Selasa, 13 Januari 2015

Nongkrong di Pinggir Jalan

Kita tak pernah tahu sebesar apa dampak yang ditimbulkan
dari perbuatan kita yang mungkin kecil.
@noffret


Abu Ayub al-Anshari adalah lelaki Madinah yang baik budi, seorang muslim yang memiliki hati seputih salju. Dia hidup pada masa Nabi Muhammad mulai tinggal di Madinah, setelah hijrah dari Mekkah. Pada waktu itu, karena kondisi politik, orang-orang Islam yang tinggal di Mekkah berangsur-angsur pindah ke Madinah, dan lazim disebut Kaum Muhajirin (orang-orang yang berhijrah).

Orang-orang Islam Madinah (disebut kaum Anshar) menyambut orang-orang Islam Mekkah dengan tangan terbuka. Mereka menyediakan rumahnya untuk ditinggali bersama, menyediakan makanan untuk dinikmati bersama, menyediakan lahan untuk diolah bersama. Padahal mereka bukan saudara, bahkan sebelumnya tidak saling kenal. Namun kesamaan keyakinan menjadikan mereka seperti saudara.

Nah, suatu hari, Nabi Muhammad sedang melangkah di suatu jalan, dan tanpa sengaja mendapati Abu Ayub al-Anshari ada di pinggir jalan. Abu Ayub membentangkan tilam tidurnya di sana, dan duduk bersama anak serta istrinya. Wajah-wajah mereka menghadap ke tembok pinggir jalan, jadi punggung mereka membelakangi orang-orang yang lewat. Karenanya, ketika Nabi Muhammad lewat, Abu Ayub beserta keluarganya tidak melihat.

Namun Nabi Muhammad tahu itu Abu Ayub. Maka, dengan heran, sang Nabi pun bertanya, “Abu Ayub, kenapa kau di sini?”

Abu Ayub menoleh, kemudian menghadapkan dirinya pada sang Nabi, dan menjelaskan, “Oh, Rasulullah, ada seorang muhajir datang ke sini (ke Madinah), dan dia tidak punya tempat tinggal. Saya lihat dia akan tinggal di pinggir jalan. Itu tentu tidak baik baginya, dan juga kehinaan bagi kita. Karenanya, saya mempersilakan dia menempati rumah saya, sementara saya bersama keluarga tinggal di sini.”

Nabi Muhammad tahu rumah Abu Ayub sangat sempit, hingga tidak mungkin ditinggali banyak orang. Ketika Nabi Muhammad seperti akan mengatakan sesuatu, Abu Ayub buru-buru berkata, “Saya tidak merasa malu atas hal ini, karena saya telah membantunya. Sebenarnya, ini merupakan kehormatan bagi saya.”

Ketika membaca kisah itu, saya tercenung lama. Mau tidak mau, kita pasti akan tersentuh menyaksikan tulusnya budi Abu Ayub. Namun kisah itu tidak hanya menyiratkan pelajaran mengenai budi pekerti dan penghormatan kepada orang lain (khususnya kepada tamu), namun juga menyimpan beberapa hal penting lain yang mungkin tidak sempat kita pikirkan.

Ketika Nabi Muhammad tak sengaja mendapati Abu Ayub dan keluarganya di pinggir jalan, posisi Abu Ayub dan anak istrinya menghadap tembok, dengan punggung menghadap ke jalan. Kemudian, Abu Ayub juga menyatakan, “Saya tidak merasa malu atas hal ini, karena saya telah membantunya.” Kenyataan itu menyimpan pelajaran sangat penting, khususnya mengenai nongkrong di pinggir jalan.

Di masa sekarang, nongkrong di pinggir jalan bisa dibilang hal yang umum—di mana pun, kapan pun, orang biasa nongkrong di pinggir jalan. Tidak hanya para remaja atau anak-anak muda, bahkan orang-orang tua pun tampaknya suka nongkrong di pinggir jalan. Jika tidak terang-terangan di pinggir jalan semacam trotoar jalan raya, mereka suka duduk-duduk di depan rumah, sehingga juga sama di pinggir jalan kampung. Itu juga termasuk nongkrong di pinggir jalan.

