Minggu, 09 Maret 2014

Orang Bodoh No. 1 di Indonesia

Dunia maya tidak hanya menjanjikan ilusi.
Tetapi juga memberikan ruang bagi delusi.
@noffret


Saya sering “ngeri” setiap membaca biodata orang di Twitter, yang tampak “serius sekali”. Di masing-masing akun Twitter, ada header yang memungkinkan pemiliknya menuliskan biodata singkat dirinya untuk memperkenalkan diri. Dan, tampaknya, ada banyak orang yang terlalu serius menilai dirinya sendiri.

Saya kadang mendapati ada orang yang menulis biodatanya di Twitter sebagai “Pakar Anu No. 1 di Indonesia”, atau “Pakar Itu No. 1 di Asia”, dan semacamnya—yang umumnya lekat dengan sebutan “Pakar” atau “No. 1”. Kadang pula dilekati serentetan titel atau gelar akademis, hingga mirip sampul makalah ilmiah. Padahal itu Twitter, yang sama sekali tidak dimaksudkan sebagai presentasi ilmiah di universitas mana pun.

Dan orang-orang itu serius. Maksud saya, mereka melekatkan predikat “serba hebat” semacam itu tidak bertujuan untuk main-main atau sekadar bercanda, tapi sengaja digunakan untuk menunjukkan “betapa hebat” dirinya. Mungkin, kalau umpama Raditya Dika atau Alitt Susanto yang menulis biodata semacam itu, saya paling akan tertawa, karena paham mereka pasti sedang bercanda. Tapi ini orang-orang serius, yang bisa dibilang jauh dari kesan bercanda.

Karena yang melakukan hal semacam itu orang-orang serius, dan mereka melakukannya secara serius pula, saya pun menghadapi dan memikirkan kenyataan itu dengan serius. Sebegitu serius, hingga saya merasa perlu menulis catatan ini.

Well, jika ada orang mengklaim dirinya sebagai “No. 1 di Indonesia”, parameter apa yang digunakan untuk menentukan nomor itu? Jika saya merasa—tolong perhatikan kata “merasa”—sebagai orang yang sangat tahu tentang perpolitikan di Indonesia, misalnya, kemudian menyatakan diri sebagai “Pakar Politik No. 1 di Indonesia”, siapakah yang menjamin bahwa saya memang orang paling hebat dalam bidang itu?

Bahkan umpama ada parameter yang jelas, misalnya saya mengikuti “kontes pengamat politik di Indonesia”, dan dinyatakan sebagai juara pertama, sebutan “No. 1” pun tetap sangat relatif, dan rasanya sangat riskan jika saya secara sengaja menggunakannya untuk menunjukkan citra diri. Itu tak jauh beda dengan kontes Miss Indonesia. Jika Si A menjadi pemenang Miss Indonesia, kemudian mengklaim diri sebagai “Wanita Cantik No. 1 di Indonesia”, sepertinya kok sangat aneh. Dan bisa jadi kita akan menertawakannya.

Itu bahkan jika ada parameter yang jelas—sebagaimana yang saya contohkan di atas. Lalu bagaimana jika kenyataannya tidak ada parameter apa pun yang bisa digunakan untuk mengukur “nomor” seseorang? Bagaimana bisa seseorang mengklaim dirinya sebagai “Pakar” atau bahkan “Pakar No. 1”? Apa yang menjadi dasar ukurannya? Bagaimana mengukur parameternya? Lebih penting lagi, sejauh apa sebutan itu sesuai kebenarannya?

Jika kita perhatikan, orang-orang yang menyebut dirinya sebagai “Pakar”, umumnya karena menulis buku yang membahas suatu topik tertentu. Jika ia menulis tentang tutup botol, misalnya, maka ia kemudian merasa berhak untuk menjuluki dirinya “Pakar Tutup Botol”, atau “Pakar Tutup Botol No. 1 Indonesia”.

Pertanyaannya, sekali lagi, sesahih dan sevalid apa sebutan “Pakar” itu, sampai-sampai dilekatkan di header Twitter-nya. Jangan lupa, ini soal header Twitter. Jika sebutan “Pakar” tertera di sampul makalah ilmiah, saya tidak akan repot-repot memikirkannya, karena audiens di ruang presentasi bisa langsung menilainya.

