Rabu, 28 Januari 2015

Pelajaran Kecil Perkawinan

Yang paling diinginkan lelaki: Kebebasan. Yang paling
diinginkan wanita: Ikatan. Cinta adalah kebebasan
yang diikat, ikatan yang dibebaskan.
@noffret


Perkawinan bisa melancarkan rezeki, kata sebagian orang. Mungkin memang benar. Namun mungkin pula tidak. Penjual nasi langganan saya bisa dijadikan contoh, betapa perkawinan justru menghancurkan rezekinya.

Dulu, di depan gang komplek saya terdapat warung makan tenda yang menyediakan pecel lele, ayam goreng, dan lainnya. Penjualnya seorang lelaki muda, dibantu dua lelaki lain yang mungkin adiknya. Warung itu buka sekitar jam lima sore, dan baru tutup saat larut malam. Warung itu selalu ramai pembeli. Saya termasuk yang diuntungkan keberadaan warung makan itu, karena memudahkan saya mencari makan setiap malam.

Jadi, setiap habis maghrib atau isya, saya keluar rumah, dan menuju warung makan di depan gang. Karena jaraknya dekat, saya pun jalan kaki. Di sana, saya akan membeli nasi dan lauk pauk yang saya inginkan, untuk dinikmati di rumah. Lalu saya melangkah pulang sambil menenteng bungkusan nasi. Itu kegiatan rutin yang pernah saya nikmati bertahun-tahun lalu. 

Karena rutinitas itu terjadi setiap hari, saya pun akrab dengan pemilik warung makan. Saat menunggu lele atau daging ayam digoreng, kami kadang bercakap-cakap. Dia masih lajang, usianya mungkin sedikit di atas saya, dan ramah serta murah senyum—seperti umumnya para pedagang yang baik. Dia mengontrak rumah yang tak jauh dari tempatnya jualan. Dia juga menceritakan telah merintis usaha warung makannya sejak beberapa tahun lalu, dan bersyukur karena warung makannya selalu laris.

Saya pun mengatakan kepadanya, bahwa saya sangat bersyukur dengan keberadaan warung makannya, karena memungkinkan saya mendapatkan makan dengan mudah, sekaligus enak. Warung makan itu menyediakan nasi yang saya sukai—butiran-butiran nasinya keras, berbentuk lonjong atau memanjang, dengan biji-biji nasi yang terpisah, namun empuk. Meski dimakan dengan tangan langsung (tidak memakai sendok), nasi itu tidak lengket di tangan.

“Saya selalu memilih beras yang berkualitas, Mas,” ujar lelaki pemilik warung itu, saat kami membicarakan nasi buatannya.

Nasi keras yang enak semacam itu memang hanya mungkin dibuat dari beras berkualitas baik, serta dengan cara menanak yang sama baiknya. Di sekitar tempat tinggal saya ada banyak warung makan, namun tidak semuanya menyediakan nasi seperti yang saya sukai. Rata-rata warung makan lain menyediakan nasi yang agak lembek, dengan butiran-butiran nasi menggumpal, serta lengket di tangan. Karena itulah, meski ada banyak warung makan lain, saya tetap berlangganan warung makan satu itu, karena nasinya cocok.

Sampai sekitar empat tahun saya berlangganan di warung makan itu, hingga sesuatu terjadi dan mengubah segalanya. Suatu hari, lelaki pemilik warung makan itu menikah. Setelah menikah, istrinya ikut melayani di warung tersebut. Tetapi yang berubah di sana bukan hanya itu. Sejak menikah, nasi yang disajikan warung itu tidak sebaik sebelumnya. Jika sebelumnya nasinya keras namun enak seperti yang saya ceritakan di atas, sekarang nasinya lembek, dengan butiran nasi berbentuk bulat, saling menggumpal, dan lengket di tangan. 

Selama beberapa hari, saya mencoba bersabar. Waktu itu, saya sempat berpikir, mungkin sekarang istri pemilik warung itu yang menanak nasi, dan dia belum terbiasa melakukannya sehingga hasilnya kurang baik. Sampai sekitar seminggu, saya masih terus mencoba menyabarkan diri menghadapi nasi lembek yang tidak saya sukai, dan berharap suatu hari nasi yang disajikan warung makan itu kembali seperti dulu. Tapi harapan saya tinggal harapan.

Sampai kesabaran saya habis, nasi yang disajikan warung makan itu tetap lembek dan tidak enak. Jauh berbeda dengan nasi yang dulu saya nikmati setiap hari. Pecel lele atau ayam gorengnya memang masih sama seperti dulu, tapi nasinya berbeda. Akhirnya, karena tidak tahan lagi, saya pun berhenti menjadi langganan. Sejak itu, saya tidak pernah lagi membeli nasi di sana, dan terpaksa mencari nasi lain di warung makan lain.

Berbulan-bulan kemudian, saya membeli pulsa di konter penjual pulsa yang tak jauh dari gang komplek. Ketika sedang berada di sana, tanpa sengaja saya bertemu lelaki penjual warung makan yang kebetulan juga akan mengisi pulsa. Maka kami pun bercakap-cakap. Dia menanyakan, kenapa saya sekarang tidak pernah lagi muncul di warungnya. “Sudah bosan dengan masakan saya?” tanyanya dengan senyum ramah.

Dengan hati-hati, saya menjelaskan, bahwa saya masih menyukai masakannya. Namun, sekarang nasinya tidak lagi seperti dulu, dan hal itu menjadikan saya berhenti berlangganan di warungnya. Saya juga menjelaskan, kalau warungnya kembali menyajikan nasi yang enak seperti dulu, dengan senang hati saya akan kembali menjadi pelanggannya. “Terus terang, Mas,” ujar saya kepadanya, “saya tidak doyan nasi yang lembek.”

Mendengar penjelasan itu, pemilik warung terdiam. “Jadi rupanya benar, itu masalahnya,” ujarnya perlahan-lahan. Kemudian, di luar dugaan, dia menjelaskan, “Semula saya tidak paham, Mas. Sejak menikah, pelanggan saya menurun drastis. Orang-orang yang semula suka makan di tempat saya menghilang satu per satu. Bahkan situ yang dulu datang ke warung saya tiap malam juga ikut menghilang. Saya memang sudah curiga kalau nasinya yang jadi biang masalah, tapi istri saya tidak mau percaya.”

Saya mendengarkan penuturannya dengan serius. Mungkin karena sikap saya yang empatik, penjual warung makan itu merasa nyaman. Jadi dia pun melanjutkan, “Setelah menikah, istri saya yang belanja beras, dia pula yang menanak nasinya. Dia memilih beras lain, dan hasilnya memang berbeda. Beras yang kami pakai sekarang menghasilkan nasi yang tidak seenak dulu, dan bentuknya juga tidak sebagus dulu. Saya sudah mencoba membicarakan hal itu dengan istri, tapi—seperti yang saya bilang tadi—dia tidak mau percaya. Dia lebih suka nasi yang lembek, dan berpikir orang-orang lain juga lebih suka nasi yang lembek.”

Saya hanya diam, dan tetap mendengarkan, karena tidak tahu bagaimana harus merespons pernyataan itu. Lalu pemilik warung makan melanjutkan, “Saya usahakan untuk bikin nasi yang seperti dulu, Mas.”

Saya mengangguk, dan menyahut, “Saya akan senang kalau bisa membeli nasi di tempat sampeyan lagi.”

Beberapa hari kemudian, saya mencoba membeli nasi di warung makan itu lagi, karena berpikir nasinya sudah berubah—telah kembali seperti dulu. Tetapi harapan saya berbuah kekecewaan. Nasi yang disajikan di warung itu tetap lembek dan tidak enak. Rupanya belum ada perubahan, pikir saya. Setelah itu, saya kembali tidak pernah datang ke sana.

Sekitar satu tahun kemudian setelah itu, warung makan di depan gang itu tutup. Pemiliknya pulang ke kampung halaman, dan pemilik rumah kontrakan yang dulu ditempati pemilik warung itu menjelaskan, “Warungnya sekarang sepi pembeli.” Sejak itu, saya tidak tahu lagi bagaimana kabarnya, dan sejak itu pula tidak ada lagi warung makan di depan gang komplek saya.

Perkawinan melancarkan rezeki, kata sebagian orang. Namun, merujuk pada kisah pemilik warung makan itu, saya menyaksikan kenyataan sebaliknya. Perkawinan yang dilakukannya justru menjadikan rezekinya hilang, para pelanggan lenyap, sampai kemudian warungnya terpaksa tutup karena tidak ada lagi pembeli.

Masalahnya ada pada nasi, kata si pemilik warung makan. Dia sudah menyadari. Namun, mungkin, dia tidak mampu menyadarkan istrinya untuk memahami kenyataan itu. Setelah menikah, istrinya yang belanja beras dan menanak nasi. Istri si pemilik warung mungkin sengaja memilih beras yang lebih murah, dengan harapan bisa meningkatkan keuntungan. Namun upaya penghematan yang ia lakukan justru menjadi awal kehancuran usaha suaminya. Beras yang dipilihnya tidak lagi menghasilkan nasi sebaik sebelumnya, dan sejak itu para pelanggan menghilang.

Ketika menikah, kompromi memang sering dilakukan antara suami dan istri, karena itu memang salah satu konsekuensi hidup berumah tangga. Namun, rupanya, tidak selamanya kompromi menjadi hal yang baik. Sebagai suami, si pemilik warung makan mungkin ingin menghormati pilihan istrinya yang lebih suka belanja beras lebih murah. Tetapi langkah bijak itu ternyata menghasilkan dampak yang justru membahayakan hidup mereka. Usaha warung makan yang telah dirintis bertahun-tahun harus kolaps gara-gara kompromi pilihan yang buruk.

Hidup adalah soal pilihan. Ketika seseorang masih sendirian, pilihan apa pun adalah murni pilihannya. Baik dan buruk, dialah yang akan menanggung konsekuensinya. Ketika menikah, pilihan masing-masing orang sering kali merupakan hasil kompromi, kesepakatan suami istri. Rupanya, kompromi belum tentu mendatangkan hasil yang lebih baik.

Berdasarkan kisah warung makan itu, saya seperti mendapatkan pelajaran penting, khususnya dalam perkawinan. Ada kalanya, pilihan pasangan tidak sesuai dengan selera kita, namun bisa jadi itu pilihan yang lebih baik. Jika kita memaksakan selera kita pada pilihannya, hasilnya belum tentu sama baik. Dalam perkawinan, ada kalanya kita harus menghormati pilihan pasangan, meski itu belum tentu sesuai selera kita.

Urusan Cowok-Cewek

Kalau cowok bilang tidak ingin punya pacar cantik,
itu munafik. Tapi cantik juga relatif.
—Twitter, 24 Juli 2013

Setiap mendengar cewek bilang dirinya tidak matere,
aku ingin percaya. Tapi entah kenapa, aku tak pernah bisa.
—Twitter, 24 Juli 2013

Kalau cewek bilang ke cowok, “Jadi, kamu mau bikin aku cemburu?
Ngomong dong!” | Si cowok biasanya akan diam, mengalah.
—Twitter, 20 Juni 2013

Kalau cowok bilang ke cewek, “Jadi, kamu mau bikin aku cemburu?
Ngomong dong!” | Si cewek biasanya sok jaim, “Idih, ge-er banget, sih!”
—Twitter, 20 Juni 2013

Ketika cowok mau mutusin hubungan dengan ceweknya,
dia akan mikir berhari-hari, mencari cara halus demi tidak menyakiti.
—Twitter, 20 Juni 2013

Ketika cewek mau mutusin hubungan dengan cowoknya...
hmmm, kayaknya sih tidak mikir sama sekali.
—Twitter, 20 Juni 2013

Kalau cowok bilang, “Terserah!”, cewek akan segera tahu
yang dimaksud cowoknya, karena artinya memang begitu.
—Twitter, 20 Juni 2013

Kalau cewek bilang, “Terserah!”, cowok tidak akan paham
maksud ceweknya, bahkan mungkin sampai mati.
—Twitter, 20 Juni 2013

Ketika berurusan dengan cewek, sering kali cowok cerdas
dan cowok tolol punya kesamaan: Sama-sama tolol.
—Twitter, 20 Juni 2013

Ketika berurusan dengan cowok, sering kali cewek ABG
maupun cewek dewasa punya kesamaan: Sama-sama lucu.
—Twitter, 20 Juni 2013


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Sambil Pusing

Suatu hari nanti aku akan sometimes, kataku pada diri sendiri.

Sambil pusing.

Sabtu, 24 Januari 2015

Teman Saya Tidak Ilmiah Blas

Kebetulan selalu punya alasan.
@noffret


—Untuk Topik a.k.a Simbah

Namanya Taufik. Tapi kami biasa memanggilnya Topik—sebagian yang lain kadang menyebutnya Simbah. Dia salah satu teman kami yang unik, dan—menurut teman-teman—sangat tidak ilmiah. Tetapi, justru di situlah letak keunikannya, hingga saya menulisnya dalam catatan ini.

Suatu hari, saat kami hanya berdua, Topik bertanya pada saya, “Da’, kamu senang jadi temanku?”

“Tentu saja aku senang jadi temanmu,” jawab saya jujur. “Semua orang senang berteman denganmu, Pik. Kamu teman yang asyik.”

Dia mengangguk. Setelah itu, dengan ekspresi serius, dia mengajukan pertanyaan yang membuat saya terkejut, “Tapi kenapa kamu tidak pernah menulis tentangku?”

“Hah...?”

Topik menjelaskan, “Kamu menulis tentang Jonah, Iskandar, Thariq, Amelia, Ririn, Safik, dan teman-teman kita yang lain, di blogmu. Tapi kenapa kamu tidak pernah sekali pun menulis tentang aku? Bahkan menyebut namaku pun tidak pernah!”

