Selasa, 12 Agustus 2014

Besar dan Kecil

Ah, yang besar pun ternyata masih suka iri pada yang kecil.
Jangan-jangan memang besar-kecil bukan ukuran, tetapi mental.
@noffret


Ini kisah yang terjadi sekitar dua tahun lalu, dan kisah ini banyak beredar di forum-forum, karena menggelitik. Perjalanan kisah ini di internet kemudian mengungkap banyak sisi lain tentang orang-orang terkenal, khususnya di dunia maya, khususnya lagi di Twitter. Untuk keperluan penulisan catatan ini, saya hanya akan membatasi pada kisah awalnya, dan mengabaikan hal-hal lain yang berhubungan (atau dihubungkan) dengan kisah tersebut.

Kisah ini dimulai di Twitter.

Di Twitter, ada seorang penulis yang belum lama punya akun. Karena namanya mungkin cukup populer, dalam waktu singkat dia telah memiliki follower cukup banyak. Dia juga mem-follow cukup banyak akun, khususnya teman-teman dan orang-orang yang dikenalnya. Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja penulis ini dengan nama Adam.

Berdasarkan pengakuannya sendiri, Adam menyebut dirinya sebagai penulis pemula, karena baru menerbitkan segelintir buku, itu pun tidak terlalu dikenal. Tapi dia cinta menulis. Selain menulis buku, dia juga aktif menulis di blog. Jadi, ketika membuat akun di Twitter, dia juga menuliskan alamat blognya di akun Twitter-nya.

Suatu hari, ketika sedang bercakap-cakap dengan temannya di Twitter, Adam mendapati sebuah tweet yang di-retweet seseorang. Tweet itu bagus, dan Adam mengenali tweet yang di-retweet itu berasal dari seorang penulis wanita yang terkenal. Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja si penulis terkenal dengan nama Tania. Sebagai penulis pemula, Adam seketika tergerak untuk ikut mem-follow Tania di Twitter, agar bisa menikmati tweet-tweet-nya. Dan itulah awal kisah ini.

(Catatan: Untuk menghindarkan fitnah dari orang-orang yang mungkin tidak tahu, perlu saya tegaskan di sini bahwa penulis wanita yang dimaksud dalam kisah ini bukan Dewi Lestari/Dee).

Tania adalah penulis yang tidak hanya terkenal, tetapi juga produktif, dan menjadi seleb di Twitter—dia punya puluhan ribu follower. Selain itu, bagi sebagian penulis pemula, Tania juga dianggap sebagai penulis senior yang telah menulis banyak buku, sejak bertahun-tahun lalu. Di Twitter, Tania biasa ngoceh tentang banyak hal yang nyaris selalu di-retweet para follower-nya.

Karenanya, ketika Adam mendapati akun Twitter Tania, Adam pun seketika tergerak mem-follow, karena berpikir dapat belajar dari penulis yang lebih senior darinya. Selain itu, di mata Adam, Tania adalah wanita pintar yang bijak, selain terkenal. Adam pernah membaca beberapa buku Tania, dan menyukainya. Di Twitter, Adam juga menyukai tweet-tweet Tania yang penuh wawasan dan bijaksana.

Hanya berselang beberapa saat setelah Adam mem-follow Tania di Twitter, Adam juga me-retweet dan memfavoritkan beberapa tweet Tania yang disukainya. Wanita ini memang pintar dan bijaksana, pikir Adam waktu itu.

Tapi mungkin Adam salah sangka.

Tidak lama setelah Adam mem-follow akun Tania di Twitter, penulis terkenal itu kemudian menulis rangkaian tweet yang membuat kening Adam berkerut. Tweet-tweet itu tampaknya sengaja ditulis Tania untuk menyindir atau bahkan menyudutkan Adam. Semula, Adam mengira itu kebetulan—suatu hal yang sebenarnya tidak berhubungan tapi ia anggap berhubungan. Tetapi, lama-lama, Adam menyadari bahwa dia memang sedang disindir dan disudutkan.

Bagaimana Adam menyadari kenyataan itu?

Ketika Adam mem-follow akun Tania, hingga kemudian Tania menulis tweet-tweet tersebut, Adam sedang mengobrolkan sesuatu dengan temannya di Twitter. Topik obrolan mereka adalah karya Adam yang waktu itu baru terbit. Sebenarnya itu obrolan biasa sebagaimana umumnya obrolan antarteman. Yang lebih penting lagi, obrolan itu sama sekali tidak menyinggung orang lain, siapa pun.

Nah, Tania menulis rangkaian tweet yang isinya jelas berhubungan dengan topik obrolan antara Adam dengan temannya. Jika hanya satu tweet yang semacam itu, mungkin Adam akan meyakini itu hanya kebetulan. Tapi jika ada rangkaian tweet semacam itu, Adam berpikir itu sungguh kebetulan yang luar biasa, atau sebenarnya bukan kebetulan.

Mungkin, pikir Adam waktu itu, Tania mendapati ada follower baru di Twitter (yaitu Adam), kemudian mengecek ke akun Adam untuk mengetahui siapa follower barunya tersebut. Di timeline Adam waktu itu sedang ada percakapan Adam dengan temannya, yang membahas karya Adam, dan—entah kenapa—Tania kemudian ikut nimbrung secara tidak langsung melalui tweet-tweet-nya. Yang jadi masalah, tweet-twet Tania yang “nimbrung tidak langsung” itu tampak sekali menyindir, menyudutkan, bahkan melecehkan Adam.

