Kamis, 07 November 2013

Rehat

Kapan terakhir kali aku bisa santai?
Rasanya sudah lama sekali, sebegitu lamanya
sampai aku lupa cara bersantai.
@noffret 


Dua bulan yang lalu, saya jatuh sakit karena kelelahan, seperti yang saya tuliskan sekilas di sini. Ketika sudah mulai sehat, tumpukan pekerjaan membuat saya segera sibuk lagi, dan lupa kemarin sakit. Sekarang, saya kembali terkapar karena sebab yang sama. Kelelahan. Tampaknya saya belum belajar.

Hidup orang per orang adalah sekolah tak terlihat. Dalam sekolah itu, kita masing-masing mendapatkan pelajaran yang secara khusus ditujukan untuk kita. Jika sebuah pelajaran diberikan dan kita memahaminya, maka nilai kita bertambah, dan kita pun diberi pelajaran yang lain. Namun, jika suatu pelajaran diberikan, dan kita tidak juga paham, maka pelajaran yang sama akan terus diberikan, berulang-ulang, dengan beragam cara, dalam berbagai bentuk, sampai kita benar-benar paham.

Saya telah diberi pelajaran dalam bentuk sakit, karena tidak menjaga kesehatan, karena terlalu memforsir diri. Tapi rupanya saya belum memahami pelajaran itu. Maka sekali lagi saya diberi pelajaran yang sama, namun dalam kadar yang lebih berat, agar mungkin kali ini saya benar-benar paham, agar tidak mengulangi kesalahan sebelumnya. 

Seminggu yang lalu, saya terbangun dari tidur dan merasakan tubuh yang seolah remuk. Badan rasanya sakit semua. Tetapi, yang terasa paling parah di bagian punggung dan dada sebelah kanan. Saya mencoba mengoleskan balsem di bagian yang sakit, berharap rasa sakit itu berkurang. Tapi sakitnya tetap terasa.

Sakit di bagian punggung dan dada itu masih juga terasa keesokan harinya, bahkan rasanya makin parah. Untuk bergerak sedikit saja, rasanya sakit sekali. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di bagian dada dan punggung. Ketika saya terbatuk atau bersin, rasanya sakit. Lama-lama, bahkan untuk menarik napas pun rasanya sakit. Apa yang terjadi, pikir saya dengan panik.

Kondisi itu seharusnya membawa saya ke dokter untuk memeriksakan diri. Tapi saya mikir-mikir untuk melakukannya. Jika ke dokter, pikir saya, maka dokter tidak hanya akan memeriksa kondisi saya, tapi juga akan meresepkan obat atau pil yang harus saya minum. Itu yang paling saya khawatirkan. Pertama, saya tidak bisa menelan pil. Kedua, setiap hari, saya sudah mengonsumsi 4 sampai 8 butir pil untuk meredakan sakit kepala yang sering saya alami. Saya tidak mau menambah konsumsi pil lagi. Timbunan bahan kimia di tubuh saya sudah terlalu banyak.

Akhirnya, sambil menahan rasa sakit yang makin parah, saya memutuskan untuk pijat saja. Saya punya tukang pijat langganan, yang rumahnya tidak jauh dari rumah nyokap. Setiap kali habis dipijat orang itu, saya selalu merasa badan sangat enak, persis seperti kendaraan yang baru diservis.

Hari itu, sambil memijat badan saya yang terasa tak karuan, si tukang pijat memberitahu bahwa saya mengalami “salah urat”. Oh, well, salah urat mungkin terdengar tidak akademis. Tapi dia tukang pijat jempolan. Sebelum saya memberitahu apa yang saya rasakan, dia sudah tahu hanya dengan menyentuh sekilas punggung saya yang sakit. Dia juga memberitahu kenapa saya sampai bisa mengalami salah urat semacam itu. Dan sepertinya dia benar.

