Jumat, 14 Maret 2014

Insiden, Suatu Hari

Kafe itu terletak di tempat terpencil, dan pengunjungnya kebanyakan pasangan-pasangan yang menginginkan privasi. Kadang-kadang dua orang atau lebih memilih kafe itu sebagai tempat pertemuan untuk membicarakan hal-hal penting yang membutuhkan suasana hening. Jarang sekali ada orang yang sengaja datang dan makan di sana sendirian.

Di salah satu sudut, seorang lelaki bangkit dari tempat duduknya, membereskan beberapa berkas yang dibawanya, dan melirik ke tempat seorang wanita yang juga tampak sendirian. Ia tahu, begitu ia bangkit dari tempat duduknya, wanita itu juga akan bangkit—suatu pola yang diam-diam diingatnya.

Seusai membayar di kasir, si lelaki menoleh pada wanita di belakangnya, yang juga akan membayar di kasir, lalu berkata lirih, “Kalau tak salah ingat, kita bertemu tepat di depan kasir ini empat kali. Well, kau tahu, aku tak pernah percaya pada kebetulan semacam ini.”

Si wanita tersenyum, usahanya telah berhasil. Lalu ia menjawab dengan percaya diri, “Sepertinya aku sudah mendapatkan perhatianmu. Kudengar kau sering menikmati waktu senggang di sini, jadi aku sengaja datang ke sini untuk bertemu denganmu.”

“Apa yang kauinginkan?”

“Mau makan malam denganku, kapan-kapan?”

Si lelaki menatap wanita di dekatnya. Ia jenis wanita yang menyadari siapa dirinya—dan si lelaki tertantang. Setelah berpikir sesaat, dia menjawab, “Oke. Kita bisa makan berdua besok malam. Siapa tahu kita bisa berteman.”

“Besok malam aku tidak bisa,” sahut si wanita. “Bagaimana kalau lusa?”

“Kalau begitu lupakan saja,” ujar si lelaki sambil melangkah pergi.

Si wanita menatap punggung si lelaki. “Sepertinya kau tidak terbiasa mendengar kata ‘tidak’, ya?”

“Kecuali aku yang mengatakan.”

....
....

Sejak insiden itu, si wanita tidak pernah lagi menemukan si lelaki di sana. Mungkin dia menyesali sok jaimnya ternyata sia-sia.

 
;