saya pun menemukan bagian-bagian mana saja yang telah dihilangkan oleh penerbitnya di Indonesia.

Padahal, bagi saya, adegan yang mereka potong itu tidak terlalu vulgar. Seperti yang saya bilang tadi, adegannya mirip adegan vulgar ala novel Sidney Sheldon—ya gitu-gitu aja, khas novel dewasa. Kalau saja novel itu diterbitkan penerbit yang moderat, hampir bisa dipastikan semua adegan itu tidak ada yang disensor. Sayangnya, novel bagus itu diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit islami, atau relatif konservatif. Ketika mereka menganggap adegan semacam itu “kurang islami”, mereka pun memotongnya.

Ini masalah.

Masalah, karena pemotongan atau penyensoran semacam itu—langsung maupun tak langsung—telah merugikan pembaca, khususnya para kutubuku yang selalu menginginkan kenikmatan membaca. Apalagi jika pemotongan atau penyensorannya dilakukan secara kasar seperti yang terjadi pada Novel X. Sekali lagi, umpama Novel X diterbitkan penerbit moderat, saya yakin seyakin-yakinnya semua adegan itu akan dibiarkan utuh, tanpa ada penyensoran apa pun.

Nah, bagaimana dengan terjemahan Novel X seri kedua? Sama saja! Ketika saya mulai membaca, isinya tak jauh beda dengan seri pertama. Terjemahannya tidak profesional, dan sekali lagi ada bagian atau adegan yang dihilangkan. Terjemahan Novel X seri kedua bahkan mengalami kesalahan editing yang sangat fatal. Gara-gara adanya pemotongan yang dilakukan secara kasar, beberapa bagian ada yang “tidak nyambung”. Saya yakin para kutubuku di Indonesia pasti misuh-misuh ketika membacanya.

Sekali lagi, ini masalah. Dan ini salah satu dilema buku terjemahan di Indonesia, yang mungkin belum disadari semua orang.

Karena ketatnya persaingan dalam industri buku, penerbit-penerbit di Indonesia pun selalu berusaha mendapatkan hak cipta buku-buku terkenal dari luar negeri, khususnya yang terjamin laris. Dalam upaya memperebutkan hak cipta tersebut, para penerbit islami juga ikut terlibat. Masalah mulai terjadi, ketika pemenang tender hak cipta adalah penerbit islami, dan hak cipta yang diperolehnya adalah novel yang kebetulan ada adegan “kurang islami” di dalamnya.

Ketika itu terjadi, pihak penerbit mungkin mengalami dilema. Di satu sisi, mereka tahu buku itu akan terjual banyak di pasar. Di sisi lain, mungkin mereka merasa “berdosa” jika menerjemahkan/menerbitkan buku itu sesuai aslinya, dengan adegan-adegan vulgar di dalamnya. Maka jalan tengah (sebenarnya lebih layak disebut jalan pintas) pun diambil—mereka memotong atau menyensor adegan itu.

Sebagai pembaca, sejujurnya saya tidak terlalu mempermasalahkan jika penerbit memang memutuskan untuk menyensor beberapa adegan di dalamnya. Itu tak jauh beda dengan penyensoran yang terjadi dalam film. Tetapi, jika memang harus memotong atau menyensor, lakukanlah dengan halus, kerjakan dengan profesionalitas seorang ahli, sehingga para pembaca tidak menyadari. Karena, ketika pembaca menyadari adanya pemotongan atau penyensoran dalam buku, mereka akan merasa dicurangi.

Mungkin akan lebih bagus lagi kalau penerbit yang islami lebih fokus pada buku-buku yang relatif “bersih” saja, sehingga tidak perlu menghadapi dilema, tidak perlu melakukan pengubahan atau penyensoran di dalamnya, sehingga pembaca tetap menikmati bacaannya.

Seperti yang pernah saya tulis di sini, ada tiga macam pembaca buku. Yang pertama adalah “bukan pembaca”, yang kedua adalah “pembaca pemula”, dan yang ketiga adalah “kutubuku”. Ketika sebuah buku jatuh di tangan pembaca pemula atau masyarakat awam (bukan pembaca), hal seperti ini mungkin bukan masalah. Bagi mereka, yang penting jalan ceritanya asyik, mereka terhibur, dan habis perkara.

Tetapi, ketika sebuah buku berada di tangan kutubuku, mereka tidak hanya menginginkan jalan cerita yang asyik, tidak hanya mengharapkan penerjemahan dan editing yang bagus, tetapi juga “kenikmatan” di dalamnya. Dan “kenikmatan” itu tidak bisa optimal jika ada pemotongan serta penyensoran yang dilakukan dengan kasar, tanpa keahlian, serta kasatmata.

