Sabtu, 01 Februari 2014

Penjual Durian yang Tidak Mencerminkan Registrasi

Berdasarkan pengalaman, kelezatan durian
semakin optimal jika dinikmati dalam keheningan.
Mungkin begitu pula kenikmatan lainnya.
@noffret


Pada masa kuliah dulu, saya “membelokkan” istilah “registrasi” untuk meledek bocah-bocah yang kuliah seenaknya. Misalnya, suatu siang ada teman yang tampak asyik merokok di kantin, kemudian saya menyapa, “Kayaknya santai banget. Nggak ada kuliah?”

Dia menjawab, “Ada kuliah sih, tapi malas mau masuk kelas.”

Lalu saya akan berujar sambil tersenyum, “Kamu tuh, mahasiswa tapi kok tidak mencerminkan registrasi.”

Biasanya bocah yang saya ledek begitu akan cekikikan.

Mungkin karena ucapan itu terdengar unik dan lucu, istilah “registrasi” pun populer di kampus kami, khususnya di antara para mahasiswa yang seangkatan dengan saya. Pada waktu-waktu tertentu, saya kerap mendengar para mahasiswa saling meledek dengan ucapan semacam itu, dan biasanya yang diledek—dan yang mendengar ucapan itu—akan cekikikan.

Dalam kelas, misalnya, kadang ada mahasiswa yang ditegur dosen karena bolos kuliah beberapa kali. Lalu ada yang menimpali, “Dia tuh emang gitu, Bu. Mahasiswa tapi tidak mencerminkan registrasi.” Dan seisi kelas akan cekikikan.

Sebelum kalian gila karena pusing memahami kalimat itu, biar saya jelaskan.

Kebanyakan mahasiswa—khususnya S1—kuliah dengan biaya dari orangtua. Artinya, orangtua mereka banting tulang, peras keringat, demi bisa menguliahkan mereka, demi... well, menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa, serta berbakti pada orangtua. Dengan kata lain, aktivitas kuliah mereka tidak gratis. Karena kuliah dengan biaya orangtua, mestinya mereka kuliah dengan baik sebagaimana yang diharapkan orangtua.

Sayangnya, tidak banyak mahasiswa yang menyadari hal itu. Kebanyakan dari kita kuliah dengan seenaknya sendiri. Kalau sedang mood, kita rajin masuk kelas. Kalau sedang malas, kita mojok di kantin. Padahal, sekali lagi, aktivitas kuliah tidak gratis. Setiap semester, para mahasiswa harus membayar registrasi. Registrasi bisa dibilang “perpanjangan kontrak” agar seseorang masih dapat belajar di sebuah kampus, dan tetap dianggap sebagai mahasiswa.

Karena itu, saya pikir, mahasiswa yang kuliah seenaknya sendiri adalah “mahasiswa yang tidak mencerminkan registrasi”. Dia lupa bahwa setiap semester orangtuanya memberi uang untuk membiayai kuliahnya, demi harapan memiliki anak-anak berpendidikan. Sebagian orangtua mungkin bisa membayar biaya kuliah anaknya dengan mudah. Tapi ada banyak orangtua yang harus bekerja keras dan banting tulang untuk itu—sebagian mereka bahkan ada yang sampai menjual sawah dan menggadaikan rumah demi membiayai kuliah anak-anaknya.

Karenanya, tugas setiap mahasiswa—khususnya yang kuliah dibiayai orangtua—bukan hanya belajar sungguh-sungguh di kampusnya, namun juga mengingat bahwa mereka punya “utang” pada orangtua mereka. Utang itu bisa dibayar dengan nilai akademik yang tinggi, atau prestasi yang membanggakan, atau setidaknya dengan menjalani kuliah dengan benar. Selalu ingat registrasi. Kuliah tidak gratis. Karenanya, sekali lagi, mahasiswa yang kuliah seenaknya sendiri adalah mahasiswa yang tidak mencerminkan registrasi.

Well, saya teringat istilah “registrasi” gara-gara jengkel pada penjual durian. Ceritanya, beberapa hari lalu, saya membeli durian yang sama sekali tidak bisa dimakan karena busuk.

Jadi, suatu malam, tiba-tiba saya ingin durian. Waktu itu sudah pukul sepuluh—cukup larut untuk mencari durian. Susahnya, kalau sedang punya keinginan, saya tuh seperti orang ngidam—meski saya juga tidak tahu seperti apa rasanya ngidam. Pokoknya, jika ingin sesuatu, saya akan mencarinya sampai ketemu, dan tidak akan berhenti sebelum ketemu.

Malam itu gerimis. Tapi saya tak peduli. Saya hanya tahu saya ingin durian malam itu juga, dan saya akan mendapatkannya!

Jadi begitulah. Menembus gerimis yang turun, saya keluyuran malam-malam demi menemukan durian. Di suatu pinggir jalan, ada penjual durian yang tampaknya akan menutup dagangannya. Dia sedang mengangkuti durian ke keranjang. Saya berhenti di sana, dan memilih durian yang kelihatan paling besar. Saya tanya penjualnya, “Yang ini bagus nggak, Pak?”

