Sabtu, 15 November 2014

Identitas di Dunia Maya

Ada orang bernama Mentari Senja add FB gw.
Langsung gw ignore. Halo Pak/Bu, kalo mau jadi teman saya
kudu pake nama asli. Dan foto yg jelas.
@vickylaurentina


Jeffry adalah salah satu teman saya di Twitter. Selain berteman di dunia maya, kami saling kenal di dunia nyata. Sama seperti saya, dia juga tidak terlalu aktif di Twitter. Saya bahkan baru mem-follow akunnya setelah dia cukup lama di Twitter, karena tidak tahu kalau dia punya akun Twitter.

Nah, belum lama, saat akan mengirim mention untuknya, saya sempat kaget, karena tidak lagi mendapati akun Twitter-nya. Tampaknya akun miliknya telah dihapus. Maka saya pun menghubunginya langsung lewat ponsel. Saat ditanya mengenai akun Twitter-nya yang sudah tidak ada, Jeffry menjelaskan, “Iya, udah aku hapus. Ada orang gila yang bikin nggak nyaman.”

“Hah...?” saya terkejut. “Gimana ceritanya?”

“Ceritanya panjang,” sahut Jeffry sambil ngikik. “Ntar aku ceritain kalau kita ketemu.”

Saat kami ketemu dan ngobrol-ngobrol, Jeffry pun menceritakan kisah cukup panjang yang berakhir dengan penghapusan akun Twitter-nya.

Kisahnya dimulai setahun yang lalu. Jeffry memiliki akun di Facebook, dan sering menulis di Notes Facebook. Catatan-catatannya di sana bisa diakses siapa pun, tapi interaksinya di Facebook hanya terbatas pada kawan-kawan yang ia kenal baik. Sampai kemudian, muncul seseorang meng-add Jeffry. Di Facebook, tentu saja itu hal biasa—si A meng-add si B, atau si B meng-add si C. Jeffry pun sudah biasa menghadapi orang-orang tak dikenal yang ingin berteman dengannya, lalu mereka saling berinteraksi dan berteman di Facebook.

Dalam pertemanan di dunia maya, Jeffry punya aturan pribadi. Pertama, dia akan memprioritaskan orang-orang yang memang dikenalnya di dunia nyata. Karenanya, lingkar pertemanannya di Facebook mayoritas adalah teman-teman yang ia kenal—teman sekolah, teman sekomplek, teman sekampus, atau teman kerja. “Bahkan umpama mereka pakai nama yang aneh sekali pun,” ujar Jeffry, “aku tetap akan memasukkan mereka sebagai teman di Facebook, karena kami memang saling kenal.”

Tapi Jeffry juga tidak bermaksud eksklusif. Dia terbuka berteman dengan siapa pun di Facebook, yang kebetulan menemukan akunnya, tetapi dengan syarat—orang itu punya identitas yang jelas. Jika namanya jelas, fotonya jelas, identitas lainnya jelas, Jeffry pun tidak tunggu lama untuk menerima permintaan pertemanan siapa pun. Setiap orang suka berteman, karena manusia adalah makhluk sosial. Tinggal cara kita berteman, itulah yang menentukan.

Nah, ada seseorang meng-add Jeffry di Facebook, tapi identitasnya tidak jelas—namanya samaran, fotonya menggunakan gambar tidak jelas, sementara identitasnya di Facebook juga samar-samar. Sebut saja namanya Listy si Daun Berduri.

Jeffry tidak menanggapi permintaan pertemanan Listy si Daun Berduri. Lalu Listy mengirimkan pesan pribadi ke akun Facebook Jeffry, menyatakan ingin berteman dengan Jeffry karena sangat menyukai tulisan-tulisan Jeffry di Notes-nya, dan bla-bla-bla. Jeffry tidak terpengaruh. Aturan tetap aturan. Kalau orang itu ingin berteman dengannya, dia harus menggunakan identitas jelas.

Listy terus mengirim pesan pribadi kepada Jeffry di Facebook berkali-kali. Sebegitu sering, hingga akhirnya Jeffry menghilangkan sarana pengiriman pesan dari akun Facebook-nya, agar tidak lagi menerima pesan Listy.

Tapi Listy rupanya tidak menyerah begitu saja. Karena tidak bisa mengirim pesan langsung ke akun Facebook Jeffry, dia kemudian mengirimkan pesan berkali-kali ke alamat e-mail Jeffry. Dengan dongkol, Jeffry memblokir alamat e-mail Listy, hingga tidak lagi menerima e-mailnya. Tetapi, lagi-lagi, Listy tidak menyerah. Dia mungkin mencari keberadaan Jeffry di dunia maya, dan menemukan akun Twitter-nya. Seketika Listy kembali mengerecoki Jeffry—kali ini di Twitter.

Mula-mula, Jeffry mencoba cuek. Tapi lama-lama tingkah Listy makin menyebalkan. Dia pun memblokir akun Twitter Listy, dan mengunci akun Twitter miliknya, dengan harapan tidak lagi menerima gangguan orang itu. Mendapati dirinya diblokir, Listy membuat akun baru, lalu mengirimkan banyak mention ke Jeffry. Kali ini Jeffry “mengalah”. Daripada beban batin, pikirnya, dia pun menghapus akun Twitter-nya.