Noffret’s Note: Jetlag

Aku ingin percaya ini hari Minggu.
Tapi rasanya kok tak mampu. #jetlag
—Twitter, 12 Agustus 2012

Terbangun dari tidur, dan kebingungan
antara memijak tanah atau menjejak langit. #jetlag
—Twitter, 12 Agustus 2012

Mengucak mata, menatap jam. Itu jarum jam
bergerak ke kiri atau ke kanan? #jetlag
—Twitter, 12 Agustus 2012

Sayup-sayup terdengar suara dari masjid.
Ini menjelang subuh atau menjelang maghrib? #jetlag
—Twitter, 12 Agustus 2012

Tertatih ke kamar mandi, dan masih bingung.
Ini harusnya mandi pagi atau mandi sore? #jetlag
—Twitter, 12 Agustus 2012

Sambil ngantuk menatap muka di cermin.
Kenapa aku berubah jadi Keanu Reeves? #jetlag
—Twitter, 12 Agustus 2012

Kadang-kadang aku bingung memahami waktu.
Kau tahu, seperti tersadar dari #jetlag,
tapi kemudian memasuki fase jetlag yang lain.
—Twitter, 12 Agustus 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

Ngambek

Dia tuh sukanya gitu, Tuhan. Dia tuh sukanya gituuuuuh!

Ih!

Jumat, 11 Oktober 2013

Soal Pedekate

Pdkt sama meneror itu terkadang beda tipis.
@klaravirencia


“Dijauhi orang yang dicintai, atau didekati orang yang dibenci?” Pertanyaan itu menjadi bahan percakapan saya dengan beberapa teman yang biasa nyangkruk bareng.

Seminggu yang lalu, saya dan empat cowok lain ngobrol-ngobrol sampai larut malam di kafe langganan, dan kemudian Rinto—teman kami—mengajukan pertanyaan itu, “Menurut kalian, lebih baik mana; dijauhi orang yang dicintai, atau didekati orang yang dibenci?”

Itu situasi dilematis. Tentu saja, idealnya, didekati orang yang dicintai dan dijauhi orang yang dibenci. Tapi jika opsinya seperti di atas, kira-kira manakah yang lebih baik?

Sebagai manusia yang tak lepas dari kekeliruan dan kesalahan, kadang-kadang kita berselisih dengan orang lain, apa pun alasan dan bentuknya, dan dari perselisihan itu kadang timbul kebencian. Itu sesuatu yang manusiawi, karena cinta dan benci adalah naluri dasar manusia, orang per orang.

Mungkin memang ada orang yang mampu menghilangkan kebencian dari dalam dirinya, tapi sepertinya kita belum termasuk orang istimewa semacam itu—setidaknya saya dan empat kawan saya. Jadi, ketika Rinto mengajukan pertanyaan itu, kami pun jadi mikir. Mana yang lebih baik; didekati orang yang dibenci, atau dijauhi orang yang dicintai?

Kami pun lalu mengajukan jawaban, serta alasan-alasannya. Satu per satu menceritakan latar belakang jawaban kami, yang ditunjang kisah-kisah yang pernah kami alami. Ada yang menceritakan tentang kawannya, keluarganya, sampai pacarnya, yang semuanya berhubungan dengan perasaan benci dan cinta, serta efek didekati atau dijauhi keduanya.

Saya juga ikut “urun rembug” dengan memberi jawaban versi saya, yang ditunjang pengalaman yang saya alami atas hal itu. Dalam hal ini, jika saya harus memilih dijauhi orang yang dicintai atau didekati orang yang dibenci, maka saya akan memilih dijauhi orang yang dicintai.

Sebenarnya, saya ingin sekali menuliskan semua jawaban serta kisah-kisah teman saya dalam catatan ini, yang berhubungan dengan pertanyaan dilematis di atas, namun itu privasi mereka. Karenanya, agar tidak melanggar privasi mereka, saya hanya akan menuliskan jawaban serta kisah saya sendiri di sini. Karena jawaban ini dilatarbelakangi kisah yang saya alami, tentu saja jawabannya bisa subjektif.

Mengapa saya lebih memilih dijauhi orang yang dicintai, daripada didekati orang yang dibenci? Karena, bagi saya, didekati orang yang dibenci sangat menguras emosi. Efeknya jauh lebih buruk daripada dijauhi orang yang dicintai.

Sebagai cowok, terus terang saja, kadang-kadang saya merasa gagal. Karena, bukannya sering pedekate sama cewek, saya justru lebih sering dipedekate oleh cewek.

Sejujurnya—demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci—saya tidak mempermasalahkan kalau ada cewek yang pedekate sama cowok. Sama tidak masalahnya ketika cowok pedekate sama cewek. Itu hal yang lumrah, biasa, dan umum terjadi di kalangan anak-anak muda seperti kita. Yang kadang jadi masalah adalah cara pedekatenya.

Kadang-kadang cowok pedekate ke cewek dengan wajar, namun ada pula yang sangat agresif sampai terkesan meneror, sehingga membuat tidak nyaman.