“Uh... sebenarnya, aku tidak menulis tentangmu bukan karena apa pun, tapi karena aku khawatir kamu belum tentu senang. Sebenarnya, aku ingin sekali menulis tentangmu, Pik—kamu punya hal-hal yang asyik untuk diceritakan. Tapi, ya itu tadi, aku khawatir kamu justru tidak akan senang.”

“Tentu saja aku senang! Semua teman kita juga berharap bisa muncul dalam tulisanmu!”

“Kalau begitu, aku akan menulis tentang kamu,” ujar saya kemudian.

“Benar?”

“Yeah. Tapi, kamu tahu, aku harus menulismu dengan jujur, apa adanya, sebagaimana ketika aku menulis orang lain atau tentang diriku sendiri. Jadi, kalau aku menulismu di blog, aku harus menulis tentangmu seperti apa adanya dirimu. Kamu tidak keberatan?”

“Tidak, aku tidak keberatan. Yeah, tentu saja kamu harus menulis tentang aku apa adanya—agar dunia tahu siapa aku!”

....
....

Namanya Taufik. Tapi kami biasa memanggilnya Topik—sebagian yang lain kadang menyebutnya Simbah. Dia salah satu teman kami yang unik, dan—menurut teman-teman—sangat tidak ilmiah. “Ketidak-ilmiahan” Topik berawal dari seringnya dia bermimpi tentang hal-hal yang terjadi di antara kami.

Misalnya, suatu hari kami berkumpul, dan seorang teman cerita bahwa dia baru bertengkar dengan pacarnya, maka Topik akan menyatakan dengan jumawa, “Kejadian yang kamu alami itu tepat seperti dalam mimpiku. Seminggu yang lalu, aku bermimpi kamu bertengkar dengan pacarmu.”

Di hari lain, teman kami membeli motor baru, dan Topik menyatakan dengan sepenuh kesungguhan, “Ah, akhirnya mimpiku terbukti! Tempo hari aku bermimpi kamu membeli motor baru, dan motornya benar-benar tepat seperti ini!”

Suatu Minggu, kami berencana pergi ke suatu tempat untuk refresing, dan Topik—dengan mata berbinar—mengatakan, “Benar-benar tepat seperti dalam mimpiku! Minggu ini kita akan refresing!”

Dalam sebuah percakapan, Topik pernah bertanya pada saya mengenai teori Big Bang. Saya tidak tertarik menjelaskan, karena itu sesuatu yang rumit dan sulit dipaparkan, khususnya kepada orang awam. Tapi Topik memaksa. Maka, dengan terbata-bata, saya pun berusaha menjelaskan teori yang rumit itu sesederhana mungkin, agar bisa dipahami olehnya. Setelah saya berkeringat karena kelelahan menjelaskan teori sinting itu, Topik mengangguk-angguk khidmat, dan mengatakan, “Penjelasanmu benar-benar tepat seperti dalam mimpiku.”

Saya ingin getok kepalanya.

Dulu, kami sering terkejut setiap mendapati “mimpi” Topik yang ajaib dan mustahil. Seluruh kejadian yang kami alami—bahkan hal-hal yang terjadi di alam semesta—tampaknya telah hadir sebelumnya dalam mimpi Topik. Tetapi, lama-lama, kami mulai terbiasa dengan “keajaiban” itu setelah bertahun-tahun berteman dengannya. Bahkan, kami pun menganggapnya sebagai semacam hiburan atau sarana untuk bercanda.

Kenyataannya, Topik pun mungkin hanya memaksudkan “mimpi”-nya sebagai sarana untuk menertawakan hidup dan dirinya. Pernah, dia ditolak cewek yang ditaksirnya, dan tampak tidak terlalu terpengaruh. Dia masih bisa tersenyum saat menceritakan penolakan itu—tidak murung atau galau seperti umumnya cowok lain yang baru ditolak. Saat ditanya mengenai hal itu, Topik menjelaskan, “Aku tidak terkejut dengan penolakan itu, karena sudah tahu dalam mimpiku. Yeah, tentu saja dia akan menolak. Sangat tidak ilmiah kalau dia sampai menerimaku.”

“Mimpi” Topik yang aneh dan absurd itu telah terkenal, tidak hanya di lingkungan pergaulan kami, tapi juga di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga-tetangga Topik juga sudah mengetahui “mimpi” Topik yang mustahil, dan mereka telah menganggapnya sebagai bagian “keajaiban yang tidak bisa dicerna”—semacam gejala alam yang absurd, yang tidak bisa dipahami orang awam seperti mereka. Menggunakan perspektif fisika, Topik—dan mimpi-mimpinya—adalah wujud anomali jagad raya.

Karena mimpi-mimpinya yang legendaris itu pulalah, yang kemudian menjadikan banyak orang memanggil Topik dengan sebutan “Simbah”—apa pun artinya.

Seorang tetangga pernah menantang Topik, dengan menanyakan nomor berapa saja yang akan muncul dalam undian togel yang akan datang. “Kalau kamu memang bisa memimpikan segalanya sebelum terjadi, kamu pasti tahu nomor berapa saja yang akan keluar, kan?” ujar si tetangga menantang.

Tapi Topik menjawab dengan santai, “Aku ini orang baik, yang memimpikan hal-hal baik. Untuk hal-hal seperti itu, aku sama sekali tidak tahu.”

Topik memang orang baik—setidaknya di mata kami, teman-temannya. Sebagai pribadi, dia orang yang salih. Di antara kami semua, dia paling rajin beribadah. Dia sangat hormat pada orangtua, baik pada para tetangga, dan tidak pernah menyakiti sesama. Selama bertahun-tahun berteman dengannya, bisa dibilang Topik tidak pernah menimbulkan masalah apa pun.

Kami senang berteman dengan Topik. Dia tidak hanya teman yang baik dan setia, tetapi juga sangat amanah dalam memegang janji. Kalau kami janjian untuk bertemu, dia akan datang menepati—tak peduli bagaimana pun keadaannya. Jika motornya kebetulan bermasalah, dia akan naik angkot. Jika tidak ada angkot yang menuju ke jurusan yang diinginkan, dia akan jalan kaki. Hal itu pernah benar-benar terjadi. Dalam suatu janji dengan seseorang, Topik datang sesuai yang ia janjikan, meski harus jalan kaki hingga lebih dari 10 kilometer.

Si teman yang terkejut mendapati Topik berjalan kaki ke tempatnya, menyatakan, “Kenapa kamu harus jalan kaki sejauh itu, Pik? Kalau kamu menilponku dan bilang ada masalah dengan motormu, aku dengan senang hati akan menjemput.”

Tapi Topik menjawab dengan santai, “Bagaimana pun, aku memang harus jalan kaki ke rumahmu, karena itu telah termaktub dalam mimpiku.”

“Mimpi”-nya itulah yang aneh, pikir kami. Seperti yang disebut di atas, dulu kami terkejut dengan “mimpi-mimpi” Topik. Lama-lama kami mulai terbiasa, dan sering kali menjadikannya bahan gurauan. Bahkan, karena telah sangat terbiasa, kami tidak pernah terkejut lagi setiap kali Topik menceritakan mimpinya. Bagi kami, Topik adalah teman yang lucu, dan mimpinya sangat tidak ilmiah. Topik tahu hal itu, tapi dia tidak tersinggung—setidaknya dia tidak pernah menampakkan bahwa dia tersinggung.

Jadi, kalau Topik menceritakan mimpinya, atau berkata, “ini tepat seperti dalam mimpiku”, teman-teman akan tersenyum atau cengar-cengir, atau menjadikan mimpi Topik sebagai tema obrolan penuh canda dan tawa. Kami bahkan sering menjadikan mimpi Topik sebagai sarana untuk mengerjainya. Misalnya, saat kami sedang jalan ke suatu tempat dan Topik menyatakan, “Berdasarkan mimpiku, kita akan belok ke arah kiri,” maka kami akan belok ke arah kanan.

Suatu kali, Jonah pernah berkata, “Topik adalah bocah paling tidak logis yang pernah kukenal.”

Dan saya menyahut sambil ngakak, “Dia memang tidak ilmiah blas!”

Meski tidak ilmiah, kami senang berteman dengan Topik, karena dia memang teman yang asyik. Semua kualitas yang dibutuhkan dari seorang teman terdapat pada diri Topik—selain, tentu saja, mimpi-mimpinya yang aneh dan absurd itu.

Sampai suatu hari, kami berlima makan mie ayam di sebuah warung pinggir jalan—Topik, Riyan, Jonah, Hasan, dan saya. Siang itu panas, dan warung sangat ramai, karena pas jam makan siang. Setelah menikmati semangkuk mie ayam, keringat kami keluar semua. Bukan hanya karena pengaruh mie ayam yang kami makan, tapi juga efek cuaca yang memang sangat panas dan suasana warung yang ramai.

Kami pun buru-buru membayar, keluar dari warung, lalu duduk-duduk di bawah pohon sambil merokok. Pohon yang ada di trotoar itu besar dan cukup lebat, hingga kami merasa adem berteduh di bawahnya. Saat kami sedang bercakap-cakap sambil menunggu perut kembali lega, Topik berkata sungguh-sungguh, “Aku bermimpi kita semua ketabrak truk di sini. Pohon ini benar-benar tepat seperti dalam mimpiku.”

Hasan langsung batuk-batuk tersedak asap rokok, Riyan misuh-misuh, sementara Jonah dan saya senyum-senyum. Bagi kami, mimpi Topik hanyalah sarana untuk bercanda, dan kami sama sekali tak terpengaruh.

Tapi Topik tampak serius sekali. Dia bahkan meminta agar kami pindah ke tempat lain saja, yang—menggunakan istilahnya—“lebih aman dari mimpiku”. Kami cuma cengar-cengir, dan sama sekali tidak menghiraukan Topik. Sekali lagi, kami sudah menganggap “mimpi”-nya sebagai hal biasa.

Tetapi, akhirnya, kami pergi dari bawah pohon itu. Bukan karena mimpi Topik, melainkan karena datangnya mobil penyiram milik Pemkot yang akan menyiram pohon sebagaimana biasa. Kami pindah ke tempat lain yang cukup jauh, di teras sebuah ruko, agar tidak terkena semprotan air yang menyiram pohon. Di tempat yang baru, kami kembali duduk santai sambil merokok, dan bercakap-cakap.

Beberapa saat kemudian, mobil penyiram pohon kembali berjalan untuk menyiram pohon lainnya. Pohon yang tadi kami tempati kini basah, dan kami tidak berniat kembali ke sana. Saat sedang memperhatikan pohon itulah, sebuah truk melaju kencang, dan—mungkin karena bermasalah dengan rem—sopirnya sengaja menabrakkan truk ke arah pohon. Hantaman itu sangat keras, hingga batang pohon separuh roboh, sementara kap depan truk tampak ringsek.

Kejadian itu seketika menarik perhatian, dan orang-orang berdatangan.

Kami terpaku di teras ruko. Kami tidak sempat memikirkan bagaimana nasib pengendara truk itu. Yang kami pikirkan, enam menit sebelumnya, kami ada di sana, duduk di bawah pohon yang tertabrak, dan sempat menertawakan mimpi Topik yang terdengar aneh. Detik itu kami menyadari, kami baru saja menertawakan kematian yang bisa saja kami alami.

Dan, sejak itu, setiap kali Topik menceritakan mimpinya, kami selalu khusyuk mendengarkannya. 

Noffret’s Note: Kata-kata

“Anakmu bukan anakmu,” kata Gibran. Kalau dipikir-pikir,
mungkin sebenarnya bukan cuma anak. Tapi semuanya.
—Twitter, 12 Desember 2014

“Menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri.”
Pepatah yang bagus. Sayangnya tidak setiap orang tahu,
atau menyadari, “air di dulang”.
—Twitter, 12 Desember 2014

“Nasib,” kata Chairil, “adalah kesunyian masing-masing.”
Begitu pula pengingkaran, ketakutan pada yang tak diketahui,
dan pembusukan diri.
—Twitter, 12 Desember 2014

Confucius tahu cara mengatakan sesuatu dengan baik
dan jernih, “Keheningan adalah sahabat sejati
yang tidak pernah berkhianat.”
—Twitter, 12 Desember 2014


“Sistem bilangan kita akan runtuh tanpa nol,” kata Charles Seife.
Tentu saja dia benar. Seperti hidup tanpa kesempatan untuk kosong.
—Twitter, 12 Desember 2014

“Matematika tidak nyata,” kata Richard Feynman,
“tapi terasa nyata. Di manakah tempatnya berada?”
Mungkin sama seperti keyakinan kita.
—Twitter, 12 Desember 2014

“Kesakitan pikiran lebih buruk daripada kesakitan tubuh.”
Aku ingin mencium tangan Publisius Syrus,
kalau saja dia masih hidup.
—Twitter, 12 Desember 2014

“Noda,” kata Multatuli, “tidak akan dapat dihapus
dengan kain lap yang kotor.” Begitu pun mulut, ucapan,
sikap, perbuatan, dan prasangka.
—Twitter, 12 Desember 2014

Zarathustra bersabda, “Jangan meludah melawan angin.”
Sayangnya, beberapa orang sengaja melakukannya
demi harapan ditatap dunia.
—Twitter, 12 Desember 2014

Tebak-tebakan G.K. Chesterton, “Ada jalan tembus
dari mata ke hati yang tidak melalui pikiran.”
Aku tahu jawabannya. Lewat kata dan sikap.
—Twitter, 12 Desember 2014

“Let’s gone be gone.” Entahlah, siapa yang pernah
mengatakan kalimat itu. Tapi sepertinya dia benar—
kalau saja memang semuanya semudah itu.
—Twitter, 12 Desember 2014

