Rabu, 06 Agustus 2014

Luka Mengubah Dunia (1)

Para pecundang menunggu takdir.
Para pemenang menciptakan takdir.
@noffret


Majalah Glamour tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari kelak lembaran glossy majalah mereka akan menampilkan sosok seorang wanita desa yang miskin, tak berpendidikan, bahkan buta huruf. Setelah bertahun-tahun menampilkan sosok wanita-wanita jetset dengan penampilan anggun dan mewah, majalah Glamour akhirnya harus mengagumi sesosok wanita miskin tak berpendidikan, bernama Mukhtaran Mai.

Mukhtaran Mai adalah anak petani yang hidup di desa Meerwala, yang terletak di tehsil (kabupaten) Jatoi di distrik Muzaffargarh, Pakistan. Dia berasal dari Suku Tatla, yang dianggap suku berkasta rendah di sana. Karena tidak pernah bersekolah, bahkan tidak bisa baca tulis, Mukhtaran Mai tidak tahu tanggal dan bulan ia dilahirkan. Yang ia tahu, ia lahir pada 1972.

Di desa Meerwala memang tidak ada satu pun sekolah, khususnya untuk anak perempuan. Kenyataannya, hampir di seluruh Pakistan, perempuan menjadi warga kelas dua, sehingga diskriminasi gender sangat tampak di sana. Selain itu, tingkat kasta masing-masing suku juga sangat berpengaruh di Pakistan, sehingga suku yang lebih tinggi seolah bebas melakukan apa saja terhadap suku yang dianggap lebih rendah.

Hal itulah yang terjadi pada adik Mukhtaran Mai, bernama Abdul Shakoor. Pada 22 Juni 2002, bocah lelaki berusia 12 tahun itu diculik dan diperkosa oleh beberapa berandal dari Suku Mastoi, yang dianggap memiliki kasta lebih tinggi. Di Pakistan, perkosaan hampir bisa dianggap sebagai hal biasa—terhadap anak lelaki, ataupun pada wanita—karena nyaris terjadi setiap hari.

Seusai memperkosa Abdul Shakoor, para berandal dari Suku Mastoi khawatir kalau bocah lelaki itu akan menuntut mereka dengan melaporkannya ke polisi. Karenanya, alih-alih melepaskan korbannya, mereka menahan Abdul Shakoor, dan memutarbalikkan fakta dengan fitnah keji. Mereka menuduh Abdul Shakoor telah memperkosa Salma, gadis dari Suku Mastoi.

Tuduhan yang merupakan fitnah itu seketika dipercaya warga Meerwala, khususnya karena mayoritas penduduk di sana berasal dari Suku Mastoi. Majelis Desa, yang didominasi Suku Mastoi, segera mengadakan rapat untuk membicarakan kasus itu, dan memutuskan untuk menahan Abdul Shakoor dengan tuduhan telah melakukan penghinaan terhadap Suku Mastoi. Mereka pun segera menyiapkan Dewan Jirga, untuk memberikan putusan.

(Dewan Jirga adalah perkumpulan beberapa kepala suku di suatu daerah, yang berfungsi sebagai badan penyelesaian masalah atau sengketa yang terjadi pada kawasan kekuasaan suku-suku tersebut. Di daerah-daerah Pakistan, kekuasaan Dewan Jirga lebih berpengaruh dibandingkan badan-badan hukum formal yang secara resmi dibentuk pemerintah).

Kabar penahanan Abdul Shakoor sampai ke telinga keluarganya, termasuk kakak perempuannya, Mukhtaran Mai. Mendengar adik lelakinya ditahan oleh Majelis Desa, Mukhtaran Mai segera berangkat ke sana. Dengan berjalan kaki, ia ditemani ayah dan pamannya, dengan membawa seorang mediator bernama Ramzan yang diharapkan dapat melakukan negosiasi di Dewan Jirga.