Kenyataan semacam itu juga terjadi ketika pihak cewek yang pedekate ke cowok—setidaknya, itulah yang kadang saya alami. Dari situlah, biasanya, saya akan jaga jarak dan mundur perlahan-lahan. Jika si cewek tetap tidak paham bahwa saya jaga jarak, saya akan menutup diri darinya. Jika saya sudah menutup diri darinya namun dia terus agresif, tentu wajar kalau saya kemudian merasa terganggu, dan... dari situlah kadang kebencian mulai muncul.

Rumus pedekate yang saya pahami: Dekatilah selama orang yang didekati masih terlihat nyaman. Jika orang yang kita dekati mulai terlihat tidak nyaman—dalam apa pun bentuknya—berhentilah. Karena, jika kita meneruskan usaha kita, bisa jadi dia akan terganggu dan akan membenci kita.

Dulu, waktu masih kuliah, dan masih aktif dalam kehidupan sosial, saya kadang tahu ada cewek yang pedekate ke saya. Tidak masalah—itu hal biasa. Selama pedekate dilakukan dengan wajar dan tidak mengganggu, semua orang tetap merasa nyaman. Bahkan, saya pun tetap menjalin pertemanan dengan cewek-cewek itu, tetap say hello kalau ketemu, tetap membalas SMS-nya dengan manis, tetap asyik cekikikan di telepon kalau mereka menelepon.

Tetapi, kalau pedekate sudah masuk ke tahap yang tidak wajar hingga sampai mengganggu, saya pun akan mulai jaga jarak. Jika mereka meneruskan langkah, saya akan menutup diri. Jika saya sudah menutup diri dan mereka tak peduli, dan terus mengganggu, dari situlah biasanya kebencian mulai muncul.

Oh, well, saya manusia biasa, sama biasanya seperti orang-orang lainnya. Saya punya perasaan, punya emosi, punya hak untuk memiliki privasi dan kenyamanan. Sebagaimana orang lain bisa meledak jika terus diganggu, saya pun begitu. Sebagaimana orang lain bisa membenci orang yang seenaknya melanggar privasinya, saya pun begitu. Semut yang kecil pun akan menggigitmu kalau ia diganggu.

Nah, ketika emosi sudah tersulut akibat terus-menerus diganggu, reaksi saya tak jauh beda dengan orang lainnya. Saya akan meledak, dan lepas kendali. Saya akan menyatakan pada orang yang menganggu, bahwa saya sangat terganggu olehnya, bahwa sebaiknya ia menyingkir dari hidup saya. Kadang-kadang saya menyatakan itu melalui sindiran, kadang-kadang pula secara terus terang jika ia sudah sangat keterlaluan.

Sekali lagi, saya orang biasa, dengan segala hal yang biasa, juga dengan emosi dan perasaan yang biasa. Kalau kita menguras emosi seseorang hingga ia hilang kesabaran, ia pun akan menyemburkan semua kemarahannya kepada kita. Ketika itu terjadi, perasaan yang semula netral bisa berubah menjadi kebencian.

Cinta dan benci adalah emosi kuat manusia. Dan, dalam hal ini, saya lebih memilih dijauhi orang yang saya cintai daripada didekati orang yang saya benci. Ketika kita dijauhi orang yang dicintai, masalahnya selesai. Setidaknya, kita bisa menganggap masalahnya sudah selesai. Kita mencintai seseorang, dan dia menjauhi kita. Enough. Tidak masalah.

Bahkan, ketika dijauhi orang yang kita cintai, kadang-kadang kita mulai mengenal sisi baik dalam diri kita yang sebelumnya tidak kita kenali. Pada waktu-waktu itulah kita mulai mengenal kerinduan, mulai belajar cara melihat sisi baik orang lain (orang yang kita cintai), juga mulai belajar menahan diri, mengendalikan emosi, serta cara menghargai orang lain. Artinya, dijauhi orang yang kita cintai kadang memberikan efek positif. Setidaknya bagi saya.

Sebaliknya, didekati orang yang dibenci sangat menguras emosi. Dan ketika itu terjadi, efek yang ditimbulkan juga destruktif. Pada waktu-waktu itulah kita mengenali sisi-sisi negatif pada diri kita, yang mungkin semula tidak kita kenali. Akibat terganggu oleh orang yang kita benci, kita mulai melihat kejelekan orang lain (orang yang kita benci), dan mulai kesulitan mengendalikan emosi akibat terus terganggu olehnya.

Dalam sisi sebaliknya, kita juga akan bisa melihat seperti apa sesungguhnya orang yang telah pedekate, atau yang telah menyatakan cinta kepada kita. Jika seseorang pedekate ke kita, atau menyatakan cinta kepada kita, kemudian kita menolaknya, kita akan bisa melihat seperti apa asli orang itu. Jika dia tetap menyatakan hal-hal baik tentang kita, maka kita bisa yakin dia memang orang baik, dan bisa jadi kita akan bersimpati kepadanya.

