Selasa, 10 Februari 2015

Kasus JIS: Sebuah Catatan (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Setelah kejadian tindak kekerasan seksual tersebut, lanjut Patra M. Zen, MAK kembali ke sekolah dan menggunakan toilet tersebut berulang-ulang kali, meski sebetulnya ia dapat menggunakan toilet lain. Padahal bila memang ia mengalami trauma akibat sodomi di sekolah, maka ia tidak akan kembali ke sekolah.

Lusiana Christina Siahaan, salah satu guru di JIS, bersaksi di hadapan pengadilan, bahwa sistem pengawasan di JIS sangat ketat, yakni setiap aktivitas siswa selalu dilakukan dalam kontrol penuh dari guru. Apalagi banyak orangtua siswa yang ikut menunggu di sekolah.

Ia mengatakan, “Setiap perubahan pada siswa akan sangat kelihatan, karena guru sangat dekat dengan para siswa. Sementara pada MAK tidak ada yang berubah, dia tetap bermain ceria seperti biasa dan terlihat bugar. Kalau ada hal kecil pun yang terjadi, guru pasti akan mengetahuinya.”

“Bahkan,” Lusiana menambahkan, “setiap 5 menit sekali guru akan mengecek setiap siswa. Sementara disebutkan bahwa proses sodomi yang diduga dilakukan oleh petugas kebersihan berlangsung 15 menit. Mustahil guru tidak tahu dan tidak akan mencari keberadaan MAK, jika si anak tidak terlihat lebih dari 5 menit. Apalagi sodomi itu katanya dilakukan berulang-ulang di lokasi yang sama.”

Jika ditinjau dari matriks peristiwa, tuduhan-tuduhan itu juga membingungkan. Ibu MAK menyatakan anaknya disodomi pada 21 Januari 2014 oleh Virgiawan, Zaenal, Agun, dan Syahrial. Faktanya, berdasar absensi karyawan, pada tanggal tersebut Virgiawan dan Agun tidak masuk kerja. Lalu sodomi katanya kembali terjadi pada 17 Maret 2014 oleh Zaenal, Azwar, dan Syahrial. Faktanya, pada tanggal tersebut Zaenal tidak masuk kerja, dan Azwar ditugaskan di Cilandak.

Tuduhan terjadinya kekerasan seksual yang seharusnya dikroscek dengan jadwal-jadwal kerja itu sayangnya tidak dilakukan, padahal membuktikan bahwa tuduhan tidak sesuai dengan fakta dan bukti yang ada.

Yang lebih aneh, ibu MAK menyatakan bahwa anaknya juga dicabuli oleh Afriska dengan mengatakan, “Afriska memasukkan penisnya ke dalam anus MAK.” Faktanya, Afriska adalah perempuan.

Sekarang, pertanyaan inti dari kasus ini: Benarkah MAK menjadi korban kekerasan seksual (sodomi) sebagaimana yang dinyatakan ibunya?

Di sidang pengadilan, Dokter Ferryal Basbeth dihadirkan sebagai salah satu saksi ahli. Ferryal Basbeth adalah Spesialis Forensik dari Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Universitas YARSI. Dokter Ferryal Basbeth memastikan, berdasarkan fakta medis dan kondisi MAK, sodomi yang dituduhkan itu tidak ada. Dia juga menegaskan, sesuai hasil pemeriksaan rumah sakit, MAK tidak mengalami penyakit menular seksual sebagaimana yang pernah dihebohkan media massa.

Dokter Ferryal menyatakan, dalam setiap pemeriksaan forensik kasus kekerasan seksual, dokter akan mencari adanya bekas memar, luka-luka, lecet, bekas luka gigit, dan tanda-tanda kekerasan lainnya pada tubuh korban. Dari hasil visum dan uji laboratorium yang dilakukan oleh SOS Medika, RSCM, dan RSPI, tanda-tanda kekerasan seksual tersebut tidak ada.