Sesampai di Majelis Desa yang menahan adiknya, Mukhtaran Mai mendapati kenyataan yang tak dibayangkannya. Bukannya sikap terbuka untuk menyelesaikan masalah, Majelis Desa telah menyiapkan 150 orang lelaki dari Suku Mastoi yang membawa senapan. Di sana juga ada Faiz Mohammed, pemimpin Suku Mastoi, beserta para pengawalnya, yang langsung menodongkan senjata ke kepala Mukhtaran Mai beserta ayah dan pamannya.

Mukhtaran Mai, yang belum menyadari bahwa adiknya telah difitnah, seketika memohon pengampunan atas kesalahan yang telah dilakukan Abdul Shakoor. Tetapi, meski Mukhtaran Mai telah memohon dan mengiba dengan uraian air mata, Dewan Jirga—yang didominasi Suku Mastoi—tidak mau memberikan pengampunan. Dewan itu bahkan memutuskan agar Mukhtaran Mai harus menebus kesalahan adiknya, dengan cara diperkosa beramai-ramai.

Berbeda dengan keputusan pengadilan yang dapat naik banding, keputusan Dewan Jirga bisa dibilang semacam fatwa yang tak bisa dibantah. Begitu keputusan itu dijatuhkan, beberapa lelaki langsung menarik Mukhtaran Mai ke sebuah kandang kosong, dan memperkosanya beramai-ramai. Sementara itu, ayah dan paman Mukhtaran Mai yang ada di sana tak bisa berbuat apa-apa, karena ditodong senjata.

Wanita malang itu diperkosa sampai pingsan. Saat tersadar dari pingsannya, dia dilempar keluar, lalu dipaksa pulang dengan tubuh nyaris telanjang. Itulah hukuman setimpal baginya, menurut Dewan Jirga. Mukhtaran Mai pun melangkah pulang dengan tubuh lunglai, kotor, sementara wajahnya berurai air mata menanggung aib dan malu, di bawah tatapan penuh hinaan orang-orang banyak yang melihatnya.

Di Pakistan, satu-satunya pilihan yang bisa diambil wanita korban perkosaan adalah bunuh diri. Bisa dibilang, bunuh diri adalah solusi bagi korban perkosaan, karena mengakhiri rasa malu dan aib. Tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi keluarganya. Pakistan adalah negara yang tidak ramah bagi wanita, tempat diskriminasi berdasar jenis kelamin menjadi hal biasa, sehingga wanita bisa dibilang tidak dapat menuntut haknya.

Kenyataan itu pula yang dihadapi Mukhtaran Mai. Seusai diperkosa, ia hanya punya satu jalan—bunuh diri—untuk mengakhiri aib dirinya, untuk menghilangkan rasa malu keluarganya, untuk menyelesaikan derita hidupnya. Untungnya, orangtua Mukhtaran Mai menyadari hal itu, dan mereka menasihati, “Bunuh diri tidak menyelesakan masalah.”

Entah karena nasihat itu atau karena kesadaran bahwa dirinya telah menjadi korban fitnah dan ketidakadilan, Mukhtaran Mai nengurungkan niatnya bunuh diri. Saat sampai kembali di rumah bersama ayah dan pamannya seusai pertemuan di Dewan Jirga, Abdul Shakoor—adik lelakinya—menceritakan bahwa sebenarnya dia tidak memperkosa siapa pun, sebagaimana yang dituduhkan kepadanya. Yang benar, dirinya yang justru diperkosa beberapa berandal Suku Mastoi.

Kenyataan itu menghantam kesadaran Mukhtaran Mai. Jika sebelumnya dia hanya merasa malu karena harus menebus kesalahan adiknya, kini mulai menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban ketidakadilan. Adiknya tidak bersalah. Keluarga mereka telah menjadi korban akibat fitnah dan ketidakadilan yang dilancarkan sekelompok orang berkuasa yang merasa bisa berbuat sewenang-wenang.

Lanjut ke sini.

 
;