Kamis, 30 Januari 2014

Pentingnya Mbakyu Dalam Peradaban Umat Manusia

Mbakyuuuuuuuuuuu, mbakyu!
@noffret


Saya tidak suka menghadiri acara-acara sosial, karena hampir bisa dipastikan acara semacam itu akan penuh basa-basi. Dan saya kurang memiliki keterampilan dalam acara-acara sosial, sekaligus agak sulit berbasa-basi. Tapi kemarin malam saya diajak wanita ini untuk mengunjungi suatu acara yang harus dihadirinya, dan saya pikir tak ada salahnya menjadi pendamping.

Sesampai di tempat acara, orang-orang tampak berkumpul ramai, saling berceloteh membahas hal-hal tidak penting bagi umat manusia. Sesekali terdengar tawa haha hihi di berbagai sudut, dengan suara gelas-gelas berdenting.

Tepat seperti yang telah saya duga, saya merasa tidak nyaman di tempat itu. Sesekali saya tengak-tengok ke sana kemari, mencari-cari wajah yang mungkin saya kenal.

Untungnya, wanita yang mengajak saya tahu betul yang saya rasakan, dan dia pun membawa saya ke tempat yang agak sepi. Di salah satu sudut ruangan, dia berkata, “Sementara aku mengikuti acara yang penuh omong kosong ini, kamu bisa duduk di sini. Kamu tidak keberatan?”

Saya mengangguk dengan patuh, lalu duduk di sebuah sofa yang lengang. “Oke, kamu bisa pergi,” ujar saya kepadanya setelah duduk dengan nyaman.

Dia berdiri sesaat menatap saya, memastikan saya benar-benar nyaman. “Kamu ingin dibawakan sesuatu?”

Saya menengok meja di sebelah tempat duduk, dan tampak beberapa gelas minuman serta keranjang anggur, juga beberapa kue di atas nampan. Sepertinya tidak ada yang saya butuhkan. Jadi saya pun berkata, “Ya, bawakan aku cewek cakep. Please!”

Dia melotot. Lalu pergi.

Setelah dia pergi, saya mengambil sepotong pie bertabur gula di atas meja, dan meneguk minuman. Yang menyenangkan dalam acara seperti ini, makanan dan minuman yang dihidangkan selalu lezat. Bocah-bocah glamor itu memang tahu cara berpesta, pikir saya. Setelah cukup puas menikmati hidangan di atas meja, saya menyulut rokok, dan duduk termenung.

Tempat duduk saya relatif jauh dari kerumunan orang dalam acara itu. Jadi, sementara mereka asyik membahas hal-hal tidak penting bagi kemajuan nusa dan bangsa, saya duduk sendirian memikirkan hal-hal penting bagi kemaslahatan dunia. Dan, entah bagaimana asal usulnya, tiba-tiba saya kepikiran untuk merenungkan pentingnya mbakyu dalam peradaban umat manusia.

Apa jadinya dunia ini tanpa mbakyu, pikir saya dengan masygul. Bersama asap rokok yang mengepul, saya membayangkan dunia yang kita tinggali ini pasti sangat suram dan menyedihkan jika tidak ada mbakyu. Neil Armstrong tidak akan sampai di Bulan, Bill Gates tidak akan menemukan Windows, bahkan Thomas Edison tidak akan menemukan bola lampu.

Tunggu, tunggu, apa hubungannnya orang-orang itu dengan mbakyu?

Saya tidak tahu! Tapi waktu itu saya berpikir semua berhubungan dengan mbakyu. Tanpa mbakyu, peradaban umat manusia pastilah masih berada di zaman prasejarah, dan kita semua masih telanjang sambil berlari-lari di hutan liar untuk berburu binatang. Tanpa mbakyu, kita pasti masih tinggal di gua-gua, membahas hal-hal tidak penting, dan mencoret-coret dinding dengan batu.

Lamunan saya terhenti ketika seseorang menepuk pundak saya, dan menyapa dengan akrab. Saya menengok, dan melihat wajah yang saya kenal.

“Apa kabar?” sapanya ramah, sambil duduk di samping saya. “Tampaknya serius sekali. Lagi mikir apa?”

“Lagi mikir mbakyu,” jawab saya jujur.

Dia tertawa. “Kamu tuh, tidak di tulisan, tidak di obrolan, yang dibahas selalu itu.”

“Memangnya aku harus membahas apa lagi? Itu memang sesuatu yang harus dipikirkan dengan penuh kesungguhan. Barusan aku malah berpikir betapa pentingnya peran mbakyu dalam peradaban umat manusia.”

Dia menatap saya serius. “Coba ceritakan.”

Saya mengambil gelas minuman, membasahi kerongkongan, kemudian berkata perlahan-lahan, “Kamu tahu mengapa Neil Armstrong sampai di Bulan?”

Dia mengeleng. “Tidak.”

“Kamu tahu mengapa Bill Gates menemukan Windows?”

“Tidak.”

“Kamu tahu mengapa Thomas Alva Edison menemukan bola lampu?”

“Tidak.”

“Kamu tahu mengapa Einstein menemukan rumus E sama dengan Em-Ce kuadrat?”

“Tidak.”

Saya menatapnya dengan prihatin, kemudian berbisik, “Semua itu terjadi karena mbakyu.”

Dia menatap saya dengan tercengang. “Kamu sudah minum obat?”

“Kamu pasti menganggapku melantur!” ujar saya dengan jengkel.

“Uhm... aku tidak tahu harus menganggapmu bagaimana.” Dia berkata serius. “Yeah, aku kenal siapa kamu. Tapi, uhm... aku tidak paham bagaimana semua hal yang kamu jelaskan itu berhubungan dengan mbakyu.”

“Aku juga tidak paham.”

“Sori?”

“Aku juga tidak paham bagaimana semua itu berhubungan dengan mbakyu.”

Dia menatap saya sungguh-sungguh, memastikan saya benar-benar waras. “Apa yang kamu minum barusan?” tanyanya kemudian.

“Ini sama sekali tidak berhubungan dengan minuman apa yang aku minum,” jawab saya dengan jengkel. “Percayalah, aku tidak mabuk, dan penjelasanku tadi benar-benar dilandasi akal sehat.”

Dia tampak ragu-ragu. “Uhm... iya sih, tapi... uhm, coba jelaskan dari awal secara masuk akal, bagaimana kamu bisa menyimpulkan semua hal tadi terjadi karena mbakyu.”

Saya mengisap rokok sesaat, kemudian berujar, “Kamu tahu mengapa Adam keluar dari surga?”

Tiba-tiba dia ngakak sejadi-jadinya. Entah kenapa.

Terberkatilah Engkau

Di dunia ini, demi Tuhan yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, tidak ada yang lebih indah dan mempesona selain wanita dewasa, yang pikiran serta hatinya sama dewasa.

Yang jadi masalah, sering kali mereka sudah menikah.

Oh, well.

Terberkatilah engkau, wanita dewasa yang tetap melajang.
Terberkatilah engkau, wanita dewasa yang tegar sendirian.
Terberkatilah engkau, wanita dewasa yang menyadari punya pilihan.
Terberkatilah engkau, wanita dewasa yang tidak dirisaukan perkawinan.

Terberkatilah engkau, wanita dewasa yang masih punya waktu memikirkan dunia, memikirkan sesama manusia, demi Bumi yang lebih baik, demi kehidupan yang lebih baik, demi peradaban yang lebih baik.

Kepada hati dan pikiranmu, keindahan Bumi dicipta dan diguratkan.

Sabtu, 25 Januari 2014

Catatan Seorang Introver

Teduhkan aku dengan mendung yang nyaman,
bukan dengan langit yang menghitam.
@noffret 


Saya seorang introver. Introver adalah bahasa Indonesia, yang merupakan serapan dari istilah bahasa Inggris—introvert. (Perhatikan huruf “t” di akhir kata). Introver berbeda dengan inferior. Untuk penjelasan lebih lengkap, dan lebih ilmiah, silakan buka kamus psikologi.

Introver sebenarnya bukan “kelainan” yang bersifat eksklusif. Diperkirakan, lebih dari sepertiga penduduk Bumi adalah orang introver. Artinya, hampir separuh dari kita adalah introver, meski kita mungkin tidak mengenalinya, atau bahkan tidak menyadari bahwa sebenarnya kita juga tergolong introver. Hal ini disebabkan karena kekurangtahuan banyak orang terhadap sifat introver, atau karena mitos-mitos keliru yang banyak beredar mengenai orang introver.

Sebenarnya, introver ataupun ekstrover hanyalah sifat biasa—sama biasanya dengan pemalu atau periang. Ini bukan kelebihan atau kekurangan, karena sifat itu dibentuk dari gen, keluarga, lingkungan, dan latar belakang masing-masing orang.

Ekstrover maupun introver memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri. Jika orang ekstrover punya potensi untuk sukses, orang introver juga punya potensi yang sama. Jika orang ekstrover berbakat menonjol dalam bidang-bidang tertentu, orang introver juga tak jauh beda.

Berikut ini beberapa contoh orang introver, dan coba lihat apa yang mereka lakukan, serta apa yang telah mereka capai.

Bill Gates seorang introver, tapi dia berhasil mengubah dunia melalui Windows dan personal komputer. J.K. Rowling seorang introver, tapi dia memukau dunia melalui sentuhan imajinasinya. Mahatma Gandhi seorang introver, tapi dia menjadi salah satu orang yang sangat dihormati sepanjang masa. Isaac Newton seorang introver, tapi dia menempati peringkat atas sebagai ilmuwan yang sangat hebat. Begitu pula Albert Einstein dan Stephen Hawking.

Abraham Lincoln seorang introver, tapi dia berhasil menjadi pemimpin negara terbesar di dunia, bahkan mengubah sejarah Amerika untuk selamanya. Warren Buffet seorang introver, tapi dia menjadi investor nomor satu di dunia. Emma Watson seorang introver, tapi dia berhasil menjadi artis terkenal. Begitu pula Courtney Cox dan Christina Aguilera.

