Selasa, 01 April 2014

Kursus LDR di Travel

Tantangan LDR, katanya, kau tidak tahu pacarmu
sedang apa atau bersama siapa di malam Minggu,
di tempat yang jauh darimu.
@noffret


Saya bisa menghafal banyak hal dengan cukup mudah, tapi sering kesulitan menghafal arah jalan. Jangankan arah jalan di tempat asing, bahkan jalan di kota saya pun sering tampak membingungkan. Sepertinya ada yang “eror” dalam memori saya, hingga sulit mengingat arah. Untuk menghafal suatu jalan, saya harus melewati jalan itu berpuluh kali hingga saya benar-benar bisa “menyerap” semua yang ada di sana.

Karena kelemahan itu pula, saya pun selalu mengandalkan travel untuk bepergian. Sebagai orang rumahan yang biasa damai tinggal di rumah, sebenarnya saya tidak suka bepergian, jalan-jalan, traveling, atau apa pun sebutannya. Hanya berdiam di rumah, saya bisa mengerjakan apa pun, berkomunikasi dengan siapa pun, dan bisa mendapatkan apa pun yang saya inginkan.

Tetapi, kadang-kadang, sesuatu memaksa saya keluar dari rumah dan pergi ke suatu tempat. Entah untuk urusan pekerjaan, atau menemui seseorang. Untuk keperluan itu, saya benar-benar bersyukur dengan adanya travel. Saya tinggal menelepon, menyebutkan tujuan dan jadwal yang saya inginkan, maka travel langganan pun akan datang menjemput... dan mengantarkan saya ke tempat tujuan. Mudah, dan praktis. Saya tinggal duduk manis.

Suatu hari, saya perlu pergi ke Yogya untuk menemui seseorang. Travel datang menjemput jam sembilan pagi. Tanpa diduga, saya mendapat tempat duduk tepat di sebelah seseorang yang saya kenal. Namanya Fikri—dia teman sepermainan zaman SMA. Maka selama perjalanan itu pun kami ngobrol asyik sembari bernostalgia.

“Ada acara apa di Yogya?” tanyanya di sela-sela obrolan kami.

“Menemui teman,” saya menjawab. “Kamu?”

“Menemui pacar.”

“LDR, ya?”

Fikri mengangguk sambil tersenyum. Dia lalu menceritakan hubungannya dengan si pacar di Yogya. Mereka bertemu pada waktu kuliah di sebuah kampus di sana. Saling jatuh cinta, dan memutuskan untuk menjalin hubungan. Saat lulus kuliah, Fikri membantu usaha orang tuanya di kota kami, sementara si pacar melanjutkan kuliah S2. Tapi mereka berkomitmen untuk melanjutkan hubungan, meski jarak kini memisahkan. Maka mereka pun menjalani LDR—long distance relationship, atau hubungan jarak jauh—hingga tiga tahun ini.

“Bagaimana rasanya menjalani LDR?” tanya saya penasaran.

“Yeah, seperti hubungan lain. Ada sukanya, juga ada dukanya.”

Sukanya, menurut Fikri, LDR menjadikan masing-masing mereka punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Berbeda dengan hubungan yang setiap saat bisa bertemu, LDR lebih memberi kesempatan bagi mereka untuk mengurus hidup masing-masing, karena minimnya pertemuan dengan pacar. Dengan kata lain, LDR memberi kesempatan untuk tumbuh mandiri dan tidak terlalu terikat dengan sang pacar.

Saya memahami hal itu. Hubungan dengan seorang pacar sering kali sangat menyita waktu, dan itu cukup menyiksa, khususnya kalau kita punya banyak kesibukan. Pacar yang tinggal berdekatan—katakan saja satu kota—sering menghabiskan waktu kita untuk hal-hal “tidak penting”, semisal menemaninya belanja, nyalon, jalan-jalan, atau setidaknya permintaan untuk datang ke rumahnya. Itu pun masih ditambah dengan telepon-telepon tidak penting dan SMS-SMS yang sama tidak pentingnya.

LDR bisa membebaskan masing-masing pasangan untuk tumbuh mandiri, karena masing-masing memiliki lebih banyak waktu dan kebebasan. “Itu sukanya LDR,” ujar Fikri. Ia mengakui, LDR membuatnya leluasa mengurus kesibukannya di rumah, karena tidak selalu “direcoki” pacarnya. Karenanya, Fikri pun bisa memusatkan seluruh konsentrasinya pada pekerjaan, hingga bisa bekerja dengan lebih baik.

Selain itu, LDR memberikan saat-saat pertemuan yang sangat manis dan berkesan. Tentu saja, karena mereka tidak bisa bertemu setiap saat. Setelah masing-masingnya dilanda kerinduan yang lama dipendam, detik-detik pertemuan pun terasa lebih membahagiakan. “Setiap kali aku datang menemuinya, aku merasa makin cinta kepadanya,” ujar Fikri menceritakan pacarnya, sementara travel terus melaju menuju Yogya.

Hal semacam itu sulit diperoleh dalam hubungan jarak dekat. Kalau sepasang pacar selalu ketemuan setiap hari, apalagi masih ditambah telepon dan SMS setiap saat, cepat atau lambat salah satunya—atau keduanya—akan bosan. Di awal hubungan mungkin hal semacam itu terasa manis dan menyenangkan. Tetapi, lama-lama, rasa bosan mulai datang. Dari situlah biasanya lalu muncul pertengkaran, perselisihan, dan hal-hal tidak penting lainnya, yang berujung pada putus hubungan.

