Senin, 10 November 2014

Mengapa Istri Raffi Ahmad Tidak Secantik Mantan-mantannya?

Topik obrolan beberapa bocah malam ini, “Kenapa
istri Raffi Ahmad tidak secantik mantan-mantannya?”
| Bakal jadi posting blog nih.
@noffret


Malam Minggu, saya nyangkruk dengan lima bocah yang semuanya lelaki. Safik, salah satu bocah, membuka tablet dan mengakses blog ini. Waktu itu, catatan yang terposting di halaman muka adalah Rahasia Gelap Perkawinan, yang isinya membahas hal-hal tidak menyenangkan menyangkut pernikahan. Safik tampak serius sekali membacanya. Kemudian, setelah selesai membaca, dia berujar sambil cengengesan, “Da’, aku tahu kenapa kamu nggak tertarik menikah.”

“Kenapa, coba?”

“Kamu pasti takut istrimu nggak cantik.”

“Hah?” saya kaget. “Kok kamu bisa menyimpulkan gitu?”

“Iyalah,” sahut Safik masih cengengesan. “Mantanmu kan cantik-cantik.”

“Apa hubungannya, coba...???”

“Itu udah jadi rahasia umum, kan? Cowok yang mantannya cantik-cantik, biasanya istrinya nggak cantik.”

Setelah itu, topik obrolan kami tiba-tiba “menukik” ke seputar mantan, pacar, dan istri. Safik dan teman-teman lain mencontohkan cowok-cowok teman kami yang telah menikah, yang kenyataannya memang menghadapi fenomena tersebut. Kami tahu mereka dulu pacaran dengan cewek-cewek cantik. Tetapi, ketika menikah, istri mereka biasa saja—tidak secantik mantan-mantan pacarnya.

Menghadapi pemaparan tersebut, mata saya tiba-tiba terbuka. Jika kasus semacam itu hanya terjadi pada satu atau dua orang, mungkin kita bisa menganggapnya kasuistis. Tapi teman-teman cowok yang menghadapi fenomena aneh itu bisa dibilang sangat banyak. Dulu, mereka cowok-cowok keren yang biasa jalan dengan cewek-cewek cantik, hingga membuat cowok-cowok lain iri. Tapi ketika menikah, eeeh... istrinya biasa-biasa saja.

“Kalau ingin bukti yang lebih kuat,” ujar Safik, “lihatlah Raffi Ahmad. Kenapa istri Raffi Ahmad nggak secantik mantan-mantannya?”

Sekali lagi, obrolan kami seketika “menukik” lebih dalam ke seputar mantan, pacar, dan istri, khususnya seputar kehidupan Raffi Ahmad. Kita tahu siapa saja mantan pacar Raffi Ahmad—yang jumlahnya cukup banyak—dari yang paling kenes sampai yang paling dewasa. Sekarang, jujur sajalah, istri Raffi Ahmad bisa dibilang “biasa-biasa saja” jika dibandingkan mantan-mantannya. Pertanyaannya, mengapa...?

Pertanyaan itu pula yang kemudian membawa kami dalam obrolan seru seputar hubungan pacaran, dan yang terjadi pada mereka. Banyak cowok teman kami yang istrinya cantik. Rata-rata mereka menikahi perempuan yang sejak dulu memang telah menjadi pacarnya. Artinya, mereka pacaran dengan satu orang, hingga kemudian menikah. Tetapi, ada banyak pula cowok teman kami yang pernah pacaran dengan cewek-cewek cantik, tapi kemudian menikah dengan cewek yang biasa-biasa saja. Pertanyaannya, sekali lagi, mengapa...?

Tentu saja kita bisa mengajukan jawaban klise, “Itulah bukti keadilan Tuhan.” Tapi tentu kita membutuhkan jawaban logis yang masuk akal, kan? Kalau cuma mengandalkan keadilan Tuhan, seharusnya saya menikah dengan Scarlett Johansson!

Mari kita lihat Raffi Ahmad. Sebagai cowok, bisa dibilang Raffi nyaris tanpa cacat—good looking, terkenal, kaya, dan sejauh ini moralnya baik-baik saja. Satu-satunya “cacat” yang sempat menggores hidupnya hanya ketika tersangkut kasus narkoba. Secara keseluruhan, kita bisa mengatakan Raffi cowok baik-baik. Dengan segala kualitas yang dimilikinya, Raffi Ahmad jelas memiliki daya tarik besar di mata cewek-cewek. Karenanya tidak heran kalau kemudian dia gonta-ganti pacar yang semuanya bisa dibilang sangat cantik. Tidak perlu saya sebutkan nama-namanya, kalian pasti sudah hafal.

Lalu “antiklimaks” terjadi. Raffi Ahmad kemudian menikah dengan perempuan yang “biasa-biasa saja”—khususnya jika dibandingkan mantan-mantannya. Mengapa Raffi lebih memilih istrinya yang sekarang, daripada mantan-mantannya yang lebih cantik?

Untuk tahu jawaban yang pasti, tentu kita harus “mengobrak-abrik” hati Raffi Ahmad, agar menemukan alasan logis yang menyebabkannya. Tapi itu tidak mungkin, kan? Jadi, mari kita “obrak-abrik” hati lelaki lainnya. Dan agar saya tidak terus “nggelendengi” orang lain, sekarang izinkan saya “mengobrak-abrik” hati saya sendiri.