Banyak orang yang keliru mempersepsikan introver dengan sifat-sifat tertentu yang sebenarnya tidak berhubungan. Misalnya, banyak orang mengira seorang introver tidak mau atau tidak bisa tampil di depan umum. Belum tentu!

J.K. Rowling, Warren Buffet, atau Bill Gates, seorang introver. Tapi mereka enjoy muncul di televisi, diwawancarai koran dan majalah. Iwan Fals juga seorang introver, tapi kita tentu tidak bisa menuduhnya “tidak bisa tampil di depan umum”. Dia bahkan sangat memukau saat menyanyi di atas panggung. Ketika masih kuliah, saya juga sering menjadi pembicara di forum yang dihadiri banyak orang, padahal saya seorang introver.

Sebagai introver, kesulitan yang sering saya alami bukan tampil di depan forum untuk berbicara—itu bahkan terasa mudah, selama saya menguasai topik yang akan dibicarakan. Yang terasa sulit bagi saya adalah berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain di acara atau pertemuan yang membutuhkan banyak basa-basi. Misalnya, di acara resepsi perkawinan, pesta, acara kumpul-kumpul informal, atau semacamnya.

Ketika harus berada di tengah-tengah orang banyak, dan di dalamnya dibutuhkan banyak basa-basi, saya sering mengalami kesulitan. Saya telah menyadari hal itu sejak kecil, dan saya telah berusaha belajar untuk bisa berbasa-basi dengan lebih baik. Sekarang, saya cukup mampu melakukan basa-basi dengan orang lain, meski mungkin belum bisa dibilang ahli, karena masih kaku.

Nah, sifat introver pula yang kadang membuat saya agak kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain. Sebelum saling kenal, orang biasanya akan mengira saya angkuh—karena mungkin sikap saya tampak begitu. Tapi setelah kenal, apalagi saya merasa nyaman bersamanya, saya pun bisa asyik ngobrol dengannya semalam suntuk, bercerita apa saja, membahas apa saja, sambil bercanda dan tertawa-tawa.

Rasa nyaman—itulah yang paling saya butuhkan ketika berhubungan dengan orang lain. Baik untuk pertemanan, apalagi untuk hubungan yang lebih serius semacam pacaran.

Bertahun-tahun lalu, saya berkawan dengan seorang bocah bernama Agus Bagong—itu nama populernya di kalangan pergaulan kami. Sekarang dia menjadi wartawan di harian Suara Merdeka. Nah, awal pertemanan saya dengan dia bisa dibilang sangat unik, dan menjadi salah satu contoh bagaimana kenyamanan menjadi hal paling penting—bahkan mutlak—bagi saya untuk melangsungkan suatu hubungan.

Saya dan Agus mulanya kadang bertemu di suatu tempat forum diskusi. Tapi waktu itu kami hanya sebatas saling kenal. Sampai kemudian, suatu malam, dia datang ke rumah saya sendirian. Saya terkejut ketika membuka pintu, dan mendapatinya berdiri dengan muka bingung. Saya mempersilakannya masuk, dan kami bercakap-cakap dengan kaku. Meski telah saling kenal, tapi waktu itu kami belum menjadi teman. Jadi, percakapan kami belum nyambung, bahkan terasa kurang nyaman.

Sekitar satu jam kemudian, dia pamit.

Beberapa hari kemudian, dia datang lagi, dan kami kembali bercakap-cakap dengan kaku seperti sebelumnya. Sebenarnya, percakapan itu bahkan tidak bisa disebut percakapan, karena kadang dia ngomong A dan saya menjawab B. Intinya tidak nyambung. Dan kami (khususnya saya) tetap merasa belum nyaman.

Seiring bergantinya hari, percakapan yang semula kaku mulai terasa cair, obrolan yang semula kurang nyambung mulai nyambung, dan perasaan yang semula tidak nyaman berangsur-angsur menjadi nyaman. Akhirnya, seiring dengan itu, kami pun semakin akrab dan benar-benar menjadi teman. Ketika saya mulai nyaman bersamanya, saya pun merasa bebas mengobrolkan apa saja, dan waktu-waktu itu kami sering ngobrol sampai subuh, dengan canda dan tawa membahana.

Kisah itu menjadi cermin bagi saya bahwa kenyamanan adalah hal paling penting ketika saya ingin melangsungkan suatu hubungan. Dengan sesama lelaki, apalagi dengan perempuan. Tak peduli dengan siapa pun, yang paling saya butuhkan adalah rasa nyaman. Jika seseorang mampu memberikan itu, saya akan menjadi temannya. Jika tidak, kemungkinan besar kami juga akan sulit berteman.

Kadang-kadang, rasa nyaman dengan seseorang muncul karena pertemuan yang intens, seperti kisah dengan Agus yang saya ceritakan di atas. Tapi kadang-kadang pula, rasa nyaman juga bisa muncul karena hal-hal lain—misalnya karena memiliki filosofi hidup yang sama. Meski mungkin belum pernah bertemu, bisa jadi saya akan merasa nyaman dengan seseorang, jika kami memiliki suatu kesamaan yang bersifat esensial.

Lebih dari satu tahun yang lalu, saya kenal dengan seorang perempuan di internet. Dan dalam waktu singkat saya bisa merasa nyaman dengannya, meski waktu itu kami belum pernah bertemu. Saya hanya membaca sebaris kalimat filosofi hidupnya di Google+, yang memiliki kesamaan dengan saya. Cuma itu, dan saya langsung merasa nyaman dengannya.

Setelah saling kenal, kami pun berkomunikasi intens lewat e-mail, dilanjutkan lewat ponsel, dan—karena merasa nyaman—kami bisa ngobrol apa saja, lengkap dengan canda dan tawa. Waktu itu, meski kami belum pernah bertemu, saya nyaman mengobrolkan apa saja dengannya—sesuatu yang tidak akan saya obrolkan dengan orang lain. Dia orang yang terbuka, ramah, tidak sok jaim apalagi sok alim, dan kejujurannya membuat saya nyaman bersamanya.

Setelah berbulan-bulan berkomunikasi secara intens, kami memutuskan untuk bertemu, dan saya tidak punya alasan untuk menolak. Dia telah memberi satu hal penting bagi saya—kenyamanan. Setelah saya merasa nyaman dengan seseorang, saya bisa menjadi temannya. Dan ketika menemuinya, saya merasa sedang menemui seorang teman, bukan menemui orang yang sekadar saya kenal.

Kenyamanan, sekali lagi, adalah hal paling mendasar yang saya butuhkan sebelum melangsungkan hubungan dengan seseorang. Ini bukan berarti saya pilah-pilih dalam berteman—tolong ingat sifat saya yang introver. Sebagai introver, saya sering kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain, meski sebenarnya saya ingin berteman dengan siapa pun.

Sejujurnya, saya sering iri melihat orang yang bisa enjoy bercakap-cakap dengan orang asing, lalu mereka bisa berteman dalam waktu singkat. Saya juga sering iri melihat cowok-cowok yang bisa pedekate pada seorang cewek, kemudian dalam waktu singkat bisa menjalin hubungan pacaran.

Saya ingin sekali bisa seperti itu, tapi saya benar-benar tak mampu, atau setidaknya sangat kesulitan. Karena itu, jika seseorang bisa memberi rasa nyaman kepada saya, maka saya akan sangat berterima kasih kepadanya, dan dia akan menjadi teman saya.

Itu untuk hubungan pertemanan. Bagaimana dengan hubungan yang lebih serius, semisal pacaran? Sama saja—kenyamanan tetap menjadi syarat mutlak! Jika untuk berteman saja saya membutuhkan proses tertentu agar benar-benar nyaman, apalagi untuk hubungan pacaran yang bisa dibilang lebih serius dibanding sekadar berteman?

Kalau saya naksir seseorang, tapi kami belum lama kenal—atau intensitas komunikasi kami belum bagus—saya tidak akan memberanikan diri melangkah lebih jauh, semisal mengajak kencan, bahkan umpama dia menunjukkan sikap positif. Mungkin standar moral saya terlalu tinggi, atau mungkin pula itu dilatari sifat saya yang introver. Yang jelas, saya membutuhkan kedekatan yang memberi rasa nyaman terlebih dulu sebelum melangkah lebih jauh.

Lebih dari itu, saya tipe orang yang menganut “cinta hadir karena kebersamaan”.

Cinta hadir karena kebersamaan, dan kebersamaan hadir karena rasa nyaman. Mungkin saya bisa jatuh cinta pada seseorang, padahal kami belum saling kenal. Tapi saya tidak akan berusaha menjadikannya pacar, sebelum kami bisa berteman. Pertemanan—dan kebersamaan yang penuh kenyamanan—adalah syarat mutlak bagi saya untuk menjadikan seseorang sebagai pacar.

Sebagai lelaki, kadang saya naksir perempuan, kemudian melakukan pendekatan. Lelaki lain mungkin menjadikan pendekatan sebagai langkah awal untuk menjadikan pacar. Tetapi saya menjadikan pendekatan sebagai pintu masuk ke pertemanan. Pertemanan, bagi saya, adalah ujian sebelum masuk ke hubungan pacaran.

Rumusnya sederhana: Jika seseorang gagal menjadi teman, kemungkinan besar ia akan gagal menjadi pacar. Kalau ngobrol saja masih belum nyambung, bagaimana kita berharap bisa bergandeng tangan?

Bagi saya, tidak ada pacaran tanpa pertemanan, dan tidak ada pertemanan tanpa rasa nyaman. Kenyamanan dengan seseorang adalah syarat mutlak bagi seorang introver seperti saya—tidak hanya untuk hubungan pacaran, tetapi juga untuk pertemanan.

....
....