Aku lupa kalimatnya dalam bahasa Prancis, tapi kira-kira
inilah yang dikatakan Sartre, “Hell is other people.”
Kadang juga heaven, Monsiour.
—Twitter, 12 Desember 2014

“Kita tak pernah tertipu,” kata Goethe, “kita yang menipu
diri kita sendiri.” Dengan tawa, Blaise Pascal menyambung,
“Kita senang ditipu.”
—Twitter, 12 Desember 2014

“Aku heran, di manakah tersembunyi batas perbedaan
antara manusia dan hewan yang hatinya tak mengenal
bahasa kata-kata.” I love you, Tagore.
—Twitter, 12 Desember 2014

“Lidahku ini binatang buas,” kata Ibnu Thaus.
“Jika kulepaskan, maka ia akan memakanku.”
Sayangnya tidak setiap orang sebijak Thaus.
—Twitter, 12 Desember 2014

Charles Baudelaire menulis seumur hidup.
Tetapi hanya tiga kata miliknya yang paling dikenal,
“Kau kan sesal.” Dan hanya nisan yang paham.
—Twitter, 12 Desember 2014

“Padahal,” ujar Goenawan Mohamad, “tiap kali
kita harus jadi manusia, tiap kali bisa jadi manusia.”
Mungkin memang banyak yang bukan.
—Twitter, 12 Desember 2014

“Lawan dari hidup bukanlah kematian,”
kata Simone de Beauvoir, “melainkan ketuaan.”
Bagi beberapa orang, ketuaan memang lebih menyedihkan.
—Twitter, 12 Desember 2014

“Satu-satu lahir,” kata Pram, “Satu-satu pergi.”
Siklus murni antara awal dan akhir,
namun penuh hal buruk dan sia-sia di antara keduanya.
—Twitter, 12 Desember 2014

“Aku senang berpikir bulan ada di atas sana,” kata Einstein,
“meski aku tidak melihatnya.”
Sepertinya kita punya pikiran yang sama, Sir.
—Twitter, 12 Desember 2014

“Omnis cellula e cellula,” kata Rudolf Virchow.
Tentu saja begitu. Termasuk mulut, kata, ucapan, pikiran,
sikap, perbuatan. Sumbernya sama.
—Twitter, 12 Desember 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Lara Hati

Kalau melihatku ramah dengan satu perempuan saja sudah membuatmu marah dan cemburu, cobalah pikirkan perasaanku saat melihatmu.

Senin, 19 Januari 2015

Psikologi Cinta: Cara Mudah Mendapat Pacar

Perempuan berpikir lelaki berpikir seperti dirinya.
Sementara lelaki berpikir perempuan berpikir seperti
dirinya. Tahu di mana lucunya?
@noffret


Ketika seorang lelaki belum memiliki pacar atau belum pernah pacaran sama sekali, mungkin dia kesulitan mendapat pacar. Tetapi begitu sudah dapat pasangan, dia akan merasa jalannya untuk mendapat pacar lain jauh lebih mudah—tiba-tiba ada banyak wanita yang mau jadi pacarnya. Karenanya, jika dia kemudian putus dengan wanita yang menjadi pacarnya, dia pun tidak akan kesulitan mendapat pengganti kalau memang menginginkan.

Hal semacam itu dialami oleh hampir semua lelaki, karenanya tidak bisa dibilang kasuistis. Perhatikan kawan-kawan lelakimu. Atau, kalau kau kebetulan lelaki yang belum pernah pacaran, dan merasa kesulitan mendapat pacar, ingat-ingatlah ini. Kelak, setelah kau mendapatkan pacar, kau akan merasa sangat mudah mendapatkan pacar lain, dan mungkin kau akan heran hingga bertanya-tanya sendiri, “Kenapa dulu aku sangat kesulitan mendapat pacar?”

Ketika seorang lelaki belum pernah pacaran, dia mungkin akan kesulitan mendapat pacar. Tetapi ketika seorang lelaki telah mendapat pacar, dia akan mudah mendapat pacar lain. Karenanya, kalau dia memang menginginkan, punya pacar baru akan jauh lebih mudah dibandingkan ketika pertama kali mencari atau mendapat pacar pertama.

Bagaimana hal aneh semacam itu bisa terjadi? Jawabannya ada pada perbedaan pola pikir antara lelaki dan perempuan, khususnya ketika menentukan seseorang yang akan dijadikan pacar.

Dalam pola pikir umum lelaki, perempuan yang “ideal” untuk dijadikan pasangan adalah perempuan yang tidak terlalu intim dengan lelaki. Semakin banyak lelaki yang ada di sekeliling perempuan, semakin berkurang minat lelaki untuk memacarinya. Jujur saja, saya pun begitu. Ketika melihat perempuan yang dikelilingi banyak lelaki, mungkin saya akan tertantang. Tapi tertantang berbeda dengan tertarik!

Saya hanya tertantang untuk menundukkan—bukan tertarik untuk menjadikannya pacar! Bisa melihat perbedaan esensialnya? Semakin banyak lelaki yang mengelilingi seorang perempuan, rasa tertantang lelaki semakin besar. Tetapi, sekali lagi, tertantang berbeda dengan tertarik. Ini warisan ego sejak zaman nenek moyang!

Nah, pola pikir semacam itu berbeda dengan perempuan ketika memandang dan menilai lelaki. Ketika perempuan melihat lelaki dekat dengan banyak perempuan, mereka justru akan menilai si lelaki layak dijadikan pasangan. Semakin banyak perempuan yang mengelilinginya, perempuan semakin tertarik. Perhatikan—mereka tertarik, benar-benar tertarik, bukan sekadar tertantang. Artinya, mereka benar-benar tertarik untuk menjadikan si lelaki sebagai pacar!

Sampai di sini, sebagian perempuan mungkin akan mencibir, “Ah, aku tidak seperti itu!” Tapi alam bawah sadar setiap perempuan seperti itu—diakui atau tidak! Sekali lagi, ini warisan psikologi turun temurun dari nenek moyang.

Ketika akan menjatuhkan pilihan terhadap pasangan yang dipilihnya, seorang perempuan mungkin punya setumpuk kriteria tertentu. Tetapi, perempuan sering kali menggantungkan penilaian sosial untuk membantu keputusannya. Ketika menemukan lelaki yang tepat, rata-rata perempuan akan jauh lebih “nyaman” jika lelaki itu pernah pacaran sebelumnya, daripada jika lelaki itu belum pernah pacaran sama sekali. Sekali lagi, sebagian perempuan mungkin tidak menyadari kenyataan ini, tetapi itulah yang terjadi.

Ketika perempuan mengetahui seorang lelaki punya pacar atau pernah punya pacar, kira-kira seperti inilah yang ada dalam pikirannya, “Dia lelaki yang layak dipacari. Buktinya ada perempuan yang (pernah) jadi pacarnya.”

Perempuan—disadari atau tidak—membutuhkan konfirmasi sosial untuk membantu keputusannya. Karenanya, perempuan pun sering kali mempertimbangkan penilaian kawan-kawan atau lingkungan untuk membantu keputusannya, khususnya dalam penentuan seorang pacar. Misalnya, seorang perempuan telah memutuskan untuk menerima cinta seorang lelaki. Tetapi, jika kawan-kawan atau lingkungannya tidak mendukung, kemungkinan besar si perempuan akan membatalkan niatnya dan tidak jadi menerima cinta si lelaki.

Karena itu pula, ketika perempuan mengetahui seorang lelaki pernah pacaran, sedang pacaran, atau tampak dikelilingi banyak perempuan lain, alam bawah sadar mereka memberitahu, “Dia lelaki yang layak dijadikan pasangan. Buktinya banyak perempuan mendekatinya.” Itulah yang disebut konfirmasi sosial.

Sekali lagi, perempuan boleh mencibir uraian ini, tetapi—diakui atau tidak—itulah yang terjadi! Kalau menginginkan bukti, tidak perlu jauh-jauh. Lihatlah Ariel, atau... well, Zarry Hendrik. Perkirakan saja berapa perempuan yang mau jadi pacar mereka. Perempuan mungkin tertarik pada bocah-bocah itu karena mereka ganteng, terkenal, atau bla-bla-bla. Tapi penyebab sebenarnya karena mereka dikelilingi banyak perempuan! Keberadaan banyak perempuan di sekeliling mereka adalah konfirmasi sosial bahwa lelaki-lelaki itu memang layak dipacari.

Kalau masih ragu, perhatikan sekelilingmu, atau lihat lelaki-lelaki ganteng lain yang juga terkenal. Ada banyak lelaki ganteng yang juga terkenal, tapi tidak dikelilingi banyak perempuan, dan minat para perempuan pun tidak terlalu besar kepadanya. Sebaliknya, ada lelaki-lelaki biasa—tidak ganteng juga tidak terkenal—tapi dikelilingi banyak perempuan, dan minat para perempuan pun sama besar kepadanya. Apa artinya itu? Sekali lagi, itulah konfirmasi sosial.

Konfirmasi sosial—itulah kunci penting yang ada dalam diri perempuan, khususnya ketika akan menjatuhkan keputusan mengenai lelaki yang akan dijadikan pasangan. Yang saya contohkan di atas—menyangkut Ariel atau Zarry Hendrik—adalah contoh ekstrem. Dalam keadaan biasa, perempuan membutuhkan konfirmasi sosial dari kawan-kawannya, lingkungannya, atau setidaknya dari perempuan lain yang pernah atau sedang pacaran dengan lelaki yang ingin dijadikannya pasangan.

Yang dimaksud “konfirmasi” di sini bukan berarti harus konfirmasi verbal. Ketika seorang perempuan mengetahui bahwa lelaki yang diincarnya pernah pacaran atau sedang punya pacar, itu sudah termasuk konfirmasi sosial—bahwa ada perempuan lain yang meminati lelaki tersebut. Bagi perempuan, itu sudah cukup membuktikan bahwa lelaki itu layak dijadikan pasangan.

Sekarang kita mulai paham, kenapa lelaki yang belum pernah pacaran sering kali sulit mendapat pacar, tapi kemudian jauh lebih mudah mendapat pacar lain setelah sebelumnya pernah pacaran. Karena perempuan membutuhkan konfirmasi sosial. Karenanya pula, kita mungkin heran menyaksikan lelaki-lelaki yang sudah terkenal sebagai playboy bangsat, tapi masih adaaaaaaaa perempuan yang mau dengannya. Perempuan tidak melihat playboy-nya, mereka melihat konfirmasi sosialnya!

Nah, hal semacam itu tentu bertolak belakang dengan pola pikir kaum lelaki. Ketika memutuskan seorang perempuan untuk dijadikan pasangan, lelaki lebih menomorsatukan pendapat atau pikirannya sendiri, dan tak terlalu peduli dengan penilaian kawan-kawan atau lingkungannya. Dengan kata lain, lelaki akan tetap menjadikan seorang perempuan sebagai pasangan jika dia memang menginginkan, bahkan jika kawan-kawan atau lingkungannya menentang.

Karena perbedaan pola pikir tersebut, berbeda pula cara penilaian lelaki terhadap perempuan. Jika perempuan lebih menyukai lelaki yang dikelilingi banyak perempuan, maka lelaki justru sebaliknya! Seperti yang telah disebutkan di atas, perempuan yang dikelilingi banyak lelaki mungkin membuat sebagian lelaki merasa tertantang. Tapi mereka hanya tertantang—bukan tertarik menjadikannya pasangan. Dengan kata lain, semakin seorang perempuan dikelilingi banyak lelaki, semakin berkurang minat lelaki untuk menjadikannya pasangan.

Tanyakan pada lelaki mana pun, mana yang akan mereka pilih; perempuan yang belum pernah pacaran sama sekali, ataukah perempuan yang telah pacaran berkali-kali. Kalian sudah tahu jawabannya!

Atau tanyakan pada lelaki mana pun, mana yang akan mereka pilih; perempuan yang akrab dengan sedikit lelaki, ataukah perempuan yang asyik dengan banyak lelaki. Sekali lagi, kalian sudah tahu jawabannya!

Jadi, buat para lelaki yang merasa kesulitan mendapat pacar, hal penting yang harus dilakukan adalah jangan tampak “ngenes” di hadapan perempuan. Jika kalian memang kesulitan mendapat pacar, bertemanlah dengan banyak perempuan. Dan agar mereka tidak salah sangka, tunjukkan itikad bahwa kalian murni ingin berteman, lalu bertemanlah dengan mereka. Semakin asyik kalian dengan teman-teman perempuan, konfirmasi sosial akan terbentuk perlahan-lahan, dan beberapa perempuan akan mulai tertarik, hingga jalan kalian menemukan pacar akan jauh lebih mudah.

Sebaliknya, bagi perempuan, batasi keasyikanmu dengan lelaki jika ingin mudah mendapat pacar. Kalau kau berpikir lelaki akan semakin tertarik kepadamu dengan adanya banyak lelaki di sekelilingmu, kau keliru. Ketika menginginkan pacar, lelaki tidak berpikir seperti perempuan yang membutuhkan konfirmasi sosial. Mereka membutuhkan ketetapan hati dan kepastian pikiran.

Agar mereka tetap dan pasti, kau harus mampu menunjukkan bahwa kau layak dipercaya. Jadi, tunjukkan bahwa kau memang layak dipercaya. Berteman dengan banyak perempuan tidak masalah. Tetapi jika teman lelakimu sangat banyak, itu sama saja menutup pintu bagi lelaki yang ingin menjadikanmu pasangan.

