Rabu, 19 November 2014

Teror dan Pelajaran dari Film Horor

Tanpa dicari pun, masalah sering kali datang.
Karenanya aku heran setiap melihat orang
yang sengaja mencari-cari masalah.
@noffret


Dalam menonton film, selera orang bisa berbeda, dan saya sangat menyukai film action, meski kadang juga menonton film genre lain—drama, horor, atau bahkan komedi. Tapi saya selalu suka film action. Menonton drama kadang membuat saya tak sabar, khususnya jika jalan ceritanya lambat dan datar. Menonton komedi kadang membuat saya bingung, karena tidak tahu di mana letak lucunya. Sedang menonton film horor sering membuat saya ngeri sampai lama.

Berkaitan dengan film horor, kadang saya menonton karena penasaran, misal karena film itu banyak dibicarakan teman-teman, atau karena sangat terkenal. Selama puluhan kali menonton film horor, saya lebih sering menyesal daripada puas. Menyesal, karena kebanyakan film horor hanya mempertontonkan kengerian dan kesadisan, yang sering tidak masuk akal. Sepertinya, tujuan pembuatan film horor hanya untuk membuat penonton ngeri dan ketakutan.

Selain itu, hal klise yang sering muncul dalam film horor adalah adegan-adegan menjijikkan—seperti muntah di toilet, adegan di tempat kumuh dan kotor, lembap dan gelap, serta darah berceceran. Itu hal-hal yang saya benci dalam film, khususnya jika adegan dan setting tersebut tidak penting-penting amat. Yang lebih menjengkelkan lagi, kadang pelaku teror dalam film horor adalah setan atau psikopat—ending-nya pasti tak masuk akal!

Dulu, saya pernah menulis catatan mengenai film horor yang benar-benar buruk—salah satu sampah produksi Hollywood—berjudul Hit and Run. Seusai menyaksikan film itu, yang saya rasakan cuma kejengkelan dan penyesalan—tidak ada rasa terhibur sedikit pun. Menyesal, karena saya telah buang-buang waktu hanya untuk menyaksikan serentetan adegan film yang seharusnya hanya ditonton orang idiot.

Sebelum menyaksikan Hit and Run, ada film horor goblok lain yang pernah saya tonton, yang memberi efek sama buruk. Judulnya Rest Stop. Film itu bahkan dibikin sekuelnya, demi bisa memuaskan diri membodoh-bodohi penonton.

Rest Stop adalah film horor sadis, dan dalam film itu ada banyak orang yang terbunuh, dengan darah berceceran. Tetapi, sampai film berakhir, siapa pembunuhnya belum terungkap, dan itu membuat penonton penasaran—termasuk saya. Selama menonton film tersebut, saya mencoba mereka-reka dan membayangkan siapa kira-kira pelaku pembunuhan. Tapi karena dalam film itu tidak (belum) diungkap siapa pembunuhnya, saya tetap penasaran.

Kemudian muncul Rest Stop seri kedua. Maka saya pun menontonnya, demi bisa memuaskan rasa penasaran, demi bisa tahu siapa sebenarnya pelaku pembunuhan-pembunuhan sadis itu. Eeeee, ternyata pembunuhnya setan!

Bangsat!

Itu benar-benar film yang sukses membuat penonton misuh-misuh. Bukannya jadi terhibur setelah menonton film, yang ada kami malah tertekan karena menyadari betapa bodohnya kami hingga bisa ditipu dua kali.

Karena kekecewaan semacam itulah, saya malas nonton film horor. Selain tidak memuaskan, dan justru menjengkelkan, efek menonton film horor kadang membuat saya terus terbayang-bayang. Meski sudah lewat berhari-hari, tapi adegan-adegan sadis dalam film itu sering kali masih melekat kuat dalam ingatan. Dan itu mengotori memori saya, seolah-olah saya sengaja memasukkan sampah ke dalam kepala.