Yang ingin saya sampaikan melalui catatan ini adalah agar kita bisa lebih berempati terhadap orang lain, khususnya kepada orang-orang yang (mungkin) introver, atau tampak “tidak seperti kita”. Orang yang tampaknya antisosial, tidak mau bergaul dengan orang lain, hingga kemudian kita menyimpulkannya sombong, sebenarnya belum tentu memang seperti itu.

Sejauh yang saya tahu, setiap orang sebenarnya suka berteman dengan orang lain, hanya kadang mereka merasa tidak mampu, atau tidak nyaman. Karenanya, sikap terbaik yang bisa kita lakukan bukan memvonis mereka dengan praduga yang bisa jadi negatif, melainkan berempati dan memahami mengapa mereka seperti itu.

Jika kita bisa menempatkan diri dengan baik, dan memperlakukan orang-orang itu dengan tepat hingga mereka bisa merasa nyaman, mereka pun akan menunjukkan dirinya yang asli—seseorang yang sebenarnya menyenangkan dijadikan teman, namun mungkin tertutup cangkang bernama ketidaknyamanan.

Dan, bagi cewek-cewek. Kalau cowok gebetanmu tampak pedekate tapi sikapnya tidak jelas, jangan buru-buru memvonisnya PHP. Bisa jadi dia seorang introver yang pedekate dengan tujuan menjadikanmu teman, tapi kau buru-buru menganggapnya pedekate untuk pacaran. Ketika itu terjadi, dia justru akan mundur—atau setidaknya menahan diri—karena merasa tidak nyaman. (Sekarang kita mulai melihat mengapa ada banyak cewek yang “merasa” di-PHP, padahal yang mereka “rasa” belum tentu benar).

Solusinya? Sangat mudah. Perlakukan dia sebagaimana kau memperlakukan temanmu yang lain—dengan keramahan, tanpa sok jaim-jaiman—hingga dia merasa nyaman. Setelah dia benar-benar nyaman, tunjukkan respon positif agar dia tidak ragu. Setelah itu... dia milikmu.

Galau Tengah Malam

Aku kangen mbakyuku, Tuhan.

Tiba-tiba aku kangen mbakyukuuuuhh...!

....
....

Aku kudu piye iki...?

Seekor Anjing Mati di Selokan Sempit Depan Rumah Pemiliknya

Catatan mengenai hal ini akan panjang sekali, karena melibatkan banyak hal—anjing, manusia, selokan sempit, rumah, hingga kematian. So, saya harus siap-siap dulu sebelum menulisnya.

Uhm... sebentar, saya mau bikin teh dulu.

Dan nyulut rokok. Dan mikir.

....
....

Mungkin masih lama, tidak usah ditunggu.

Kalian pergi saja.

Senin, 20 Januari 2014

Masyarakat, Ustad, dan Malaikat

Banyak hal yang tak berbeda, kecuali versinya.
Kupikir, begitu pun manusia.
@noffret


Pada akhir 1900-an, ada seorang penulis muda yang fenomenal. Kita sebut saja namanya Mister X. Buku-buku karyanya bestseller, nama serta foto-fotonya menghiasi koran dan majalah, acara live-nya dibanjiri banyak orang, bahkan majalah TIME edisi Asia merasa perlu memuat profilnya dengan pujian yang menyanjung. Sebagaimana kemunculannya bisa dibilang secepat meteor, redup cahaya pun lengser dalam waktu singkat.

Di era kejayaan dan popularitasnya, Mister X pernah dihubungi sebuah koran untuk mengasuh rubrik konsultasi yang muncul seminggu sekali. Karena koran atau surat kabar itu dinilai sejalan dengan idealismenya, Mister X pun bersedia, dan sejak itu ia menjawab surat-surat yang dikirim para pembaca koran tersebut, untuk kemudian diterbitkan dalam rubrik yang muncul di akhir pekan.

Kerjasama itu berjalan beberapa waktu, dan semuanya lancar tanpa masalah. Para pembaca koran—khususnya para remaja—mengirimkan surat-surat mereka, Mister X menjawabnya, kemudian redaktur koran akan menerbitkannya untuk dibaca semua orang. Sebagai kompensasi, Mister X mendapatkan honorarium tetap dari pihak koran. Sampai suatu hari, pihak koran tersebut menghentikan kerjasama mereka.

Mister X terkejut dengan pemutusan hubungan yang dinilainya tiba-tiba, dan bertanya-tanya apa masalahnya.

Sebenarnya tidak ada masalah. Sejauh berkaitan dengan kerjasama mereka, sama sekali tidak ada masalah.

Namun, Mister X mungkin terlalu naif dalam menghadapi kerjasama tersebut, dan pihak koran juga tidak terus terang menyatakan tujuan kerjasama mereka.

Pihak koran meminta Mister X untuk mengasuh rubrik mereka, karena menilai popularitas Mister X dapat mendongkrak penjualan, dan menambah jumlah pelanggan. Waktu itu bisa dibilang era keemasan Mister X—banyak anak muda yang menggilainya. Karenanya, dengan memasukkan Mister X ke koran mereka, diharapkan bisa menjadi daya tarik yang mampu meningkatkan penjualan koran. Sayang, rupanya, hal itu tidak terjadi.

Setelah kerjasama itu berjalan beberapa waktu, pihak koran menilai penjualan mereka tidak mengalami peningkatan. Padahal, mereka telah menganggarkan biaya khusus untuk membayar Mister X karena mengasuh rubrik baru. Dalam bisnis, tentu saja, pihak koran menganggap tambahan anggaran itu hanya buang-buang biaya, sementara efeknya tidak terasa. Maka mereka pun memutuskan untuk menyudahi kerjasama.

Penjelasan itu dinyatakan secara langsung kepada Mister X, ketika dia menuntut jawaban mengapa pihak koran memutuskan hubungan kerjasama mereka. Dan, ketika mendengar penjelasan itu, Mister X kecewa. Bukan hanya kecewa karena pemutusan kerjasama mereka secara sepihak, namun juga kecewa karena penilaiannya terhadap koran itu ternyata keliru. Kekecewaan itu kemudian bahkan ia tulis dalam salah satu bukunya.

Dalam bukunya yang terbit di awal 2000-an, Mister X menjelaskan kekecewaannya dengan kalimat seperti ini (saya tulis dengan kata-kata saya sendiri):

“Saya benar-benar tidak menyangka koran yang sangat idealis dan agamis itu ternyata lebih mementingkan profit dibanding syiar agama. Ketika saya dihubungi untuk bekerjasama dengan mereka, saya pikir hubungan itu dilandasi kepentingan bersama, yakni untuk syiar agama. Tapi ternyata mereka bertujuan profit. Dan ketika tujuan itu tidak tercapai, mereka memutus hubungan kerjasama kami.”

Kalimat yang saya tulis di atas bisa dibilang lebih halus daripada kalimat aslinya dalam buku yang lebih blak-blakan, dan secara frontal menyebut nama koran yang dimaksud.

Ketika membaca kekecewaannya tersebut, saya tersenyum getir. Saya bisa memahami kekecewaan Mister X, namun juga menyayangkan kenaifannya. Bagaimana pun, tidak ada bisnis yang berharap rugi. Saya tahu koran yang bekerjasama dengannya adalah koran yang tidak hanya idealis, tapi juga agamis. Tetapi seidealis dan seagamis apa pun, koran itu telah menjadi bagian dari bisnis, dan saya pun tahu mereka mementingkan profit.

Dalam industri, idealisme sering kali hanya bungkus, bahkan agama kadang menjadi barang jualan. Itu kisah klise dalam industri yang, ironisnya, tidak juga dipahami banyak orang.

Apakah koran dan majalah yang isinya ajaran agama berarti seratus persen bertujuan syiar agama? Belum tentu! Apakah televisi yang rajin menyiarkan acara dakwah dan mengundang ustad-ustad terkenal, secara otomatis berarti televisi yang agamis? Juga belum tentu! Dalam bisnis, apa pun bisa dijual. Dalam industri, apa pun bisa dijadikan barang dagangan.

Saya tidak bermaksud sinis. Bagaimana pun, saya memahami industri digerakkan dengan tujuan profit, dan bisnis dibangun untuk mendulang keuntungan. Soal apa dan bagaimana mereka menjalankannya, itu urusan mereka. Selama usaha yang mereka jalankan tidak mengusik kemaslahatan orang banyak, semuanya sah-sah saja.

Bahkan, sebenarnya, yang menjadi bahan pikiran saya dalam catatan ini bukan bisnis mereka, melainkan ketidaktahuan—atau bahkan kenaifan—kebanyakan orang mengenai bisnis mereka. Seperti Mister X yang saya ceritakan tadi. Dia pemuda yang cerdas dan berwawasan, buktinya buku-bukunya pun dibaca banyak orang. Tetapi bahkan seorang cerdas dan berwawasan seperti itu pun masih terjebak dalam kenaifan ketika berhadapan dengan industri yang cenderung kapitalis.

Ketika berhadapan dan berhubungan dengan koran yang dinilainya agamis, Mister X menghadapinya dengan “lugu”. Mungkin ia mengira koran itu diterbitkan dan diedarkan dengan tujuan jihad dan berharap imbalan surga. Kedengarannya sangat naif. Tetapi kenaifan itulah yang justru terjadi, dan Mister X merasa terluka ketika khayalannya tidak sesuai kenyataan. Dia tidak sedang berurusan dengan malaikat, dia sedang berurusan dengan industri.

Ehmm....

Pada 7-8 September 2007, bertempat di Universitas Nasional Australia, diadakan acara Indonesia Update yang ke-25. Indonesia Update adalah konferensi tahunan terbesar tentang studi Indonesia yang dilakukan di luar Indonesia. Pada konferensi 2007 tersebut, topik bahasan berkisar seputar eksistensi para ustad dan da’i yang banyak bermunculan di Indonesia.

