Minggu, 13 April 2014

Tutup Mulut, dan Bekerjalah!

“Kae bocah kakean cocot, tapi ora ono kerjane!”
Chandra


Chandra adalah teman sekampus saya. Waktu masih kuliah, kami tergabung dalam sebuah organisasi ekstrakampus, dan di organisasi itulah kami menjalin persahabatan akrab. Seperti sesama teman akrab lain, kami juga kadang saling ledek di waktu-waktu tertentu, kadang bahkan sampai menggunakan kalimat yang terdengar kasar bagi orang lain.

Dalam aktivitas di organisasi, Chandra dikenal sangat giat dalam bekerja. Katakan saja apa yang harus dilakukan, dan dia akan melakukannya dengan baik, tanpa banyak mulut. Pada waktu-waktu tertentu, organisasi kami mengadakan suatu acara, dan Chandra biasanya menjadi orang terdepan di lapangan. Dia yang mengatur panggung acara, soundsystem, tatanan ruangan, hingga mengantarkan undangan pada orang-orang tertentu, dan lain-lain.

Setiap orang memiliki kelebihan, sekaligus dilengkapi kekurangan. Begitu pula dengan Chandra. Dia hebat di lapangan, bisa mengerjakan apa pun yang harus dikerjakan, tapi mungkin agak lemah saat diminta berpikir dan membuat konsep. Sebaliknya, ada pula orang yang hebat ketika diminta berpikir dan merancang konsep, tapi kebingungan ketika harus turun ke lapangan. Saya mungkin termasuk yang begitu.

Karenanya pula, dalam organisasi, biasanya panitia dibagi dua—konseptor dan pelaksana, atau yang biasa disebut dengan istilah SC dan OC. Konseptor membuat rencana, dan pelaksana mewujudkannya. Dua bagian itu tentu tidak ada yang lebih hebat atau lebih rendah, karena keduanya saling melengkapi. Konseptor tidak bisa melakukan apa-apa tanpa pelaksana, sebagaimana pelaksana juga tidak akan bisa berbuat banyak tanpa konsep terencana.

Nah, suatu hari, organisasi kami mengadakan suatu acara, dan para panitia begadang menyiapkan segalanya menjelang hari H. Chandra dan saya ikut begadang waktu itu. Seperti biasa, Chandra tampak sangat cekatan mengatur banyak hal, sementara saya dan beberapa teman yang lain beristirahat—duduk-duduk di pinggir ruangan—setelah selesai menyusun konsep untuk acara besok.

Sambil duduk-duduk dan merokok, kami memperhatikan Chandra yang sedang sibuk bekerja bersama yang lain. Seorang teman mengomentari hal itu, dan berkata dengan nada kelakar, “Si Chandra tuh hebat kalau disuruh kerja, tapi bego kalau diajak mikir.”

Saya menimpali sambil tersenyum, “Iya, soalnya Chandra tuh otaknya sebesar biji sawi.”

Teman-teman ngakak. Lalu ada yang berteriak ke Chandra, “Ndra! Kata Hoeda, otakmu sebesar biji sawi.”

Chandra ikut ngakak. Sambil ngakak pula dia menyahut, “Kae bocah kakean cocot, tapi ora ono kerjane! (Itu bocah banyak mulut, tapi tidak ada kerjanya!)”

Ledek-ledekan semacam itu biasa kami lakukan, dan kami paham itu ditujukan untuk bercanda, jadi tidak ada yang tersinggung. Saya pun ikut ngakak bersama yang lain mendengar komentar Chandra, dan sama sekali tidak menganggapnya serius.

Sekarang, setelah tidak lagi kuliah, saya kadang merindukan saat-saat dulu, waktu kami masih bisa berkumpul bersama, di kampus atau di tempat lain, saling ledek, saling bercanda, dan tertawa-tawa.

Ketika saya menulis catatan ini, Chandra mungkin sudah melupakan kata-katanya yang kasar itu. Tapi saya masih mengingatnya. Saya tidak mengingat kalimat itu sebagai ejekan yang membuat saya tersinggung, tapi mengingatnya sebagai salah satu pelajaran penting. Bahwa hidup tidak sebatas di pikiran, tidak sebatas pada konsep, tapi harus ada realisasi. Bahwa siapa kita tidak dinilai dari apa yang kita ucapkan, tapi dari apa yang kita lakukan.

Jika dulu di masa kuliah kita mungkin bisa saling bahu membahu melakukan sesuatu bersama teman-teman, dalam kehidupan nyata sering kali kita harus melakukannya seorang diri. Tidak ada lagi pemisahan panitia—konseptor dan pelaksana—sebagaimana di kampus dulu. Dalam kehidupan nyata, kita harus menjadi konseptor sekaligus pelaksana, karena hidup masing-masing orang pada akhirnya ditentukan oleh orang bersangkutan.

Dan di situlah “mantra” yang diucapkan Chandra selalu saya ingat. Bahwa pada akhirnya yang dilihat orang adalah apa yang kita lakukan, bukan yang kita ucapkan. Mungkin saya bisa mengucapkan hal-hal hebat, tetapi dunia tidak menilai ucapan saya. Dunia menilai perbuatan saya, dunia melihat apa yang saya lakukan. Tanpa perbuatan dan tindakan nyata, semua pikiran dan ucapan sehebat apa pun hanya omong kosong.