Sebaliknya, jika dia kemudian menjelek-jelekkan kita, mengumbar kemarahannya di mana-mana, memburuk-burukkan kita pada siapa pun yang mau mendengarnya, maka kita pun bisa menilai seperti apa sesungguhnya pribadinya, dan—tentu saja—kita akan bersyukur karena telah menjauh dari orang semacam itu.

Sekali lagi, inilah rumus pedekate yang saya pahami: Dekatilah selama orang yang didekati masih terlihat nyaman. Jika orang yang kita dekati mulai terlihat tidak nyaman—dalam apa pun bentuknya—berhentilah. Karena, jika kita meneruskan usaha kita, bisa jadi dia akan terganggu dan justru akan membenci kita.

Dan didekati orang yang dibenci, bagi saya, jauh lebih buruk daripada dijauhi orang yang dicintai.

Terpujilah Wanita Ini

Keindahan tak perlu berteriak atau unjuk diri.
Tersembunyi di mana pun, dunia akan mengakui.
@noffret


Terpujilah wanita ini, yang kedewasaannya membuat ia sadar bahwa siapa dirinya ditentukan oleh sikap, perilaku, dan tutur ucapannya.

Terpujilah wanita ini, yang menyadari bahwa nilai dirinya tidak saja diukur dari kecantikannya, tetapi juga dari kemuliaan hatinya.

Terpujilah wanita ini, yang menunjukkan kebaikan di depan orang lain, pun di belakang orang lain. Yang tetap mengucapkan hal-hal baik tentang sesamanya meski yang dibicarakan tidak ada. Yang menjauh dari iri hati serta kesombongan, yang akrab dengan ketulusan, dan menjauh dari kemunafikan. Yang tidak sibuk pamer, karena menyadari dunia pasti akan melihatnya tanpa harus ia teriak.

Terpujilah wanita ini, yang tidak menyimpan kedengkian meski jodohnya belum datang. Yang tetap menjaga sikapnya halus dan lembut meski hidup tanpa pasangan. Yang tetap merawat ucapan dan perilakunya selalu terpuji meski hidup sendirian.

Terpujilah wanita ini, sekuntum hati putih yang disiapkan alam semesta untuk malaikat terbaik, untuk melahirkan anak-anak terbaik, untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Di tangannya, di hatinya, di pikirannya, ada kejernihan yang dialirkan dari Surga.

Gema

Mencintaimu terasa benar bagiku.

Bahkan jika ternyata salah, itu kesalahan terbaik yang pernah kulakukan.

....
....

Apeu.

Minggu, 06 Oktober 2013

Pelajaran Terselubung dari Blog Terselubung

Selalu kagum pada blog yang loading page-nya butuh puluhan
menit. Kagum pada orang-orang yang mau membukanya.
@noffret 


Salah satu blog yang sangat terkenal di dunia maya adalah Terselubung, yang dulu beralamat di http://terselubung.blogspot.com. Blog itu sangat terkenal, karena beberapa hal.

Pertama, konten atau artikelnya sangat banyak—jumlahnya mencapai ribuan. Kedua, blog itu terkenal sebagai blog copy-paste terbesar di Indonesia—karena konten di dalamnya hasil copy paste dari blog-blog lain. Ketiga, blog itu memiliki trafik yang sangat tinggi—pengunjung hariannya mencapai puluhan ribu. Keempat, berdasarkan desas-desus di antara blogger, penghasilan admin blog itu mencapai 20 juta rupiah per bulan (sumber lain menyebutkan 40 juta per bulan).

Tetapi, puncak kegemparan menyangkut blog Terselubung terjadi ketika akhirnya Google “membantai” blog itu tanpa ampun. Pada 22 Juli 2013, tepat pukul 07.00 WIB, blog Terselubung di-banned oleh Google, dan hilang dari dunia maya. Setelah bertahun-tahun berjaya sebagai blog “nomor satu” di Indonesia, akhirnya Terselubung harus “mampus” setelah Google menjatuhkan vonis kematian untuknya.

Sebenarnya, satu tahun sebelum di-banned permanen, Google pernah menonaktifkan blog Terselubung, sebagai peringatan. Tapi rupanya Terselubung tetap membandel—mereka terus melakukan copy paste seenaknya. Karena Terselubung tidak mau sadar, Google pun hilang kesabaran. Blog Terselubung dihapus permanen, ribuan artikel di dalamnya lenyap dari internet, penghasilan jutaan rupiah per bulan hilang, dan pemiliknya mungkin nangis darah berbulan-bulan.

Fenomena blog Terselubung dan dihapusnya blog itu oleh Google seperti menjadi pelajaran yang amat keras bagi blogger mana pun yang suka copy paste seenaknya. Bayangkan, jika blog sebesar dan seterkenal Terselubung saja dibantai oleh Google akibat copy paste, apalagi blog kelas ecek-ecek? Artinya, Google tidak punya ampun untuk para pelanggar di internet, siapa pun akan disikatnya jika melanggar aturan.