Dalam konferensi selama dua hari itu, ada sebelas orang yang memberikan presentasi, dan makalah-makalah yang dipresentasikan itu kemudian dikumpulkan dan dieditori oleh Greg Fealy bersama Sally White, yang lalu diterbitkan menjadi buku berjudul Expressing Islam: Religious Life and Politic in Indonesia. Edisi bahasa Inggrisnya diterbitkan ISEAS Publishing Institute, Singapura, sedang edisi terjemahan dalam bahasa Indonesia diterbitkan Komunitas Bambu, dengan judul Ustadz Seleb: Bisnis Moral & Fatwa Online.

Dalam buku yang merupakan kumpulan makalah yang ditulis para pemikir dan pemerhati itu, secara tersirat tampak bahwa kultur industri masa kini telah menyeret agama ke dalamnya. Beberapa majalah yang berisi ajaran agama—hingga kampanye mode yang islami—tetap tak bisa dipisahkan dari tujuan profit, sama halnya acara dakwah di teve dan layanan SMS yang dikelola para ustadz pun setali tiga uang.

Itu bisnis—tujuannya sama, barang jualannya yang berbeda.

Dalam perspektif bisnis, apa saja bisa diperdagangkan, apa pun bisa dijual untuk mendapat keuntungan. Sekali lagi, selama hal itu tidak mengusik kemaslahatan orang banyak, semuanya bisa dibilang sah-sah saja. Semua orang butuh makan, dan persaingan yang makin sengit di zaman sekarang sepertinya telah melemparkan idealisme ke pinggiran.

Yang masih menjadi masalah adalah kenaifan atau ketidaksadaran kebanyakan orang ketika berhadapan dengan hal itu. Masyarakat masih dibutakan oleh kepercayaan yang naif, dan belum juga sadar bahwa mereka tidak sedang berhadapan dengan malaikat. Ketika kemudian orang-orang yang mereka anggap malaikat itu ternyata manusia biasa, masyarakat pun kecewa dan patah hati.

Masyarakat menganggap seorang ustad tidak butuh makan. Ketika sang ustad meminta atau menaikkan tarif untuk ceramahnya, masyarakat kecewa. Masyarakat menganggap seorang da’i adalah malaikat yang bersih dari nafsu manusia. Ketika sang da’i berpoligami, masyarakat terluka.

Dalam hal ini, mungkin, yang perlu disadarkan memang bukan hanya masyarakat, melainkan juga para da’i dan para ustad. Masyarakat perlu diberitahu bahwa para ustad bukan malaikat, dan para ustad pun perlu diberitahu agar mereka tidak usah bertingkah seolah-olah dirinya malaikat.

Puk-puk Diri Sendiri

Kadang-kadang aku suka ngomong sendiri, dan dijawab sendiri, khususnya kalau akan pergi dengan hati berbunga-bunga.

Suatu hari, aku berkata pada diriku sendiri, “Aku pergi, ya.”

Dan aku menjawab, “Iya. Hati-hati di jalan, ya.”

....
....

Kemudian aku lupa mau pergi ke mana.
 

Hidup

Hidup ini penuh hal-hal yang tidak hidup.

Iya.

Oh, oh.

Kamis, 16 Januari 2014

Penjual Gorengan yang Sangat Tidak Akademis

Gorengan panas, cabai, teh hangat, dan rokok,
adalah kombinasi orgasmic yang melampaui fisika.
@noffret


Setiap Sabtu sore, ada pasar tiban yang lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat saya tinggal. Saya tidak akan menjelaskan apa itu “pasar tiban” di sini, karena ada hal lain yang lebih asyik untuk diceritakan, yaitu tentang penjual gorengan yang sangat tidak akademis.

Di pasar tiban itu—di antara para penjual lain yang menjajakan dagangan—ada penjual gorengan yang menyediakan gorengannya di sebuah gerobak sederhana. Penjual gorengan itu membuat bakwan, singkong goreng, dan tahu yang mirip tahu Tegal tapi bukan tahu Tegal. Jadi, bentuknya seperti tahu Tegal, tapi campuran bahannya berbeda—entah apa, saya tidak tahu. Yang jelas tahu itu enak, dan biasanya dimakan dengan saus.

Saya suka gorengan. Jadi, setiap Sabtu sore, saya sengaja datang ke pasar tiban tersebut untuk membeli gorengan. Biasanya, saya akan membeli bakwan dan tahu-yang-mirip-tahu-Tegal, kemudian menikmatinya di rumah dengan segelas teh hangat manis, dan rokok. Itu saat-saat yang menyenangkan bagi saya. Gorengan, kau tahu, adalah karunia alam semesta.

Meski suka gorengan, saya hanya suka gorengan yang masih panas. Jika sudah tidak panas, saya tidak doyan. Karena itu, ketika datang ke tempat penjual gorengan di pasar tiban, saya harus memastikan penjual gorengan itu baru saja mengangkat gorengannya dari wajan, sehingga gorengan buatannya benar-benar masih panas. Nah, dalam hal itulah sesuatu yang sangat menjengkelkan terjadi.

Penjual gorengan itu sangat tidak akademis. Juga sangat tidak ilmiah. Maksudnya, dia tidak pernah tepat waktu kapan mulai membuka dagangannya, sehingga saya harus sering jengkel setiap kali ke sana. Kadang-kadang, dia buka sebelum jam lima, kadang jam lima lebih, kadang jam lima tepat, kadang bahkan menjelang maghrib.

Suatu sore, saya datang ke sana jam lima tepat, dan penjual gorengan itu baru siap-siap buka, hingga belum sempat mencemplungkan apa pun ke wajan. Di lain waktu, saya datang ke sana jam setengah enam sore, dan bakwan serta tahu-yang-mirip-tahu-Tegal buatannya sudah habis. Di lain waktu lagi, saya datang ke sana jam lima seperempat, dan gorengannya sudah dingin semua, hingga saya tidak punya selera menyantapnya.

Ya Tuhan, saya kudu piye, ya...???

Tetapi meski sering dibuat jengkel, saya tetap merasa perlu datang ke tempat penjual gorengan itu, karena menyadari gorengan buatannya tergolong enak. Jadi, kalau sedang horny—maksudnya sedang ingin menikmati gorengan—saya akan datang ke sana jam lima tepat. Jika ternyata penjual gorengan itu belum sempat menggoreng apa-apa, saya akan menunggunya.

Ternyata, yang merasa “serba salah” seperti saya cukup banyak. Suatu sore, ketika saya merelakan diri menunggu penjual gorengan itu menyelesaikan gorengannya, saya mendapati ada beberapa orang yang juga rela menunggu demi bisa menikmati gorengan buatan orang itu. Artinya, orang-orang itu juga sama seperti saya—penggemar gorengan yang menyukai gorengan di tempat itu.

Sayang sekali penjualnya tidak akademis, pikir saya. Sore itu, sambil menunggu gorengan matang di tempat tersebut, saya berpikir bahwa sebenarnya penjual gorengan itu memiliki potensi besar untuk sukses. Dia memiliki produk (gorengan) yang disukai banyak orang. Dia memiliki tempat usaha yang telah dihafal para pelanggannya. Dia bahkan telah berhasil menanamkan rasa cinta di hati banyak orang, hingga mereka rela menunggunya selesai menggoreng.

Tetapi apa yang diperbuatnya? Dia tidak pernah tepat waktu!

Bukannya berusaha menyenangkan para pelanggannya dengan tepat waktu agar mereka tidak menunggu, penjual gorengan itu justru bersikap seolah dia tidak butuh pelanggan, hingga bisa seenaknya sendiri. Penjual gorengan itu pasti tidak pernah mempelajari makalah manajemen, tidak pernah membaca buku yang menyebutkan “time is money”, tidak pernah mengikuti seminar bisnis yang memberitahu bahwa memuaskan pelanggan adalah hukum nomor satu dalam setiap usaha.

Oh, well, mungkin saya terdengar berlebihan. Tetapi bukankah memang seperti itu yang terjadi? Membuka usaha apa pun, produk yang disukai adalah faktor penting. Tetapi faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah memuaskan pelanggan! Tak peduli sehebat apa pun produk yang kita hasilkan, pelanggan akan pergi dan memilih tempat lain jika kita tidak bisa memuaskan mereka.

Begitu pula penjual gorengan itu. Saat ini, dia mungkin bisa mempertahankan dagangannya laris, karena belum memiliki pesaing. Artinya, secara tidak langsung, dia masih memegang monopoli, sehingga bisa berlaku seenaknya sendiri. Tetapi, kelak, ketika muncul penjual gorengan lain yang bisa menghasilkan produk yang sama—atau bahkan lebih enak—dan penjual baru itu bisa lebih memuaskan pelanggannya, maka penjual gorengan yang tidak akademis itu pun pasti akan tersingkir.

Itu hukum alam. Lebih spesifik lagi, hukum bisnis—apa pun bisnisnya.

Ketika memikirkan semua ini, sejujurnya saya tidak marah pada penjual gorengan tersebut. Sebaliknya, saya merasa kasihan. Bagaimana pun, kita tidak bisa berharap penjual gorengan memiliki nilai SDM yang sangat tinggi. Bagaimana pun, kita tidak bisa mengharapkan wanita sederhana penjual gorengan mau membaca buku-buku manajemen, atau mempelajari makalah bisnis, atau mengikuti seminar tentang kepuasan pelanggan.

Tidak—maksud saya bukan itu. Yang saya maksudkan adalah, orang-orang sederhana itulah yang kelak, sering kali, menjadi korban dari kemajuan dan kekejaman zaman yang menggilas.

Lihatlah di sekelilingmu. Perhatikanlah berapa lama lagi warung-warung makan sederhana tersingkir perlahan-lahan setelah munculnya restoran dan kafe yang jauh lebih mewah dan higienis. Perhatikan berapa lama lagi toko-toko sederhana di sekelilingmu sanggup bertahan setelah digempur berbagai waralaba terorganisasi. Lebih spesifik lagi, perhatikanlah diri kita sendiri. Hitunglah seberapa lama kita mampu mempertahankan pesona dan kelebihan yang kita miliki, sementara setiap hari lahir orang-orang baru dengan pesona dan kelebihan yang jauh lebih hebat dan lebih segar.