Melalui tweet-tweet tersebut, Tania seperti ingin merendahkan Adam karena posisinya sebagai penulis pemula. Kalau mau diterjemahkan ke dalam bahasa yang lugas, kira-kira rangkaian tweet Tania waktu itu berbunyi, “Lu baru penulis pemula, kagak usah belagu!”

Yang menjadikan Adam yakin bahwa rangkaian tweet Tania memang ditujukan untuknya, karena banyaknya kata-kata Adam dalam percakapan dengan temannya yang dikutip Tania dalam rangkaian tweet-nya. Teman-teman Adam di Twitter yang mengetahui hal itu juga berpikir sama, bahwa tweet-tweet Tania memang sengaja ditulis dan ditujukan untuk Adam.

Mendapati hal itu, Adam semula hanya heran. Lalu bingung. Dan tak habis pikir. Tampak sekali, pikir Adam waktu itu, Tania seperti merasa posisinya terancam oleh Adam. Padahal, jika dipikir dengan sehat, apalah arti Adam yang masih ingusan (masih pemula) dibandingkan Tania yang sudah bangkotan (sudah terkenal dan dianggap senior).

Nah, kisah yang semula ada di Twitter itu, kemudian—entah bagaimana awalnya—berpindah ke forum. Di forum, kisah itu pun lalu diobrolkan, didiskusikan, dan dari situlah kemudian mengalir cerita-cerita lain yang mirip dengan itu, yang juga berhubungan dengan Tania, atau dengan orang-orang terkenal lain.

Di antara yang ikut mengobrolkan kisah itu di forum, ada penulis yang bercerita, “Kalau mau kenal sama Tania, sebaiknya jangan sampai dia tahu kalian penulis. Dia suka sirik sama penulis lain, khususnya yang tidak dia kenal. Sejak dulu dia suka menyerang penulis-penulis lain, khususnya yang ia anggap pemula atau tidak terkenal. Tulisannya memang bijak, tapi kelakuannya jauh beda.”

Meski kalimat itu mungkin terdengar tajam, tapi kalimat (dan cerita) aslinya jauh lebih tajam. Cerita yang sebenarnya cukup panjang itu mengungkapkan bagaimana tidak baiknya perilaku Tania terhadap orang lain, khususnya sesama penulis—yang tidak ia kenal, atau yang ia anggap pemula. Tampaknya, Tania tidak ingin ada pesaing, tidak mau punya pesaing, bahkan jika si pesaing masih pemula.

Seperti yang saya nyatakan di atas, kisah itu kemudian beredar di forum-forum, khususnya dua tahun yang lalu. Dari kisah itu pula kemudian terungkap orang-orang terkenal lain yang juga memiliki kisah-kisah tak jauh beda.

Sekarang, ketika menulis catatan ini, saya menulisnya dengan keheranan dan senyum getir. Saya tahu siapa orang-orang yang dimaksudkan dalam kisah tersebut. Yang tidak saya tahu sebelumnya, ternyata kebesaran kadang menyimpan kekerdilan, nama besar kadang menjadi pemilik pikiran kecil. Jika orang yang terkenal dan dianggap besar masih iri kepada yang lebih kecil, apalah arti kebesaran? Jika yang sudah senior dan dianggap hebat masih merasa terancam oleh pemula, apalah arti kehebatan?

Tapi tampaknya memang begitulah manusia—atau kebanyakan manusia. Yang merasa besar cenderung menindas yang lebih kecil, dan di sisi lain aktif menjilat yang dianggap lebih besar darinya. Yang merasa terkenal tidak ingin mendapat pesaing, dan kemudian berusaha menyingkirkan orang lain yang bisa menjadi saingannya. Yang merasa hebat berusaha menyerang orang lain, demi tampak paling hebat sendiri.

Di dunia nyata maupun di dunia maya, kecenderungan semacam itu selalu ada. Karena selalu ada orang-orang yang merasa besar tapi sebesarnya kerdil, selalu ada orang-orang yang merasa hebat tapi sebenarnya picik.

Ketika Krisdayanti masih artis pemula, dia dipandang sebelah mata oleh artis-artis lainnya, khususnya oleh mereka yang merasa dirinya lebih hebat dan lebih senior. Bukan hanya “dipandang sebelah mata”, Krisdayanti bahkan mendapati sikap serta perlakuan tidak menyenangkan dari artis-artis lain—tidak hanya di atas panggung, tapi juga di luar panggung. Krisdayanti tidak pernah bisa melupakan saat-saat itu, karena dia tidak pernah membayangkan “semengerikan” itu dunia selebriti, dan betapa tingginya tingkat persaingan yang ada di dalamnya.

Bertahun-tahun kemudian, ketika telah menjadi artis terkenal, Krisdayanti menyatakan, “Pengalaman tidak menyenangkan yang saya alami waktu itu sekarang menjadi pelajaran bagi saya, untuk tidak melakukan hal sama pada artis-artis yang masih baru atau masih pemula.”

Di dunia ini, ada orang-orang yang merasa dirinya besar dan menggunakan kebesarannya untuk menindas yang kecil, ada pula orang-orang yang merasa dirinya besar dan menggunakan kebesarannya untuk membantu yang kecil. Yang menjadi masalah, kita tidak pernah tahu kapan yang besar akan menjadi kecil, dan kapan yang kecil akan menjadi besar. Hidup selalu punya misteri—ukuran besar dan kecil bisa berubah hanya dalam hitungan hari.

Oh, well, kita mungkin terlalu memuja ukuran—sibuk menjilat yang besar, seiring menindas yang kecil. Padahal, seiring hari berganti dan waktu yang terus berjalan, selalu ada kemungkinan yang kecil akan menjelma wujud kebesaran, sementara yang besar menjadi fosil terlupakan.

 
;