Akhirnya, sebagai penutup, ingat-ingatlah kunci psikologi penting ini: Bagi lelaki, semakin banyak perempuan di sekelilingmu, semakin mudah kau mendapat pacar. Bagi perempuan, semakin banyak lelaki di sekelilingmu, semakin sulit kau mendapat pacar. Jika masih belum percaya, silakan buktikan.

Nasihat Mencari Istri

Orang-orang kuno sering menasihati para lelaki lajang, “Carilah istri yang mau diajak hidup susah.”

Well... kedengarannya menyedihkan sekali. Itu sama artinya menyatakan, “Menikahlah untuk hidup susah.” Kenyataannya, kalau kita mau memperhatikan—benar-benar memperhatikan—kita akan melihat bahwa sebagian besar orang yang menikah memang menjalani hidup susah. Oh, well, jangan tertipu oleh pandanganmu!

Matamu berusaha menipumu, mereka yang telah menikah berusaha menipumu, masyarakatmu berusaha menipumu, bahkan dunia berkonspirasi untuk menipumu.

Sekarang, kalau kau mau mendengar nasihatku, “Carilah istri yang akan membuatmu damai dan tenteram—yang akan menyalakan api cinta abadi di hatimu—sehingga kau bisa bekerja dengan baik dan tenang, agar kalian tidak hidup susah.”

Kalau kau menemukan calon istri seperti itu—dan benar-benar yakin dia memang seperti itu—maka menikahlah. Semoga Tuhan yang Maha Kasih dan Maha Bijaksana memberkati kebahagiaan bagi hidup kalian sepanjang hayat.

Namun, kalau kau tidak—atau belum—menemukan calon istri seperti itu, santai saja, tak perlu buru-buru. Menikah bukan soal berapa usiamu, bukan soal bagaimana pendapat masyarakatmu, juga bukan soal tuntutan keluargamu. Menikah adalah soal pilihan, dan pilihan itu tentu memilih untuk bahagia. Dengan orang yang tepat, dengan visi dan hati yang tepat.

Bagiku, lebih baik sendiri sampai mati tapi bahagia, daripada menikah dan punya istri tapi sengsara.

Masalah Paling Klise di Dunia

Sebelum menikah, stres mencari pasangan.

Setelah menikah, stres menghadapi pasangan.

Jumat, 16 Januari 2015

Niat Baik yang Bermasalah

Bukan boleh tidaknya bersuara yang jadi masalah.
Tapi jika suaramu mengganggu atau memekakkan
telinga orang sebelahmu, itulah masalahnya.
@noffret 


Di sebuah pemukiman, ada masalah yang semula sepele tapi kemudian meresahkan masyarakat. Masalah itu dimulai oleh seorang lelaki—sebut saja namanya Mister X.

Semula, di hari-hari sebelumnya, pemukiman itu bisa dibilang damai, tenang, tanpa masalah. Sampai suatu hari, Mister X mengaji (membaca Al-Qur’an) seusai shalat subuh di masjid. Jadi, setelah shalat subuh berjamaah selesai di masjid, Mister X akan menyiapkan mic untuk dirinya sendiri, kemudian mengaji sekitar setengah jam sampai satu jam, dan suaranya dikeraskan oleh TOA masjid hingga terdengar kemana-mana.

Mungkin Mister X berniat baik—ia bermaksud ibadah, sekaligus memperdengarkan ayat-ayat suci kepada masyarakat yang tinggal di pemukimannya. Kenyataannya, pemukiman itu memang dihuni masyarakat muslim. Yang menjadi masalah, ternyata tidak semua masyarakat yang tinggal di pemukiman itu senang.

Beno (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu penghuni pemukiman yang terganggu akibat suara Mister X. Dia bekerja sebagai satpam di sebuah bank yang biasa jaga malam. Ia pulang ke rumah seusai subuh, dan biasanya akan tidur, beristirahat, lalu bangun siang hari, dengan tujuan bisa bekerja kembali dengan baik, dengan tubuh yang segar. Tetapi, sejak Mister X mengaji setiap habis subuh, Beno sulit istirahat, tidak bisa tidur, karena suara Mister X mengganggunya.

Reni (juga bukan nama sebenarnya) adalah siswa sekolah yang rajin belajar, dan termasuk murid berprestasi. Dia kebanggaan orangtua dan sekolahnya. Tetapi, sebagaimana Beno, Reni juga bermasalah dengan suara Mister X. Dia biasa belajar setelah shalat subuh di rumahnya, dan kini tidak bisa lagi belajar seperti biasa akibat konsentrasinya buyar gara-gara suara Mister X yang masuk ke rumahnya setiap pagi.

Selain Beno dan Reni, ada banyak orang di pemukiman itu yang juga tidak senang dengan suara Mister X setiap pagi, karena dianggap mengganggu. Ada ibu yang jengkel, karena bayinya selalu terbangun dan menangis setiap kali suara Mister X mulai terdengar dari TOA masjid, padahal si bayi baru saja tidur. Ada orang-orang yang biasa menikmati pagi yang hening dan tenang kini terganggu, dan lain-lain, dan lain-lain.

Sebenarnya, masyarakat tidak mempersoalkan kalau Mister X mau mengaji—selama apa pun, di mana pun, dan di waktu kapan pun. Mereka tentu akan membiarkan Mister X membaca Al-Qur’an, karena itu termasuk ibadah. Yang dipersoalkan masyarakat adalah suaranya. Suara Mister X yang dikeraskan TOA masjid memasuki rumah-rumah yang biasanya tenang dan hening, mengganggu orang-orang yang biasa beraktivitas di pagi hari, dari yang mau belajar sampai yang mau istirahat.

Susahnya, ketika harus berurusan dengan hal-hal semacam itu, masyarakat merasa segan jika harus ribut. Mereka merasa serba salah jika akan menegur Mister X dan memintanya agar tidak mengeraskan suaranya setiap pagi. Masih banyak orang yang merasa “pekewuh” (tidak enak hati) jika ingin menegur orang lain apabila berhubungan dengan agama, atau hal-hal yang berkaitan dengan agama. Seperti dalam kasus Mister X. Masyarakat di pemukiman itu pun hanya bisa resah, tapi memilih diam.

Mister X tentu tidak bermaksud buruk, dia pasti berniat ibadah, dan berpikir yang dilakukannya adalah hal baik. Tetapi dia mungkin tidak sempat berpikir lebih panjang, dan tidak memperhitungkan apakah masyarakat akan senang dengan yang dilakukannya, atau sebaliknya.

Kadang-kadang, niat baik justru menimbulkan keresahan bahkan masalah, akibat dilakukan tanpa pertimbangan matang dan pemikiran bijaksana. Beribadah tentu hal baik, dan membaca Al-Qur’an adalah aktivitas terpuji. Tapi mengeraskan suara melalui TOA hingga mengganggu orang-orang lain tentu bukan hal baik. Sayangnya, hal itu mungkin tidak terpikir oleh Mister X. Akibatnya, setiap habis subuh, dia terus saja menyiapkan mic untuk mengeraskan suaranya, hingga didengar masyarakat di pemukimannya.

Yang membuat masyarakat merasa segan untuk menegur Mister X, karena mereka tidak bisa memastikan bagaimana reaksi Mister X. Jika Mister X seorang salih dalam arti sebenarnya, dia tentu akan memahami permintaan masyarakatnya, dan dengan sepenuh pemakluman akan melirihkan suara agar ibadahnya tidak mengganggu orang lain. Tetapi bagaimana kalau tidak...?

Bagaimana kalau Mister X menjawab, misalnya, “Aku beribadah di masjid, di rumah Tuhan. Aku beribadah untuk Tuhan, bukan untuk kalian. Kalau Tuhan saja tidak ribut, kenapa kalian malah ribut?”

Jika Mister X menjawab seperti itu, yang timbul kemudian tentu masalah. Yang menjadi masalah, akar masalahnya adalah urusan ibadah. Karenanya, masyarakat pun merasa dilema. Orang sering kali sangat sensitif jika berhubungan dengan agama, dan mereka cukup memahami hal itu, sehingga lebih memilih diam, meski sebagian mereka diam-diam juga memendam kejengkelan.

Sekali lagi, Mister X tentu bermaksud baik, berniat ibadah, berharap pahala dari Tuhan. Tetapi jika aktivitas ibadahnya juga menimbulkan kejengkelan orang-orang, kira-kira lebih besar mana yang diperolehnya? Pahala Tuhan, ataukah kebencian sesama manusia?

Beberapa orang mungkin bisa saja menyatakan, “Yang buruk menurut manusia, belum tentu buruk menurut Tuhan. Sebagaimana yang baik bagi manusia juga belum tentu baik menurut Tuhan. Aku hanya mengikuti yang baik menurut Tuhan, dan persetan apa kata manusia!”

Tetapi, marilah pikirkan, kita hidup di Bumi bersama manusia lainnya... atau di mana? Karena kita hidup bersama orang lain, bersama manusia lain, maka kita tentu juga harus menghormati hak-hak manusia lain, termasuk dalam menjalankan kewajiban terhadap Tuhan. Karena itulah dalam ajaran agama ada yang disebut hablumminallah (memenuhi hak Tuhan) dan hablumminannas (memenuhi hak manusia).

Ibadah kepada Tuhan—yang artinya memenuhi hak Tuhan—tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak manusia lainnya, sebagaimana memenuhi hak manusia tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak Tuhan. Itulah fungsi sejati agama—keseimbangan, equilibrium—antara kekhusyukan bersama Tuhan, dan kebersamaan saat bergandengan dengan sesama manusia. Antara harapan menuju surga, tanpa melupakan bahwa saat ini kita tinggal di dunia.

Kalau kita sedang asyik menonton televisi, dan ada teman kita yang akan shalat, kita perlu menghormatinya dengan melirihkan suara televisi atau mematikannya sama sekali, agar teman kita bisa khusyuk beribadah. Sebaliknya, jika kita sedang berkumpul bersama teman-teman dan akan menjalankan ibadah shalat, kita tidak bisa seenaknya menggelar sajadah di tengah-tengah mereka sambil menyuruh mereka bubar.

Ada hak Tuhan, juga ada hak manusia. Memenuhi hak Tuhan tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak manusia lain, begitu pun sebaliknya.

Ketika masih hidup dan aktif berceramah, Ustad Zainuddin MZ punya anekdot yang tak bisa saya lupakan. “Ada orang yang suka dengerin ceramah saya di radio,” ujar Ustad Zainuddin, “sebegitu suka, sampai dia selalu menyetel radionya keras-keras setiap kali saya muncul di radio. Akibatnya, tetangga-tetangganya terganggu oleh suara bising radio. Waktu ditegur, orang itu mengatakan, ‘Lhah ini radio, radio gue. Gue setel di rumah gue. Gue dengerin pakai telinga gue. Kenapa lu jadi sewot?’ Si tetangga menjawab, ‘Lhah gue tidur di kamar gue, di rumah gue sendiri. Kenapa suara radio lu masuk ke rumah gue?’

Niat baik harus dilakukan dengan cara yang baik, beribadah kepada Tuhan tidak bisa dilakukan dengan melanggar hak sesama manusia.

Kita tidak bisa merampok bank dengan tujuan untuk menyumbang masjid, sebagaimana kita tidak bisa membangun taman bermain dengan cara merusak mushala. Menyumbang tempat ibadah adalah niat yang baik, tapi merampok bank jelas kejahatan yang merugikan manusia lain. Begitu pun dalam niat ibadah lainnya, seperti membaca kitab suci, berceramah kepada orang lain, memberikan nasihat, atau perbuatan-perbuatan baik lainnya. Niat-niat baik itu harus dilakukan dengan baik—sebegitu baik, hingga tidak ada pihak yang merasa terganggu apalagi terluka.

Seperti Mister X yang membaca Al-Qur’an setiap habis subuh di masjid. Jika dia memang berniat ibadah, dan memaksudkan bacaan kitab sucinya untuk Tuhan semata, maka tentu dia akan menyadari bahwa Tuhan Maha Mendengar. Karena Tuhan Maha Mendengar, maka tentu Mister X bisa memahami bahwa dia tidak perlu mengeraskan suaranya dengan TOA, karena bahkan berbisik lirih pun Tuhan akan mendengar suaranya.

Dan, sekali lagi, itulah sebenarnya fungsi hakiki agama—keseimbangan hidup sebagai manusia. Mengakui kehambaan kepada Tuhan, tanpa mengusik manusia lainnya. Bermesraan dengan Tuhan setiap malam, namun bisa bekerja dan tertawa bersama sesama manusia.

Bagi orang bijaksana yang memahami, agama adalah kebenaran yang sunyi.

Mengapa Captain America Tidak Punya Mbakyu?

Beberapa bocah, mungkin, memang ditakdirkan tidak punya mbakyu.

....
....

Tiba-tiba aku sedih.

Lai Membawa Kardus

Jika terjadi pada Lai, membawa kardus adalah absurditas alam semesta yang sulit dipahami. Setidaknya di mata seorang bocah yang pernah melihatnya di masa lalu, ketika bioskop masih memutar film-film pendekar dan video game dingdong masih terkenal. Lai adalah pendekar, dan dia memakai gelang rantai—entah emas entah bukan. Tapi Lai tidak membawa kardus—setidaknya, di masa itu, ketika bioskop masih memutar film-film pendekar, dan dingdong masih menjadi permainan mengasyikkan.

Tapi Lai membawa kardus, suatu hari, bertahun kemudian, ketika bocah yang sama telah kehilangan bioskop yang pernah memutar film-film pendekar, dan dingdong tinggal hikayat. Lai mungkin masih pendekar. Mungkin pula dalam kisah berbeda. Mungkin dingdong.

