Minggu, 09 Februari 2014

Harga Sebuah Kemalasan

Kemalasan memiliki harga yang harus dibayar.
Dan harganya sering kali sangat mahal.
@noffret 


Pengalaman saya dengan motor bisa dibilang sangat terbatas, karena seumur-umur hanya mengenal Suzuki Satria, yang RU maupun yang FU. Menyangkut motor, ada pengalaman yang tak bisa saya lupakan, yang mengajarkan pada saya tentang besarnya bahaya kemalasan.

Seperti kita tahu, Suzuki Satria menggunakan rem cakram. Karenanya, ada suatu saat kampas cakram itu akan aus, dan harus diganti. Ada sepasang kampas pada rem cakram, kanan dan kiri, dan seiring berlalunya waktu sepasang kampas itu akan menipis sehingga kekuatan rem akan terus berkurang. Hal semacam itu pula yang terjadi pada motor saya.

Suatu hari, motor saya mengeluarkan suara derit setiap kali melakukan pengereman. Saya cukup tahu itu tanda bahwa kampas cakram harus diganti. Maka saya pun pergi ke toko onderdil motor, dan membeli satu set kampas. Seharusnya, saya membawa motor ke bengkel resmi untuk mengganti kampas cakram tersebut. Tetapi, karena letak bengkel resmi cukup jauh, saya jadi malas dan memilih menyerahkan pengurusan motor saya pada bengkel di pinggir jalan yang kebetulan saya temukan.

Itu kemalasan yang kelak akan sangat berbahaya.

Ternyata, urusan mengganti kampas cakram tidak semudah kedengarannya. Untuk mengganti sepasang kampas, kita harus membongkar cakram itu sepenuhnya, yang tentu juga butuh keahlian serta peralatan memadai. Urusan melepas cakram, kemudian mengganti sepasang kampas lama dengan yang baru, juga membutuhkan waktu cukup lama.

Sayangnya, bengkel yang mengurus motor saya tidak mau terlalu repot. Karena tidak tahu caranya atau karena memang malas, dia hanya melepas cakram motor saya sekadarnya, kemudian menyisipkan kampas ke dalamnya. Dalam hal ini, terjadi masalah yang kesannya sepele. Karena cakram tidak dilepas sepenuhnya, hanya satu bagian kampas yang bisa dimasukkan—bukan sepasang. Akibatnya, hanya satu bagian kampas yang baru, sementara bagian lainnya masih menggunakan kampas lama.

Waktu itu saya bertanya, apakah hal itu tidak masalah. Orang di bengkel menjawab hal tersebut tidak masalah, karena yang penting fungsi pengereman telah berjalan baik. Suara derit yang mengganggu pun sudah tak ada lagi. Maka saya pun tidak memperpanjang urusan. Saya bawa pulang motor itu, beserta satu bagian kampas baru yang tidak terpakai.

Berbulan-bulan kemudian, motor saya tidak mengalami masalah. Tetapi, lama-lama, motor terasa berat. Waktu itu saya tidak berpikir macam-macam, selain menyangka motor saya mungkin kotor, dan rantainya perlu dibasahi oli. Seharusnya saya memperhatikan kondisi motor untuk mengetahui sebabnya, tapi saya malas. Dan itu sungguh kemalasan yang berbahaya.

Suatu sore, saya berencana membeli gorengan di tempat yang tak jauh dari rumah. Maka saya pun mengeluarkan motor, lalu melaju perlahan-lahan di pinggir jalan raya. Laju motor sangat perlahan waktu itu, mungkin hanya 40 kilometer per jam, karena saya tidak sedang buru-buru. Di tengah jalan, tiba-tiba motor itu berhenti mendadak. Sebegitu mendadak, hingga saya nyaris jatuh.

Mesin motor tidak mati, tarikan gasnya masih hidup. Tapi motor itu tidak mau jalan, seinci pun. Padahal kondisi rem sama sekali normal, tidak tertekan. Kopling dan transmisi gigi juga tidak bermasalah. Dengan perasaan heran luar biasa, saya mengamati motor, mencari-cari di mana masalahnya. Semula, saya pikir ada tali atau semacamnya yang terjebak di as roda, sehingga roda motor tak mau berputar. Tetapi, meski sudah saya cari dengan teliti, tidak ada apa-apa di sana. Seluruh bagian roda itu bersih.

Tetapi motor tetap tidak mau jalan. Bahkan, ketika mesin sudah dimatikan dan saya mencoba menuntunnya, motor itu tetap tidak mau jalan. Benda itu seperti terpaku di aspal, dan tidak mau dipindahkan seinci pun. Kegiatan saya di pinggir jalan itu pun menarik perhatian beberapa orang yang kemudian mendekat. Mereka bertanya ada masalah apa. Saya jelaskan masalahnya. Seseorang, yang sepertinya tahu akar masalah itu, memberikan pencerahan bahwa roda motor saya terkunci kampas rem.

Dia menjelaskan, biasanya hal semacam itu terjadi karena sepasang kampas tidak imbang kanan-kirinya, atau karena pemasangan kampas rem yang tidak benar. Penjelasan itu terdengar match. Saya masih ingat, bengkel yang memasang kampas rem dulu hanya mengganti satu bagian, sementara bagian yang lain masih menggunakan kampas yang lama.

Akhirnya, karena hari sudah sore, dan bengkel kebanyakan sudah tutup, motor saya pun terpaksa dibongkar dengan peralatan seadanya. Beberapa orang itu membantu melepaskan cengkeraman rem di kampas, demi motor saya bisa dijalankan. Setelah rem cakram terlepas, motor bisa kembali jalan. Dan saya pun pulang, tanpa sempat membeli gorengan.