Banyak orang menyukai nongkrong di pinggir jalan, karena mungkin terasa asyik. Bercakap-cakap sambil memandangi orang-orang yang lewat, lalu saling melempar komentar, dan lain-lain. Mereka pun tidak merasa bersalah menikmati acara semacam itu, karena nongkrong di pinggir jalan tampak tidak merugikan siapa pun, dan kenyataannya mereka memang tidak melakukan kejahatan apa pun, selain hanya duduk-duduk di pinggir jalan.

Tapi pernahkah kita memikirkan perasaan orang-orang yang lewat? Pernahkah kita merenungkan bahwa bisa jadi orang-orang yang lewat di depan kita merasa tidak nyaman karena kita nongkrong di pinggir jalan?

Dulu saya tidak sempat memikirkan hal itu, hingga kadang asyik nongkrong bersama teman-teman, dan memandangi orang-orang yang lewat. Toh kami tidak melakukan hal-hal jahat atau merugikan siapa pun. Tapi kemudian saya mulai menyadari ketika saya sendiri merasa risih saat harus lewat di suatu jalan, sementara di pinggir jalan tersebut terdapat orang-orang yang sedang nongkrong.

Suatu hari, ada teman yang datang ke rumah. Kami pun mengobrol cukup lama di dalam rumah, sampai kemudian teman saya pamit. Saya mengantarkannya sampai pintu halaman, untuk melepas kepergiannya. Di depan pintu, teman saya sudah menaiki motornya, namun kami masih bercakap-cakap. Jadi, posisi saya berdiri di pintu halaman, sementara teman saya duduk di sepeda motornya yang kini menempati badan jalan.

Pada waktu itu, saya sempat melihat seorang tetangga sedang melangkah di jalan, menuju ke arah kami. Namun, saat jaraknya cukup dekat dengan kami, dia berbalik, tidak jadi meneruskan langkahnya. Tetangga itu mengenal saya, dan kami biasa saling sapa dengan ramah. Jadi, ketika melihatnya berbalik arah, saya tidak sempat berpikir macam-macam.

Sampai kemudian teman saya pergi. Saya berbalik ke arah rumah, kemudian masuk ke dalam. Saat akan menutup jendela, tanpa sengaja saya mendapati tetangga tadi melewati depan rumah saya. Melihat saya di belakang jendela, dia menoleh, dan kami pun saling sapa dengan ramah seperti biasa.

Saat itulah saya mulai menyadari sesuatu. Kenapa dia tadi berbalik saat mendapati saya sedang bercakap-cakap dengan teman di depan rumah? Mungkin ada banyak jawaban dan kemungkinan. Namun, satu-satunya hal yang saya pikirkan adalah dia tidak nyaman jika harus melewati kami. Meski posisi saya dan teman tadi tidak menutupi atau menghalangi jalan, namun bisa jadi keberadaan kami di sana membuat orang lain merasa tidak nyaman saat akan lewat, karena harus melewati kami.

Apakah saya terlalu berlebihan? Sepertinya tidak, karena saya sendiri pun sering merasa seperti itu. Jujur saja, saya sering merasa risih atau tidak nyaman saat akan melewati suatu jalan, sementara di pinggirnya ada beberapa orang yang sedang nongkrong dan bercakap-cakap. Perasaan tidak nyaman itu akan lebih terasa jika terjadi di komplek tempat tinggal saya sendiri. Artinya, orang-orang yang sedang nongkrong di pinggir jalan itu para tetangga yang mungkin saya kenal, atau yang mungkin mengenal saya.

Tentu saja saya tidak terlalu mempersoalkannya. Biasanya, saya tetap melewati jalan tersebut, dan menyapa ramah orang-orang yang sedang nongkrong di sana, atau menganggukkan kepala dengan hormat kalau itu orang-orang tua. Kenyataannya toh mereka juga membalas sapaan saya dengan sikap yang sama. Namun, bagaimana pun, saya merasa lebih nyaman jika melewati jalan tanpa ada orang-orang yang sedang nongkrong di pinggirnya.