Selasa, 13 Januari 2015

Nongkrong di Pinggir Jalan

Kita tak pernah tahu sebesar apa dampak yang ditimbulkan
dari perbuatan kita yang mungkin kecil.
@noffret


Abu Ayub al-Anshari adalah lelaki Madinah yang baik budi, seorang muslim yang memiliki hati seputih salju. Dia hidup pada masa Nabi Muhammad mulai tinggal di Madinah, setelah hijrah dari Mekkah. Pada waktu itu, karena kondisi politik, orang-orang Islam yang tinggal di Mekkah berangsur-angsur pindah ke Madinah, dan lazim disebut Kaum Muhajirin (orang-orang yang berhijrah).

Orang-orang Islam Madinah (disebut kaum Anshar) menyambut orang-orang Islam Mekkah dengan tangan terbuka. Mereka menyediakan rumahnya untuk ditinggali bersama, menyediakan makanan untuk dinikmati bersama, menyediakan lahan untuk diolah bersama. Padahal mereka bukan saudara, bahkan sebelumnya tidak saling kenal. Namun kesamaan keyakinan menjadikan mereka seperti saudara.

Nah, suatu hari, Nabi Muhammad sedang melangkah di suatu jalan, dan tanpa sengaja mendapati Abu Ayub al-Anshari ada di pinggir jalan. Abu Ayub membentangkan tilam tidurnya di sana, dan duduk bersama anak serta istrinya. Wajah-wajah mereka menghadap ke tembok pinggir jalan, jadi punggung mereka membelakangi orang-orang yang lewat. Karenanya, ketika Nabi Muhammad lewat, Abu Ayub beserta keluarganya tidak melihat.

Namun Nabi Muhammad tahu itu Abu Ayub. Maka, dengan heran, sang Nabi pun bertanya, “Abu Ayub, kenapa kau di sini?”

Abu Ayub menoleh, kemudian menghadapkan dirinya pada sang Nabi, dan menjelaskan, “Oh, Rasulullah, ada seorang muhajir datang ke sini (ke Madinah), dan dia tidak punya tempat tinggal. Saya lihat dia akan tinggal di pinggir jalan. Itu tentu tidak baik baginya, dan juga kehinaan bagi kita. Karenanya, saya mempersilakan dia menempati rumah saya, sementara saya bersama keluarga tinggal di sini.”

Nabi Muhammad tahu rumah Abu Ayub sangat sempit, hingga tidak mungkin ditinggali banyak orang. Ketika Nabi Muhammad seperti akan mengatakan sesuatu, Abu Ayub buru-buru berkata, “Saya tidak merasa malu atas hal ini, karena saya telah membantunya. Sebenarnya, ini merupakan kehormatan bagi saya.”

Ketika membaca kisah itu, saya tercenung lama. Mau tidak mau, kita pasti akan tersentuh menyaksikan tulusnya budi Abu Ayub. Namun kisah itu tidak hanya menyiratkan pelajaran mengenai budi pekerti dan penghormatan kepada orang lain (khususnya kepada tamu), namun juga menyimpan beberapa hal penting lain yang mungkin tidak sempat kita pikirkan.

Ketika Nabi Muhammad tak sengaja mendapati Abu Ayub dan keluarganya di pinggir jalan, posisi Abu Ayub dan anak istrinya menghadap tembok, dengan punggung menghadap ke jalan. Kemudian, Abu Ayub juga menyatakan, “Saya tidak merasa malu atas hal ini, karena saya telah membantunya.” Kenyataan itu menyimpan pelajaran sangat penting, khususnya mengenai nongkrong di pinggir jalan.

Di masa sekarang, nongkrong di pinggir jalan bisa dibilang hal yang umum—di mana pun, kapan pun, orang biasa nongkrong di pinggir jalan. Tidak hanya para remaja atau anak-anak muda, bahkan orang-orang tua pun tampaknya suka nongkrong di pinggir jalan. Jika tidak terang-terangan di pinggir jalan semacam trotoar jalan raya, mereka suka duduk-duduk di depan rumah, sehingga juga sama di pinggir jalan kampung. Itu juga termasuk nongkrong di pinggir jalan.

Banyak orang menyukai nongkrong di pinggir jalan, karena mungkin terasa asyik. Bercakap-cakap sambil memandangi orang-orang yang lewat, lalu saling melempar komentar, dan lain-lain. Mereka pun tidak merasa bersalah menikmati acara semacam itu, karena nongkrong di pinggir jalan tampak tidak merugikan siapa pun, dan kenyataannya mereka memang tidak melakukan kejahatan apa pun, selain hanya duduk-duduk di pinggir jalan.

Tapi pernahkah kita memikirkan perasaan orang-orang yang lewat? Pernahkah kita merenungkan bahwa bisa jadi orang-orang yang lewat di depan kita merasa tidak nyaman karena kita nongkrong di pinggir jalan?

Dulu saya tidak sempat memikirkan hal itu, hingga kadang asyik nongkrong bersama teman-teman, dan memandangi orang-orang yang lewat. Toh kami tidak melakukan hal-hal jahat atau merugikan siapa pun. Tapi kemudian saya mulai menyadari ketika saya sendiri merasa risih saat harus lewat di suatu jalan, sementara di pinggir jalan tersebut terdapat orang-orang yang sedang nongkrong.

Suatu hari, ada teman yang datang ke rumah. Kami pun mengobrol cukup lama di dalam rumah, sampai kemudian teman saya pamit. Saya mengantarkannya sampai pintu halaman, untuk melepas kepergiannya. Di depan pintu, teman saya sudah menaiki motornya, namun kami masih bercakap-cakap. Jadi, posisi saya berdiri di pintu halaman, sementara teman saya duduk di sepeda motornya yang kini menempati badan jalan.

Pada waktu itu, saya sempat melihat seorang tetangga sedang melangkah di jalan, menuju ke arah kami. Namun, saat jaraknya cukup dekat dengan kami, dia berbalik, tidak jadi meneruskan langkahnya. Tetangga itu mengenal saya, dan kami biasa saling sapa dengan ramah. Jadi, ketika melihatnya berbalik arah, saya tidak sempat berpikir macam-macam.

Sampai kemudian teman saya pergi. Saya berbalik ke arah rumah, kemudian masuk ke dalam. Saat akan menutup jendela, tanpa sengaja saya mendapati tetangga tadi melewati depan rumah saya. Melihat saya di belakang jendela, dia menoleh, dan kami pun saling sapa dengan ramah seperti biasa.

Saat itulah saya mulai menyadari sesuatu. Kenapa dia tadi berbalik saat mendapati saya sedang bercakap-cakap dengan teman di depan rumah? Mungkin ada banyak jawaban dan kemungkinan. Namun, satu-satunya hal yang saya pikirkan adalah dia tidak nyaman jika harus melewati kami. Meski posisi saya dan teman tadi tidak menutupi atau menghalangi jalan, namun bisa jadi keberadaan kami di sana membuat orang lain merasa tidak nyaman saat akan lewat, karena harus melewati kami.

Apakah saya terlalu berlebihan? Sepertinya tidak, karena saya sendiri pun sering merasa seperti itu. Jujur saja, saya sering merasa risih atau tidak nyaman saat akan melewati suatu jalan, sementara di pinggirnya ada beberapa orang yang sedang nongkrong dan bercakap-cakap. Perasaan tidak nyaman itu akan lebih terasa jika terjadi di komplek tempat tinggal saya sendiri. Artinya, orang-orang yang sedang nongkrong di pinggir jalan itu para tetangga yang mungkin saya kenal, atau yang mungkin mengenal saya.

Tentu saja saya tidak terlalu mempersoalkannya. Biasanya, saya tetap melewati jalan tersebut, dan menyapa ramah orang-orang yang sedang nongkrong di sana, atau menganggukkan kepala dengan hormat kalau itu orang-orang tua. Kenyataannya toh mereka juga membalas sapaan saya dengan sikap yang sama. Namun, bagaimana pun, saya merasa lebih nyaman jika melewati jalan tanpa ada orang-orang yang sedang nongkrong di pinggirnya.

Ini soal adab. Lebih khusus adab kepada sesama manusia. Sikap menghormati orang lain tidak sebatas memperlakukan orang lain dengan ramah dan hormat, namun juga dengan beradab. Artinya, sebelum melakukan sesuatu, kita perlu memikirkan apakah yang akan kita lakukan berdampak pada orang lain atau tidak. Dengan kata lain, apakah yang akan kita lakukan bisa mengganggu orang lain atau tidak.

Seperti nongkrong di pinggir jalan. Sekilas, itu perbuatan biasa, karena umum dilakukan di mana-mana. Bahkan, bagi beberapa orang, nongkrong di pinggir jalan biasanya dijadikan sarana beramah-tamah dengan orang lain yang kebetulan juga sedang nongkrong. Tetapi apakah aktivitas itu benar-benar tidak mengganggu orang lain, khususnya orang-orang yang lewat?

Jika kita duduk-duduk di teras rumah, yang jaraknya tidak berdekatan dengan jalan yang biasa dilewati umum, tentu aktivitas itu tidak disebut “nongkrong di pinggir jalan”. Namun, jika teras rumah kita sangat dekat dengan jalan, dan kemudian kita duduk di depan rumah yang langsung berbatasan dengan jalan yang dilewati umum, maka itu termasuk nongkrong di pinggir jalan.

Di perkampungan-perkampungan yang padat, sering kali bangunan rumah sangat dekat dengan jalan umum. Akibatnya, meski orang sebenarnya duduk-duduk di depan atau di teras rumahnya sendiri, namun aktivitas itu tampak seperti nongkrong di pinggir jalan, akibat dekatnya teras rumah mereka dengan jalan umum. Pertanyaannya, sekali lagi, apakah hal itu mengganggu orang lain atau tidak?

Tentu saja masing-masing orang bisa mengajukan argumen, “Saya duduk di teras rumah sendiri, tidak mengganggu orang lain yang lewat. Kenapa harus dipersoalkan?” Tetapi, para tetangga kita yang akan lewat di sana juga mungkin bisa mengajukan argumentasi tak jauh beda, “Saya lewat di jalan umum, dan tentu saya punya hak untuk merasa nyaman. Kenapa kalian nongkrong di pinggir jalan hingga membuat saya tidak nyaman?”

Ketika Abu Ayub al-Anshari dan anak serta istrinya terpaksa nongkrong di pinggir jalan, mereka menghadapkan wajahnya ke arah tembok. Karenanya, ketika ada orang-orang yang lewat, mereka tidak bisa melihatnya, karena punggung merekalah yang menghadap jalan. Bisa melihat pelajaran tersembunyi dari hal itu?

Abu Ayub adalah lelaki berhati lembut. Dia tidak ingin orang lain sampai terganggu atau merasa tidak nyaman gara-gara keberadaannya di pinggir jalan. Karenanya, dia pun sengaja menghadapkan wajahnya ke arah tembok dan membelakangi jalanan, sehingga orang-orang yang lewat tidak perlu repot-repot menyapa atau semacamnya. Dan kepada Nabi Muhammad, Abu Ayub mengatakan, “Saya tidak merasa malu atas hal ini, karena saya telah membantunya.”

Sekali lagi, bisa melihat pelajaran tersembunyi di dalamnya? Orang-orang berbudi di Madinah berabad-abad yang lalu telah menganggap duduk di pinggir jalan sebagai perbuatan tidak baik. Karenanya, Abu Ayub pun melakukan hal itu—nongkrong di pinggir jalan—sebagai perbuatan yang terpaksa, karena menolong orang lain yang tinggal di rumahnya. Nongkrong di pinggir jalan, bagi masyarakat beradab Madinah, adalah perbuatan memalukan, sehingga Abu Ayub merasa perlu menegaskan pada sang Nabi, bahwa, “Saya tidak merasa malu atas hal ini, karena saya telah membantunya.”

Nongkrong di pinggir jalan tentu saja hak setiap orang. Namun, jika tidak karena sangat terpaksa, sebaiknya nongkronglah di teras rumah, atau mengobrollah di dalam rumah. Itu jauh lebih baik, lebih terhormat, dan lebih beradab. Tidak hanya bagi diri sendiri, namun juga bagi orang lain.

Noffret’s Note: Surga

Dalam bayanganku, surga adalah tempat yang hening.
—Twitter, 10 Juli 2014

Parameterku tentang kebahagiaan sangat sederhana. Selama
aku bisa menjalani hidup tanpa masalah, aku sudah bahagia.
—Twitter, 21 Agustus 2014

Aku menjalani hidup sebagai bocah.
Surga dan kedamaianku ada di rumah.
Dan duniaku berputar nyaris tanpa masalah.
—Twitter, 21 Agustus 2014

Dunia yang kita tinggali mungkin akan jauh lebih ramah,
kalau saja orang-orang bisa nyaman dan betah tinggal di rumah.
—Twitter, 21 Agustus 2014

Beberapa orang membangun rumahnya semegah istana,
seindah surga. Tapi siang ditinggal kerja,
malam ditinggal tidur. Apa gunanya?
—Twitter, 21 Agustus 2014

Bagi bocah sepertiku, tidak ada yang lebih nyaman
selain kehangatan rumah. Bertahun-tahun sendirian
di dalamnya pun aku selalu betah.
—Twitter, 21 Agustus 2014

Separuh masalah dan persoalan umat manusia akan selesai,
jika separuh penghuni planet ini menganggap
rumahnya sebagai tempat yang damai.
—Twitter, 21 Agustus 2014

Kedamaian dunia dimulai di rumah.
Sayangnya, begitu pula banyaknya masalah dunia.
—Twitter, 21 Agustus 2014

Separuh masalah dunia, tampaknya, dimulai orang-orang yang
membenci rumahnya. Mereka mengambil api neraka rumahnya
untuk membakar dunia.
—Twitter, 21 Agustus 2014

Separuh kedamaian dunia dibangun orang-orang yang
mencintai rumahnya. Mereka mengambil embun surga rumahnya
untuk menyejukkan dunia.
—Twitter, 21 Agustus 2014

Ironi manusia yang tak pernah berhenti:
Bekerja keras siang malam demi bisa membangun rumah
yang membuat tinggi hati, lalu ditinggal mati.
—Twitter, 21 Agustus 2014

Aku tidak pernah tahu seperti apa wujud surga.
Tapi bisa merasakan kedamaian dan ketenteraman
tinggal di rumah, itulah surga.
—Twitter, 21 Agustus 2014

Aku seorang bocah. Surgaku ada di rumah.
—Twitter, 21 Agustus 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Tesis (Tidak) Ilmiah Tentang Apeu

“Apeu” adalah kata bertuah. Jika diucapkan orang yang tepat, efeknya bisa bikin gemes.

