Jumat, 11 Juli 2014

Suatu Siang di Bank: Sebuah Kisah Tidak Ilmiah

Salah satu misteri dunia yang belum terungkap:
Mengapa pegawai bank rata-rata cantik?
@noffret


Seperti umumnya orang lain, saya juga butuh berhubungan dengan bank untuk beberapa keperluan. Meski sekarang penarikan uang bisa dilakukan dengan mudah lewat ATM, dan transfer antar bank bisa dilakukan lewat ponsel atau internet, namun kadang-kadang kita tetap harus datang ke kantor bank untuk mengurus sesuatu. Dan bagi saya, datang ke bank adalah sesuatu yang menjengkelkan sekaligus menyenangkan.

Yang lebih menjengkelkan sekaligus menyenangkan lagi, saya kadang harus cukup sering datang ke bank karena adanya hal-hal penting. Misalnya ada surat-surat tertentu yang perlu saya tandatangani, atau semacamnya.

Mengapa datang ke bank bisa mendatangkan sesuatu yang paradoks; menjengkelkan sekaligus menyenangkan? Mari kita bahas satu per satu.

Saya menganggap datang ke bank adalah hal menjengkelkan, karena harus keluar rumah. Kita tahu, semua bank hanya buka di siang hari. Dan keluar rumah di siang hari—apalagi ketika panas menyengat—adalah hal yang sangat membuat saya risau. Meski bukan vampir yang akan terbakar jika kena matahari, tapi saya lebih suka tinggal di rumah yang adem daripada berpanas-panas.

Kemudian, hal lain yang juga menjengkelkan, kadang-kadang saya harus antre. Untungnya, rata-rata bank sekarang telah memasang AC sehingga orang yang antre di dalamnya tidak perlu kepanasan. Bank tempat saya menjadi nasabah juga menyediakan kursi untuk mengantre, sehingga orang-orang tidak perlu capek berdiri.

Nah, sekarang bagian yang menyenangkan. Satu hal yang membuat saya senang setiap kali datang ke bank adalah... para pegawainya.

Pegawai bank, yang pria maupun wanita, rata-rata sangat ramah. Setidaknya, saya belum pernah mendapati ada pegawai bank yang tampak manyun waktu melayani. Mereka benar-benar mencerminkan sosok berpendidikan—tersenyum ramah, berbicara dengan nada pelan, meminta dengan sopan, dan berusaha membuat nasabah merasa nyaman. (Deskripsi ini didasarkan pada bank tempat saya menjadi nasabah. Mohon maaf kalau ternyata ada bank yang pegawainya jutek dan bermuka masam).

Setiap kali ke bank, saya seperti disadarkan bahwa saya belum punya istri. Oh, well, para pegawai wanita di bank langganan saya ini rata-rata cantik. Dan seksi. Dan pintar. Dan ramah. Dan tidak sombong. Dan yang jelas, rajin menabung!

Setiap kali menyaksikan mereka, alam semesta seperti sedang menepuk pundak saya, dan berbisik, “Carilah istri seperti mereka!” Dan saya, diam-diam, membatin, “Ya, aku ingin punya istri seperti mereka!”

Pegawai bank, dalam bayangan saya, adalah sosok wanita ideal untuk dijadikan istri. Apa yang kurang dari mereka, coba?

Pertama, mereka cantik. Entah mengapa, rata-rata pegawai bank yang saya temui selalu cantik, bahkan seksi. Kedua, mereka ramah dan murah senyum. Ketiga, mereka tahu membuat kita merasa nyaman di dekatnya. Keempat, mereka pintar. Buktinya mereka bisa menjadi pegawai bank. Kelima, mereka tahu tentang uang, sehingga dapat diharapkan mampu mengelola keuangan rumahtangga dengan baik. Apa yang kurang, coba?