Si penjual durian menjawab dengan pasti, “Itu bagus, Dek. Dijamin!”

Karena tempat itu agak gelap, saya tidak terlalu memperhatikan noda-noda hitam yang terdapat pada kulit durian. Saya hanya mendekatkan durian ke hidung, dan mencium aroma yang sedap. Saya pikir itu cukup. Apalagi si penjual dengan yakin menyatakan durian yang saya pilih memang bagus. Maka saya pun mengambil durian itu, dan membayarnya. Harganya lima puluh ribu—saya pikir cukup murah untuk durian sebesar itu.

Durian itu tidak dibuka di sana. Saya cuma meminta kulitnya dibelah, agar nanti saya tidak repot membukanya di rumah.

Sesampai di rumah, dengan hasrat yang membara, saya membuka durian itu dan siap menyantapnya. Begitu kulitnya terbuka seutuhnya, saya langsung misuh-misuh. Bagian dalam durian itu busuk seluruhnya. Tidak ada satu bagian pun dari durian yang lumayan besar itu bisa dimakan. Ulat yang rakus tampaknya telah merusak durian itu, hingga buah di dalamnya membusuk tak bisa dimakan.

Apa yang harus saya lakukan sekarang? Jika saya kembali ke tempat penjual durian tadi, dan meminta pertanggungjawaban, bisa dipastikan dia tidak ada lagi di sana, karena sudah pulang—entah di mana rumahnya. Dan tidak ada jaminan besok dia akan jualan lagi di sana. Kalau pun dia jualan lagi di tempat yang sama, tidak ada kepastian dia masih mengenal saya. Bahkan umpama dia masih mengenal saya pun, selalu ada kemungkinan dia akan pura-pura tidak kenal.

Jadi, saya menyimpulkan, saya tidak bisa melakukan apa-apa sehubungan durian keparat itu. Karena jengkel, saya pun kemudian membuat teh hangat, menyulut rokok, menyalakan komputer, dan menulis catatan ini.

Penjual durian itu benar-benar tidak mencerminkan registrasi, pikir saya dengan jengkel. Sebagai penjual durian, dia pasti tahu durian yang tadi saya pilih sebenarnya tidak bisa dibilang bagus. Tetapi bukannya jujur menyatakan durian itu busuk dan tak bisa dimakan, dia justru menipu saya dengan menyatakan durian itu bagus. Tentu dengan harapan agar duriannya terjual, dan dia bisa mendapatkan uang.

Upayanya memang berhasil—saya tertipu, membeli durian busuk itu, dan dia memperoleh uang. Tetapi haruskah seseorang mencari keuntungan dengan merugikan orang lain? Hanya untuk mendapatkan uang lima puluh ribu rupiah, dia menggadaikan kejujurannya, dan mengorbankan orang lain demi pencarian nafkahnya.

Tanpa bermaksud sombong, lima puluh ribu rupiah bukan nilai besar bagi saya. Meski jengkel, saya masih dapat bersyukur, karena setidaknya hanya kehilangan uang sejumlah itu.

Tetapi bagaimana kalau umpama yang tertipu semacam itu orang lain yang kebetulan uangnya pas-pasan? Bagaimana kalau ada seorang lelaki kelayapan larut malam mencari durian, demi menyenangkan istrinya yang sedang ngidam karena hamil? Kira-kira bagaimana perasaan mereka begitu tahu durian yang dibelinya ternyata busuk dan tak bisa dimakan?

Penjual durian yang curang itu tak jauh beda dengan mahasiswa nakal, yang tak peduli keringat orangtua mereka dalam membiayai kuliahnya. Mahasiswa “yang tidak mencerminkan registrasi” menjalani kuliah seenaknya, tanpa peduli orangtua mereka bating tulang demi menguliahkan mereka. Penjual durian “yang tidak mencerminkan registrasi” juga seenaknya dalam mencari nafkah, tanpa peduli orang lain peras keringat demi bisa mencari nafkah yang sama.

Menjalani kehidupan adalah menjalani kampus dalam skala yang lebih besar. Sama sebagaimana pendidikan di kampus yang harus dijalani dengan benar untuk mendapatkan nilai terbaik, begitu pun dengan kehidupan. Setiap kita membayar kehidupan yang kita jalani—disadari atau tidak. Kita membayarnya dengan usia, kesehatan, dan batas waktu. Hidup ini tidak gratis, pun tidak selamanya.

Karena hidup tidak gratis, tentunya kita perlu mengingat untuk menjalaninya dengan baik, agar pembayaran yang kita lakukan dalam menjalaninya tidak sia-sia. Karena hidup tidak berlangsung selamanya, mestinya setiap kita perlu mengingat untuk meninggalkan hal-hal baik pada sesama... dan bukan sebaliknya.

Setiap hari, saat kita terbangun dan membuka mata di ujung pagi, kita menandatangani berkas registrasi untuk memperpanjang hidup satu hari lagi. Dan tidak ada jaminan besok lusa kita masih punya kesempatan untuk melakukan registrasi. Karenanya, siapa pun yang menjalani hidup seenaknya sendiri, dia pastilah manusia yang tidak mencerminkan registrasi.

 
;