Selain setan, sering kali film horor menggunakan psikopat untuk menjadi tokoh utamanya. Itu sama buruk, dan sering kali juga tak masuk akal. Pernah nonton film Grotesque? Itu film horor produksi Jepang, yang sama buruknya dengan sampah produksi Hollywood—hanya memamerkan kekejaman, kegilaan, darah, dan hal-hal mengerikan, dan semuanya berjalan dengan sangat tidak masuk akal.

Secara keseluruhan, isi film Grotesque cuma seperti ini: Ada sepasang muda-mudi sedang berjalan bersama, kemudian seorang psikopat geblek menculik mereka. Lalu sang psikopat menyiksa muda-mudi itu dengan sadis tanpa belas kasihan. Jalan ceritanya sangat dangkal, plotnya sangat tolol, karakter pelakunya tidak meyakinkan, tapi adegan-adegan kekejaman di dalamnya sangat-sangat brutal.

Konon, sutradara yang menggarap Grotesque memang sengaja menampilkan adegan-adegan sangat kejam dan brutal, karena ingin mengalahkan semua kebrutalan dalam film horor ala Hollywood. Tapi apa manfaatnya itu bagi penonton?

Mungkin memang ada orang yang sengaja pergi ke bioskop untuk menyaksikan adegan siksaan, perkosaan, pembunuhan, mutilasi, darah, kengerian, teriakan kesakitan, dan semacamnya. Tetapi, jika semua adegan itu tidak masuk akal, saya pikir kita sedang membodoh-bodohi diri sendiri. Jika kita tidak merasa begitu, mungkin kita perlu menghubungi psikiater.

Kadang-kadang, adegan mengerikan memang “harus” terjadi dalam film, khususnya horor, dan itu sah-sah saja. Selama adegan itu memang perlu, dan tidak keluar dari akal sehat, saya juga tidak keberatan menontonnya. Bahkan, jika memang adegan mengerikan itu terjadi karena latar belakang yang jelas serta masuk akal, saya malah kadang menikmatinya. Salah satu contoh untuk hal ini adalah film I Spit on Your Grave.

Para pecandu sinema pasti tahu film itu, karena sangat terkenal. I Spit on Your Grave adalah remake dari film sama yang dibuat pertama kali pada 1978. Menceritakan seorang novelis bernama Jennifer Hills yang menyepi ke wilayah pedesaan, untuk menulis novelnya. Dia menyewa sebuah kabin di pinggir danau, berharap mendapat suasana sunyi yang nyaman, tapi malah petaka yang menghampirinya. Dia diperkosa secara brutal oleh empat berandal dan seorang sherif.

Dalam perkosaan itu, Jennifer nyaris terbunuh, tapi ia berhasil menyelamatkan diri sebelum peluru sherif menembus tubuhnya. Ia menjatuhkan diri ke sungai, pura-pura mati, menunggu waktu berlalu... dan muncul kembali untuk membalas dendam.

Ketika Jennifer membalas dendam, menyiksa dan membantai para pemerkosanya, adegannya sama sadis dan sama mengerikan seperti film-film horor lain yang saya tonton. Tetapi, kali ini, saya menikmati saat menontonnya. Kenapa? Karena yang dibantai kali ini bukan orang-orang tak bersalah, melainkan bajingan-bajingan yang memang layak menerimanya!

Lebih dari itu, Jennifer punya “legitimasi” untuk melakukan pembalasan dendam atas perbuatan bajingan-bajingan itu. Sebelumnya, dia telah melaporkan tindak perkosaan yang menimpa dirinya terhadap sherif yang ia temui. Tetapi, bukannya menolong, sherif yang seharusnya melindungi warga itu malah melecehkan dan ikut memperkosanya, bersama bajingan-bajingan yang lain. Apa yang harus dilakukan Jennifer?

Sebagai korban perkosaan, Jennifer sama lemahnya seperti wanita-wanita lainnya. Sebagai warga negara yang baik, dia bisa saja melaporkan perkosaan itu kepada polisi. Tapi siapa yang bisa menjamin polisi akan menolongnya, kalau sherif yang ia temui justru ikut memperkosanya? Oh, well, tentu saja dia bisa memaafkan keparat-keparat yang memperkosanya. Tapi Jennifer Hills sepertinya bukan Mother Theresa yang berbakat menjadi Santa. Jadi, pembalasan dendam menjadi pilihannya.