....
....

Euh.

Jumat, 09 Januari 2015

Kembali Menjadi Manusia

Di dunia tempat manusia memuja hiruk-pikuk penuh bising,
selalu ada malaikat yang bekerja dalam hening.
@noffret


Cak Nun marah-marah di depan para mahasiswa. Ceritanya, Emha Ainun Nadjib—yang biasa disapa Cak Nun—diundang berbicara di sebuah kampus di Yogya. Di depan para dosen dan mahasiswa kampus itu, ia berbicara dengan bahasa yang akrab, mengalir dan mudah dipahami, sekaligus lucu. Berkali-kali audiens tertawa cekikikan saat menikmati ceramahnya. Ia menjelaskan dan menguraikan banyak hal, khususnya yang berhubungan dengan sosial, budaya, dan agama.

Di satu bagian ceramahnya, Cak Nun menceritakan kisah masa mudanya, ketika ia pergi dari rumah orangtua untuk menyepi dan bertafakur. Hal itu ia lakukan sampai cukup lama. Selama bertafakur, Cak Nun bisa dibilang menjauhi segala kenikmatan duniawi, bahkan selama dua tahun dia hanya makan tiwul (makanan yang dibuat dari ketela pohon atau singkong).

Ketika ceramah selesai dan sesi tanya jawab dibuka, seorang mahasiswa bertanya, apa motivasi Cak Nun menyepi dan bertafakur sebagaimana yang tadi diceritakannya. Di luar dugaan semua orang, Cak Nun marah mendapat pertanyaan itu.

Sambil marah pula, Cak Nun menjelaskan bahwa dia bertafakur di masa mudanya bukan karena motivasi apa pun, tapi karena memang ingin melakukannya. Dan kemarahan itu bahkan berlangsung cukup lama, selama menjelaskan bahwa dia bertafakur bukan karena mengharapkan sesuatu, bukan karena menginginkan apa pun, tetapi semata karena ingin melakukannya. Dengan nada marah ia menyatakan, “Urip kok motivasiiiii bae! Urip kok pamriiiiiih bae!” (“Hidup kok cuma motivasi! Hidup kok cuma pamrih!”)

Saya memahami kemarahan Cak Nun dilatarbelakangi karena kemuakannya terhadap gaya hidup orang modern yang segala sesuatunya dilandasi pamrih atau motivasi tertentu. Sebegitu akrab dengan pamrih, hingga kita di zaman ini sering tidak bisa memahami orang-orang yang melakukan sesuatu karena keikhlasan semata, karena memang ingin melakukannya, dan tidak bertendensi apa pun.

Kita terlalu akrab dengan pamrih, dengan motivasi di balik perbuatan yang kita lakukan, hingga tanpa sadar kita mulai asing dengan keikhlasan. Pernahkah kita menyadari kenyataan mengerikan itu? Kita telah menjadi semacam rayap yang menggerogoti kemanusiaan kita sendiri, hingga perlahan-lahan kita kehilangan nurani dan nilai kemanusiaan yang kita miliki. Kita mau melakukan sesuatu jika melihat keuntungan yang bisa diperoleh, dan menolak atau enggan melakukan jika tidak ada imbalan. Kita sedang merendahkan kemanusiaan kita sendiri.

Kita percaya kepada Tuhan, mau beribadah sebagaimana perintah-Nya, tetapi diam-diam kita menyembunyikan motivasi untuk masuk surga atau terhindar dari neraka. Kita tidak beribadah karena memang ingin melakukannya sebagai bukti kehambaan dan kemanusiaan, melainkan karena motivasi dan pamrih surga-neraka. Jika memang begitu yang kita lakukan, akan seperti apakah kita jika surga dan neraka tidak ada?

Penyakit yang menghinggapi banyak orang modern adalah terlalu lekatnya pamrih dan motivasi, sehingga kita tidak bisa melakukan apa pun tanpa pamrih dan tanpa tendensi. Yang mengerikan, kalau kita belum sadar, orang-orang semacam itu sangat mudah dikalahkan dan dihancurkan.

Pikirkan kenyataan ini. Jika seseorang melakukan sesuatu karena motivasi uang, orang itu bisa dikalahkan dengan uang. Sodorkan setumpuk uang untuknya, dan moralnya akan tergadai. Jika seseorang mengerjakan sesuatu karena pamrih jabatan, dia pun akan mudah dihancurkan. Janjikan suatu jabatan kepadanya, dan kemanusiaannya akan terjual. Orang-orang penuh pamrih sangat mudah dikalahkan, bahkan dihancurkan.

Karenanya, orang paling kuat di dunia adalah orang yang melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya. Orang semacam itu tidak bisa dikalahkan, karena dia melakukan sesuatu berdasar keikhlasan semata, tanpa pamrih, tanpa motivasi apa pun. Sodorkan setumpuk uang untuknya, dia tidak akan berubah. Janjikan jabatan kepadanya, dia tetap bergeming. Dia akan terus melakukan sesuatu yang memang ingin dilakukannya, tak peduli orang lain tahu atau tidak, tak peduli dunia menatap kepadanya atau tidak.

Selain tak bisa dimanipulasi dengan uang, jabatan, atau semacamnya, orang-orang ikhlas semacam itu juga tidak bisa dihalang-halangi, dan tak bisa dihentikan. Jika dia ingin melakukan, dia akan melakukan. Halangi jalannya, dia akan mencari jalan lain. Letakkan batu sandungan, dia akan melompatinya. Orang yang melakukan sesuatu karena ingin melakukan, tidak bisa dihalangi dan tidak bisa dihentikan. Itulah orang paling kuat di dunia, yang melakukan sesuatu dengan keikhlasan, tanpa pamrih, tanpa tendensi.

Dalam rangkaian tweet yang inspiratif, Windy Ariestanty pernah menceritakan perempuan tua yang melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya. (Rangkaian tweet itu sudah saya baca cukup lama, dan saya tuturkan kembali di sini berdasarkan ingatan semata. Mohon maaf kalau ada bagian yang kurang akurat).

Ceritanya—sebagaimana yang ditulis Windy—ada seorang perempuan tua yang biasa menyapu jalan di komplek perumahannya menjelang subuh. Sendirian, tanpa diketahui siapa pun, dia menyapu dan membersihkan jalanan. Selama waktu-waktu itu, orang-orang di komplek kadang mendengar suara-suara aneh di jalan, tapi mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi di depan rumah mereka. Yang mereka tahu, setiap pagi, jalanan komplek telah bersih.

Pagi hari, seusai subuh, petugas kebersihan datang ke komplek perumahan itu, untuk mengambil dan mengangkuti sampah. Mereka mendapati sampah-sampah telah ditumpuk dan dikumpulkan rapi, sehingga para petugas tidak perlu repot, dan mereka mengira penduduk komplek itu yang melakukannya.

Jadi, para penduduk mengira para petugas kebersihan yang membersihkan komplek mereka hingga sangat bersih, sementara petugas kebersihan mengira orang-orang di komplek itu sangat rajin membersihkan lingkungannya. Tidak ada yang tahu, seorang perempuan tua melakukan hal itu saat orang-orang lain sedang terlelap—tanpa pamrih, tanpa tendensi, bahkan tanpa ingin diketahui.

Namun, karena penduduk di komplek itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, muncul rumor macam-macam akibat suara-suara aneh yang sering mereka dengar waktu dini hari. Suara-suara aneh itu cukup membuat warga ketakutan, hingga mereka tidak ada yang berani keluar. Sampai kemudian, rumor itu terdengar seorang wartawan, yang lalu berniat menyelidikinya.

Si wartawan mendatangi komplek tersebut, berjaga di suatu tempat tersembunyi, untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di sana. Pada pukul 2 dini hari, sesosok perempuan tua muncul dengan sapu dan gerobak. Ia menyapu dan membersihkan komplek perumahan itu, mengumpulkannya dengan rapi, hingga petugas kebersihan tinggal mengangkutnya saat mereka datang di pagi hari.

Si wartawan pun kemudian memahami bahwa “suara-suara aneh” yang didengar warga setiap dini hari adalah gesekan sapu dan gerobak si perempuan tua, dan rupanya dialah yang selama ini telah membersihkan komplek itu tanpa diketahui siapa pun. Si wartawan berniat menulis kisah itu di korannya. Si perempuan tua mengizinkan, namun dia tidak ingin identitasnya diungkap di koran.

Sekarang, jika kita bertanya kenapa perempuan tua itu mau bangun di tengah malam, lalu menyapu komplek perumahannya hingga bersih, kita tidak akan menemukan jawaban apa pun, selain karena dia memang ingin melakukannya! Dia tidak ingin mendapatkan uang, tidak berharap jabatan atau penghargaan, dia bahkan melakukannya ketika orang-orang lain sedang terlelap, hingga tidak ada yang tahu dialah yang melakukan. Dia hanya melakukan sesuatu yang ingin dilakukannya. Semudah itu, sesederhana itu.

Dan itulah yang disebut manusia. Ketika kebaikan dilakukan semata karena itu baik, tanpa berharap pujian, penghargaan, ataupun pamrih agar terkenal.

Kenapa kita sepertinya tidak bisa menerima konsep sederhana tapi mulia semacam itu...? Kenapa kita harus selalu berpikir apa keuntungan yang kita dapatkan jika melakukan sesuatu? Lebih ironis lagi, mengapa kita selalu curiga pada orang lain yang melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya?

Karena itulah, Cak Nun sampai marah ketika ada mahasiswa yang mempertanyakan apa motivasinya ketika dia menyepi dan bertirakat di masa mudanya. Cak Nun tidak hanya marah karena keikhlasannya dipertanyakan, tetapi juga karena muak menyaksikan generasi abad ini telah begitu berjarak dengan ketulusan, asing dengan keikhlasan. Segalanya dengan pamrih, dengan tendensi—dari berharap imbalan uang, sampai ingin masuk koran dan terkenal.

Kita telah berubah menjadi rayap-rayap yang menggerogoti kemanusiaan kita sendiri. Kita sudah malih rupa menjadi lintah-lintah yang mengisap nurani kita sendiri. Proses itu mungkin berlangsung pelan, diam-diam, tanpa disadari. Tetapi peradaban dan gaya hidup yang kita jalani terus mengubah identitas dan nurani kita, hingga pelan-pelan kita tidak lagi menjadi manusia. Kita mulai asing dengan ketulusan, mulai berjarak dengan keikhlasan, hingga apa pun yang kita lakukan selalu dilandasi pamrih dan tendensi, pamrih dan tendensi, pamrih dan tendensi.

Di tengah-tengah rusaknya Gotham City yang dicengkeram pemerintahan korup dan masyarakat bobrok, seorang milyuner bernama Bruce Wayne mengenakan jubah dan topengnya untuk menjadi Batman. Di belantara New York yang disesaki gedung-gedung tinggi pencakar langit yang individualis dan materialistis, seorang pemuda miskin bernama Peter Parker mengenakan kostum untuk menyembunyikan identitasnya, dan menjadi Spiderman.

Ketika melakukan kebajikan dan perbuatan-perbuatan baik kepada sesama, Bruce Wayne maupun Peter Parker tidak mengharapkan uang atau imbalan, pun tidak ingin masuk televisi agar terkenal, tetapi semata karena ingin melakukannya—menyadari bahwa mereka harus melakukannya. Di mata saya, mereka bukan hanya pahlawan, bukan sekadar superhero. Mereka adalah manusia yang sedang mengingatkan kita untuk kembali menjadi manusia.

Ndongeng Mbakyu

Bocah pertama menceritakan, “Mbakyuku tuh kalau sama cowok-cowok lain, baiiiik banget. Tapi kalau sama aku, jahaaaat banget.”

“Podo koyo mbakyuku!” sahut bocah kedua.

Bocah pertama melanjutkan dengan suara sendu, “Mbakyuku juga cemburuan. Tapi nggak pernah mikir perasaanku.”

“Oh, podo koyo mbakyuku!”

Setelah terdiam sesaat, bocah pertama berkata, “Eh, eh, kamu kan nggak punya mbakyu?”

Bocah kedua pura-pura mati.

