Jumat, 26 September 2014

Membeli Kondom di Apotek

Bagaimana kita belajar sesuatu yang belum
pernah kita lakukan? Belajarlah pada orang yang
telah melakukannya. Itu pelajaran terbaik.
@noffret


Kemarin sore, saya ngumpul bareng teman-teman dan ngobrol-ngobrol santai. Karena tempat berkumpulnya terdapat wifi, beberapa dari kami ada yang memanfaatkannya untuk mengakses internet via tablet atau ponsel. Di tengah-tengah obrolan, seorang teman tampak cekikikan sendiri sambil membaca sesuatu di tabletnya. Rupanya dia sedang membaca sebuah thread di Kaskus.

Di thread itu, disebutkan ada banyak orang yang merasa malu atau risih saat akan membeli kondom. Sebegitu malunya, sampai ada yang harus mondar mandir dulu di depan apotek, menunggu apotek benar-benar sepi. Ada pula yang menggunakan berbagai trik yang semuanya ditujukan untuk menutupi rasa malu saat membeli kondom. (Selengkapnya, thread itu bisa dibaca di sini.)

Secara bergantian, kami membaca thread itu, dan senyum-senyum. Saya juga ikut membacanya, dan ikut senyum-senyum. “Kok sampai segitunya, ya?” komentar saya seusai membaca thread itu.

Lalu ada teman yang menyahut, “Emang kamu nggak malu, beli kondom di apotek?”

“Kenapa harus malu?” tanya saya balik.

Seumur hidup, jujur saja, saya belum pernah membeli kondom. Tetapi jika harus membeli kondom, saya tidak menemukan alasan untuk malu. Dalam perspektif saya yang sederhana, kondom adalah barang legal. Tak jauh beda dengan pasta gigi atau shampo. Kalau kita bisa enjoy membeli pasta gigi atau shampo, kenapa harus malu jika membeli kondom?

Oh, well, kita sudah sama dewasa, kan? Jadi, yang saya maksudkan dalam catatan ini ditujukan untuk orang-orang yang sudah dewasa. Jika secara usia kita telah dewasa, yang artinya secara biologis telah memungkinkan untuk punya pasangan, sepertinya justru aneh kalau kita malu membeli kondom. Kondom diproduksi untuk dijual. Orang menjual kondom dengan harapan dibeli. Kenapa kita harus malu membelinya?

Mendengar saya memaparkan uraian di atas, teman-teman saya pun tertarik. Ya maklumlah, mereka bocah-bocah unyu—seperti saya—yang seumur-umur juga belum pernah membeli kondom. Mereka lalu menantang saya untuk membeli kondom di apotek saat itu juga, untuk membuktikan bahwa saya bisa enjoy membeli kondom. Saya cengar-cengir, dan menjawab, “Terus hadiahnya apa, dong?”

Akhirnya disepakati, mereka akan bersedia mentraktir saya di mana pun yang saya inginkan, jika saya bisa membeli kondom dengan enjoy, tanpa malu-malu. Saya menerima tantangan itu. Dan inilah aturan main yang kemudian kami sepakati.

Saya diminta membeli kondom merek Xxx di Apotek A. (Sori, saya sengaja menyamarkan merek kondom dan nama apoteknya, biar tidak disangka ngiklan.) Teman-teman saya akan mengikuti ke apotek itu, untuk menyaksikan, tapi saya harus masuk ke apotek sendirian. Saya diperbolehkan membeli barang lain apa pun di apotek itu, tapi yang jelas harus membeli kondom Xxx satu dus.

Sangat mudah, pikir saya sok pede. Sekadar catatan, saya sebenarnya cukup sering ke Apotek A untuk membeli obat sakit kepala. Jadi, ketika sore itu ditantang untuk membeli kondom, saya pun langsung kepikiran untuk juga membeli obat sakit kepala, pembersih muka, dan beberapa barang lain, bersama kondom Xxx yang dipesan teman-teman. Detik itu, saya tidak menyadari sedang menuju ke lembah nista.

Jadi begitulah. Kami semua kemudian berangkat ke Apotek A, lalu saya dilepas sendirian untuk masuk apotek, sementara mereka menyaksikan dari luar yang hanya dibatasi dinding kaca.

Sore itu Apotek A cukup ramai. Sebenarnya, apotek itu memang tidak pernah sepi. Kapan pun saya ke sana, selalu ada banyak orang yang sedang antre. Dengan santai dan berusaha tampak elegan, saya melangkah masuk apotek, dan menunggu ada pelayan yang datang melayani. Sambil berdiri di depan lemari etalase, saya mengingat-ingat apa saja yang akan dibeli. Obat sakit kepala, sabun, pembersih muka, kondom....

Agar kalian punya bayangan mengenai Apotek A, biar saya jelaskan dulu. Apotek A menggunakan sistem jual beli tradisional.