Orang paling bodoh di zaman ini adalah orang yang menganggap dirinya paling hebat dan tak terkalahkan. Begitu pula dengan warung, toko, sampai penjual gorengan.

Warung yang merasa dirinya paling laris hingga merasa tak perlu memperbaiki diri, akan segera ditinggalkan pelanggannya. Toko yang merasa paling lengkap hingga merasa tak perlu meningkatkan kualitas layanan, akan segera disalip para pesaingnya. Penjual gorengan yang merasa paling istimewa hingga berlaku seenaknya, juga tinggal menunggu waktu gulung tikar.

Begitu pun manusia, orang per orang. Orang yang merasa dirinya paling hebat hingga mudah membanggakan diri juga perlu siap-siap nangis darah, karena akan selalu muncul orang-orang lain dengan kehebatan yang jauh lebih mempesona. Tolol adalah merasa paling hebat, paling unggul, paling pintar, paling istimewa, dan merasa tak terkalahkan. Oh, well, itu bahkan tolol di atas tolol di atas tolol di atas tolol.

Di zaman yang melesat dengan cepat ini, dunia tidak membutuhkan orang-orang yang merasa dirinya hebat. Dunia membutuhkan orang-orang yang justru merasa dirinya kurang, hingga tak pernah berhenti belajar, tak pernah berhenti memperbaiki dan memperbarui diri. Opsinya cuma dua, dan tak bisa ditawar-tawar lagi—perbaiki diri, atau mati. Beradaptasi dengan kemajuan, atau menjadi orang yang merasa hebat tapi terbelakang.

Kita tidak bisa mengubah laju peradaban, sama halnya kita tak bisa mengubah kemajuan zaman—sekejam apa pun, sekeras apa pun. Tetapi, kita selalu bisa mengubah diri kita sendiri. Dan cara paling ilmiah sekaligus paling akademis dalam hal mengubah diri sendiri adalah meninggalkan kebodohan dalam apa pun bentuknya, dan menggantinya dengan pembelajaran sampai tutup usia.

Noffret’s Note: Lagi Lebay

Salah satu pelajaran penting yang seharusnya diajarkan
sejak dini adalah cara membuat nasi keras. #LagiLebay
—Twitter, 23 November 2012

Sepertinya, kuliah Etika juga perlu dilengkapi bab baru,
yaitu cara menikmati nasi keras dengan elegan. #LagiLebay
—Twitter, 23 November 2012

Kemerdekaan suatu bangsa diukur dari berapa banyak warganya
yang bisa menikmati hidup dengan makan nasi keras. #LagiLebay
—Twitter, 23 November 2012

Immanuel Kant akan mati sia-sia, dan kebebasan hanya omong
kosong jika kita tidak bisa menikmati nasi keras. #LagiLebay
—Twitter, 23 November 2012

Penderitaan umat manusia dimulai, ketika warung
makan dan restoran dan kafe dan penyedia makanan
tidak bisa membuat nasi keras. #LagiLebay
—Twitter, 23 November 2012

Peradaban manusia akan mencapai titik nadir menyedihkan,
ketika dunia mulai kehilangan
kemampuan membuat nasi keras. #LagiLebay
—Twitter, 23 November 2012

Runtuhnya sebuah bangsa tidak hanya diukur
dari degradasi moralnya, tapi juga dari rendahnya
kemampuan menikmati nasi keras. #LagiLebay
—Twitter, 23 November 2012

Dan kemanusiaan kita benar-benar di ujung tanduk, bila
tak bisa lagi menghayati kenikmatan nasi keras. #LagiLebay
—Twitter, 23 November 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

Doa ketika Stres

Tuhan, kalau Kau benar-benar ada, tolong jadikanlah aku Magneto.
 
Jumat, 10 Januari 2014

Pelajaran di Bawah Hujan

Kita tak pernah tahu sebesar apa dampak yang
ditimbulkan dari perbuatan kita yang mungkin kecil.
@noffret


Kalau sedang asyik mengerjakan sesuatu, saya sering lupa segalanya, termasuk lupa makan. Sering kali saya baru sadar belum makan seharian setelah merasakan perut yang tiba-tiba keroncongan di tengah malam. Biasanya, kalau sudah begitu, saya agak panik. Karenanya pula, saya pun selalu berusaha menyiapkan makanan—aneka roti sampai mie instan—untuk jaga-jaga kalau muncul “keadaan darurat” semacam itu.

Suatu hari, saya asyik mengerjakan sesuatu, dan sama sekali tak sadar kalau seharian belum makan. Sejak bangun tidur sampai malam datang, saya hanya ngemil, minum teh, dan merokok. Saat pekerjaan selesai sekitar pukul 1 dini hari, tiba-tiba saya sadar belum makan seharian. Kesadaran itu memicu kesadaran lain—perut yang tiba-tiba terasa sangat kelaparan.

Maka, dengan agak buru-buru, saya pun mengeluarkan motor, dan ngebut mencari warung makan. Dini hari seperti itu sudah jarang warung makan yang masih buka, tapi saya tahu ada warung makan yang biasa buka sampai larut malam di depan tempat billiar. Lokasinya agak jauh, tapi sepertinya cuma warung makan itu yang bisa saya andalkan. Jadi saya pun menuju ke sana.

Tepat seperti yang saya harapkan, warung makan itu masih buka. Biasanya, bocah-bocah yang capek main billiar akan masuk ke warung itu, untuk minum dan ngobrol dengan teman-teman mereka. Ketika saya sampai, warung itu cukup sepi. Saya pun segera memarkir motor, lalu masuk warung dan memesan nasi.

Ketika sedang makan dengan lahap akibat kelaparan, tukang parkir di sana masuk ke warung, dan berkata pada saya, “Mas, uh... itu motornya menghalangi mobil yang akan keluar.”

Karena tadi buru-buru, saya memang memarkir motor agak sembarangan. Tapi sekarang saya tidak mungkin memutus makan hanya untuk membetulkan parkir motor. Maka saya pun memberikan kunci motor pada si tukang parkir, dan memintanya untuk mengurus parkir motor saya. Dia menerima kunci itu, dan segera keluar untuk mengerjakan tugasnya.

Seusai makan, saya merokok sambil memegangi perut yang kenyang. Rasanya nikmat sekali kalau kau kelaparan, kemudian menemukan warung yang tepat, dan bisa makan sampai kenyang. Setelah merasa cukup duduk di sana, saya pun bangkit untuk beranjak keluar warung. Waktu itu, bertepatan dengan gerimis yang mulai turun dari langit.

Pada saat itulah saya baru sadar kunci motor tidak di tangan. Kunci itu tadi saya berikan pada tukang parkir, dan dia belum mengembalikannya!

Dengan agak panik, saya buru-buru keluar warung. Waktu itu saya mengendarai Satria FU, yang baru saya beli dua minggu! Saya sedang cinta-cintanya pada motor itu! Dan sekarang kunci motor itu dipegang orang lain yang sama sekali tidak saya kenal! Berbagai pikiran buruk segera melintas di pikiran. Bagaimana kalau motor yang masih baru itu dibawanya pergi...?

Dengan bergegas, saya menuju ke tempat tadi memarkir motor. Dan... omigod, motor itu tidak ada di sana!

Bagimana ini bagaimana ini bagaimana iniiiiihh...???

Sambil kebingungan, saya berdiri di tempat tadi memarkir motor, dan mengedarkan pandangan ke sana kemari dengan jantung berdebar. Pada waktu itulah kemudian seseorang mendekati saya, dan mengacungkan sesuatu. Tukang parkir yang tadi!

Dengan muka agak bingung, tukang parkir itu mengacungkan kunci motor saya, dan berkata, “Maaf, Mas, motornya saya pindahin ke sana, biar nggak kehujanan. Saya mau ngembaliin kunci ini, tapi nggak enak, situ masih makan.”

Bersama perasaan yang lega tiba-tiba, saya tak mampu berkata apa-apa, selain, “Ya, nggak apa-apa.”

Saya pun menuju tempat parkir motor, yang kini telah dipindahkan di bawah atap. Setelah memberikan uang pada tukang parkir itu, saya segera melaju menembus gerimis yang masih turun.

Sebenarnya, kisah ini sudah selesai, kalau saja hal yang sama tidak terulang.

Sekitar dua minggu setelah kejadian itu, saya kembali lupa makan karena asyik mengerjakan sesuatu. Larut malam, saya baru menyadari perut keroncongan, dan segera mengeluarkan motor untuk mencari makan. Seperti dua minggu sebelumnya, waktu itu pun saya langsung menuju warung yang ada di tempat billiar. Dalam keadaan kelaparan, saya tentu tidak mungkin keluyuran ke sana kemari hanya untuk mencari warung makan yang masih buka.

Sesampai di sana, saya memarkir motor di tempat yang aman, di bawah atap, seperti yang dilakukan tukang parkir dua minggu sebelumnya. Waktu itu masih musim hujan, jadi gerimis sering kali turun sewaktu-waktu. Setelah memastikan motor aman dan tidak akan mengganggu lalu lintas kendaraan lain, saya pun melangkah masuk warung untuk makan.

Seusai makan dan menikmati rokok secukupnya, saya memutuskan untuk pergi. Pada waktu keluar dari warung dan sedang melangkah menuju tempat motor, hujan turun dari langit. Tanpa gerimis. Air seperti tiba-tiba dicurahkan dari atas. Saya pun berlari-lari kecil menuju tempat parkir motor, berharap bisa berteduh di sana.

Harapan saya terwujud. Tempat parkir motor agak lengang, dan atap di atasnya cukup mampu melindungi dari curah hujan. Ketika saya sampai di tempat itu, si tukang parkir juga tampak sedang berteduh. Ia berdiri menyandar tembok, sambil menyedekapkan tangan, seperti kedinginan. Dia tersenyum waktu melihat saya datang, dan saya pun membalas senyumnya.