“Selalu ada orang-orang semacam itu di dunia maya,” ujar Jeffry saat menceritakan kisahnya. “Dan, sialnya, kita selalu punya kemungkinan untuk bertemu orang-orang semacam itu.”

Sebenarnya, yang diminta Jeffry—dan yang diminta orang lain pada umumnya—tidak sulit. Hanya identitas yang jelas. Cuma itu. Kalau kita ingin berteman dan berinteraksi dengan orang lain secara baik di dunia maya, maka kita harus memiliki identitas yang jelas. Aturan itu memang tidak terdapat dalam hukum yang tertulis, tapi telah disepakati banyak orang sebagai hukum tak tertulis.

“Identitas yang jelas” di dunia maya bisa berupa identitas umum, seperti nama asli dan foto diri. Kalau pun tidak menggunakan identitas yang jelas, maka orang itu harus punya “identitas” lain, yaitu karya yang jelas. Itu bisa dibilang syarat mutlak untuk bisa berteman dan berinteraksi dengan orang lain secara baik, khususnya di dunia maya. Tanpa identitas yang jelas, atau tanpa karya yang jelas, orang tidak akan tertarik.

Memang, di dunia maya banyak orang terkenal yang menggunakan identitas tidak jelas. Ndoro Kakung, misalnya. Semua orang tahu itu bukan nama asli. Tetapi, meski begitu, dia punya karya jelas—salah satunya blog yang bisa dibaca siapa pun—sehingga kita bisa mengenalinya, meski umpama kita tidak tahu siapa dia. Karena orang-orang bisa mengenalinya, melalui karya-karyanya, maka orang pun nyaman berteman dengannya.

Kalau kita searching ke Google, dan memasukkan nama “Gola Gong” atau “Tere Liye”, kita akan menemukan ribuan link yang terhubung nama mereka. Semua orang tahu, Gola Gong dan Tere Liye bukan nama asli—bahkan banyak yang tidak tahu nama asli mereka. Tapi kita mau berteman dengan mereka. Kenapa? Lagi-lagi jawabannya sama—karena mereka punya karya yang jelas!

Gola Gong punya ribuan follower di Twitter, sementara Tere Liye punya ribuan fans di Facebook. Ribuan orang mau berteman dan berkomunikasi dengan mereka, meski nama mereka tidak jelas—bukan semata karena mereka terkenal, tetapi lebih karena mereka memiliki karya jelas, yang bisa dikenali orang lain. Di dunia nyata, lebih-lebih di dunia maya, karya yang jelas memiliki nilai setara dengan identitas yang jelas.

Kalian yang membaca catatan ini, juga tentu tahu kalau nama saya bukan nama asli. Tapi kalian mau mengunjungi dan membaca blog ini, bahkan banyak yang bolak-balik kemari. Kenapa? Karena karya yang jelas sama artinya dengan identitas yang jelas!

Meski kalian tidak tahu siapa saya, tapi tulisan-tulisan saya telah berbicara jauh lebih keras dibanding identitas apa pun. Melalui tulisan-tulisan yang kalian baca di sini, kalian pun tahu hidup saya, latar belakang saya, keseharian saya, pikiran-pikiran saya, rahasia hati saya—everything. Melalui tulisan-tulisan yang kalian baca, kalian pun mengenal dan percaya kepada saya, dan tidak keberatan menjadi teman saya. Bukankah begitu?

Jadi, jika kita ingin berteman dan berinteraksi dengan orang lain di dunia maya secara baik, maka kita harus memenuhi syarat itu—identitas yang jelas, atau karya yang jelas. Jika kita tidak punya karya apa pun yang bisa dikenali orang lain, maka tunjukkan identitas yang jelas agar orang lain bisa mengenali.

Karenanya pula, jika kita ingin berinteraksi dengan orang lain di Facebook atau di media sosial lain, tapi diabaikan, jangan buru-buru berburuk sangka. Coba lihat kembali identitas yang kita miliki. Apakah cukup jelas, hingga orang lain bisa mengenali? Kalau nama kita tidak jelas, foto sama tidak jelas, sementara kita tidak punya karya apa-apa yang bisa dikenali, bagaimana orang lain akan tertarik?

Manusia adalah makhluk sosial—setiap orang pada dasarnya suka berteman. Tetapi bukan berarti kita bisa memaksa siapa pun agar berteman dengan kita. Dalam interaksi sesama manusia, selalu ada hukum tak tertulis yang disebut norma, sopan santun, etika—sebut apa pun. Untuk bisa berteman dengan orang lain, kita harus mematuhi norma dan etika tersebut, agar orang lain nyaman berteman dengan kita. Dan, hukum tak tertulis untuk pertemanan di dunia maya adalah identitas yang jelas, atau karya yang jelas.

Oh, well, tentu saja setiap orang boleh beraktivitas di dunia maya tanpa identitas yang jelas, juga tanpa karya yang jelas. Tapi tidak usah berharap apalagi memaksa orang lain agar mau mengenal dan berteman dengannya.

....
....

(Hei, Hoeda Manis! Kamu juga tidak jelas! Aku tidak mau berteman denganmu!)

Yo ora opo-opo
. Tidak jadi temanmu yo aku ora patheken.

 
;