Sekali lagi, ini Twitter! Dan ruang di Twitter hanya menyediakan 140 karakter. Tak peduli sepakar apa pun, apa yang bisa kita harapkan dari tempat terbatas seluas 140 karakter?

Untuk menilai tingkat kepakaran seseorang, kita tidak bisa menyandarkan penilaian pada celotehnya di timeline—kita harus melihat atau membaca langsung karyanya yang benar-benar utuh. Jika dia memiliki blog, kita bisa melihat blognya. Jika dia menulis buku, kita bisa membaca bukunya. Jika dia menyusun makalah, kita bisa menyimak presentasinya. Dari hasil karya nyata itulah seseorang baru bisa dianggap “benar-benar pakar” atau “sekadar ingin dianggap pakar”.

Bahkan ketika seseorang telah memiliki karya jelas dan nyata sekali pun, tetap saja tidak mudah memiliki gelar pakar, karena ada uji kepakaran—secara sosial atau secara akademik.

Seorang ulama, misalnya, mungkin tidak pernah menyebut dirinya ulama. Tetapi, karena kontribusinya dalam masyarakat yang memberi banyak manfaat—khususnya dalam bidang agama—dan orang itu juga memiliki akhlak serta perilaku terpuji yang telah teruji bertahun-tahun, masyarakat pun kemudian menyebutnya ulama. Itu contoh mudah “kepakaran” seseorang diakui secara sosial. “Kepakaran”nya telah diuji oleh masyarakat, dan masyarakat menganggapnya “lulus”, hingga ia disebut ulama.

Dalam dunia akademik, juga ada uji kepakaran yang tak jauh beda—namun menggunakan sistem dan ujian yang berlaku—hingga seseorang layak disebut pakar, atau minimal memiliki gelar akademis yang akan memungkinkannya layak disebut pakar.

Siapa pun yang pernah kuliah S3, atau yang telah memiliki gelar Doktor, pasti mengenal istilah “prestasi capaian akademik” sebelum pengajuan tesis (masing-masing negara memiliki sebutan/istilah berbeda).

Dalam persyaratan pengajuan degree, kontribusi kandidat doktoral dihitung berdasarkan prestasi capaian di dunia akademik. Misalnya, menulis di jurnal ilmiah akan mendapat 1 poin. Mengikuti konferensi internasional dan menulis reviu akan mendapat 0,5 poin. Jika tidak ada reviu, poin 0. Menulis makalah—biasanya minimal 8 halaman—akan mendapat 2 poin. Jika kurang dari 8 halaman, tidak mendapat poin. (Masing-masing universitas/fakultas memiliki kriteria berbeda).

Poin-poin yang telah diperoleh itu kemudian diakumulasi untuk menentukan apakah seseorang sudah layak mengajukan tesisnya atau belum. Ketika mahasiswa S3 akan mengajukan tesisnya, total pencapaian poin yang diperolehnya akan dihitung terlebih dulu, sebagai prasyarat akademik bahwa ia telah memahami apa yang akan dibicarakannya. Ketika kemudian ia dinyatakan lulus dan mendapat gelar Doktor, dia sudah layak disebut pakar dalam bidang yang dipelajarinya, yang dibuktikan dari riset tesisnya.

Memang, seseorang tidak harus menjalani pendidikan formal untuk bisa disebut pakar. Bocah-bocah yang mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa, misalnya, juga rata-rata tidak memiliki ijazah dari pendidikan formal. Tetapi mereka disebut pakar, bahkan memperoleh pengukuhan gelar, setelah membuktikan dirinya benar-benar menguasai suatu bidang tertentu yang sulit dilakukan orang-orang lainnya, dan mereka telah melakukannya bertahun-tahun, dengan pencapaian prestasi yang memang mengagumkan.