Biasanya, seusai dipijat, badan saya sudah terasa enak. Tapi hari itu tak terjadi. Bagian dada dan punggung yang sakit masih terasa sakit. “Ini memang agak berat, Mas,” ujar si tukang pijat. “Dibutuhkan beberapa hari untuk benar-benar sembuh dari sakitnya.”

Jadi begitulah. Sampai hari ini, sakit di dada dan punggung itu masih terasa, meski sudah tidak separah sebelumnya. Si tukang pijat, yang telah mengenal saya sejak kecil—karena dulu kami bertetangga—berpesan, “Kalau bisa, beberapa hari mendatang banyak istirahat dulu, biar badan punya kesempatan memperbaiki diri.”

Itulah yang sekarang saya lakukan—beristirahat, memberi waktu bagi tubuh untuk memperbaiki diri. Tubuh manusia, sebenarnya, jauh lebih hebat dari mesin apa pun yang bisa diciptakan manusia. Tetapi, sehebat apa pun, tubuh tetap butuh istirahat, butuh waktu memperbarui diri, dan terkadang juga perlu kesempatan memperbaiki diri jika ada yang tidak beres. Istirahat, meski mungkin terdengar remeh, sesungguhnya sangat dibutuhkan.

Sepertinya saya harus mulai akrab dengan istilah itu—istirahat.

Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya teringat ucapan Jonah, sohib saya, beberapa bulan yang lalu, “Da’, kamu ngerasa nggak sih, mukamu sekarang lebih sering kelihatan tegang. Kayaknya kamu kurang tersenyum.”

Waktu itu saya tidak terlalu menghiraukan ucapan itu. Tetapi, sekarang, saya pikir Jonah benar—saya memang telah lama kurang tersenyum. Jika diingat-ingat, rasanya sudah lama sekali saya bisa tersenyum dan tertawa lepas. Tahun-tahun terakhir ini lebih banyak diisi stres, deadline, tuntutan pekerjaan, dan berbagai masalah yang menguras pikiran. Sudah lama saya tak tersenyum. Sudah lama saya tak bersantai.

“Cobalah cari pacar,” ujar Jonah waktu itu. “Kayaknya kamu butuh seseorang yang bisa membuatmu tersenyum.”

Kedengarannya indah, pikir saya. Tetapi, jika diingat-ingat, saya bukan lelaki yang bisa berpacaran dengan baik. Seumur-umur, saya cuma dua kali pacaran—itu pun sudah lama sekali—dan dua-duanya rusak karena pacar saya merasa “tidak dipedulikan”, dan mereka menuduh saya “lebih sibuk dengan pekerjaan”. Dua hubungan yang gagal itu telah memberi pelajaran bahwa saya mungkin tidak usah pacaran, karena hanya akan menyakiti perasaan pacar saya.

Meski mungkin terdengar aneh, tapi saya benar-benar sudah lupa rasanya punya pacar. Saya sudah lupa rasanya pacaran, sebagaimana saya lupa rasanya tertawa lepas, rasanya bersantai, rasanya hidup tanpa beban masalah.

Hidup yang aneh, pikir saya. Rasanya baru kemarin saya menjalani masa kanak-kanak, rasanya baru kemarin saya menikmati hari-hari bebas sebagai bocah yang bisa tertawa lepas, dan sekarang, tiba-tiba, saya telah menjadi manusia dewasa dengan segala masalah hidup, tuntutan stres, tumpukan kerja, dan lingkaran kesibukan yang melemparkan saya dalam keterasingan.

Tiba-tiba saya menyadari betapa banyaknya hal biasa yang kini telah menjadi asing bagi saya—seperti istirahat, bersantai, tersenyum, tertawa, atau punya pacar.

Mungkin memang ada yang salah dengan hidup saya. Entahlah. Yang jelas, kini saya memang harus beristirahat, untuk memulihkan kondisi tubuh yang sedang sakit, untuk kembali menjernihkan pikiran, untuk kembali menata hari-hari yang akan datang. Dan, siapa tahu, juga untuk menemukan seorang pacar. Untuk belajar kembali menjadi manusia normal.

 
;