Meski bukan Tuhan yang Maha Kuasa, tapi bagaimana pun juga Google adalah “penguasa” di dunia maya—setidaknya saat ini. Nyaris semua web/blog di internet mengandalkan Google untuk mendatangkan pengunjung. Dalam hal ini, Google punya aturan yang tak bisa diganggu gugat, yang salah satunya pelarangan copy paste. Karenanya, patuhi aturan Google, dan kau akan selamat. Langgarlah aturannya, dan pergilah ke neraka.

Sebagian orang yang awam internet—seperti saya—mungkin bertanya-tanya, kenapa Google sampai sekeras itu memberlakukan aturan? Bukankah tugas Google, sebagai mesin pencari, hanya menemukan dan menunjukkan web/blog mana saja yang relevan dengan kata kunci yang diketikkan pengguna internet? Kenapa Google harus susah-payah mengontrol blog-blog itu agar menuruti aturannya?

Saya juga awam internet, jadi saya pun mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, lalu mencari jawabannya. Dari pencarian jawaban itu, saya mendapatkan beberapa pelajaran penting—yang mungkin masih terselubung—yang sekarang ingin saya bagikan di sini. Catatan ini saya tujukan bagi orang-orang awam internet seperti saya. Jadi, buat para master, kalian boleh menyingkir, karena pasti lebih paham.

Pada saat ini, Google adalah mesin pencari nomor satu di dunia maya. Itu benar, dan memang itulah faktanya. Tapi jangan lupa, mesin pencari di internet bukan hanya Google. Di internet, ada ratusan mesin pencari lain yang mungkin belum seterkenal Google, dan mereka ingin mengalahkan Google. Artinya, meski menjadi mesin pencari nomor satu, Google harus berupaya menjaga agar mereka tetap tak terkalahkan.

Karena adanya persaingan itu, masing-masing mesin pencari terus berupaya memperbaiki dan menyempurnakan diri—termasuk Google. Semuanya berambisi menjadi nomor satu. Salah satu upaya Google dalam memperbaiki diri adalah dengan memberlakukan aturan yang ketat sekaligus keras terhadap web/blog yang diindeksnya, khususnya pada blog-blog yang menggunakan platform milik Google, yaitu Blogger.

Sebagai mesin pencari, Google ingin menjadi yang terbaik, yang paling bermanfaat, sekaligus yang paling tepat, sehingga orang tetap menggunakannya. Selama Google bisa memenuhi prasyarat itu, orang akan tetap menggunakan Google. Karenanya, Google pun selalu mengusahakan hasil pencarian yang didapatkannya benar-benar tepat seperti yang diinginkan pengunjung internet yang mengetikkan kata kunci di mesin pencarinya.

Sekarang bayangkan. Suatu waktu, kita mengetikkan kata kunci “Cinderella” ke mesin pencari Google. Karena asal mengindeks, Google tanpa sengaja “menjerumuskan” kita ke blog copy paste kelas sampah yang di dalamnya menawarkan iklan judi, pornografi, serta aktivitas ilegal seperti hacking dan cracking. Blog sampah itu bisa menempati peringkat teratas di Google karena menggunakan BlackHat SEO.

Kira-kira bagaimana reaksi kita ketika mengalami hal semacam itu? Jawabannya jelas, kita misuh-misuh! Setidaknya, kita jengkel karena Google membawa kita ke tempat yang tidak tepat. Jika itu terjadi berkali-kali, kita pun mulai memikirkan untuk menggunakan mesin pencari lain, semisal Yahoo!, Bing, atau lainnya, karena berkesimpulan mesin pencari Google tidak bisa diandalkan.

Nah, hal itulah yang sangat tidak diinginkan Google!

Google ingin para pengguna internet tetap menggunakan mesin pencari miliknya. Untuk tujuan itu, Google harus memastikan diri untuk hanya mengindeks web/blog yang tepat, sesuai keinginan pengunjung. Dalam tujuan itulah Google kemudian memberlakukan aturan yang ketat sekaligus keras terhadap web/blog yang diindeksnya, dan siapa pun harus mematuhi aturan itu jika ingin tetap diindeks Google.

Ini bukan lingkaran setan—saya menyebutnya lingkaran malaikat. Para blogger butuh Google untuk mendatangkan pengunjung. Pengunjung butuh Google untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Google butuh pengunjung untuk selalu menggunakannya. Dalam lingkaran itu, Google tahu mereka harus lebih berpihak pada pengunjung, dan bukan pada para blogger.

Apa artinya itu? Google ingin memberikan yang terbaik bagi para penggunanya, meski untuk itu Google harus “membantai” blog-blog yang tidak beres, demi para penggunanya tidak kecewa. Dan dalam “pembantaian” itulah blog Terselubung menjadi salah satu korbannya.