Mula-mula, seorang pelayan akan menanyakan apa saja yang akan kita beli, kemudian dia akan mencatatnya di lembar struk. Setelah itu, kita bawa struk ke kasir untuk membayar. Kasir lalu menyerahkan kembali struk tadi, beserta tanda lunas pembayaran. Kemudian, kita kembali menemui si pelayan, dan menyerahkan struk dari kasir. Si pelayan menerima struk kita, mengambilkan barang-barang yang dibeli, kemudian membungkusnya, dan menyerahkannya pada kita.

Jadi, ketika seorang pelayan tampak mendatangi, saya pun dengan santai menyebutkan apa saja yang akan saya beli. (Ingat, teman-teman saya menyaksikan dari luar!) Pelayan itu seorang wanita, berwajah judes, dan tampaknya suka rese. Tapi peduli amat, pikir saya. Dia mencatat semua daftar belanjaan saya—sabun satu biji, obat sakit kepala satu dus, pembersih muka satu botol, kondom Xxx satu dus....

Ketika sampai pada kondom, dia menatap saya. Sebisa mungkin saya tetap menampakkan muka kalem.

“Kondom Xxx... satu dus?” tanyanya dengan suara agak keras, seperti tampak ingin memprovokasi.

Saya tidak terpengaruh. Dengan santai saya mengangguk, “Ya.”

Seusai mencatat, dia menyobek lembar struk, dan menyerahkan pada saya. Segera saya datang ke kasir, ikut antre di belakang orang-orang lain yang juga akan membayar. Beberapa menit kemudian, saya telah membayar di kasir, dan membawa struk dari kasir ke pelayan tadi. Lalu adegan yang sungguh biadab dimulai....

Sebagai pelanggan Apotek A, saya tahu betul bagaimana para pelayan di sana mengurus pembelian. Ketika seorang pembeli menyerahkan struk dari kasir, pelayan akan menerima struk itu, lalu segera mengambilkan barang-barang yang dibeli, dan segera mengemasnya dalam plastik. Semua proses itu dilakukan di ruang dalam, sehingga tidak ada pembeli lain yang tahu barang apa saja yang kita beli. Setelah semua barang terbungkus rapi, pelayan akan menyerahkannya pada kita untuk diperiksa, lalu kita bisa segera pergi dari apotek.

Tapi pelayan yang mengurus pembelian saya tampaknya ingin mencari perkara.

Pada waktu itu pembeli di Apotek A semakin banyak, dan mereka semua hampir berdesakan di depan lemari etalase. Ketika saya menyerahkan struk ke pelayan, dia segera mengambilkan barang-barang yang saya beli. Tapi tidak segera dikemas secara rapi di dalam. Yang dia lakukan sungguh hina. Barang-barang yang saya beli diambil semua, kemudian diletakkan secara terbuka di atas lemari etalase! Yang lebih biadab, dia tampaknya sengaja meletakkan dus kondom secara demonstratif.

Akibatnya bisa ditebak. Orang-orang yang ada di apotek pun tertarik perhatiannya ke barang-barang saya. Lebih khusus lagi ke kondom yang mejeng di bagian paling mencolok di antara barang lainnya.

Sebenarnya, si pelayan tinggal mengambil plastik dan membungkus barang-barang itu. Tetapi sepertinya dia ingin menyiksa saya. Hanya untuk mengambil plastik saja, dia butuh waktu beberapa menit di dalam. Terus terang, akhirnya saya merasa tersiksa. Meski berusaha bersikap kalem dan elegan, saya tetap salah tingkah dipandangi orang-orang seapotek hanya karena membeli kondom sialan satu dus.

Ketika saya merasa akan pingsan, si pelayan rese itu akhirnya muncul dengan membawa tas plastik. Ia lalu memasukkan barang-barang saya ke tas plastik perlahan-lahan, dengan penuh penghayatan, seolah kegiatan itu merupakan aktivitas paling menyenangkan di dunia. Saya menunggu dengan gelisah, tapi tetap berusaha tampak kalem.

Dasar rese, pelayan itu tampaknya sengaja berlama-lama, dan sengaja memilih kondom sebagai barang terakhir yang dimasukkannya. Orang-orang di apotek masih terus memandangi saya dan kondom sialan itu. Kemudian, ketika akhirnya tinggal kondom yang harus dimasukkan ke plastik, pelayan itu mengambil dus kondom dengan perlahan dan hati-hati, seolah dus itu bisa meledak, kemudian... sialan, dia tidak langsung memasukkannya!

Dengan tanpa dosa, dia mengangkat dus kondom itu, seolah-olah tertarik membaca tulisan pada kemasannya. Dalam hati saya misuh-misuh. Orang macam apa yang melayani saya ini...???

