Minggu, 05 Januari 2014

Saya Tahu Cewek Memang Pencemburu, Tapi Saya Tidak Tahu Cemburunya Sebesar itu (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sejak itu, hubungan kami pun baik-baik saja—dia tetap menyapa saya dengan ramah seperti biasa, dan saya pun tetap membalas senyumnya, meski sekarang saya “tersenyum dalam duka”. Intinya, hubungan pertemanan kami tidak berubah meski ada insiden penolakan itu. Oh ya, pada awalnya kami memang sama-sama malu, tapi toh kami bukan lagi bocah ABG, dan kami bisa melanjutkan hubungan baik secara dewasa.

Sesekali saya menelepon, dan Dian menerima telepon saya dengan baik. Sewaktu-waktu Dian berkirim SMS ke saya, dan saya pun membalas SMS-nya dengan riang. Langit dan bumi tahu bahwa hubungan kami sebaik semula.

Dan semester demi semester pun berganti. Seiring dengan itu, hubungan saya dengan Dian tetap baik-baik saja, dan saya semakin mampu mengendalikan perasaan kepadanya, dan mengingat fakta penting bahwa dia telah bertunangan. Kadang, di hari-hari tertentu, Dian pulang kuliah dijemput tunangannya, dan saya pun—perlahan-lahan—dapat menyaksikan itu tanpa merasa terluka.

Kadang, ketika kebetulan saya menyaksikan hal itu, Dian bahkan menggoda saya, “Kamu mau aku kenalin sama dia?”

Saya pun tersenyum, dan membalas sambil bercanda, “Sampai semilyar tahun yang akan datang, dia orang terakhir yang ingin aku kenal.”

Dan Dian akan cekikikan.

Pada waktu kami semester lima, saya dekat dengan seorang adik angkatan bernama Ririn (bukan nama sebenarnya). Si Ririn ini telah memunculkan “badai berkekuatan skala Richter” sejak pertama kali masuk kampus, karena kecantikannya. Cowok-cowok di kampus berusaha mendekatinya—begitu pula saya. Karena waktu itu saya tidak punya perasaan apa-apa terhadap Ririn, saya pun enjoy mendekatinya.

Nah, singkat cerita, saya dekat dengan Ririn. Jadi, ketika suatu hari saya mendapatkan dua tiket gratis untuk menonton pagelaran teater, saya pun langsung menawarkannya pada Ririn.

“Rin, kamu mau nanti malam kita nonton teater?” tawar saya waktu itu. “Aku dapat dua tiket gratis dari panitianya. Kalau kamu mau, kita bisa nonton bareng.”

Ririn mau. Maka, malam itu saya pun datang berdua ke tempat pagelaran teater bersama Ririn. Tidak pernah saya duga sebelumnya, saya bertemu Dian di tempat acara. Dian datang bersama teman-teman ceweknya. Saat kami berpapasan, saya sudah mengulumkan senyum manis, tapi Dian pasang muka cemberut… dan melengos.

Sejak itulah kemudian hubungan saya dengan Dian mulai berubah. Tiap kali kami bertemu, Dian tidak lagi tersenyum. Kalau biasanya dia murah hati meminjamkan catatan kuliahnya, sekarang mulai pelit. Kalau saya menyapa, dia menjawab dingin. Kalau saya mengirim SMS, dia kadang tak membalas. Kalau saya menelepon, dia menjawab ogah-ogahan. Pelan namun pasti, hubungan kami pun jadi tak sebaik dulu.

Akhirnya, suatu hari, ketika kami kebetulan bertemu di kantin yang sepi, saya mencoba menyapa Dian, “Kenapa sekarang jarang SMS?”

“Nggak apa-apa,” sahutnya dingin. “Lagian kan kamu bisa SMS-an sama yang lain.”

Jadi, hei langit dan bumi, apa sebenarnya yang telah terjadi? Kenapa Dian tiba-tiba seperti ini?

Sebagai cowok, saya tahu Dian marah sama saya. Tapi marah untuk apa? Maksudnya, dia marah karena apa? Jika saya telusuri seluruh peristiwa yang telah berlangsung, saya akan sampai pada titik awal kemarahan cewek itu, yakni ketika tanpa sengaja kami bertemu di acara teater beberapa waktu sebelumnya. Tetapi atas dasar apa dia harus marah pada saya gara-gara itu?