Padahal, bagi saya pribadi, blog Terselubung tidak jelek-jelek amat. Meski blog itu mengandalkan artikel-artikel hasil copy paste, tapi setidaknya Terselubung masih jujur karena menyebutkan sumbernya. Selain itu, kekayaan artikel di blog Terselubung juga layak diacungi jempol, karena tentunya butuh waktu dan kerja keras untuk bisa mengumpulkan ribuan artikel dalam satu blog. Terakhir, nilai plus yang juga dimiliki Terselubung adalah loading-nya yang relatif ringan, setidaknya jauh lebih ringan dibanding blog-blog sama yang mengandalkan artikel copy paste.

Tetapi, meski begitu pun, Google tetap tak punya ampun untuk Terselubung. Di mata Google, Terselubung telah melanggar aturan mereka, yaitu pelarangan copy paste. Karena Terselubung menggunakan platform Blogspot, maka Google pun menghapusnya. Sekali lagi, kenyataan dihapusnya blog Terselubung memberi pelajaran penting bagi kita semua, bahwa urusan copy paste bukan urusan remeh di internet.

Apakah hanya copy paste yang dibenci Google? Tidak! Secara umum, Google juga membenci web/blog yang berbau judi, memuat konten pornografi, berbau SARA, menyebarkan aktivitas ilegal seperti hacking dan cracking, serta penggunaan cara SEO (Search Engine Optimization) yang curang. Di sisi sebaliknya, Google menyukai blog yang memuat konten orisinal, bermanfaat, dan dicari banyak orang. Di atas semuanya itu, yang mungkin jarang kita tahu, Google menyukai blog yang loading-nya cepat.

Jika parameter di atas kita gunakan untuk menilai blog Terselubung, sepertinya kesalahan blog tersebut hanya satu, yaitu memuat konten copy paste. Sejauh yang saya tahu, blog Terselubung tidak memuat iklan judi atau pornografi, tidak menyebarkan aktivitas ilegal seperti hacking dan cracking, dan—menurut para master—blog Terselubung tidak mengandalkan SEO, apalagi BlackHat SEO. Artinya, sekali lagi, kesalahan blog Terselubung hanya satu; copy paste.

Sekarang kita lihat, bahkan pelanggaran terhadap satu aturan pun sudah dihukum oleh Google. Dan hukumannya tidak main-main; dihapus dari dunia maya!

Seperti yang telah disebutkan di atas, kita butuh Google untuk mendatangkan pengunjung ke blog kita. Google mau mendatangkan trafik ke blog kita, dengan sejumlah aturan. Patuhi aturan itu, dan kita pun selamat sentausa. Langgarlah aturan itu, dan silakan pergi ke neraka.

Khawatir

Aku khawatir, sering kali khawatir, kita semua hanyalah bagian dari sayur mayur.

Paguyuban Pecinta Titi Kamal

Namanya PPTK. Semula, saya pikir itu singkatan nama suatu organisasi yang berhubungan dengan urusan notaris. Ternyata kepanjangannya Paguyuban Pecinta Titi Kamal.

Organisasi geblek itu didirikan beberapa bocah yang jatuh hati setengah mati pada Titi Kamal, dan kemudian patah hati setengah mati setelah Titi Kamal menikah dengan Christian Sugiono. Saat ini, organisasi itu telah memiliki 80-an anggota—semuanya tergila-gila pada Titi Kamal, dan sekarang jadi setengah gila karena menyadari impian mereka kandas.

Bocah-bocah aneh itu dipertemukan di sebuah forum, mereka merasa cocok—karena sama-sama jatuh hati pada Titi Kamal—lalu berinisiatif membuat organisasi untuk mewadahi “aspirasi” mereka.

Semula saya tidak tahu ada organisasi seaneh itu di dunia yang fana ini. Yang membuat saya tahu keberadaannya adalah karena... saya dihubungi untuk diminta menjadi ketuanya!

Tentu saja saya menolak!

....
....

Ono-ono wae nang ndonyo iki.

Selasa, 01 Oktober 2013

Pantat Paling Menggemaskan

Ular paling beracun, katak paling beracun, juga
hewan lain yang paling beracun, ironisnya justru
memiliki penampilan sangat cantik.
@noffret 


Satu tahun yang lalu, pada Oktober 2012, Brasil mengadakan kontes Miss Bum Bum, yaitu kontes nasional untuk menentukan wanita yang memiliki pantat paling menggemaskan. Oh, well.

*Ngelap ingus*

Jadi, dalam kontes itu, para wanita muda dari 26 negara bagian dan distrik federal Brasilia berkumpul dan bersaing untuk mencapai grand final, yang berlangsung di Sao Paulo. Kontes dimulai pada Oktober, dan mencapai grand final pada November.