LDR memberi sesuatu yang sangat penting dalam hubungan, yakni jarak. Dalam hubungan apa pun, jarak selalu dibutuhkan. Selama masing-masing orang menghormati jarak tersebut, hubungan akan selamat. Tetapi jika jarak itu diretas atau diterobos, hubungan pun akan bubar.

Hubungan yang kita jalin dengan seseorang tak jauh beda dengan pasir dalam genggaman. Jika kita menggenggamnya dengan wajar, pasir itu akan tetap ada. Tetapi begitu kita mengeratkan genggaman, pasir akan keluar dari sela-sela jari. Mengeratkan genggaman pada pasir adalah menghilangkan jarak dalam hubungan. Jika jarak dihilangkan, hubungan pun bubar.

Karenanya, cara mudah memutuskan hubungan dengan seseorang bukan menjauhinya, melainkan justru semakin mendekatinya. Jika dua orang menjalin hubungan dengan sangat dekat tanpa jarak apa pun, hampir bisa dipastikan hubungan itu akan bubar. Tidak adanya jarak menghilangkan sikap respek pada seseorang. Tidak adanya jarak memicu gesekan perselisihan. Dalam contoh paling mudah, tidak adanya jarak menimbulkan kebosanan.

Untuk orang-orang yang menginginkan hubungan secara dewasa, LDR adalah hubungan yang ideal. LDR memberi pelajaran tentang cara menjalin hubungan secara lebih baik, dewasa, dan lebih bertanggung jawab. 

Tetapi, poin terakhir itu pula yang kadang menjadi dukanya LDR. Tanggung jawab dalam LDR harus dimiliki keduanya. Artinya, masing-masing pelaku LDR harus saling percaya pada pasangannya. “Kalau ingin menjalin LDR dengan seseorang,” ujar Fikri, “hal pertama yang harus kita miliki adalah kepercayaan.”

Kepercayaan itu sulit, dan Fikri pun mengakuinya. Bagaimana pun, mereka terpisah jarak cukup jauh, sehingga tidak setiap saat bisa bertemu, tidak setiap saat bisa bertatap muka. Kalau kangen, mereka hanya berkomunikasi lewat ponsel atau sarana internet. Komunikasi dalam LDR sangat penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah kepercayaan—percaya bahwa pasangan kita bisa dipercaya.

“Itu hal tersulit dalam LDR,” kata Fikri. “Bagaimana pun, kamu tidak selalu tahu pacarmu sedang apa, sedang bersama siapa, dan tidak ada cara pasti untuk mengetahuinya.”

Di era teknologi seperti sekarang, memantau aktivitas seseorang mungkin bukan hal sulit. Tetapi, ironisnya, memantau pacar kita sendiri justru sangat sulit.

Orang yang menjalani LDR mungkin bisa memantau pacarnya lewat Twitter. Tetapi si pacar bisa saja tampak manis di Twitter, namun ternyata selingkuh di Facebook. Kita pantau di Facebook, dia bisa asyik saling rayu di BBM. Kita pantau di BBM, dia ngumpet di WhatsApp. Kita pantau di WhatsApp, dia nyelonong ke Line. Kita pantau di Line, dia chatting via e-mail. Kita retas e-mailnya, dia bisa ketemuan langsung dengan selingkuhan tanpa sepengetahuan kita.

Bagaimana pun, seperti yang dinyatakan Fikri tadi, tidak ada cara pasti untuk mengetahuinya. Itulah tantangan terbesar LDR—kepercayaan dan tanggung jawab. Kepercayaan bahwa pacar kita bisa dipercaya, dan tanggung jawab untuk selalu menjaga kepercayaan pacar kita. Itu pula modal Fikri dalam menjalin LDR dengan pacarnya. “Aku percaya dia menjaga kepercayaanku, sebagaimana aku selalu berupaya menjaga kepercayaannya.”

Dalam LDR, kata Fikri, siapa kita sama sekali tidak penting. Sama tidak pentingnya dengan berapa panjang jarak yang memisahkan. Yang paling penting adalah komitmen untuk saling menjaga kepercayaan, dan tanggung jawab dalam melangsungkan hubungan.

Saya setuju dengannya. Jangankan LDR yang dibatasi jarak, bahkan hubungan dengan pacar satu kampung pun bisa bubar jika tidak ada tanggung jawab, komitmen, dan kepercayaan.

“Tantangan terbesar dalam menjalin hubungan,” kata Fikri, “adalah menunjukkan bukti bahwa kita bisa dipercaya. Apalagi dalam hubungan jarak jauh. Dalam LDR, kesetiaan pacar kita diukur dari tingkat kepercayaan kita kepadanya.”

Percakapan kami masih terus berlangsung, seiring travel yang terus melaju, dan tanpa terasa kami mulai memasuki Yogya. Hari sudah mulai sore. Satu per satu penumpang turun di tempat tujuan masing-masing, dan isi travel terus berkurang. Karena tujuan Fikri lebih dekat, travel mengantarkan Fikri terlebih dulu. “Aku turun di sini,” ujarnya berpamitan pada saya.

Dia turun di depan sebuah rumah yang mungkin tempat kos pacarnya. Saat dia melangkah memasuki halaman, tampak seorang perempuan menyambutnya dengan ekspresi yang meluluhkan hati seorang kekasih. Sesaat saya memandangi mereka. Saya ingin lebih lama memandangi mereka... tapi travel mulai melaju kembali.

Sore itu, gerimis turun di Yogya.

 
;