Ketika kesabaran saya nyaris habis, pelayan sialan itu akhirnya memasukkan dus kondom ke dalam plastik, dan menyerahkannya pada saya sambil mengekspresikan tatapan tak rela.

Seketika itu juga saya kabur dari apotek, diiringi pandangan orang-orang di sana yang mungkin berpikir, “Bocah macam apa yang membeli kondom satu dus, sore-sore begini?”

Ketika saya menyerahkan plastik berisi kondom pada teman-teman di luar, mereka semuanya ngakak dengan sangat tidak akademis. Jelas, mereka semua menyaksikan adegan tolol di apotek tadi, dan tampaknya menikmati penyiksaan si pelayan terhadap saya. Bagaimana pun, mereka tetap menepati janji untuk mentraktir saya, dan kami lalu menuju tempat yang saya inginkan.

Selama kami menikmati makan malam sambil tertawa-tawa karena insiden kondom tadi, saya terus berpikir dengan heran. Saya heran menyaksikan bagaimana primitifnya pelayan di Apotek A yang tadi melayani.

Seperti yang dinyatakan tadi, kondom adalah barang legal. Fakta bahwa Apotek A menjual kondom, dengan gamblang membuktikan bahwa kondom bisa dibeli siapa pun, khususnya oleh saya. Secara usia, saya sudah dewasa. Secara biologis, saya sudah cukup umur untuk punya pasangan. Mungkin pelayan tadi tidak tahu saya masih lajang. Tapi setidaknya dia dapat berpikir bahwa bisa jadi saya seorang suami yang membeli kondom untuk tujuan kontrasepsi. Kenapa dia harus memperlakukan saya seperti itu...???

Sejujurnya, saya sakit hati atas perlakuannya. Saya datang ke apotek secara baik-baik. Saya bersikap sopan dan kalem. Saya membeli barang-barang yang semuanya legal. Saya membayar dengan uang saya sendiri. Dan selama di sana saya tidak mengganggu siapa pun. Kenapa saya harus diperlakukan secara tidak layak seperti tadi...???

Pada waktu itulah kemudian saya mulai menyadari kenapa ada orang-orang yang sampai melakukan berbagai upaya agar tidak malu saat membeli kondom di apotek, sebagaimana yang saya baca di thread Kaskus. Rupanya, memang ada pelayan tak berpendidikan yang menganggap pembelian kondom sebagai hal menjijikkan dan tidak pantas, sehingga memperlakukan pembeli kondom dengan sikap yang sangat menjengkelkan dan cenderung merendahkan.

So, buat teman-teman yang mungkin belum pernah membeli kondom, saya bisa menyarankan beberapa hal agar kalian tidak mengalami kejadian memalukan seperti yang saya ceritakan di atas. Kalau pun sampai mengalami juga, setidaknya kalian bisa menyiapkan mental untuk menghadapinya.

Pertama, pahamilah bahwa kondom adalah barang legal. Karenanya, bersikaplah wajar saat membelinya. Tidak perlu takut atau malu-malu, karena itu bukan transaksi narkoba. Membeli kondom tak jauh beda dengan membeli pasta gigi, sabun mandi, atau barang lainnya yang biasa kita gunakan sehari-hari. Enjoy!

Kedua, jika memungkinkan, beli saja di tempat yang lebih mudah semacam swalayan atau gerai yang menyediakan barang-barang jualannya di rak terbuka, sehingga kita bisa langsung mengambil apa pun yang akan kita beli, dan langsung membawanya ke kasir, tanpa harus berurusan dengan pelayan yang mungkin rese.

Ketiga, jika terpaksa harus membeli di apotek dan harus terpaksa pula berurusan dengan pelayan yang mungkin rese, jangan terprovokasi. Ketika si pelayan rese tampak ingin mempermalukan kita, usahakan tetap kalem dan elegan. Oh, well, ini mungkin sulit. Tapi kalian harus belajar. Karena kapan pun waktunya, kalian pasti akan punya pasangan, dan kapan pun waktunya pasti akan perlu membeli kondom!

Keempat, saya ingin mengajak kita semua untuk menjadi konsumen yang akademis. Maksudnya, jika sewaktu-waktu kita merasa dipermalukan pelayan di apotek hanya karena membeli kondom, jangan segan untuk menghubungi layanan pelanggan apotek itu, dan nyatakan terus terang bahwa kalian merasa diperlakukan secara tidak layak.

Jika apotek itu tidak menyediakan layanan pelanggan, cari nomor telepon yang memungkinkan kita bisa menghubungi pemilik atau petinggi apotek itu. Lalu ceritakan yang terjadi, dan sebutkan nama atau ciri-ciri si pelayan rese. Kalau perlu, katakan bahwa kalian akan berhenti menjadi pelanggan apotek itu, jika si pelayan rese masih ada di sana. Pelayan-pelayan rese semacam itu sedang mencari masalah, jadi mari kita berikan masalah untuknya!

 
;