Jika terjadi serangan/kekerasan seksual pada 17 Maret, sebagaimana yang dilaporkan ibu MAK, seharusnya ketika pemeriksaan di SOS Medika tanggal 22 Maret dan RSCM 24 Maret, tanda-tanda kekerasan itu masih ada. Sebab butuh 2 minggu bagi anus untuk dapat sembuh dari kekerasan seksual yang berulang kali dilakukan oleh banyak pelaku. Jika memang peristiwa sodomi itu benar terjadi, maka seharusnya ada sobekan atau bekas lecet, jaringan parut, meregangnya otot pada anus, lebam, dan kemerahan.

Yang menarik, Dokter Ferryal juga menyatakan, dalam banyak kasus pedofil terhadap anak tidak mungkin dilakukan oleh banyak orang. Biasanya dilakukan melalui iming-iming, dan si anak tidak akan mungkin kembali ke tempat kejadian.

Dokter Muhammad Lutfi dari RSPI juga melakukan visum pada tubuh MAK, pada 27 Maret 2014. Sesuai hasil pemeriksaan eksternal terhadap anus MAK, dipastikan bahwa anus MAK normal dan tidak ada tanda-tanda trauma atau cedera masa lalu. Hasil anuscopi yang dilakukan terhadap MAK memang mengidentifikasi adanya abrasi dan nanah. Namun, berdasarkan diagnosis Dokter Lutfi, MAK mengalami proktitis, yaitu peradangan pada lapisan rektum yang disertai rasa sakit dan infeksi.

Patra M. Zen menjelaskan, “Sesuai diagnosis dokter RSPI, darah di anus MAK diakibatkan oleh infeksi protozoa seperti disentri amuba atau giardia. Itu sebabnya resep yang diberikan Dokter Lutfi adalah Flagyl, obat khusus untuk pengidap penyakit akibat bakteri. Obat itu tidak digunakan untuk mengobati penyakit menular seksual seperti Gonorea atau Chlamydia.”

Hal itu ditegaskan oleh ahli dari Rumah Sakit Polri, Dokter Jefferson. Ia mengatakan, nanah yang ada di anus MAK bukan dari pernyakit herpes, melainkan akibat bakteri. Herpes tidak ditimbulkan oleh bakteri, melainkan virus. Sementara bakteri bisa muncul dari makanan dan minuman. Selain itu, ia juga menyangsikan jika MAK telah 13 kali mengalami kekerasan seksual berupa sodomi, sebagaimana yang dinyatakan ibunya. “Jika memang benar korban disodomi sampai 13 kali, pasti sekarang sudah mati,” kata Dokter Jefferson, seperti disampaikan Patra M. Zen.

Pernyataan Dokter Jefferson semakin memperkuat kesaksian Dokter Narrain Punjabi dari SOS Medika, dalam sidang 29 September 2014. Dokter Narrain Punjabi menyebut adanya herpes pada MAK (sebagaimana yang pernah dihebohkan media) kemungkinan akibat salah diagnosa. Sebelumnya, Dokter Narrain telah meminta agar MAK diperiksa kembali untuk memastikan kondisi medisnya, namun permintaan itu tidak diindahkan oleh ibu MAK.  

Chris O’Connor, ahli investigasi anak asal Irlandia, yang juga dilibatkan dalam kasus ini, menyatakan, “Dari pengalaman saya, dan apa yang saya lihat, saya tidak percaya ada kejadian itu (kasus kekerasan seksual di JIS).”

Dalam pengalamannya selama 30 tahun menyelidiki kasus-kasus semacam itu, Chris O’Connor mengaku heran pada kasus di JIS. Terlebih jika berkaitan dengan adanya keterangan dari MAK, 5 tahun, yang disebut menjadi korban kejahatan seksual. “Saya baru menemukan ada kasus seperti ini,” ujarnya. “Satu korban disodomi oleh lima orang dewasa, tapi hasil visum dan alat bukti tak menunjukkan adanya kejadian itu.”