Kami berdiri bersisian. Sepertinya dia sebaya dengan saya, tapi mungkin kerasnya hidup menjadikannya tampak lebih dewasa. Semula, kami hanya diam, menatap hujan yang turun. Lalu saya mengeluarkan rokok, menyulut sebatang, dan menawarinya. Dia mengambil sebatang, menyulutnya, lalu kami mulai bercakap-cakap.

Percakapan kami waktu itu hanya basa-basi antar dua lelaki yang tak saling kenal. Dia bertanya apakah saya pelanggan warung itu, karena dia mendapati saya dua kali makan di sana. Saya menjawab, teman-teman saya biasa main billiar di tempat itu, kadang saya menemani mereka, dan saya pun tahu masakan di warung itu cukup enak. Apalagi kalau sedang kelaparan. Jadi kalau sewaktu-waktu butuh makan di larut malam, warung itulah yang segera terbayang di benak saya.

Hujan masih turun. Sesekali kilat menerangi bumi.

Percakapan yang semula kaku lama-lama mulai mencair, bersama asap rokok yang mengepul di antara kami. Kemudian, setelah kami terdiam beberapa saat karena kehabisan bahan percakapan, tukang parkir itu menatap saya dengan bingung, lalu berkata perlahan-lahan, “Mas, sebenarnya saya harus ngucapin terima kasih.”

Saya menatapnya dengan bingung. “Untuk apa?”

“Untuk kepercayaan tempo hari.”

Saya masih belum paham.

Kemudian, dengan agak ragu, tukang parkir itu menceritakan. Dua minggu sebelumnya, ketika kami bertemu pertama kali saat saya makan di sana, dia baru lima hari keluar dari penjara. Seperti bekas narapidana lainnya, dia juga gamang menghadapi hari barunya di luar penjara. Dia merasa tidak ada orang yang akan mempercayainya.

Akibat suatu kesalahan, dia dihukum dua tahun di penjara. Saat bebas, dia kesulitan berbaur kembali dengan masyarakatnya, karena stigma bekas napi membuat orang lain memilih menjauh. Teman-teman yang dulu dikenalnya berpaling, orang di kampungnya terlihat menjaga jarak, bahkan keluarganya sendiri pun sepertinya tak bisa lagi percaya kepadanya.

Satu-satunya tempat dia bisa meneruskan hidup adalah di tempat billiar itu, karena kebetulan dia kenal dekat dengan pemiliknya. Setelah berusaha meyakinkan bahwa dia telah bertaubat, si pemilik tempat billiar memberi kesempatan padanya untuk menjaga tempat parkir. Dia baru lima hari berada di tempat itu, ketika suatu malam bertemu saya yang makan di sana.

Dan, waktu itu, saya menyerahkan kunci motor kepadanya.

Sesuatu yang tampaknya remeh itu ternyata memiliki arti besar bagi dirinya. Seseorang yang tak ia kenal mempercayakan kunci motor kepadanya—seseorang mempercayainya! Kenyataan itu seperti mengembalikan rasa percaya dirinya, bahkan memulihkan harga dirinya. Ia merasa masih layak dipercaya—setidaknya masih ada orang yang mau percaya kepadanya.

“Karena itulah saya ingin ngucapin terima kasih,” ujarnya sambil menatap saya dengan campuran bingung dan malu.

Saya tak mampu berucap apa-apa, karena tiba-tiba merasa bersalah. Saya masih ingat, dua minggu sebelumnya, saya sempat was-was begitu ingat kunci motor saya ada padanya. Tapi rupanya dia menjaga kepercayaan saya. Bukannya membawa lari motor yang tampak masih baru, dia justru memindahkannya ke tempat yang aman.

Hujan masih turun, sesekali terdengar suara petir di kejauhan.

Dini hari itu, berdiri di bawah atap bersama seseorang yang tidak saya kenal, di bawah hujan yang membekukan, tiba-tiba saya merasa mendapat pelajaran penting. Sesuatu yang tampaknya remeh yang kita lakukan, bisa jadi sangat besar artinya bagi orang lain.

Pusing Lagi Mikir Klitoris

Seorang bocah berkata, “Da’, kemarin aku baca postingmu yang ini; Pusing Mikir Klitoris. Aku jadi cekikikan. Hahaha, kamu tuh ada-ada saja. Klitoris kok dipikir, ya jadinya kamu pusing. Biar kuberitahu. Klitoris tuh bukan untuk dipikir-pikir.”

“Jadi?” saya menyahut. “Seharusnya klitoris tuh untuk apa?”

“Untuk dinikmati.”

Astaghfirullahaladziiiim....

Kata-kata Terindah di Dunia

“Apa, Mbak?”

....
....

Setiap kali mengatakannya, aku merasa kembali menjadi manusia.

Minggu, 05 Januari 2014

Saya Tahu Cewek Memang Pencemburu, Tapi Saya Tidak Tahu Cemburunya Sebesar itu (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sejak itu, hubungan kami pun baik-baik saja—dia tetap menyapa saya dengan ramah seperti biasa, dan saya pun tetap membalas senyumnya, meski sekarang saya “tersenyum dalam duka”. Intinya, hubungan pertemanan kami tidak berubah meski ada insiden penolakan itu. Oh ya, pada awalnya kami memang sama-sama malu, tapi toh kami bukan lagi bocah ABG, dan kami bisa melanjutkan hubungan baik secara dewasa.

Sesekali saya menelepon, dan Dian menerima telepon saya dengan baik. Sewaktu-waktu Dian berkirim SMS ke saya, dan saya pun membalas SMS-nya dengan riang. Langit dan bumi tahu bahwa hubungan kami sebaik semula.

Dan semester demi semester pun berganti. Seiring dengan itu, hubungan saya dengan Dian tetap baik-baik saja, dan saya semakin mampu mengendalikan perasaan kepadanya, dan mengingat fakta penting bahwa dia telah bertunangan. Kadang, di hari-hari tertentu, Dian pulang kuliah dijemput tunangannya, dan saya pun—perlahan-lahan—dapat menyaksikan itu tanpa merasa terluka.

Kadang, ketika kebetulan saya menyaksikan hal itu, Dian bahkan menggoda saya, “Kamu mau aku kenalin sama dia?”

Saya pun tersenyum, dan membalas sambil bercanda, “Sampai semilyar tahun yang akan datang, dia orang terakhir yang ingin aku kenal.”

Dan Dian akan cekikikan.

Pada waktu kami semester lima, saya dekat dengan seorang adik angkatan bernama Ririn (bukan nama sebenarnya). Si Ririn ini telah memunculkan “badai berkekuatan skala Richter” sejak pertama kali masuk kampus, karena kecantikannya. Cowok-cowok di kampus berusaha mendekatinya—begitu pula saya. Karena waktu itu saya tidak punya perasaan apa-apa terhadap Ririn, saya pun enjoy mendekatinya.

Nah, singkat cerita, saya dekat dengan Ririn. Jadi, ketika suatu hari saya mendapatkan dua tiket gratis untuk menonton pagelaran teater, saya pun langsung menawarkannya pada Ririn.

“Rin, kamu mau nanti malam kita nonton teater?” tawar saya waktu itu. “Aku dapat dua tiket gratis dari panitianya. Kalau kamu mau, kita bisa nonton bareng.”

Ririn mau. Maka, malam itu saya pun datang berdua ke tempat pagelaran teater bersama Ririn. Tidak pernah saya duga sebelumnya, saya bertemu Dian di tempat acara. Dian datang bersama teman-teman ceweknya. Saat kami berpapasan, saya sudah mengulumkan senyum manis, tapi Dian pasang muka cemberut… dan melengos.

Sejak itulah kemudian hubungan saya dengan Dian mulai berubah. Tiap kali kami bertemu, Dian tidak lagi tersenyum. Kalau biasanya dia murah hati meminjamkan catatan kuliahnya, sekarang mulai pelit. Kalau saya menyapa, dia menjawab dingin. Kalau saya mengirim SMS, dia kadang tak membalas. Kalau saya menelepon, dia menjawab ogah-ogahan. Pelan namun pasti, hubungan kami pun jadi tak sebaik dulu.

Akhirnya, suatu hari, ketika kami kebetulan bertemu di kantin yang sepi, saya mencoba menyapa Dian, “Kenapa sekarang jarang SMS?”

“Nggak apa-apa,” sahutnya dingin. “Lagian kan kamu bisa SMS-an sama yang lain.”

Jadi, hei langit dan bumi, apa sebenarnya yang telah terjadi? Kenapa Dian tiba-tiba seperti ini?

Sebagai cowok, saya tahu Dian marah sama saya. Tapi marah untuk apa? Maksudnya, dia marah karena apa? Jika saya telusuri seluruh peristiwa yang telah berlangsung, saya akan sampai pada titik awal kemarahan cewek itu, yakni ketika tanpa sengaja kami bertemu di acara teater beberapa waktu sebelumnya. Tetapi atas dasar apa dia harus marah pada saya gara-gara itu?

Mari kita letakkan satu per satu kartu di atas meja.

Pertama, Dian sudah bertunangan dengan seseorang. Kedua, dia telah menolak pernyataan cinta saya. Ketiga, saya berjiwa besar dan tetap menjalin hubungan baik dengannya meski telah ditolak. Keempat, karena saya tidak terikat dengan seorang pacar, maka tentu saya berhak untuk jalan dengan seorang cewek. Kelima, saya—dengan segala ketololan sebagai cowok—tidak mampu menemukan apa kesalahan saya.

Jadi, apa yang sekarang membuat Dian marah…?

Karena tidak mampu menemukan jawaban ilmiah untuk pertanyaan di atas, saya pun kemudian berkonsultasi pada Amelia Ristyanti, M.Psi (waktu itu dia belum lulus M.Psi).