Semula, para calon peserta dipersilakan mendaftar secara online di situs yang telah disediakan, dengan mengirimkan tiga foto—setengah badan, satu tubuh, dan bagian pantat. Dari pendaftaran itu, panitia memilih 15 wanita yang dianggap layak masuk final. Lima belas finalis itulah yang kemudian berangkat ke Sao Paulo, mengikuti gelaran final, untuk memperebutkan gelar “Pemilik Pantat Paling Menggemaskan”. Oh, well.

*Benerin celana*

Pemenang pertama kontes itu mendapatkan hadiah 5.000 reais atau Rp. 23,5 juta, pemenang kedua mendapat 3.000 reais atau Rp. 14,1 juta, dan pemenang ketiga mendapat 2.000 reais atau Rp. 9,4 juta. Kontes itu pertama kali diadakan pada 2011 dengan pemenang Rosana Ferreira. Sedang tahun lalu, Carine Felizardo memenangkan gelar juara pertama. Karenanya pula, terhitung sampai detik ini, Carine Felizardo masih memegang gelar sebagai Wanita Pemilik Pantat Paling Menggemaskan.

(Yak, dan bocah-bocah Indonesia segera Googling nama-nama itu).

Mengapa Brasil mengadakan acara kontes yang terdengar aneh semacam itu? Dalam kultur tradisional Brasil, pantat—dalam hal ini pantat wanita—adalah bagian tubuh yang memiliki makna signifikan dalam budaya Brasil, seperti popularitas tarian pantat, di antara anak-anak muda.

Cacau Oliver, koordinator kontes tersebut, menyatakan, “Saya rasa iklim tropis, karnaval, dan semua percampuran ras ini, memberi campuran biologis unik bagi wanita Brasil. Bagian belakang tubuh wanita Brasil adalah yang paling dikagumi seluruh dunia, dan kontes ini mengonfirmasi fakta tersebut.”

Saya teringat pada kontes pantat di Brasil setelah suntuk membaca pro kontra acara Miss World yang (akan) diadakan di Bali, Indonesia, baru-baru ini. Meski acara Miss World bukan hal baru di dunia, namun—entah mengapa—sebagian orang Indonesia selalu ribut setiap kali acara itu diadakan. Apalagi sekarang acara itu diadakan di Indonesia.

Yang pro acara itu menyatakan bahwa kontes Miss World hanyalah acara biasa yang kebetulan diikuti para wanita. Sedang yang kontra biasanya menyatakan bahwa acara semacam itu tidak layak diikuti apalagi diadakan di Indonesia yang berbudaya luhur. Biasanya pula mereka mengait-ngaitkan ajaran agama untuk menentang acara tersebut.

Sejujurnya, saya tidak pernah tertarik dengan acara kontes Miss World atau Miss Universe, dan saya tidak peduli siapa yang menjadi pemenang, dari negara mana, atau bagaimana kriteria penilaiannya. Bagi saya, acara Miss World atau Miss Universe tak jauh beda dengan infotainment atau kontes-kontesan di televisi. Sekadar unjuk kebolehan, pencarian popularitas, kehebohan sesaat, dan upaya menjaring keuntungan melalui iklan. Hanya medianya saja yang berbeda.

Yang jadi pertanyaan, mengapa sebagian orang Indonesia selalu ribut setiap kali acara itu diadakan? Kita masih ingat, setiap tahun, setiap kali ada wanita Indonesia berangkat ke luar negeri untuk mengikuti kontes Miss World atau Miss Universe, ribut-ribut itu selalu terjadi. Dukungan dan tentangan. Pujian dan cemoohan. Lalu media ramai-ramai mengutip pendapat orang-orang yang dianggap tokoh untuk “membumbui” keributan itu. Hasilnya, setiap tahun Indonesia menggelar “kontes ribut-ribut”, mengiringi kontes kecantikan itu.

Dan kita tak pernah bosan. Itulah anehnya.

Kadang-kadang, saya berpikir bahwa yang menjadikan orang tak pernah bosan meributkan kontes Miss World atau Miss Universe karena acara itu melibatkan para wanita. Dan membicarakan wanita, kita tahu, tak pernah ada habisnya. Karenanya pula, saya pun kadang berpikir mereka yang selalu ribut itu tak jauh beda dengan bocah-bocah remaja yang saling ribut dengan temannya saat membicarakan teman-teman cewek mereka di sekolah.

Kenyataan itulah yang kemudian ditangkap oleh sebagian orang, yang lalu berinisitif mengadakan kontes-kontes yang melibatkan wanita. Mereka tahu, wanita adalah daya tarik—bukan hanya bagi lawan jenisnya, tetapi juga bagi sesama jenis mereka. Semua orang tahu, wanita suka mengamati wanita lainnya. Karenanya pula, Miss World atau Miss Universe menjadi kontes “sempurna” untuk tujuan itu, saat semua perhatian dunia terarah, dan media-media di mana pun tertarik meliputnya.