Sementara itu, Psikolog Setyanu Ambarwati menyatakan, “Memang benar, berdasarkan pemeriksaan, MAK mengalami tanda trauma.” Namun, ia menambahkan, kalau memang MAK mengalami trauma akibat kekerasan seksual yang dialaminya, maka tentu dia tidak akan kembali ke tempat yang membuatnya trauma. Kenyataannya, MAK masih kembali ke sekolah.

“Artinya,” ujar Setyanu Ambarwati, “trauma itu terjadi bukan karena sodomi. Bisa jadi korban trauma akibat laporan ibunya ke polisi, harus mengikuti serangkaian pemeriksaan, seperti di rumah sakit, kepolisian, dan juga jadi saksi.”

Natalius Pigai, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), menyatakan, “Ketika hasil medis menemukan fakta tidak ada kekerasan seksual, saat itu juga kasus ini harus berhenti.”

Tetapi, meski tanda dan bukti-bukti pada fisik MAK tidak bisa dibilang meyakinkan, pengadilan tetap memutuskan bahwa para tersangka benar-benar melakukan kejahatan yang dituduhkan. Satu-satunya bukti yang diajukan untuk penuntutan itu adalah keberadaan nanah pada anus MAK, meski dokter yang memeriksanya sudah menyatakan bahwa keberadaan nanah itu akibat bakteri, dan bukan virus herpes.

Patra M. Zen mengatakan, “Semua fakta-fakta medis yang lemah itu kemudian digunakan ibu MAK untuk menyeret para pekerja kebersihan, dan celakanya semua cerita tanpa fakta ini dibenarkan oleh pengadilan.”

Finish-nya, kita tahu, masing-masing pekerja kebersihan yang dituduh terlibat kasus itu dijatuhi hukuman 8 dan 7 tahun penjara, plus denda sebesar Rp. 100 juta.

Itu hukuman yang sangat berat dengan denda yang sangat besar, khususnya karena menimpa orang-orang kecil yang hanya bekerja sebagai petugas kebersihan sekolah. Jika memang mereka terbukti melakukan kejahatan sebagaimana yang dituduhkan, tentu tidak masalah—setiap orang harus menanggung hukuman akibat kesalahannya. Tetapi bagaimana kalau ternyata mereka tidak bersalah?

Berdasarkan bukti-bukti dan kesaksian para ahli yang telah dihadirkan ke persidangan, kasus yang dituduhkan itu sama sekali tidak kuat, penuh keraguan, dan ada kemungkinan kasus itu sebenarnya tidak ada. Untuk hal tersebut, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Chairul Huda, menegaskan di pengadilan, bahwa putusan hukum yang berlaku di Indonesia adalah asas in dubio pro reo. Artinya, jika ada keraguan mengenai kebersalahan seseorang, maka putusan yang diambil adalah membebaskan terdakwa.

Dan apakah kasus itu kemudian selesai? Tidak—belum, karena seiring kasus itu bergulir ke pengadilan, ibu MAK menuntut TK JIS untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 13,5 juta. Pihak JIS menolak tuntutan itu, karena merasa tidak bersalah. Pada waktu itu, semua tersangka yang dijerat kasus tersebut adalah 6 orang petugas kebersihan, yang bisa dibilang tidak di bawah tanggung jawab JIS, karena para petugas itu dibawahi perusahaan lain (ISS).

Tetapi, setelah pihak JIS menolak tuntutan tersebut, ibu MAK tiba-tiba menaikkan jumlah tuntutan menjadi US$ 125 juta, seiring dua guru JIS (Neil Bantleman dan Ferdinan Tjiong) dituduh terlibat dalam kasus sodomi yang terjadi di JIS. Itu jumlah tuntutan ganti rugi yang luar biasa—US$ 125 juta. Kalau dirupiahkan, jumlah itu sekitar 1,4 triliun rupiah.

Lalu polisi menangkap Neil Bantleman dan Ferdinan Tjiong—dua guru JIS—meski keterlibatan keduanya juga diragukan. Di pengadilan, kedua guru JIS itu dituntut dengan kasus yang sama, dengan bukti-bukti yang lama. Di pengadilan juga terungkap betapa janggal dan meragukannya kasus ini.

Lanjut ke sini.

 
;