Dan, terus terang, saya menikmati aksi balas dendamnya.

Meski secara teknik film ini tidak bisa dibilang bagus—seperti umumnya film horor lain—tapi I Spit on Your Grave adalah satu di antara sedikit film horor yang bisa saya nikmati kesadisannya. Saat menyaksikan film itu, saya tidak ngeri menyaksikan Jennifer menyiksa, membantai, dan menghabisi bajingan-bajingan pemerkosanya hingga mati berdarah-darah. Karena, sekali lagi, aksi balas dendam mengerikan itu dilakukan berdasar latar belakang yang masuk akal.

Menonton film horor, bagi saya, adalah menyaksikan tipisnya batas moral kekerasan. Di satu sisi, saya ngeri menyaksikan kekerasan diumbar dan dipertontonkan, sementara di sisi lain saya justru menikmatinya. Yang membedakan di sini bukan aksi kekerasannya, melainkan latar belakang aksi kekerasan itu. Ketika menimpa orang-orang tak bersalah, saya jijik menyaksikannya. Tetapi, ketika terjadi pada para bajingan (seperti dalam kasus Jennifer), saya ikut menikmati.

Lebih dari itu, I Spit on Your Grave juga memiliki pelajaran moral—kalau boleh dibilang begitu. Dan, bagi saya, inilah pelajarannya, “Jangan pernah... jangan pernah... dan jangan pernah mencari masalah dengan siapa pun.”

Bajingan-bajingan yang memperkosa Jennifer mungkin menilai dia wanita lemah tak berdaya, hingga merasa bebas menganiaya dan menyiksanya. Tetapi “wanita lemah tak berdaya” itu kemudian muncul sebagai monster yang menjadi mimpi buruk paling mengerikan, yang menuntut balas dengan cara sadis dan paling brutal. Mungkin Jennifer salah, tapi bajingan-bajingan itu jelas lebih salah, karena mereka yang lebih dulu mencari masalah.

Kita tidak pernah tahu orang macam apa yang bermasalah dengan kita. Sosok yang tampak lemah tak berdaya, atau terkesan tak berbahaya, bisa jadi merupakan sosok paling mengerikan yang kita temui di dunia. Kita mencari masalah dengan seseorang hari ini, mungkin dia tidak membalas—bisa karena tak berani, karena keadaan tidak memungkinkan, atau karena hal lain. Tetapi tidak ada jaminan dia tidak akan membalas dendam.

Dan pembalasan dendam, kata Don Corleone, adalah “makanan lezat jika disajikan dalam keadaan dingin”.

Jennifer Hills, dalam I Spit on Your Grave, melakukan pembalasan dendam hanya berselang satu bulan sejak peristiwa perkosaan yang dialaminya. Tapi di dunia kita, ada orang-orang yang menunggu sampai bertahun-tahun—bahkan puluhan tahun—untuk melakukan pembalasan dendam kepada orang yang bermasalah dengannya.

Orang-orang semacam itu sengaja menunggu... menunggu sampai orang-orang lain lupa, menunggu sampai keadaan tepat seperti yang direncanakannya... lalu melancarkan pembalasan dendam dengan cara mengerikan. Orang-orang semacam itu sangat sabar mengunggu saat pembalasan, karena menyadari, bahwa pembalasan dendam adalah “makanan lezat jika disajikan dalam keadaan dingin”—sebentuk pembalasan dendam yang terencana sangat rapi, dan tak mungkin gagal.

Karenanya, sekali lagi, I Spit on Your Grave mengajarkan pelajaran penting itu melalui pembalasan dendam Jennifer Hills kepada para pemerkosanya. Jangan pernah... jangan pernah... dan jangan pernah mencari masalah dengan siapa pun. Tanpa dicari pun, masalah kadang datang tanpa kita inginkan. Karenanya, orang paling tolol adalah orang yang sengaja mencari-cari masalah dengan orang lain. Dan untuk orang-orang semacam itu, selalu ada Jennifer Hills.

 
;