Sebagai lelaki, saya tentu memiliki kecenderungan atau bahkan ketertarikan pada perempuan cantik. Kenyataannya, perempuan yang pernah pacaran dengan saya memang cantik-cantik—semua teman mengakui. Tetapi, sebagai lelaki pula, tiga kriteria teratas yang saya impikan dari calon istri sama sekali tidak memasukkan kecantikan di dalamnya. Tidak pula kecerdasan, karir—apalagi popularitas!

Sejujujurnya, saya tidak—atau belum—kepikiran untuk menikah. Dalam hidup, saya masih punya setumpuk hal yang harus dilakukan, yang jauh lebih penting dari menikah. Namun, jika kelak ditakdirkan menikah, saya ingin menikah dengan perempuan yang memiliki tiga kriteria ini: 1) Ramah; 2) Pintar masak; dan 3) Betah di rumah.

See...? Dari tiga kriteria teratas, tidak ada kecantikan, kecerdasan, atau semacamnya. Tentu saja saya bersyukur kalau calon istri kelak memenuhi tiga kriteria itu, plus cantik dan pintar. Tapi kalau pun tidak, saya tidak akan mempersoalkannya, selama kami cocok, nyaman, dan bisa saling menerima.

Tiga kriteria itu sengaja saya tetapkan di peringkat teratas, karena memang itulah kualifikasi yang paling saya cari dari perempuan yang akan saya nikahi. Sebagai lajang, saya menjalani kehidupan yang damai, tenang, tenteram, dan bisa dibilang nyaris tanpa masalah. Karenanya, jika menikah, saya ingin kehidupan saya makin damai, makin tenang, makin tenteram, dan bukan malah sebaliknya.

Kenapa harus “ramah, pintar masak, dan betah di rumah”?

Silakan bilang saya terlalu tradisional. Tetapi istri ideal bagi saya memang istri tradisional. Yaitu wanita yang bisa membuat kenyang suaminya dengan makanan sehat yang dimasaknya sendiri, dari dapur rumah sendiri, hingga tidak perlu kelayapan hanya untuk makan. Dia juga harus ramah, dan tahu cara bersosialisasi dengan orang lain, agar mampu mengimbangi kepribadian saya yang introver. Dan ketiga, dia betah di rumah, karena saya lelaki rumahan yang lebih damai tinggal di rumah dan tidak suka keluyuran.

Ketika seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang perempuan, mereka memiliki motivasi yang bisa jauh berbeda dibanding ketika pacaran. Saat pacaran, mungkin kebanyakan lelaki ingin bisa membanggakan pacarnya, hingga kebanyakan lelaki pun menomorsatukan kecantikan. Tetapi, ketika menikah, yang dicari lelaki tidak lagi kebanggaan semacam itu—oh, well, itu sudah tidak penting lagi. Ketika menikah, yang paling diinginkan lelaki adalah ketenteraman. Persetan cewek cantik, kalau tiap hari ngajak bertengkar!

Cantik itu penting, sama pentingnya dengan cerdas, modis, dan kualitas-kualitas yang lain. Tetapi masing-masing orang—khususnya lelaki—memiliki skala prioritasnya sendiri. Dalam skala prioritas saya, tiga yang paling atas bukan kecantikan atau penampilan, melainkan ramah, pintar masak, dan betah di rumah. Itu kualifikasi wajib untuk calon istri. Soal cantik atau pintar, bagi saya hukumnya cuma sunah. Selama dia mampu membuat saya kenyang dan bahagia di rumah, saya akan selalu jatuh cinta kepadanya.

Pacaran hanya bertemu sesekali, tapi menikah bertemu setiap hari. Bisakah kita melihat perbedaan besarnya? Pacaran tak jauh beda dengan main bongkar pasang—kau bisa membangun apa pun yang kauinginkan dengan benda-benda yang tersedia, dan kalau bosan bisa membuat yang lain. Tetapi menikah seperti bermain puzzle. Kita harus meletakkan potongan-potongan gambar yang tepat di bidang-bidang kosong yang tepat, agar hasil akhirnya bisa kita pandangi dengan puas.

Dalam hidup saya, atau dalam diri saya, bidang-bidang kosong itu adalah sifat introver yang membuat saya sering kesulitan saat bersosialisasi. Bidang kosong lain adalah sulit cari makan—tiap hari saya harus keluar rumah hanya untuk makan. Itu kadang menyiksa, khususnya ketika sedang sakit atau tidak enak badan. Ketika menikah, saya ingin menutup bidang-bidang kosong itu, hingga prioritas teratas perempuan yang ingin saya nikahi adalah yang ramah dan pintar masak, plus betah di rumah. Karena pernikahan adalah menutup yang terbuka, dan melengkapi yang kurang.

Kelak, jika menemukan perempuan yang membuat saya nyaman bersamanya, dan dia ramah, pintar masak, serta suka tinggal di rumah, dan dia mau menerima saya sebagai suaminya, maka sejarah baru mungkin akan tergurat—saya akan menikah. Dan kalau ternyata istri saya kelak jauh lebih cantik dari mantan-mantan saya, well, saya bisa apa...?

Jadi, mengapa Raffi Ahmad menikah dengan Nagita Slavina? Sekarang kita bisa mulai membayangkannya.

 
;