Noffret’s Note: Musik

Orkestranya La Valse D’amelie ini kok lama-lama
asyik dinikmati. Bersyukur hari gini masih ada musik gituan.
—Twitter, 1 April 2014

Setiap kali mendengar alunan La Valse D’Amelie, rasanya
seperti ada yang bergetar halus, berdesir lembut, di sini. Di hati.
—Twitter, 28 September 2014

Notasi musik tak pernah bertambah.
Tapi lagu yang bisa digali darinya tak pernah habis.
Selalu ada lagu baru yang dicipta dan dinyanyikan.
—Twitter, 29 Maret 2014

Lagu, dengan lirik dan musik, adalah salah satu
keajaiban yang diciptakan manusia.
—Twitter, 4 Februari 2014

Jangan menilai orang dari penampilannya semata.
Tunggu sampai kau mendengarnya menyanyi.
—Twitter, 4 Februari 2014

Aku bersyukur pernah hidup di zaman ketika lagu-lagu
dicipta dan dinyanyikan penuh keindahan.
Ketika notasi musik dibaca sepenuh hati.
—Twitter, 4 Juni 2014

Lima belas tahun lalu banyak musik buruk yang menyedihkan,
yang tidak ingin kita dengar. Sekarang... jauh lebih banyak.
—Twitter, 4 Juni 2014

Era keemasan musik Indonesia, bagiku,
adalah di masa lalu, ketika lagu masih dicipta
dan dinyanyikan dengan hati.
—Twitter, 4 Juni 2014

Bagi sebagian orang, MTV adalah tuhan.
Bagi sebagian lain, MTV adalah setan. MTV mengubah
keindahan di telinga menjadi pameran di mata.
—Twitter, 4 Juni 2014

MTV adalah awal hancurnya keindahan musik dunia.
MTV membuat Bach dan Beethoven terlupakan,
dan menggantinya dengan bocah-bocah pecicilan.
—Twitter, 4 Juni 2014

Dosa besar MTV adalah mengubah musik
yang seharusnya dinikmati hati dan telinga,
menjadi pameran dangkal yang cuma memanjakan mata.
—Twitter, 4 Juni 2014

Musiknya Pas Band ketika mereka masih indie
jauh lebih hebat dibanding setelah masuk major label.
Dalam industri, idealisme jadi anak tiri.
—Twitter, 8 Maret 2014

Di telingaku, “Regulasi”-nya Pas Band adalah
musik rock Indonesia dengan melodi paling indah
dan membius. Penetrasi suara untuk eargasmic.
—Twitter, 14 Desember 2014

Dengerin “Sublim”-nya Pas Band tuh bikin nangis.
Era ketika Yukie masih sangat asoi, dan Bengbeng
masih tahu cara menggunakan gitar melodi.
—Twitter, 14 Desember 2014

Fakta bahwa visi dan kualitas karya seniman hebat
cenderung terdistorsi ketika masuk industri,
adalah cermin buram masyarakat kita.
—Twitter, 8 Maret 2014

Masyarakat hanya mau mengonsumsi sesuatu
yang sesuai selera mereka. Yang merisaukan,
selera mereka patut dipertanyakan.
—Twitter, 8 Maret 2014

Cara mudah mengetahui suatu musik tergolong hebat
atau menyedihkan: Dengarkanlah dua puluh tahun
sejak musik itu diciptakan.
—Twitter, 4 Juni 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Minggu, 04 Januari 2015

Tidak Semua Orang Ingin Terkenal

Yang paling menyenangkan dalam hidup adalah membiarkan
orang-orang mengenalmu, tanpa harus membuatmu susah
karena dikenali di mana-mana.
@noffret


Adityawarman (bukan nama sebenarnya) adalah lelaki misterius, bagi sebagian orang. Dia sering menulis artikel berisi pemikiran-pemikirannya di media massa, juga menerbitkan beberapa buku. Di luar itu, dia bekerja di lembaga litbang milik suatu organisasi. Yang menjadikannya misterius, dia tidak pernah muncul ke hadapan publik, bahkan fotonya bisa dibilang tidak pernah ada di media mana pun. Padahal namanya populer untuk bidang ilmu yang digelutinya.

Saya mengenalnya secara pribadi. Dia lelaki yang baik, ramah, dan biasa menjalani hidup seperti umumnya orang lain. Di hari Minggu, saat orang-orang di kompleknya bekerja bakti, dia ikut kerja bakti. Di waktu senggang, dia mencabuti rumput-rumput yang tumbuh di depan rumahnya sendiri. Sore hari, sehabis bekerja, dia kadang duduk merokok di teras rumah, membalas sapaan ramah para tetangga yang kebetulan lewat. Pendeknya, dia lelaki biasa, seperti umumnya orang kebanyakan.

Suatu hari, seorang teman yang bekerja sebagai wartawan ingin menemuinya. Dia ditugaskan korannya untuk mewawancarai Adityawarman, lengkap dengan foto profil. Si wartawan telah mencoba mendatangi tempat kerja Adityawarman, namun dia diusir oleh sekuriti yang menjaga di sana. Berkali-kali dia mencoba, berkali-kali dia gagal. Kemudian, dia tahu kalau saya mengenal Adityawarman secara pribadi. Jadi dia menemui saya, dengan harapan saya mau menemaninya ke rumah Adityawarman langsung untuk mewawancarainya.

Sebagai teman, saya menemani wartawan itu berkunjung ke rumah Adityawarman, suatu malam. Adityawarman menerima kami dengan ramah, bahkan dia sendiri yang membuat dan mengantarkan minuman untuk kami. Setelah itu, dengan keramahan seorang tuan rumah, Adityawarman bercakap-cakap dengan kami, dengan senyum dan tawanya yang menyenangkan—khas orang kebanyakan.

Setelah cukup mengobrol basa-basi, si wartawan menyatakan tujuannya, bahwa dia ditugaskan korannya untuk mewawancarai Adityawarman, plus mendapatkan foto profil. Dengan suara datar, Adityawarman berkata, “Aku senang berteman dengan siapa pun, termasuk dengan wartawan, sepertimu. Tetapi, aku benar-benar tidak ingin, dan tidak berminat, masuk ke koranmu atau koran mana pun. Aku ingin menjalani kehidupan pribadiku seperti sekarang ini—menjadi orang biasa—dan aku tidak akan membiarkan siapa pun mengusiknya.”

Sebenarnya, saya sudah tahu hasilnya akan seperti itu. Dari dulu, Adityawarman memang tidak pernah mau diwawancarai koran, majalah, televisi, atau media apa pun. Dia tidak menyukai publisitas, khususnya menyangkut pribadi. Kenyataan itulah yang menjadikan sosoknya terkesan misterius bagi sebagian orang. Padahal, bagi orang-orang yang mengenalnya, dia sama sekali tidak misterius. Dia hanya orang biasa yang ingin tetap menjalani kehidupan sebagai orang biasa.  

“Popularitas itu candu,” kata Adityawarman suatu kali. “Sekali kau mendapat popularitas, kau tidak akan bisa melepasnya lagi, bahkan ingin terus menambah dosisnya.”

Saya setuju dengan tesis itu. Jika kita mau memperhatikan, jutaan orang di sekeliling kita melakukan segala upaya demi bisa terkenal. Di dunia maya, misalnya, mereka mengumbar kehidupan dan kesehariannya, memamerkan foto-foto dan aktivitasnya, bahkan sampai ada yang bertingkah konyol dan tak masuk akal demi bisa terkenal. Sementara yang sudah terkenal masih bertingkah aneh-aneh demi mendapat liputan media, disorot kamera, dan agar terus diperbicangkan.

Popularitas itu candu. Sekali kau mendapatkannya, kau tidak akan bisa melepasnya, bahkan ingin terus menambah dosisnya. Dalam keadaan “sakaw”, orang rela melakukan apa pun demi mengatasi kecanduannya, demi bisa terus populer.

....
....

Sejak zaman kuliah, saya sering diundang berbicara di berbagai kampus, di berbagai tempat. Saya menikmati aktivitas itu. Saat-saat “mengamuk” di mimbar atau di podium adalah saat-saat yang menyenangkan, ketika saya mampu mengekspresikan seluruh diri, hati, dan pikiran-pikiran saya, sementara orang-orang mendengarkan dengan khusyuk. Ketika berbicara di depan umum seperti itu, saya benar-benar berenergi, hingga mampu berbicara berjam-jam tanpa lelah. Saya menikmati, dan orang-orang menikmati.

Sampai kemudian, pada 2007, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari aktivitas tersebut, dan sejak itu saya tidak pernah mau menerima undangan berbicara di mana pun, dengan alasan apa pun. Saya juga menolak undangan untuk tampil di depan publik, misal untuk bedah buku, menjadi panelis, menghadiri acara tertentu, atau semacamnya. Pendeknya, saya benar-benar mengundurkan diri.

Mengapa...?

Pada waktu itu, ekspansi internet semakin kuat, dan hasrat pamer telah mulai menggejala di mana-mana. Orang-orang aktif di Friendster, blog, atau lainnya, dan mereka mengunggah apa pun yang bisa diunggah. Saya menyadari, cepat atau lambat saya akan “terseret” masuk ke dalam hiruk pikuk era digital, zaman internet. Dan jika memang terseret masuk, maka saya harus benar-benar memegang kendali. Saya harus dapat mengendalikan mana yang bisa diunggah dan mana yang tidak, khususnya yang menyangkut diri saya.

Paham yang saya maksudkan? Jika saya masih aktif sebagai pembicara yang biasa tampil di hadapan publik, maka orang akan mudah membuat foto-foto saya, dan mereka tentu berhak mengunggahnya di media mana pun. Semakin sering saya muncul ke hadapan publik, semakin mudah saya dikenali, dan semakin kuat pula ekspos media. Itu yang tidak saya inginkan. Saya ingin tetap menjalani hidup sebagai orang biasa, yang dikenali sebagai orang biasa.

Popularitas adalah candu. Sebelum saya kecanduan, saya lebih memilih untuk tidak mendekatinya sama sekali.

Karena itulah, saya memutuskan untuk mengundurkan diri, dan tidak pernah mau lagi menerima undangan untuk berbicara di mana pun, sampai sekarang. Bahkan undangan berbicara dari kampus saya sendiri pun terpaksa saya tolak.

Ketika akhirnya aktif menulis blog seperti sekarang, saya sengaja tidak mengumbar foto apa pun untuk publik, dengan alasan yang sama. Sebagaimana Adityawarman tidak ingin muncul di media massa karena ingin tetap menjadi orang biasa, begitu pun saya. Masing-masing orang memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Ada yang ingin terkenal, ada pula yang tidak. Jika kalian tidak heran melihat orang-orang yang ingin terkenal, kenapa kalian harus heran saat mendapati orang-orang yang tak ingin dikenal?

Anita (bukan nama sebenarnya) adalah penulis novel laris. Sejak awal, dia mengaku, dia hanya ingin menulis—sesuatu yang disukainya. Karenanya, ketika novelnya bestseller, dia hanya menganggapnya sebagai bonus. Tak jauh beda dengan saya, Anita juga menolak untuk tampil di depan publik. Di semua bukunya juga tidak ada foto apa pun. Bukan apa-apa, tetapi semata karena ingin tetap tak dikenal. Dia hanya ingin menulis, bukan ingin terkenal.

Bahkan saat novelnya difilmkan pun, Anita tetap menolak untuk muncul. Pada waktu itu, seperti umumnya penulis lain, Anita juga diburu reporter yang ingin mewawancarai sehubungan novelnya yang akan difilmkan. Tapi Anita tak pernah bersedia. Dia mewanti-wanti penerbitnya untuk tidak memberikan alamat atau nomor ponselnya kepada siapa pun, dan... puji Tuhan, penerbitnya bisa menjaga privasi Anita.

Salah satu “adat” perfilman di Indonesia adalah menggelar syukuran untuk film yang akan dibuat. Novel Anita yang akan difilmkan juga menjalani “ritual” yang sama. Produser menggelar syukuran, dan biasanya pihak-pihak yang terlibat akan datang untuk ikut merayakan—dari penerbit, penulis, kru film, sampai para artis yang akan memerankan. Tetapi, bahkan dalam acara sepenting itu pun, Anita tetap tidak muncul, padahal dia seharusnya menjadi bintang utama.

Jadi, ada beribu-ribu orang yang pernah membaca novel Anita, ada beribu-ribu orang yang telah menonton film yang diadaptasi dari novelnya, tapi beribu-ribu orang itu tidak pernah tahu seperti apa sosok Anita. Satu-satunya profil Anita hanya terdapat pada sebuah majalah kurang terkenal, yang berisi sekilas wawancara dengannya. Belakangan, Anita mengakui, dia mau diwawancarai majalah itu karena si reporter adalah temannya sendiri. “Aku tidak enak jika harus menolak,” dia menceritakan.

Dan seperti apakah sebenarnya sosok Anita?

Saya mengenalnya secara pribadi, dan di mata saya dia perempuan dengan wujud sempurna. Selebihnya, Anita adalah sosok biasa—bukan artis, bukan selebritas, bukan orang terkenal—hanya perempuan biasa seperti umumnya. Memang benar dia sangat cantik—sosok yang sangat layak untuk menjadi santapan kamera—tapi dia tidak menginginkan. Selfie dan pamer tidak termasuk bagian kesibukannya, karena dia memang tak ingin dikenal.

Kadang, ada orang menyangka Anita sosok yang sombong, atau terkesan eksklusif. Padahal tidak seperti itu kenyataannya. Dia memang menutup diri dari publik, semata karena memang tak ingin dikenal. Sebagai pribadi, dia sosok yang ramah dan asyik, tapi dia ingin dikenal sebagai Anita, sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai sosok terkenal atau semacamnya. Dia tidak menyukai publisitas mengenai dirinya.

Pernah, kami keluyuran di Mal Ambassador, kemudian mampir ke kantin mal karena kelaparan. Di kantin, Anita dan saya berdesak-desakan dengan banyak orang yang juga akan makan siang. (Kalian yang tahu kondisi kantin mal itu pasti paham yang saya maksudkan). Hampir bisa dibilang tidak akan ada orang terkenal yang berani makan di sana, karena masing-masing orang saling berdekatan ketika makan.

Karena kami bukan orang terkenal, kami pun enjoy makan di sana, berdampingan dan berhadapan dengan banyak orang yang juga sedang makan siang. Seusai makan, saya ingin merokok. Maka kami pun turun ke tempat parkir, lalu duduk di bangku yang biasa digunakan para sopir menunggu majikannya belanja. Di ruang tunggu yang kebetulan kosong siang itu, saya merokok, sementara Anita duduk dengan santai.