Amelia berkata, “Coba ceritakan masalahmu, dari awal sampai akhir.”

Saya pun menurut, dan menceritakan semua yang terjadi, secara runtut dan sistematis. Selama saya menceritakan kisah itu, Amelia manggut-manggut sok bijak, seperti psikiater yang telah menangani ribuan kasus umat manusia. Dan setelah saya selesai bercerita, Amelia cekikikan, seperti cewek ABG yang baru saja mendengar “sesuatu yang tidak senonoh”.

“Jadi, apa yang terjadi, Mel?” tanya saya dengan pasrah, seperti pasien penyakit jiwa yang akan segera mendengar vonis psikiaternya.

“Sangat jelas, kan?” sahut Amelia dengan tampang sotoy.

“Sangat jelas gimana?”

“Ya dia cemburu, laaah.”

Saya kaget. “Dian? Cemburu? Apa alasannya dia cemburu? Kami kan nggak punya hubungan apa-apa. Lagian dia juga udah tunangan!”

Sekali lagi Amelia cekikikan. “Gini, ya, Hoeda Manis,” katanya kemudian dengan gaya mirip profesor yang akan segera mengeluarkan hipotesis tingkat dewa. “Bahkan ketika seorang cewek telah memiliki suami dan anak-anak, dia tetap akan senang ketika mengetahui ada cowok yang berharap kalau saja dia belum punya suami dan anak-anak.”

Saya bengong. “Jadi…?”

“Jadi, kasusmu ini kasus biasa—kecemburuan seorang cewek yang merasa ditinggalkan.”

Saya merasa salah dengar. “Kecemburuan seorang cewek yang merasa ditinggalkan? Bukannya dia yang udah ninggalin aku? Jangan lupa, dia udah nolak aku!”

“Ya, dia udah nolak kamu—itu fakta. Tetapi, sebagai cewek, dia tetap senang mengetahui kalau kamu tetap mencintainya. Dan ketika dia menyaksikanmu bersama cewek lain, dia kayak diberitahu kalau kamu dapat mencintai cewek lain, dan fakta itu menjadikannya cemburu. Dia merasa ditinggalkan.”

Sekali lagi saya bengong. “Mel, ini… uh, ini nggak masuk akal, kan? Maksudku, apa iya Dian marah sama aku gara-gara kenyataan seperti itu?”

“Kalau gitu, coba pikirkan kemungkinan lain yang mungkin membuatnya marah. Kalau kamu dapat menemukannya, aku akan berhenti jadi perempuan.”

Kenyataannya, Amelia (mungkin) benar. Tidak lama setelah itu, saya jadian dengan Ririn, dan Dian semakin tidak mau mengenal saya. Dia tak pernah lagi tersenyum manis atau memberikan sapaan hangat seperti dulu. Dia tak pernah lagi membalas SMS saya, atau menerima telepon saya. Finish-nya, komunikasi kami pun benar-benar terputus.

….
….

Itu kisah yang terjadi bertahun lalu, kisah yang sekarang saya baca kembali di lembar-lembar diary yang tadi sore saya temukan. Dan, sambil membaca kisah itu, saya kembali terngiang pada ucapan Amelia, “Bahkan ketika seorang cewek telah memiliki suami dan anak-anak, dia tetap akan senang ketika mengetahui ada cowok yang berharap kalau saja dia belum punya suami dan anak-anak.”

Saya menutup diary itu dengan bibir tersenyum. Oh, well, saya tahu cewek memang pencemburu, tapi saya benar-benar tidak tahu kalau cemburunya sebesar itu.

Saya Tahu Cewek Memang Pencemburu, Tapi Saya Tidak Tahu Cemburunya Sebesar itu (1)

Laki-laki punya sepuluh alasan untuk cemburu.
Perempuan punya sejuta alasan untuk cemburu.
@noffret


Tadi sore, saat bersih-bersih rumah, tanpa sengaja saya menemukan diary lama yang dulu sering saya gunakan untuk curhat sewaktu galau. Oh, well, dulu kan belum ada blog—setidaknya blog belum sepopuler sekarang. Jadi, kalau ingin curhat atau menumpahkan pikiran, saya akan menuliskannya di buku diary. Kalau kau berpikir hanya cewek yang suka nulis diary, kau keliru, karena Leonardo Da Vinci pun menulis diary!

Nah, setelah menemukan diary itu, saya senyum-senyum sendiri. Itu diary yang dulu saya pakai untuk curhat di awal-awal kuliah. Setelah capek bersih-bersih, saya pun iseng membuka-buka diary itu, dan membacanya sambil cekikikan serta geleng-geleng kepala. Berikut ini kisah yang mungkin asyik untuk saya ceritakan…

….
….

Pada waktu semester satu, saya naksir seorang cewek teman kuliah. Pertama kali melihatnya pas ospek, saat kami ada dalam satu ruangan. Cewek itu tidak terlalu cantik—biasa-biasa saja—tapi di mata saya dia istimewa. Setiap cowok punya gambaran “ideal” mengenai cewek yang ingin dijadikannya pacar, dan cewek itu terlihat “ideal” bagi saya. Ya Mama, dia lembut, dan manis.

Ketika ospek selesai dan jadwal kuliah mulai berjalan, perhatian saya pun terpusat pada cewek itu. Seiring berjalannya hari, kami mulai saling kenal. Kita sebut saja namanya Dian.

Di dalam psikologi, ada pepatah yang menyatakan, “Cewek pemalu, tapi berubah jadi pemberani ketika jatuh cinta. Cowok pemberani, tapi berubah jadi pemalu ketika jatuh cinta.”

Nah, parahnya, saya tergolong cowok pemalu. Jadi, saya pun tambah pemalu ketika jatuh cinta. Akibatnya, saya deg-degan tidak karuan setiap kali berpapasan dengan Dian.

Jika cowok tidak punya “perasaan” apa pun terhadap seorang cewek, biasanya dia dapat bersikap wajar. Tapi ketika seorang cowok punya “perasaan” tertentu pada seorang cewek, sikapnya jadi kurang wajar—minimal salah tingkah. Begitu pula yang terjadi dengan saya. Dan, sialnya, cewek bernama Dian itu kemungkinan besar tahu yang saya rasakan.

Jadi, setiap kali kami berpapasan, Dian akan mengulumkan senyum (yang terlihat) menggoda, dan dia akan menyapa, “Hei, Hoeda.”

Dan, sambil deg-degan, saya akan membalas, “Hei, Dian.”

Lalu saya kabur.

Tentu saja saya yang terlalu ge-er. Faktanya, Dian menyapa saya dengan cara yang wajar-wajar saja, sebagaimana dia menyapa temannya yang lain. Selain itu, dia memang cewek yang ramah dan murah senyum, tidak sombong dan mungkin rajin menabung. Pokoknya dia top banget, deh. Ya iyalaaaah, orang lagi jatuh cinta ini!

Lalu saya mulai curhat pada teman terdekat—curhat soal perasaan saya kepada Dian. Lalu mulai nyari-nyari info tentang status Dian, apakah dia masih jomblo, ataukah sudah punya pacar. Berdasarkan investigasi (maksudnya berdasarkan tanya sana-sini), diperoleh kesimpulan ilmiah bahwa Dian masih jomblo, dengan bukti sampai saat itu belum ada satu cowok pun yang terlihat dekat dengannya, dan teman-teman di kampus tidak ada yang tahu siapa pacar Dian.

So, saya pikir, dia memang masih jomblo. Maka, dengan dikompori teman-teman yang ingin menjerumuskan saya ke lembah nista, saya pun mulai melancarkan pedekate ke Dian. Setelah kami cukup akrab, saya “nembak” dia. Hasilnya, saya ditolak!

“Jadi, kamu udah punya pacar?” tanya saya dengan bingung setelah mendengar penolakannya, sambil diam-diam berharap semoga semua ini hanya mimpi buruk.

Dian menjelaskan, dirinya sudah bertunangan dengan seseorang, tepat dua bulan setelah dia resmi kuliah. Mengingat kepribadiannya yang saya kenal selama ini, saya tahu dia tidak berbohong. Pertunangannya dengan seseorang yang ia jadikan dasar penolakan terhadap saya memang benar-benar fakta. Dan saya percaya.

Jadi, kasus pun selesai. Saya menyatakan cinta kepadanya, dan dia menolak pernyataan saya karena sudah bertunangan dengan seseorang. Tidak ada masalah.

Lanjut ke sini.

Keadaan

Saya selalu senang setiap kali menemukan lagu yang di dalamnya ada kata “keadaan”. Entah kenapa.

Dan entah kenapa sangat jarang ada lagu yang di dalamnya ada kata “keadaan”. Sebegitu jarang, hingga saya belum pernah menemukannya.
 
Rabu, 01 Januari 2014

Kalau Pertama Emang Masih Geli...

Bukan mata yang menjadikan kita melihat,
tapi kemauan kita menggunakan mata
yang memungkinkan melihat.
@noffret


Sudah sejak lama saya menyadari mata saya minus. Saya tidak tahu minus berapa, karena tidak pernah memeriksakannya, yang jelas mata saya sudah minus. Tetapi, selama ini, saya tidak terlalu menghiraukan. Saya pikir, selama masih bisa membaca buku atau koran dengan baik, maka artinya mata saya “baik-baik saja”. Jadi, selama waktu-waktu itu, saya pun enjoy menjalani hidup tanpa terlalu merasa terganggu, dan bersikap seolah semuanya “baik-baik saja”.

Padahal, pada waktu-waktu tertentu, saya kadang menyadari ada yang tidak beres dengan hidup saya—lebih khusus dengan mata saya. Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, saya kerap kesulitan jika membaca teks film di monitor. Untuk bisa membaca teks film dengan baik, saya harus mendekat. Selain itu, saya juga sering mengalami masalah penglihatan jika malam hari. Saat gelap, atau penerangan cahaya kurang, saya sering kesulitan mengenali wajah orang.