Kesadaran itu pula yang kemudian membentuk kebiasaan baru saya—lebih sedikit bersuara, dan lebih banyak bekerja. Orang paling sia-sia adalah orang yang sangat sibuk berbicara, bising bersuara, pamer macam-macam di mana saja, tapi tidak ada hal bermanfaat yang dikerjakannya. Dunia mungkin melihat orang semacam itu. Tapi hanya sebatas melihat—sebagaimana kita kadang penasaran ingin melihat sejenak tukang obat di jalanan.

Jujur saja, saya lebih mengagumi orang tidak terkenal tapi memiliki karya hebat, daripada orang terkenal tapi tak punya karya apa-apa.

Orang-orang hebat—yang benar-benar hebat—sering kali memang lebih sibuk berkarya, sehingga tidak punya waktu berkoar-koar atau mencari perhatian. Mereka mungkin tidak terkenal, tetapi hal-hal yang dikerjakannya membuat kita kagum. Sebaliknya, orang yang tidak punya karya apa-apa punya banyak waktu untuk berkoar-koar, mencari perhatian di mana-mana, dan biasanya jadi terkenal. Tetapi, yeah... hanya sebatas itu. Terkenal, tapi terkenal sebagai bukan apa-apa.

Saya mengenal seorang penulis yang sangat produktif. Dia telah menulis lebih dari 100 buku yang telah diterbitkan. Untuk menunjang produktivitasnya, dia benar-benar fokus pada pekerjaannya. Dia tidak punya blog, tidak punya akun di jejaring sosial mana pun—pendeknya tidak pernah berkoar-koar dengan tujuan menjadi terkenal. Tetapi, sekali lagi, dia fokus dan sangat sibuk mengerjakan karya-karyanya. Sebegitu fokus, hingga bisa dibilang dia tidak melakukan apa pun selain menulis.

Nah, suatu hari, ada seseorang di Twitter yang melancarkan tuduhan sok tahu pada penulis tersebut. Orang itu berkoar-koar di timeline-nya, menuduh teman saya yang sangat produktif itu melibatkan sekelompok tim penulis yang membantunya menulis banyak buku. Saya masih ingat tweet itu kira-kira berbunyi, “Tidak mungkin ada orang yang bisa menulis sebanyak itu.”

Faktanya, “orang yang bisa menulis sebanyak itu” benar-benar ada!

Sebagai orang yang mengenalnya secara pribadi, saya bisa menjamin bahwa dia sama sekali tidak melibatkan orang lain—apalagi tim penulis—untuk membantunya, dan dia memang menulis semua bukunya sendirian. Dia benar-benar penulis dalam arti sebenarnya. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, dia terus berkutat di depan komputer dengan setumpuk buku dan dokumen literatur. Dia tidak punya waktu untuk berkoar-koar, atau sibuk pamer, karena waktunya sudah habis untuk berkarya.

Begitulah perbedaan antara yang banyak mulut, dan yang banyak berkarya.

Orang yang banyak berkarya tidak punya waktu untuk membangga-banggakan diri, atau memamer-mamerkan karyanya demi mencari perhatian. Sementara orang yang banyak mulut malah sibuk menuduh orang lain dengan tuduhan sok tahu, padahal dirinya tidak punya karya apa-apa. Ketika melihat orang pendengki semacam itu, rasanya saya ingin meneriakkan umpatan Chandra, “Kae bocah kakean cocot, tapi ora ono kerjane!”

Orang-orang yang “kakean cocot” punya ciri khas yang mudah dikenali. Tidak punya karya apa-apa, tapi dengki pada karya orang lain. Tidak punya sesuatu yang layak dibanggakan, tapi sibuk mencari-cari kelemahan orang lain. Tidak punya hasil kerja apa-apa, tapi mencerca dan merendahkan kerja orang lain. Mereka tepat seperti yang dinyatakan Chandra, “Kakean cocot, tapi ora ono kerjane!”

Sekali lagi, dunia tidak menilai cocot kita, atau ucapan kita. Dunia menilai karya kita, dan apa yang kita kerjakan. Tak peduli sebesar apa kita membuka cocot untuk berkoar ke mana-mana, cocot tetap hanya cocot. Ucapan hanya sebatas ucapan. Tak ada gunanya, selain hanya menambah bising dunia. Sebagaimana pohon tumbuh dengan perbuatan menanam, tidak ada buah yang bisa dipetik jika kita hanya sibuk berkoar-koar.

Ketika kita masih kecil, masih anak-anak, orangtua kita bekerja keras membanting tulang demi mendapatkan uang untuk makan. Mereka tahu, perut kita tidak bisa dikenyangkan dengan ucapan, tak peduli sehebat apa pun ucapan yang bisa mereka katakan. Hal yang sama masih berlaku sampai sekarang, ketika kita telah dewasa. Perut kita pun tidak bisa kenyang hanya dengan mendengar orang berkoar-koar, tak peduli sekeras apa pun koar-koarnya.

Ilustrasi mudah itu dengan jelas menunjukkan bahwa yang paling penting di dunia ini adalah perbuatan yang kita lakukan, dan bukan sibuk berkoar untuk pamer dan cari perhatian.

Sudahlah, tutup saja mulut kita, dan mulailah bekerja! Dunia ini sudah terlalu bising, dan kita tidak perlu menambahinya. Kalau kita cuma pandai berkoar-koar mencari perhatian, nilai kita sama dengan orang gila di jalanan. Sebaliknya, kalau kita memang hebat, bahkan diam saja pun dunia pasti akan melihat. Pada akhirnya, kehidupan akan memberikan bayaran setimpal untuk masing-masing kita—yang sibuk berkoar-koar, atau yang sibuk berkarya.

 
;