Nah, yang sangat menyenangkan, setiap kali saya datang ke bank untuk mengurus sesuatu, biasanya saya akan dilayani pegawai wanita. Namanya Dian (tentu saja ini bukan nama sebenarnya). Biasanya kami akan duduk berhadapan, dipisahkan sebuah meja. Saat kami sedang mengurus sesuatu, misalnya, dan saya harus menunggu dia menulis beberapa hal di kertas, kadang tanpa sadar saya memandanginya.

Dia sangat cantik, Ma’am.

Wanita ini, si Dian, yang sering melayani saya di bank, memiliki ciri indah seperti yang saya sebutkan di atas—sopan, murah senyum, berbicara dengan nada pelan, dan tahu membuat saya merasa nyaman di dekatnya. Biasanya, setelah menyelesaikan urusan saya, Dian akan menawarkan dengan senyum ramah, “Ada yang bisa saya bantu lagi?”

Detik itu, rasanya saya ingin menjawab, “Ya. Kamu mau makan malam denganku?”

Tapi saya tidak pernah berani menyatakan hal itu. Mungkin karena mereka sangat sopan, sehingga saya pun merasa harus pula bersikap sopan kepada mereka. Pegawai bank adalah para pelaku teori psikologi paling purba tentang manusia. Yakni kesopanan mengundang kesopanan, sikap kurang ajar mengundang sikap yang sama kurang ajar. Wanita itu sangat sopan. Dan saya merasa dituntut untuk juga memperlakukannya dengan sopan.

Well, di antara kesenangan di bank, satu hal yang sering membuat saya jengah dan tidak nyaman adalah ketika mendengar panggilan mereka. Entah mengapa, para nasabah bank selalu dipanggil dengan sebutan “Pak” atau “Bu”, tak peduli berapa umur mereka. Saya pernah mendapati ada nasabah yang jelas-jelas memakai seragam SMA, tapi dipanggil “Pak”. Mungkin itu memang standar panggilan atau sebutan yang memang diberlakukan di bank, dengan tujuan sebagai sopan santun kepada nasabah. Tetapi saya justru merasa tidak nyaman dengan panggilan itu.

Semula, saya menerima dipanggil “Pak” oleh pegawai di bank, termasuk oleh Dian, karena saya pikir panggilan itu lama-lama akan hilang sendiri dan diganti panggilan lain yang lebih tepat, mengingat saya masih lajang dan belum menjadi bapak. Tapi ternyata tidak. Meski saya sudah berpuluh kali datang ke bank itu, Dian tetap memanggil saya dengan sebutan “Pak”.

Padahal, karena telah sering menangani urusan saya, Dian pasti tahu berapa umur saya, tahu bahwa saya masih lajang dan belum jadi bapak, bahkan kami mungkin seumuran. Saya sudah mencoba “mengingatkannya” dengan halus, dengan memanggilnya “Mbak”, dengan harapan dia mengikuti cara saya menyapa. Tapi Dian tetap saja memanggil saya “Pak”. Rasanya, tiba-tiba saya menua dalam sekejap setiap kali dipanggil begitu.

Dulu, waktu awal-awal menjadi nasabah bank ini, saya mencoba menerima panggilan itu. Tetapi, lama-lama, saya semakin jengah dan tidak nyaman. Sampai suatu hari, karena tidak tahan, saya mencoba mengutarakannya secara langsung. Siang itu, saya kembali duduk berhadapan dengan Dian di bank. Setelah urusan kami selesai, Dian menawarkan seperti biasa, “Ada yang bisa saya bantu lagi?”

Saya pun mengambil kesempatan itu. Saya berkata dengan sopan, “Mbak Dian, bisakah Anda tidak memanggil saya dengan sebutan ‘Pak’?”

Dia terdiam, sepertinya terkejut. Lalu menjawab dengan kikuk, “Uhm... maksud Anda, Pak? Eh...”