Tetapi sampai begitu pun, saya masih tetap menganggap semua itu bukan masalah. Dan saya tetap tidak tergerak untuk memakai kacamata, agar penglihatan lebih baik. Jangankan memakai kacamata, bahkan untuk memeriksakan mata pun saya malas.

Mengapa saya sampai keras kepala seperti itu?

Jujur saja, saya malu mengakuinya. Kekeraskepalaan saya untuk tidak mau memakai kacamata didasari kesombongan.

Teman-teman saya tahu, saya kutu buku yang menghabiskan hidup hanya untuk berkutat dengan buku. Dan mereka sering heran melihat saya yang tidak (belum) memakai kacamata, padahal mereka—yang bukan kutu buku—sudah minus dan harus memakai kacamata. Jadi mereka pun sering memuji mata saya, karena menganggap mata saya lebih baik dan lebih sehat dari mata mereka.

Dan pujian itu, perlahan-lahan, meracuni saya.

Begitulah kesombongan dimulai dan dibangun—perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, tak terasa, hingga kemudian membentuk dinding besar keangkuhan. Ketika dinding itu mulai terbentuk, kesombongan pun meracuni kita tanpa disadari.

Saya sengaja tidak mau memakai kacamata. Karena sombong. Karena angkuh. Karena menganggap mata saya lebih baik dibanding mata teman-teman saya, lebih sehat dari mata orang-orang lain. Kesannya sepele, tapi itu telah membuat saya menanggung sakit yang seharusnya telah mulai diobati. Kalau saja saya tidak angkuh, dan mau menerima kenyataan bahwa mata saya minus, mestinya sudah sejak lama saya memeriksakan mata, dan mulai memakai kacamata.

Tapi tidak. Saya tidak mau memakai kacamata. Dengan memakai kacamata, pikir saya, maka secara tak langsung saya telah mengakui bahwa ada yang tidak beres dengan diri saya. Dan tidak setiap orang mau mengakui atau menyadari dirinya tidak beres. Demi Tuhan, mengakui atau menyadari bahwa diri kita tidak beres, sungguh membutuhkan kerendahan hati... atau keajaiban. Mungkin “keajaiban” pula yang akhirnya mendorong saya untuk memeriksakan mata, dan mulai memakai kacamata. 

Suatu hari, saya sedang surfing di internet, dan mendapati sebuah foto yang tampak artistik. Foto itu memperlihatkan sebuah kacamata tergeletak di atas keyboard laptop yang menyala, dan di layar monitor tampak beberapa baris kalimat yang sepertinya sengaja ditulis dengan puitis.

Dalam beberapa hal, saya sangat impulsif. Ketika memandangi foto itu, saya tidak hanya menyukai kalimat yang tertera di sana, tetapi juga tiba-tiba terpikir, “Aku mau beli kacamata kayak gitu, aku mau beli kacamata kayak gituuuuuuuuuuhhh...!”

Jadi begitulah. Beberapa hari kemudian, bersama seorang kawan, saya memeriksakan mata, sekaligus mencari kacamata yang saya inginkan. Ketika diperiksa, ternyata mata saya sudah minus 1,5. Itu cukup serius untuk ukuran mata minus, karena bahkan minus 1 pun sebenarnya sudah membuat mata kita agak kabur dalam melihat sesuatu.

Kacamata yang saya inginkan bisa ditemukan—persis seperti yang saya lihat dalam foto. Berbingkai hitam agak kotak, dengan wujud elegan.

Ketika saya mulai memakai kacamata itu, tiba-tiba saya merasa dilahirkan kembali. Maksud saya, tiba-tiba pandangan saya begitu jelas ketika melihat segala sesuatu. Tulisan-tulisan di kejauhan yang semula tampak kabur sekarang jadi jelas, hal-hal yang semula tak terlihat kini jelas tampak. Alangkah berbedanya—dan saya menyadari perbedaan itu. Ketika kesadaran itu muncul, saya pun akhirnya mengakui bahwa selama ini memang ada yang tidak beres dengan mata saya.

Karena baru memakai kacamata, saya masih merasa kurang nyaman. Rasanya seperti geli-geli gimanaaaa gitu. Seperti ada yang mengganjal di dekat mata, dan perasaan itu membuat tidak nyaman. Ketika saya katakan hal itu, teman saya bilang, “Kalau masih pertama emang gitu, agak geli-geli gimanaaaa gitu, tapi lama-lama biasa, kok...”

Dia berani menyatakan hal seperti itu, karena telah memakai kacamata sejak SMP. Jadi dia benar-benar berpengalaman dalam hal kacamata, karena telah memakainya bertahun-tahun. Maka saya pun percaya bahwa, “Kalau masih pertama emang gitu, agak geli-geli gimanaaaa gitu, tapi lama-lama biasa, kok...”

Begitu pun hal lainnya, pikir saya. Segala hal yang pertama memang sering membuat tidak nyaman, dan ketidaknyamanan itu akan terus berlangsung sampai kita benar-benar terbiasa.

Jika dipikir-pikir, segala hal yang kita lalui dalam hidup pun mengalami siklus semacam itu—mula-mula terasa tidak nyaman, lalu kita membiasakan diri, dan perlahan-lahan ketidaknyamanan itu hilang berganti kebiasaan. Bangun pagi, membaca buku, rutin berolahraga, atau kebiasaan apa pun, sering kali dimulai dari perasaan tidak nyaman atau rasa terpaksa, hingga kemudian kita membiasakannya dan rasa tidak nyaman itu pelan-pelan menghilang.

Begitu pun dengan mengakui serta menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan diri kita, itu pun dimulai dengan ketidaknyamanan. Khususnya pada diri sendiri.

Ketika kita telah merasa hebat, merasa unggul, merasa pintar, sering kali berat sekali untuk menyadari dan mengakui bahwa ada orang lain yang lebih hebat, lebih unggul, lebih pintar, dari kita. Dan itu, disadari atau tidak, meracuni diri kita perlahan-lahan. Kita menjadi sosok angkuh yang menganggap diri sempurna, meski kita kemudian membusuk perlahan-lahan.

Seperti saya yang terlalu angkuh untuk mengakui bahwa mata saya minus. Karena saya terlalu tinggi hati untuk mengakuinya, minus mata saya bukannya sembuh tapi semakin parah. Kesombongan tidak membawa saya kemana-mana, selain hanya berkutat dalam penipuan diri bahwa saya “baik-baik saja”. Keangkuhan telah merusak mata saya perlahan-lahan, hingga berbagai hal yang sebenarnya jelas jadi tampak kabur dalam pandangan saya.

Perbaikan diri selalu dimulai dari kesadaran dan pengakuan bahwa ada yang tidak beres dengan diri kita. Dan cara mudah untuk melihat adanya ketidakberesan itu adalah jika kita merasa telah menjadi yang paling unggul, paling hebat, paling pintar, atau paling segalanya. Kapan pun kita merasa diri “paling”, dalam hal apa pun yang kita anggap kelebihan, maka saat itu pula kita diberitahu ada yang tidak beres dengan diri kita.

Ketika itu terjadi, langkah terbaik adalah mencari “kacamata” untuk memperjelas pandangan kita. Agar kita melihat dengan jernih hal-hal yang sebelumnya tampak kabur, agar kita lebih menyadari dunia sekeliling kita. Dalam hal memakai kacamata—seperti bentuk perbaikan diri lainnya—kita perlu mengingat bahwa, “Kalau masih pertama emang gitu, agak geli-geli gimanaaaa gitu, tapi lama-lama biasa, kok...”

Orang Paling Miskin di Dunia

Ada orang mengagumi sesuatu, tapi harga diri serta moralnya terlalu rendah, hingga tidak mau mengakuinya, bahkan pura-pura tak mengenalnya. Ada.

Karena merasa dirinya dikagumi orang lain, dia lupa cara mengagumi orang lain. Karena telah banyak memakan pujian palsu dari orang lain, dia pun tak tahu cara menyampaikan pujian tulus untuk orang lain.

Dan itulah orang paling miskin di dunia—orang yang merasa telah memiliki segala sesuatu yang membuatnya bangga, tapi sebenarnya tak punya apa-apa.

Kasihan sekali orang seperti itu.

Noffret’s Note: Kelinci

Kepala berat, tapi gak juga bisa tidur. Sekarang
malah kepikiran soal kelinci. Bukan kaki kelinci,
atau sate kelinci. Tapi filosofi kelinci.
—Twitter, 7 Desember 2013

Kata orang, kita tidak bisa mengejar dan menangkap
dua kelinci sekaligus. Karena yang satu bisa lari
ke kanan, satunya lagi lari ke kiri.
—Twitter, 7 Desember 2013

Mengejar dua kelinci membuat konsentrasi terpecah.
Sepertinya benar. Apalagi jika lebih dari dua kelinci,
dan dibatasi waktu atau deadline.
—Twitter, 7 Desember 2013

Kelinci dalam hidupku ada di kepala. Dan tumpukan kerja.
Kadang aku bingung. Aku yang mengejar kelinci,
ataukah kelinci yang mengejarku?
—Twitter, 7 Desember 2013

Kalau dipikir-pikir, mengejar ataupun dikejar kelinci
sama-sama bikin bingung. Atau panik. Kadang juga
bikin frustrasi. Dan tak bisa tidur.
—Twitter, 7 Desember 2013

Seperti malam ini. Atau pagi ini. Waktu yang
ingin kugunakan untuk tidur malah kugunakan
untuk menulis tweet tidak penting soal kelinci.
—Twitter, 7 Desember 2013

Saat ini, ilmuwan telah menemukan teknologi penghapus
memori. Uh, aku ingin sekali menjadi kelinci percobaannya.
—Twitter, 12 Juni 2013

Kita tidak bisa mengejar dua kelinci sekaligus.
Itulah masalahnya. Atau rahasianya.
—Twitter, 5 Februari 2013


*) Ditranskrip dari timeline @noffret

 
;