Bagi sebagian orang, kesuksesan dan kehebohan Miss World kemudian memunculkan ide untuk mengadakan acara serupa, yang lebih spesifik. Jika kontes Miss World menilai wanita secara luar dalam, kontes-kontes lain yang kemudian bermunculan hanya menitikberatkan penilaian pada bagian tertentu. Maka muncullah kontes payudara terindah, kontes betis terindah, hingga kontes pantat terindah.

Objeknya sama, tujuannya sama—apa pun dalihnya.

Kenyataannya, peminat acara kontes-kontesan semacam itu tak pernah sepi. Apalagi jika ditujukan untuk para wanita. Secara naluri, setiap orang menyukai persaingan, untuk menunjukkan diri sebagai yang paling hebat. Ketika faktor penilaian ditujukan pada keindahan fisik, wanita yang merasa cantik pun tergugah minatnya. Mereka ingin diakui sebagai yang tercantik, terindah, terhebat—itu naluri setiap wanita.

Jadi, tiga faktor bertemu di sini. Satu, setiap orang memiliki perhatian terhadap wanita. Dua, setiap wanita ingin diakui sebagai yang tercantik. Tiga, acara itu mendatangkan keuntungan bagi panitianya. Tampaknya tidak ada yang dirugikan, semuanya senang. Panitia mendapatkan keuntungan, peserta mendapatkan kebanggaan, khalayak mendapatkan kesenangan, bahkan media pun mendapat bahan liputan.

Tapi pihak yang menentang acara itu menyatakan, acara kontes semacam Miss World tidak layak diadakan, karena mengeksploitasi kaum wanita, bahkan merendahkan martabat wanita. Tentu saja mereka berhak mengajukan pendapat semacam itu. Tapi bagaimana jika para wanita yang mengikuti kontes Miss World—atau kontes semacamnya—tidak merasa dieksploitasi dan direndahkan?

Eksploitasi terjadi jika pihak yang dieksploitasi belum cukup umur, atau tidak/belum bisa memahami bahwa dirinya dieksploitasi. Dalam hal kontes Miss World, acara itu diikuti wanita-wanita yang secara umur telah dewasa, secara intelektual dianggap pintar, dan tentunya mereka orang-orang waras.

Karenanya, jika memang praktik eksploitasi terjadi, maka tentunya wanita-wanita itu akan menyadari. Tapi kenyataannya mereka tak pernah protes atau menuduh panitia telah melakukan eksploitasi. Mereka bahkan tampak bangga ketika berpose dalam acara itu, kemudian foto-foto sumringah mereka tersebar ke seluruh dunia. Lalu kita asyik memelototinya.

Jadi, apa yang terjadi di sini? Bagi saya, kenyataannya sangat sederhana. Bahwa kita suka memperhatikan wanita, lalu ada sebagian orang menangkap peluang itu, dan mengadakan kontes yang melibatkan wanita. Ketika kontes itu digelar, naluri purba manusia untuk bersaing pun muncul—wanita-wanita dari berbagai negara berebutan mendaftar. Setelah itu terjadi, sebagian orang merasa terusik karena acara itu dianggap tidak sesuai nilai-nilai mereka. Kesadaran sering kali datang terlambat.

Yang menggerakkan sebagian orang untuk memprotes acara Miss World karena adanya nilai-nilai tertentu, dan acara kontes itu dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai di Brasil menganggap pantat wanita sebagai keindahan yang layak diapresiasi, dan setiap tahun mereka menggelar kontes pantat terindah. Nilai-nilai di Jepang menganggap ketelanjangan sebagai hal yang tak tabu, dan produksi bokep di sana pun terus meningkat dari tahun ke tahun.

Bagaimana nilai-nilai di Indonesia? Sepertinya, dalam hal ini, kita masih setengah-setengah. Setengah matang dan setengah mentah.

Di satu waktu, kita menentang acara kontes Miss World atau Miss Universe, di waktu lain kita penasaran siapa pemenang kontes. Di satu waktu, kita menganggap kontes semacam itu mengeksploitasi wanita, di waktu lain kita asyik membicarakan wanita. Di satu waktu, kita menganggap pantat adalah hal tabu untuk dikonteskan, di waktu lain kita asyik memandangi pantat menggemaskan di jalan-jalan.

Mengapa Salon-salon Menyediakan V-Spa tapi Tidak Menyediakan P-Spa?

Ya, kenapa kenapa kenapaaa...???

Fu... fu... fu...

Seorang Bocah Curhat tentang Mbakyunya

Dengan muka suntuk, bocah itu berkata, “Mbakyuku tuh jahat! Dia pacaran seenaknya, dekat dengan cowok-cowok, tanpa merasa bersalah. Tapi waktu lihat aku akrab dengan cewek dikit aja, dia marah-marah. Uhm... ya nggak terang-terangan sih, marahnya. Tapi pakai nyindir-nyindir yang bikin aku jadi serba salah.”

Dengan sok bijak, saya menghiburnya, “Sing sabar yo, Le. Mbakyuku juga kadang begitu, kok.”

Padahal saya tidak punya mbakyu.

 
;