Senin, 20 Januari 2014

Masyarakat, Ustad, dan Malaikat

Banyak hal yang tak berbeda, kecuali versinya.
Kupikir, begitu pun manusia.
@noffret


Pada akhir 1900-an, ada seorang penulis muda yang fenomenal. Kita sebut saja namanya Mister X. Buku-buku karyanya bestseller, nama serta foto-fotonya menghiasi koran dan majalah, acara live-nya dibanjiri banyak orang, bahkan majalah TIME edisi Asia merasa perlu memuat profilnya dengan pujian yang menyanjung. Sebagaimana kemunculannya bisa dibilang secepat meteor, redup cahaya pun lengser dalam waktu singkat.

Di era kejayaan dan popularitasnya, Mister X pernah dihubungi sebuah koran untuk mengasuh rubrik konsultasi yang muncul seminggu sekali. Karena koran atau surat kabar itu dinilai sejalan dengan idealismenya, Mister X pun bersedia, dan sejak itu ia menjawab surat-surat yang dikirim para pembaca koran tersebut, untuk kemudian diterbitkan dalam rubrik yang muncul di akhir pekan.

Kerjasama itu berjalan beberapa waktu, dan semuanya lancar tanpa masalah. Para pembaca koran—khususnya para remaja—mengirimkan surat-surat mereka, Mister X menjawabnya, kemudian redaktur koran akan menerbitkannya untuk dibaca semua orang. Sebagai kompensasi, Mister X mendapatkan honorarium tetap dari pihak koran. Sampai suatu hari, pihak koran tersebut menghentikan kerjasama mereka.

Mister X terkejut dengan pemutusan hubungan yang dinilainya tiba-tiba, dan bertanya-tanya apa masalahnya.

Sebenarnya tidak ada masalah. Sejauh berkaitan dengan kerjasama mereka, sama sekali tidak ada masalah.

Namun, Mister X mungkin terlalu naif dalam menghadapi kerjasama tersebut, dan pihak koran juga tidak terus terang menyatakan tujuan kerjasama mereka.

Pihak koran meminta Mister X untuk mengasuh rubrik mereka, karena menilai popularitas Mister X dapat mendongkrak penjualan, dan menambah jumlah pelanggan. Waktu itu bisa dibilang era keemasan Mister X—banyak anak muda yang menggilainya. Karenanya, dengan memasukkan Mister X ke koran mereka, diharapkan bisa menjadi daya tarik yang mampu meningkatkan penjualan koran. Sayang, rupanya, hal itu tidak terjadi.

Setelah kerjasama itu berjalan beberapa waktu, pihak koran menilai penjualan mereka tidak mengalami peningkatan. Padahal, mereka telah menganggarkan biaya khusus untuk membayar Mister X karena mengasuh rubrik baru. Dalam bisnis, tentu saja, pihak koran menganggap tambahan anggaran itu hanya buang-buang biaya, sementara efeknya tidak terasa. Maka mereka pun memutuskan untuk menyudahi kerjasama.

Penjelasan itu dinyatakan secara langsung kepada Mister X, ketika dia menuntut jawaban mengapa pihak koran memutuskan hubungan kerjasama mereka. Dan, ketika mendengar penjelasan itu, Mister X kecewa. Bukan hanya kecewa karena pemutusan kerjasama mereka secara sepihak, namun juga kecewa karena penilaiannya terhadap koran itu ternyata keliru. Kekecewaan itu kemudian bahkan ia tulis dalam salah satu bukunya.

Dalam bukunya yang terbit di awal 2000-an, Mister X menjelaskan kekecewaannya dengan kalimat seperti ini (saya tulis dengan kata-kata saya sendiri):

“Saya benar-benar tidak menyangka koran yang sangat idealis dan agamis itu ternyata lebih mementingkan profit dibanding syiar agama. Ketika saya dihubungi untuk bekerjasama dengan mereka, saya pikir hubungan itu dilandasi kepentingan bersama, yakni untuk syiar agama. Tapi ternyata mereka bertujuan profit. Dan ketika tujuan itu tidak tercapai, mereka memutus hubungan kerjasama kami.”

Kalimat yang saya tulis di atas bisa dibilang lebih halus daripada kalimat aslinya dalam buku yang lebih blak-blakan, dan secara frontal menyebut nama koran yang dimaksud.

Ketika membaca kekecewaannya tersebut, saya tersenyum getir. Saya bisa memahami kekecewaan Mister X, namun juga menyayangkan kenaifannya. Bagaimana pun, tidak ada bisnis yang berharap rugi. Saya tahu koran yang bekerjasama dengannya adalah koran yang tidak hanya idealis, tapi juga agamis. Tetapi seidealis dan seagamis apa pun, koran itu telah menjadi bagian dari bisnis, dan saya pun tahu mereka mementingkan profit.

Dalam industri, idealisme sering kali hanya bungkus, bahkan agama kadang menjadi barang jualan. Itu kisah klise dalam industri yang, ironisnya, tidak juga dipahami banyak orang.