Mari kita letakkan satu per satu kartu di atas meja.

Pertama, Dian sudah bertunangan dengan seseorang. Kedua, dia telah menolak pernyataan cinta saya. Ketiga, saya berjiwa besar dan tetap menjalin hubungan baik dengannya meski telah ditolak. Keempat, karena saya tidak terikat dengan seorang pacar, maka tentu saya berhak untuk jalan dengan seorang cewek. Kelima, saya—dengan segala ketololan sebagai cowok—tidak mampu menemukan apa kesalahan saya.

Jadi, apa yang sekarang membuat Dian marah…?

Karena tidak mampu menemukan jawaban ilmiah untuk pertanyaan di atas, saya pun kemudian berkonsultasi pada Amelia Ristyanti, M.Psi (waktu itu dia belum lulus M.Psi).

Amelia berkata, “Coba ceritakan masalahmu, dari awal sampai akhir.”

Saya pun menurut, dan menceritakan semua yang terjadi, secara runtut dan sistematis. Selama saya menceritakan kisah itu, Amelia manggut-manggut sok bijak, seperti psikiater yang telah menangani ribuan kasus umat manusia. Dan setelah saya selesai bercerita, Amelia cekikikan, seperti cewek ABG yang baru saja mendengar “sesuatu yang tidak senonoh”.

“Jadi, apa yang terjadi, Mel?” tanya saya dengan pasrah, seperti pasien penyakit jiwa yang akan segera mendengar vonis psikiaternya.

“Sangat jelas, kan?” sahut Amelia dengan tampang sotoy.

“Sangat jelas gimana?”

“Ya dia cemburu, laaah.”

Saya kaget. “Dian? Cemburu? Apa alasannya dia cemburu? Kami kan nggak punya hubungan apa-apa. Lagian dia juga udah tunangan!”

Sekali lagi Amelia cekikikan. “Gini, ya, Hoeda Manis,” katanya kemudian dengan gaya mirip profesor yang akan segera mengeluarkan hipotesis tingkat dewa. “Bahkan ketika seorang cewek telah memiliki suami dan anak-anak, dia tetap akan senang ketika mengetahui ada cowok yang berharap kalau saja dia belum punya suami dan anak-anak.”

Saya bengong. “Jadi…?”

“Jadi, kasusmu ini kasus biasa—kecemburuan seorang cewek yang merasa ditinggalkan.”

Saya merasa salah dengar. “Kecemburuan seorang cewek yang merasa ditinggalkan? Bukannya dia yang udah ninggalin aku? Jangan lupa, dia udah nolak aku!”

“Ya, dia udah nolak kamu—itu fakta. Tetapi, sebagai cewek, dia tetap senang mengetahui kalau kamu tetap mencintainya. Dan ketika dia menyaksikanmu bersama cewek lain, dia kayak diberitahu kalau kamu dapat mencintai cewek lain, dan fakta itu menjadikannya cemburu. Dia merasa ditinggalkan.”

Sekali lagi saya bengong. “Mel, ini… uh, ini nggak masuk akal, kan? Maksudku, apa iya Dian marah sama aku gara-gara kenyataan seperti itu?”

“Kalau gitu, coba pikirkan kemungkinan lain yang mungkin membuatnya marah. Kalau kamu dapat menemukannya, aku akan berhenti jadi perempuan.”

Kenyataannya, Amelia (mungkin) benar. Tidak lama setelah itu, saya jadian dengan Ririn, dan Dian semakin tidak mau mengenal saya. Dia tak pernah lagi tersenyum manis atau memberikan sapaan hangat seperti dulu. Dia tak pernah lagi membalas SMS saya, atau menerima telepon saya. Finish-nya, komunikasi kami pun benar-benar terputus.

….
….

Itu kisah yang terjadi bertahun lalu, kisah yang sekarang saya baca kembali di lembar-lembar diary yang tadi sore saya temukan. Dan, sambil membaca kisah itu, saya kembali terngiang pada ucapan Amelia, “Bahkan ketika seorang cewek telah memiliki suami dan anak-anak, dia tetap akan senang ketika mengetahui ada cowok yang berharap kalau saja dia belum punya suami dan anak-anak.”

Saya menutup diary itu dengan bibir tersenyum. Oh, well, saya tahu cewek memang pencemburu, tapi saya benar-benar tidak tahu kalau cemburunya sebesar itu.

 
;