Di rumah, saya tercenung, dan berkali-kali bersyukur. Meski motor saya bermasalah, tapi untungnya saya tidak sampai celaka. Untungnya pula, tadi saya sedang melaju perlahan-lahan di jalan.

Coba bayangkan apa yang akan menimpa saya, jika kasus tadi terjadi ketika motor sedang melaju kencang. Asal tahu saja, saya sering melaju hingga kecepatan maksimal di jalan, khususnya ketika sedang stres. Apa yang sekiranya akan terjadi, jika saya sedang melaju dengan kecepatan 150 kilometer per jam, misalnya, lalu tiba-tiba motor saya terkunci dan berhenti mendadak seperti tadi?

Membayangkannya saja sudah cukup membuat saya ngeri. Umpama saya sedang melaju kencang, kemudian roda motor terkunci seperti tadi, maka saya akan menjadi Jackie Chan. Ketika roda terkunci secara mendadak, padahal motor sedang melaju kencang, maka kemungkinan yang paling “ringan” adalah saya akan terlempar dari motor dan menghantam aspal.

Kemungkinan lain agak berat. Jika saya sedang melaju kencang di jalanan, lalu roda motor terkunci secara mendadak, maka mobil atau kendaraan lain di belakang saya yang juga melaju kencang akan terkejut, dan hampir bisa dipastikan akan menabrak saya karena tak kuasa melakukan pengereman. Itu terlalu mengerikan untuk dibayangkan.

Hanya gara-gara malas memasang kampas rem dengan benar, nyawa saya punya kemungkinan untuk hilang. Mungkin kedengarannya terlalu dramatis. Tapi kemalasan mungkin memang memiliki harga yang sangat mahal, jauh lebih mahal dari yang kita bayangkan. Dalam sebuah kasus, kemalasan bahkan telah terbukti merenggut nyawa orang-orang tak bersalah, serta menyebabkan ribuan orang menderita. Kita bisa melihatnya pada kasus yang menimpa masyarakat di Goiania, Brasil.

Kisah mengerikan itu dimulai pada 1985. Pada waktu itu, The Goiania Institute of Radiotherapy bermarkas di Goiania, Brasil. Di markas mereka, lembaga yang menangani terapi kanker tersebut memiliki mesin teletherapy Cesium-137, isotop radioaktif yang mengandung radiasi berbahaya.

Nah, pada 1985, lembaga tersebut pindah ke lokasi baru, dan meninggalkan mesin berbahaya tersebut di markasnya yang lama, karena dianggap tak dibutuhkan lagi. Yang jadi masalah, mereka lalai memberitahu petugas berwenang mengenai mesin yang sudah tidak terpakai itu, serta dampaknya jika terpapar ke masyarakat.

Setelah ditinggalkan, gedung bekas institusi itu pun perlahan-lahan rusak dan terbengkalai, karena tak lagi dihuni serta dirawat.

Sekitar dua tahun setelah ditinggalkan, gedung yang telah rusak itu dimasuki dua orang yang berencana mengambil benda-benda berharga di sana. Ketika menemukan mesin Cesium-137, dua orang itu pun mengambilnya. Kedua orang itu tidak tahu bahwa mesin yang diambilnya berbahaya, dan mereka menjualnya ke tempat barang bekas. Peristiwa itu terjadi pada 13 September 1987.

Lima hari kemudian, pekerja di tempat barang bekas membongkar mesin itu, dan mengeluarkan Cesium-137 yang ada di dalamnya. Ketika dibongkar, mesin itu memancarkan cahaya berwarna biru, dan para pekerja di sana terpesona menyaksikannya.

Tanpa menyadari bahwa itu benda berbahaya, para pekerja tersebut memotong-motong cesium itu, dan membagikannya pada keluarga, teman, serta tetangga. Orang-orang yang menerimanya sangat terpesona dengan benda aneh itu, dan cesium berbahaya itu pun tersebar dengan cepat, karena kemudian ditemukan kontaminasi hingga jarak 160 kilometer.

Beberapa hari kemudian, istri pemilik tempat barang bekas mulai menyadari bahwa keluarga serta kerabat yang diberi benda aneh itu jatuh sakit. Dokter menyatakan mereka keracunan radiasi akut. Empat orang tewas, termasuk seorang anak kecil. Selanjutnya, sekitar 100 ribu orang di kota tersebut harus diperiksa paparan kontaminasi.

Dari pemeriksaan, ditemukan sekitar 40 rumah di kota tersebut terkena kontaminasi tinggi, dan harus dihancurkan. Dalam laporan Agen Energi Atom Internasional (IAEA) yang dipublikasikan pada 1988, disebutkan insiden radiologi itu makin rumit, karena tidak lengkapnya kronologi yang diceritakan warga. Akibatnya, tim penolong pun kesulitan untuk menentukan berapa lama paparan radiasi masuk ke tubuh korban. Mayoritas korban mengalami mual, muntah, diare, pusing, dan kelelahan yang amat sangat. Mereka juga mengalami infeksi di tangan, kaki, dan beberapa area di tubuh.

Meski akhirnya kondisi kota bisa dipulihkan, warga Goiania terkena dampak sosial. Karena adanya paparan radiasi berbahaya di sana, warga kota lain menolak kehadiran apa pun yang berasal dari Goiania, baik orang maupun barang. Secara nasional, insiden itu membuat pemerintah Brasil mulai memikirkan dan menetapkan hukum mengenai sumber penyimpanan zat yang mengandung radiasi.

Hanya karena kemalasan dan kelalaian, nyawa orang-orang tak bersalah menjadi tumbal. Kemalasan memiliki harga, bahkan lebih besar dari yang mungkin kita pikirkan.

 
;