Kita lihat, betapa sulit untuk mendapat gelar yang merepresentasikan bahwa seseorang memang pakar dalam suatu bidang. Tetapi di Indonesia, khususnya di Twitter, sepertinya kita sangat mudah menemukan berbagai “pakar”. Sebegitu mudah, hingga ada “Pakar Mercon”, “Pakar Botol Kosong”, “Pakar Tangan Kiri”, “Pakar Ember Bocor”, sampai “Pakar Orang Gagap”.

Ehmm....

Salah satu sebutan pakar yang terkenal di Indonesia adalah “Pakar TI” atau “Pakar Teknologi Informasi” (kadang-kadang disebut pula Pakar IT). Bagi yang mungkin belum tahu, orang-orang di luar negeri selalu “takjub” setiap mendengar ada orang yang memiliki gelar “Pakar TI”. Takjub, karena teknologi informasi adalah dunia yang sangat luas—sebegitu luas, hingga bisa dibilang seluas Bumi yang kita tinggali.

Karenanya, orang-orang di luar negeri sering “takjub” setiap mendengar ada orang yang disebut “Pakar TI”, karena tidak bisa membayangkan seluas apa pengetahuan orang itu dalam dunia teknologi informasi, dan sebanyak apa bangku kuliah yang telah “dimakannya”.  

Jepang, sebagai contoh, adalah negara yang sangat maju dalam bidang teknologi informasi—dan dunia pun mengakui. Tetapi, jika kita pergi ke Jepang, kemudian keluyuran ke kampus atau perusahaan teknologi di sana, kita tidak akan menemukan “Pakar TI”. Memang banyak orang Jepang yang sangat hebat dalam bidang teknologi informasi—biasanya memiliki gelar Profesor—tetapi tidak ada Pakar TI.

Profesor Iwata, misalnya, dikenal luas sebagai peneliti di bidang neural networks, tapi dia bukan Pakar TI. Profesor Usui juga dikenal luas sebagai peneliti di bidang neuroinformatics, sedang Profesor Toriwaki dianggap sebagai pionir di bidang medical imaging. Tetapi, bahkan sehebat dan seterkenal itu pun, mereka tidak pernah disebut—atau menyebut diri—sebagai Pakar TI. Bukankah ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di Indonesia?

Karenanya, ketika menyaksikan dan memikirkan semua ini, saya benar-benar bingung, dan tiba-tiba merasa sangat bodoh.

Bingung, karena tak mampu memahami bagaimana banyak orang bisa memiliki gelar pakar dengan sangat mudah, hingga dipamer-pamerkan di header Twitter mereka, seolah akun Twitter adalah makalah yang akan dipresentasikan di forum ilmiah. Dan saya merasa bodoh, karena tidak bisa melihat tingkat kemanfaatan para pakar itu bagi Indonesia—negara yang mereka sematkan di belakang kepakarannya.

Jika memang Indonesia memiliki begitu banyak pakar—sebagaimana yang ditunjukkan di header Twitter—seharusnya negeri ini telah jauh lebih maju, bukannya terus ketinggalan. Jika memang bangsa ini memiliki banyak orang pintar, seharusnya rakyat Indonesia lebih jujur dan beradab, lebih cerdas dan lebih toleran. Jika memang para pakar itu benar-benar pakar, tentunya mereka akan lebih sibuk belajar dan membaktikan ilmunya di lapangan kehidupan... bukannya sibuk di Twitter dan ngoceh mencari perhatian.

Oh, well, mungkin saya memang orang bodoh yang tak mampu memahami pentingnya sebutan pakar bagi seseorang. Mungkin saya terlalu bodoh untuk mengerti betapa pentingnya popularitas dan menjadi pusat perhatian. Mungkin pula saya terlalu bodoh untuk mengetahui betapa bangganya disebut atau menyebut diri sebagai nomor satu di hadapan orang-orang.

Ya, mungkin saya memang orang bodoh, sebegitu bodoh hingga sangat terbelakang dan ketinggalan zaman. Dan, jika memang begitu kenyataannya, mungkin saya perlu mengubah biodata di header Twitter saya. Orang Bodoh No. 1 di Indonesia, sepertinya sebutan paling tepat untuk orang bodoh dan terbelakang seperti saya.

 
;