“Maksud saya, saya tidak nyaman dipanggil ‘Pak’, karena—Anda tahu—saya belum menjadi bapak. Rasanya saya berubah menjadi tua setiap kali datang ke sini gara-gara panggilan itu. Mungkin ini tidak penting bagi orang lain, tapi ini penting bagi saya. Kalau boleh meminta, tolong jangan panggil saya dengan sebutan itu.”

Dian tampak semakin kikuk, tapi berusaha menjawab dengan sopan, “Itu... uhm, sebenarnya itu memang standar kesopanan kami pada nasabah...”

“Saya tahu,” ujar saya sambil tersenyum menenangkannya. “Selain sebagai standar kesopanan, panggilan itu juga tentu ditujukan sebagai bentuk profesionalitas. Tetapi, kalau boleh saya katakan, apa arti kesopanan dan profesionalitas kalau itu justru membuat yang bersangkutan tidak nyaman?”

“Jadi... uhm... jadi, Anda ingin dipanggil bagaimana?”

“Saya ingin dipanggil dengan nama saya, tanpa embel-embel apa pun. Tapi, ya, saya tahu, mungkin itu tidak sopan. Jadi, tolonglah panggil saya dengan sebutan yang lebih tepat, seperti saya memanggil Anda.”

....
....

Saya tidak tahu apa yang terjadi setelah peristiwa siang itu. Mungkin, Dian menyampaikan keluhan saya pada atasannya, dan si atasan mungkin pula merasa perlu menindaklanjuti keluhan saya. Sejujurnya saya paham bahwa keluhan saya sangat tidak ilmiah, dan mungkin cuma saya satu-satunya di Indonesia yang pernah mengajukan keluhan semacam itu pada sebuah bank.

Tapi yang jelas, sejak peristiwa tersebut, semua pegawai di bank itu mengubah panggilan mereka kepada saya. Dan kenyataan itu benar-benar membuat saya terkejut, sekaligus berdebar-debar. Terkejut, karena mendapati betapa sebuah bank rela mengubah peraturannya demi kenyamanan seorang nasabah. Dan berdebar-debar, karena... well, ini ceritanya.

Suatu siang, saya datang ke bank untuk urusan seperti biasa. Seperti biasa pula, saya diantarkan ke meja Dian. Saat melihat saya, Dian tersenyum ramah seperti biasa. Namun panggilannya kepada saya terdengar tidak biasa.

“Ah, Mas Hoeda,” sapanya dengan sopan. “Ada yang bisa saya bantu?”

Dalam beberapa detik, saya terpaku karena panggilan itu. Tadi, waktu sampai di bank ini, seorang pegawai pria juga telah mengubah panggilannya kepada saya, tapi saya tak terlalu terpengaruh, karena dia sama-sama pria. Tapi dipanggil “Mas” dengan sopan oleh Dian membuat saya... well, membuat saya... merasa ingin mengajaknya ke KUA.

“Silakan duduk,” ujar Dian dengan senyum ramah seperti biasa.

Saya pun duduk dengan kikuk.

Selama beberapa saat, Dian seperti biasa menangani urusan saya, menulis dan menandatangani beberapa berkas, dan selama itu tanpa sadar saya memandanginya. Diam-diam saya berharap Dian cukup lama mengurus berkas-berkas itu, agar saya bisa lebih lama memandanginya. Oh, well, dia sangat cantik, Ma’am.

“Nah,” ujar Dian tiba-tiba sambil menyodorkan beberapa kertas, “silakan tanda tangan di sini, dan di sini.”

Saya menuruti permintaannya. Setelah itu dia membereskan berkas-berkas, merapikannya, dan menyerahkan kepada saya sambil menawari dengan sopan, “Ada yang bisa saya bantu lagi, Mas?”

Saya berdebar—sangat berdebar. Detik itu, rasanya ingin menyahut, “Ya, aku ingin menikah denganmu.”

Tapi saya tidak berani mengatakannya.

Dan saya benar-benar membenci kenyataan itu.

 
;