Ini soal adab. Lebih khusus adab kepada sesama manusia. Sikap menghormati orang lain tidak sebatas memperlakukan orang lain dengan ramah dan hormat, namun juga dengan beradab. Artinya, sebelum melakukan sesuatu, kita perlu memikirkan apakah yang akan kita lakukan berdampak pada orang lain atau tidak. Dengan kata lain, apakah yang akan kita lakukan bisa mengganggu orang lain atau tidak.

Seperti nongkrong di pinggir jalan. Sekilas, itu perbuatan biasa, karena umum dilakukan di mana-mana. Bahkan, bagi beberapa orang, nongkrong di pinggir jalan biasanya dijadikan sarana beramah-tamah dengan orang lain yang kebetulan juga sedang nongkrong. Tetapi apakah aktivitas itu benar-benar tidak mengganggu orang lain, khususnya orang-orang yang lewat?

Jika kita duduk-duduk di teras rumah, yang jaraknya tidak berdekatan dengan jalan yang biasa dilewati umum, tentu aktivitas itu tidak disebut “nongkrong di pinggir jalan”. Namun, jika teras rumah kita sangat dekat dengan jalan, dan kemudian kita duduk di depan rumah yang langsung berbatasan dengan jalan yang dilewati umum, maka itu termasuk nongkrong di pinggir jalan.

Di perkampungan-perkampungan yang padat, sering kali bangunan rumah sangat dekat dengan jalan umum. Akibatnya, meski orang sebenarnya duduk-duduk di depan atau di teras rumahnya sendiri, namun aktivitas itu tampak seperti nongkrong di pinggir jalan, akibat dekatnya teras rumah mereka dengan jalan umum. Pertanyaannya, sekali lagi, apakah hal itu mengganggu orang lain atau tidak?

Tentu saja masing-masing orang bisa mengajukan argumen, “Saya duduk di teras rumah sendiri, tidak mengganggu orang lain yang lewat. Kenapa harus dipersoalkan?” Tetapi, para tetangga kita yang akan lewat di sana juga mungkin bisa mengajukan argumentasi tak jauh beda, “Saya lewat di jalan umum, dan tentu saya punya hak untuk merasa nyaman. Kenapa kalian nongkrong di pinggir jalan hingga membuat saya tidak nyaman?”

Ketika Abu Ayub al-Anshari dan anak serta istrinya terpaksa nongkrong di pinggir jalan, mereka menghadapkan wajahnya ke arah tembok. Karenanya, ketika ada orang-orang yang lewat, mereka tidak bisa melihatnya, karena punggung merekalah yang menghadap jalan. Bisa melihat pelajaran tersembunyi dari hal itu?

Abu Ayub adalah lelaki berhati lembut. Dia tidak ingin orang lain sampai terganggu atau merasa tidak nyaman gara-gara keberadaannya di pinggir jalan. Karenanya, dia pun sengaja menghadapkan wajahnya ke arah tembok dan membelakangi jalanan, sehingga orang-orang yang lewat tidak perlu repot-repot menyapa atau semacamnya. Dan kepada Nabi Muhammad, Abu Ayub mengatakan, “Saya tidak merasa malu atas hal ini, karena saya telah membantunya.”

Sekali lagi, bisa melihat pelajaran tersembunyi di dalamnya? Orang-orang berbudi di Madinah berabad-abad yang lalu telah menganggap duduk di pinggir jalan sebagai perbuatan tidak baik. Karenanya, Abu Ayub pun melakukan hal itu—nongkrong di pinggir jalan—sebagai perbuatan yang terpaksa, karena menolong orang lain yang tinggal di rumahnya. Nongkrong di pinggir jalan, bagi masyarakat beradab Madinah, adalah perbuatan memalukan, sehingga Abu Ayub merasa perlu menegaskan pada sang Nabi, bahwa, “Saya tidak merasa malu atas hal ini, karena saya telah membantunya.”

Nongkrong di pinggir jalan tentu saja hak setiap orang. Namun, jika tidak karena sangat terpaksa, sebaiknya nongkronglah di teras rumah, atau mengobrollah di dalam rumah. Itu jauh lebih baik, lebih terhormat, dan lebih beradab. Tidak hanya bagi diri sendiri, namun juga bagi orang lain.

 
;