Apakah koran dan majalah yang isinya ajaran agama berarti seratus persen bertujuan syiar agama? Belum tentu! Apakah televisi yang rajin menyiarkan acara dakwah dan mengundang ustad-ustad terkenal, secara otomatis berarti televisi yang agamis? Juga belum tentu! Dalam bisnis, apa pun bisa dijual. Dalam industri, apa pun bisa dijadikan barang dagangan.

Saya tidak bermaksud sinis. Bagaimana pun, saya memahami industri digerakkan dengan tujuan profit, dan bisnis dibangun untuk mendulang keuntungan. Soal apa dan bagaimana mereka menjalankannya, itu urusan mereka. Selama usaha yang mereka jalankan tidak mengusik kemaslahatan orang banyak, semuanya sah-sah saja.

Bahkan, sebenarnya, yang menjadi bahan pikiran saya dalam catatan ini bukan bisnis mereka, melainkan ketidaktahuan—atau bahkan kenaifan—kebanyakan orang mengenai bisnis mereka. Seperti Mister X yang saya ceritakan tadi. Dia pemuda yang cerdas dan berwawasan, buktinya buku-bukunya pun dibaca banyak orang. Tetapi bahkan seorang cerdas dan berwawasan seperti itu pun masih terjebak dalam kenaifan ketika berhadapan dengan industri yang cenderung kapitalis.

Ketika berhadapan dan berhubungan dengan koran yang dinilainya agamis, Mister X menghadapinya dengan “lugu”. Mungkin ia mengira koran itu diterbitkan dan diedarkan dengan tujuan jihad dan berharap imbalan surga. Kedengarannya sangat naif. Tetapi kenaifan itulah yang justru terjadi, dan Mister X merasa terluka ketika khayalannya tidak sesuai kenyataan. Dia tidak sedang berurusan dengan malaikat, dia sedang berurusan dengan industri.

Ehmm....

Pada 7-8 September 2007, bertempat di Universitas Nasional Australia, diadakan acara Indonesia Update yang ke-25. Indonesia Update adalah konferensi tahunan terbesar tentang studi Indonesia yang dilakukan di luar Indonesia. Pada konferensi 2007 tersebut, topik bahasan berkisar seputar eksistensi para ustad dan da’i yang banyak bermunculan di Indonesia.

Dalam konferensi selama dua hari itu, ada sebelas orang yang memberikan presentasi, dan makalah-makalah yang dipresentasikan itu kemudian dikumpulkan dan dieditori oleh Greg Fealy bersama Sally White, yang lalu diterbitkan menjadi buku berjudul Expressing Islam: Religious Life and Politic in Indonesia. Edisi bahasa Inggrisnya diterbitkan ISEAS Publishing Institute, Singapura, sedang edisi terjemahan dalam bahasa Indonesia diterbitkan Komunitas Bambu, dengan judul Ustadz Seleb: Bisnis Moral & Fatwa Online.

Dalam buku yang merupakan kumpulan makalah yang ditulis para pemikir dan pemerhati itu, secara tersirat tampak bahwa kultur industri masa kini telah menyeret agama ke dalamnya. Beberapa majalah yang berisi ajaran agama—hingga kampanye mode yang islami—tetap tak bisa dipisahkan dari tujuan profit, sama halnya acara dakwah di teve dan layanan SMS yang dikelola para ustadz pun setali tiga uang.

Itu bisnis—tujuannya sama, barang jualannya yang berbeda.

Dalam perspektif bisnis, apa saja bisa diperdagangkan, apa pun bisa dijual untuk mendapat keuntungan. Sekali lagi, selama hal itu tidak mengusik kemaslahatan orang banyak, semuanya bisa dibilang sah-sah saja. Semua orang butuh makan, dan persaingan yang makin sengit di zaman sekarang sepertinya telah melemparkan idealisme ke pinggiran.

Yang masih menjadi masalah adalah kenaifan atau ketidaksadaran kebanyakan orang ketika berhadapan dengan hal itu. Masyarakat masih dibutakan oleh kepercayaan yang naif, dan belum juga sadar bahwa mereka tidak sedang berhadapan dengan malaikat. Ketika kemudian orang-orang yang mereka anggap malaikat itu ternyata manusia biasa, masyarakat pun kecewa dan patah hati.

Masyarakat menganggap seorang ustad tidak butuh makan. Ketika sang ustad meminta atau menaikkan tarif untuk ceramahnya, masyarakat kecewa. Masyarakat menganggap seorang da’i adalah malaikat yang bersih dari nafsu manusia. Ketika sang da’i berpoligami, masyarakat terluka.

Dalam hal ini, mungkin, yang perlu disadarkan memang bukan hanya masyarakat, melainkan juga para da’i dan para ustad. Masyarakat perlu diberitahu bahwa para ustad bukan malaikat, dan para ustad pun perlu diberitahu agar mereka tidak usah bertingkah seolah-olah dirinya malaikat.

 
;