Ketika merokok di ruang tunggu mal itu, saya nyaris tertawa geli. Perempuan yang bersama saya waktu itu adalah sosok yang namanya sangat terkenal, dikagumi banyak orang, yang novelnya dinikmati beribu-ribu pembaca di Indonesia. Tetapi, siang itu, dia duduk menemani saya merokok dengan ekspresi santai, sementara orang-orang berlalu-lalang di sekitar kami tanpa mengenalnya sama sekali.

....
....

Tidak semua orang ingin terkenal. Kenapa kenyataan yang sebenarnya sangat sederhana itu tampak sulit dipahami?

Dunia kita dibangun oleh berbagai hal yang berpasangan. Ada hitam, ada putih. Ada atas, ada bawah. Ada pintar, ada bodoh. Ada kaya, ada miskin. Ada luar, ada dalam. Bahkan ada materi, dan ada antimateri. Karenanya sangat wajar kalau ada orang yang ingin terkenal, dan ada pula orang yang tidak ingin terkenal. Jadi, kenapa kenyataan yang sangat sederhana itu sepertinya sulit dimengerti?

Kita, tampaknya, terlalu terbiasa dengan orang-orang yang ingin terkenal. Sebegitu terbiasa, hingga kita merasa asing saat mendapati ada orang yang sebaliknya. Kita mungkin telah terbiasa dengan orang-orang yang sibuk pamer apa pun dengan heboh. Sebegitu terbiasa, hingga kita sulit menerima ada orang yang memilih untuk menyepi dan menyisih. Kita mungkin terlalu terbiasa dengan aktivitas selfie, unjuk diri, dan hal-hal konyol para selebriti. Sebegitu terbiasa, hingga kita sulit memahami saat ada orang yang justru menjauh dari publikasi.

Sebagian orang ingin terkenal—tidak masalah, itu hak dan pilihan setiap orang. Namun, jangan lupa, sebagian orang yang lain juga memiliki hak yang sama, misalnya memilih untuk tidak dikenal.

Jangan Ada yang Waras di Antara Kita

Jutaan orang melakukan perbuatan sia-sia, dan kalian diam saja.
Tapi ketika ada satu orang khusyuk belajar, kalian ribut.

Jutaan orang ingin menjadi artis, dan kalian diam saja.
Tapi ketika ada satu orang menolak menjadi artis, kalian ribut.

Jutaan orang berupaya ingin terkenal, dan kalian diam saja.
Tapi ketika ada satu orang tidak ingin terkenal, kalian ribut.

Jutaan orang ingin masuk televisi, dan kalian diam saja.
Tapi ketika ada satu orang menjauhi televisi, kalian ribut.

Jutaan orang ingin nampang di koran-koran, dan kalian diam saja.
Tapi ketika ada satu orang tidak mau masuk koran, kalian ribut.

Jutaan orang ingin punya pacar, dan kalian diam saja.
Tapi ketika ada satu orang enjoy sendirian, kalian ribut.

Jutaan orang montang-manting demi bisa kawin, dan kalian diam saja.
Tapi ketika ada satu orang memutuskan untuk melajang, kalian ribut.

Jadi, siapa sebenarnya yang gila di antara kita...?
 

Noffret’s Note: Yang Tampak

Yang tampak sering kali tak sama dengan yang tidak kita lihat.
—Twitter, 13 Mei 2014

Di kedalaman samudera yang paling bergolak,
yang ada hanya hening. Dasar lautan tak pernah terpengaruh
oleh angin dan badai di permukaan.
—Twitter, 13 Mei 2014

Yang tampak sendirian belum tentu kesepian,
seperti yang tertawa paling keras di tengah keramaian
belum tentu memang benar-benar senang.
—Twitter, 13 Mei 2014

Yang datang ke pelukan kita belum tentu milik kita.
Hidup selalu punya cara untuk membukakan mata kesadaran.
Di antaranya dengan kehilangan.
—Twitter, 13 Mei 2014

Yang hilang dari hidup kita kadang tak layak ditangisi,
karena di waktu-waktu kemudian kita mulai melihat
alasan untuk mensyukurinya.
—Twitter, 13 Mei 2014

Yang terlihat paling asyik belum tentu memang
sedang bahagia. Sering kali orang yang kesepian
memang berusaha melarikan diri dari dirinya.
—Twitter, 13 Mei 2014

Yang tampak sombong tidak selamanya angkuh.
Banyak orang menggunakan kesombongan
untuk menutupi kelemahan dirinya, hingga patut dikasihani.
—Twitter, 13 Mei 2014

Yang pura-pura tidak mengenalmu bukan berarti
tidak ingin mengenalmu. Yang biasa terjadi,
orang semacam itu jatuh cinta diam-diam kepadamu.
—Twitter, 13 Mei 2014

Tidak semua yang menjauhimu berarti tidak menyukaimu.
Ada kalanya yang tampak menjauhimu
justru yang paling merindukanmu.
—Twitter, 13 Mei 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 
Kamis, 01 Januari 2015

Ingin Jadi Petani

Dulu, waktu masih remaja, aku pernah bercita-cita
menjadi anak Surya Paloh. Kini, setelah dewasa,
aku bercita-cita menjadi Magneto.
@noffret


Seorang teman berkata, “Beberapa kali aku mendapati tulisan di blogmu, yang menyebutkan kalau kamu ingin menjadi Magneto. Itu serius?”

“Serius, lah,” saya menyahut.

Dia menatap saya—memastikan saya masih waras. “Kamu serius ingin menjadi Magneto?”

“Iya. Memang kenapa kalau aku ingin menjadi Magneto?

“Uhm... ya tidak apa-apa, sih. Cuma aneh saja, ada orang ingin menjadi Magneto.”

“Sebenarnya, cita-cita utamaku bukan menjadi Magneto,” saya mengaku.

“Ya?” dia tertarik. “Jadi, apa cita-citamu yang utama?”

“Aku ingin menjadi petani.”

“Ingin jadi... apa?”

“Petani.”

Sekali lagi dia menatap saya. “Petani...? Kamu ingin jadi petani?”

“Yeah, petani,” saya memastikan. “Apakah itu juga terdengar aneh?”

“Uh... yeah, agak aneh kalau kamu yang mengatakannya. Magneto. Petani. Kenapa kamu tidak punya cita-cita yang agak sedikit normal? Menjadi pilot, misalnya. Atau menjadi insinyur—semacam itulah.”

Saya tersenyum, dan menjawab sok bijak, “Setiap orang punya cita-citanya sendiri.”

“Uhm... iya, sih. Cuma, kalau boleh tahu, kenapa kamu ingin jadi petani?”

“Karena aku membayangkan, petani adalah pekerjaan yang mulia, dan menjadi petani adalah menjalani hidup yang mulia.”

Saya mengambil rokok, menyulutnya, lalu melanjutkan, “Dulu, waktu masih kecil, aku sering membayangkan alangkah indahnya jika bisa menjalani hidup sebagai petani. Aku membayangkan punya tanah atau lahan sendiri—meski tidak luas—dan di tanah itu aku mencangkul, menjadikannya sawah untuk menanam padi. Lalu setiap hari aku berangkat ke sawah untuk mengurusi tanamanku. Di waktu luang, aku bisa memelihara ikan di empang atau kolam kecil di belakang rumah. Hidup sangat indah dalam bayanganku, kalau saja aku bisa menjalaninya seperti itu.”

Teman saya mengangguk-angguk.

Saya mengisap rokok, dan melanjutkan, “Menjadi petani, dalam bayanganku, adalah menjalani hidup nikmat tanpa banyak tekanan. Berdikari—meminjam istilah Bung Karno—itulah petani. Mereka berdiri di atas kaki sendiri. Tidak bergantung pada siapa pun. Maksudku, kalau aku jadi petani, aku tidak akan memusingkan apakah hasil panenku akan terjual atau tidak. Kalau pun tidak terjual, bisa kumakan sendiri bersama keluargaku. Kalau pun terlalu banyak, bisa kubagikan pada tetangga-tetanggaku, sanak saudaraku. Sementara ikan-ikan yang kupelihara di empang bisa kujadikan lauk untuk makan, mungkin dengan tambahan sambal terasi yang nikmat.”

“Kedengarannya sangat indah,” teman saya berkomentar.

“Tentu saja,” saya tersenyum. “Menjalani hidup tanpa banyak tekanan, itulah petani. Dan itulah kehidupan yang, kupikir, sangat indah. Menjadi petani tidak mengharuskanmu punya penampilan mempesona. Menjadi petani tidak mengharuskanmu terkenal atau dikenal banyak orang. Menjadi petani tidak mengharuskanmu mengetahui tren apa yang sedang beredar. Menjadi petani tidak mengharuskanmu sok pintar atau sok intelek. Menjadi petani adalah menjalani hidup dengan mengerjakan tugas kehidupan, tanpa dipusingkan hal lain. Sebuah hidup bersahaja—kehidupan yang paling kuinginkan.”

Teman saya mengangguk-angguk dengan hikmat. “Jadi, kamu ingin menjadi petani.”

“Jadi, aku ingin menjadi petani,” saya menegaskan. “Dalam bayanganku, menjadi petani akan membuat pikiranku damai, tanpa berpikir macam-macam. Sebagai petani, aku tidak butuh kendaraan mahal, karena hidupku ada di sawah. Aku tidak memerlukan rumah mewah, karena yang sederhana pun sudah cukup bagi seorang petani. Yang penting bisa istirahat dengan tenang. Bahkan, jika menjadi petani, aku tidak butuh banyak uang—karena buat apa? Untuk makan sehari-hari, aku bisa mendapatkan dari sawahku sendiri. Bila perutmu kenyang dan kehidupanmu tenang, kamu tidak menginginkan apa pun. Sederhana, memang—itulah petani.”

“Tapi, kalau kamu jadi petani, dunia tidak akan mengenalmu.”

“Persetan.” Saya mengembuskan asap rokok. “Aku tidak pernah menginginkan dunia mengenalku. Kalau kemudian mereka mengenalku, itu urusan mereka.”

Teman saya terdiam sesaat, kemudian bertanya, “Jadi, kenapa kamu tidak jadi petani?”

“Itulah masalahnya. Kita hidup di pusat kota, tempat tanah lebih mahal dibanding emas. Kita yang sekarang—atau setidaknya aku yang sekarang—adalah produk lingkungan dan tempat tinggal. Karena aku tidak bisa menjadi petani akibat ketiadaan tanah yang cukup, aku pun berpikir untuk menjadi lainnya, agar sesuai dengan tempat tinggalku. Untuk menyambung hidup, aku harus menggunakan sesuatu yang kupikir menjadi kemampuan atau keahlianku, agar aku bisa bekerja dan memperoleh nafkah. Jadi, itulah aku yang sekarang.”

“Kamu tidak pernah terpikir untuk pindah ke desa, misalnya, dan mencoba menjalani kehidupan seperti yang kamu inginkan—menjadi petani?”

“Pernah—bahkan sering,” saya mengaku. “Berkali-kali aku membayangkan pindah ke tempat semacam pedesaan atau pegunungan, yang jauh dari hiruk-pikuk kota—tempat tanah-tanah kosong masih luas untuk bisa digunakan bertani—lalu memulai hidup baru sebagai petani seperti cita-citaku dulu. Tetapi, aku telanjur menjalani kehidupan modern seperti sekarang. Mungkin aku bisa meninggalkan kehidupanku, tapi aku masih punya orangtua, yang belum tentu merestui pilihan hidupku. Karenanya, saat ini, aku hanya bisa membayangkan. Membayangkan, suatu hari kelak di masa yang akan datang, saat semuanya memungkinkan, aku benar-benar akan mewujudkan impianku.”

“Menjadi petani?”

“Menjadi petani,” saya mengangguk. “Di masa yang akan datang, mungkin, aku akan pindah ke pedesaan, lalu membeli sebidang tanah untuk kujadikan sawah. Lalu menjalani kehidupan baru sebagai petani. Dengan tempat tinggal yang sederhana, hidup yang sederhana, tanpa macam-macam. Mungkin aku akan membeli kerbau untuk membantu membajak sawah—hanya itu. Saat tak ada kegiatan, mungkin aku bisa duduk santai di saung sambil membaca buku, atau memandangi sawahku yang hijau dengan perasaan syukur... karena telah mencapai cita-citaku.”

“Lalu... bagaimana dengan mbakyu?”

Saya tersenyum. “Apa maksudmu ‘bagaimana dengan mbakyu’?”

“Uhm... maksudku, kalau kamu telah menjadi petani, apakah kamu tetap menginginkan seorang mbakyu?”

“Mungkin—karena punya mbakyu itu penting,” saya menyahut serius, meski sambil tersenyum. “Kelak setelah aku jadi petani, mungkin aku akan menemukan seorang mbakyu yang bersahaja. Yang mungkin tidak modis, tapi bisa memasak dan membuat sambal terasi. Yang mungkin tidak terkenal, tapi ramah dan murah senyum. Yang mungkin sederhana, tapi membuatku tenteram bersamanya. Mbakyu, bagi petani, sama pentingnya seperti mbakyu bagi Batman, Spiderman, Iron Man, atau superhero lain.”

Dia mengangguk dengan hikmat, kemudian berujar, “Kalau dipikir-pikir, cita-citamu sebenarnya sederhana, ya?”

“Sangat sederhana,” saya balas mengangguk. “Kupikir, menjadi petani adalah cita-cita sederhana yang mulia. Yang dibutuhkan hanyalah kecintaan pada yang dikerjakan, dan kesadaran bahwa hidup adalah soal pilihan.”

 
;