Jumat, 01 November 2013

Menemukan Gaya Menulis (3)

Topik yang dibahas dalam posting ini sangat berkaitan dengan post sebelum dan sesudahnya. Karenanya, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, bacalah rangkaian posting ini secara berurutan dari awal. Mulailah membaca rangkaian posting ini dari sini.

***

Baiklah, sekarang kita urai satu per satu agar tampak lebih mudah. Pertama, syarat untuk bisa memiliki gaya menulis yang khas adalah wawasan yang luas dan dalam. Artinya, sebelum yang lain-lain, kita harus banyak membaca, banyak membaca, dan banyak membaca. Semua penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Tidak ada satu orang pun bisa menulis dengan baik jika malas membaca.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Membaca, banyak membaca, bukan hanya akan menambah wawasan serta pengetahuan kita, tetapi juga—secara tanpa sadar—akan menunjukkan kepada kita cara menulis yang baik. Kadang-kadang kita membaca suatu buku dengan asyik tanpa kenal lelah atau bosan, meski kita telah membacanya berjam-jam. Di waktu lain, kita sudah merasa bosan dan lelah padahal baru membaca beberapa halaman. Apa artinya itu? Kita mulai mengenali cara menulis yang baik, yang menyenangkan pembaca, dari buku-buku yang kita baca.

Selain itu, penulis adalah produk bacaannya. Dalam menulis, apa yang kita masukkan, itu pula yang akan kita keluarkan. Kita tidak bisa memasukkan sampah dan berharap bisa memunculkan emas, karena menulis bukan proses sulap. Jika kita ingin bisa menulis dengan pengetahuan yang luas dan wawasan mendalam, maka kita pun harus membaca buku-buku yang mendukung ke arah itu.

Luasnya bacaan adalah modal sangat penting—bahkan mutlak—jika ingin melahirkan tulisan yang bernas, berwawasan, sekaligus dalam. Selain itu, membaca secara luas artinya membaca dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari satu perspektif yang sempit. Kata Thomas Aquinas, “Hati-hatilah dengan orang yang hanya membaca satu buku.”

Orang yang hanya membaca buku dari satu perspektif, tak peduli berapa pun banyak buku yang dibacanya, tetap saja “membaca satu buku”. Orang-orang semacam itu biasanya menjadi penulis yang fanatik, picik, berpikiran sempit, merasa diri paling benar, paling suci, dan cenderung mudah menyalahkan orang lain yang tak sepaham dengannya. Hasilnya, tulisan mereka dangkal sekaligus mentah. Itu bukan ciri tulisan yang baik, dan—tentu saja—bukan gaya menulis yang baik.

Jadi, inilah syarat pertama dan terutama untuk bisa menulis dengan baik, sekaligus memiliki gaya menulis yang baik, yaitu berwawasan. Wawasan yang luas dan dalam ditunjang oleh buku-buku yang kita baca. Selain itu, luasnya bacaan yang diserap seseorang juga akan ikut membentuk pribadinya, yang kemudian akan mengalir ke dalam tulisannya.

Jika saya introspeksi, dan mempelajari tulisan-tulisan saya sendiri, saya mengakui bahwa tulisan-tulisan saya dipengaruhi oleh banyak penulis yang buku-bukunya pernah saya baca dengan rakus—di antaranya Dale Carnegie. Kalian yang biasa membaca buku-buku Dale Carnegie mungkin akan mengenali adanya pengaruh dari penulis tersebut dalam tulisan-tulisan saya.

Dale Carnegie memiliki gaya menulis yang sangat khas. Mula-mula, ia menyodorkan cerita yang ditulis sangat menarik, sambil diam-diam menggiring pembaca ke dalam alur yang diinginkannya, kemudian “menjebak” pembaca ke dalam pemikiran yang ia sampaikan dengan argumentasi yang sulit dibantah. Gaya itu sangat melekat dalam tulisan-tulisan saya, bahkan tanpa saya sadari sebelumnya. Artinya, penulis dipengaruhi oleh penulis lain yang karyanya sering dibaca.

Dale Carnegie tidak pernah mengajarkan gaya menulis kepada saya, ia bahkan tidak mengenal saya. Tetapi, karena saya sangat rakus membaca tulisan-tulisannya, pengaruh gaya menulisnya tanpa sadar teradopsi ke dalam tulisan-tulisan saya. Karena saya juga rakus membaca karya-karya penulis lain, maka masing-masing gaya penulis itu pun ikut memberikan pengaruh ke dalam tulisan saya—dari gaya Kahlil Gibran yang sastrawi, sampai gaya Sidney Sheldon yang kadang penuh caci-maki.

Lanjut ke sini.

 
;