Sabtu, 14 Februari 2015

Membunuh Diri Sendiri

Kalau dipikir-pikir, segala hal berawal dari mudah,
lalu lama-lama menjadi sulit.
Dan sulit itu, ironisnya, kita bikin sendiri.
@noffret


Bunuh diri tidak hanya dilakukan orang per orang. Kenyataannya, organisasi, perusahaan, usaha atau bisnis, semuanya memiliki potensi yang sama untuk melakukan bunuh diri—meski mungkin tanpa mereka sadari.

Saya cukup sering berhubungan dengan sebuah institusi untuk urusan kerja. Mekanisme kerja kami sangat sederhana. Saya mengirim suatu dokumen untuk mereka, lalu beberapa waktu kemudian mereka menghubungi saya, plus membereskan masalah pembayaran yang ditransfer langsung ke rekening saya. Total waktu yang dibutuhkan hanya sekitar 1,5 bulan, dari sejak saya mengirimkan dokumen sampai tahap mereka mentransfer pembayaran.

Kami telah bekerjasama cukup lama, sehingga saya sudah hafal mekanisme kerja yang biasa kami lakukan. Itu jenis mekanisme kerja yang saya sukai—mudah, tanpa banyak ribut, bahkan tanpa ribet. Asal tahu saja, semua orang yang bekerja dengan otak membutuhkan mekanisme kerja seperti itu—mereka tidak mau buang-buang waktu untuk mengurusi hal-hal sepele, seperti urusan administrasi yang belibet, atau birokrasi yang menjengkelkan.

Sampai kemudian, karena stres berkepanjangan dan kesibukan tertentu, saya cukup lama tidak memasok dokumen apa pun untuk mereka. Sekitar setahun saya tidak lagi berhubungan dengan institusi tersebut. Hingga sekitar sebulan yang lalu, saya bisa kembali menghubungi mereka, dengan dokumen yang baru. Saya mengirimkan dokumen itu dengan cara yang biasa.

Setelah itu, seperti biasa pula, mereka menghubungi saya sehubungan dokumen tersebut. Tetapi kali ini ada yang berbeda. Jika dulu urusannya sangat simpel dan mudah, sekarang agak berbelit. Jika dulu saya hanya berhubungan dengan satu orang, sekarang urusan itu melibatkan cukup banyak orang—khas birokrasi. Orang yang berhubungan dengan saya kali ini juga bukan orang yang dulu.

Setelah cukup lama menunggu, saya bertanya penyelesaian urusan kami. Jawaban yang diberikan, urusan itu sudah dialihkan ke petugas lain, jadi kami harus menunggu petugas tersebut. Yang jadi masalah, “si petugas entah siapa” itu tidak juga muncul untuk membereskan. Lalu ketika “si petugas” itu sudah muncul, urusannya masih belum juga selesai, karena rupanya telah terjadi berbagai perubahan aturan di institusi tersebut.

Dengan heran, saya bertanya mengenai perubahan itu. Saya katakan terus terang, dulu urusannya tidak rumit dan berbelit-belit seperti ini. Kenapa sekarang berubah? Petugas di sana menjawab bahwa mereka memang melakukan pembaruan, sehingga mekanisme kerja di sana juga mengalami perubahan.

Lho kok aneh, pikir saya. Sebuah institusi yang semula menjalankan mekanisme kerja sederhana, kini melakukan pembaruan. Namun, hasilnya bukan menjadi lebih efektif, tapi malah berubah menjadi institusi birokratis dengan urusan berbelit-belit yang menjengkelkan. Itu pembaruan atau proses pembusukan?

Dalam ilmu manajemen, “pembaruan” sering kali merujuk pada “perampingan”. Suatu institusi yang semula “gemuk” karena banyaknya orang atau pekerja yang terlibat “dirampingkan” agar proses kerja lebih mudah, lebih efektif, dan tidak bertele-tele. Itulah pembaruan—suatu upaya merampingkan mekanisme kerja, sehingga menghemat waktu semua pihak yang terlibat, bahkan menekan biaya atau pengeluaran perusahaan.

Jika pembaruan yang dilakukan justru mengubah sesuatu yang semula sederhana menjadi rumit dan berbelit, itu bukan pembaruan. Lebih tepat, mungkin, itu proses pembusukan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia membutuhkan kemudahan. Jika kemudahan yang sudah ada dibuat menjadi sulit dan rumit, itu sama saja melakukan pembusukan diri. Dalam suatu organisasi atau institusi, kemudahan dan kesederhanaan adalah kemewahan. Ironisnya, masih banyak orang yang belum memahami.

Prinsip manajemen kuno menyatakan, semakin rumit dan semakin banyak orang yang terlibat, maka hasilnya akan lebih baik. Akibatnya, proses pekerjaan yang seharusnya bisa ditangani satu orang dikerjakan oleh tiga atau empat orang. Urusan yang sebenarnya bisa ditangani tiga orang dikerjakan enam sampai sembilan orang. Prinsip semacam itu sudah kuno, ketinggalan zaman, bahkan merugikan, karena terlalu banyak membuang sumber daya, waktu, dan biaya.

Tetapi, ironisnya, prinsip kuno semacam itulah yang selama ini masih banyak digunakan lembaga atau institusi. Ada banyak orang yang terlibat mengurusi sesuatu, padahal urusan itu sebenarnya bisa ditangani sedikit orang. Lebih ironis lagi, kadang ada kantor atau institusi yang tampaknya sengaja “mempersulit” urusan dengan lika-liku birokrasi yang menjengkelkan. Dalam urusan perpanjangan STNK, misalnya.

Sampai sekarang, saya malas dan ogah mengurus perpanjangan STNK atau membayar pajak kendaraan. Jika perlu melakukannya, saya menyerahkan urusan itu kepada biro khusus yang biasa menanganinya. Saya lebih suka membayar biro itu untuk mengerjakan hal tersebut, daripada datang ke kantor samsat dan berurusan dengan birokrasi yang bertele-tele.

Dulu, saya pernah mengurus sendiri perpanjangan STNK plus pembayaran pajak kendaraan, dan seperti inilah yang saya alami.

Mula-mula, saya harus menyerahkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan di Loket 1. Setelah menunggu beberapa saat, petugas di Loket 1 akan mengembalikan dokumen-dokumen itu, lalu saya harus berhubungan dengan petugas lain di Loket 2. Dari Loket 2, saya harus pergi lagi ke Loket 3, kemudian menyelesaikan urusan di Loket 4. Yang menjadi masalah, di masing-masing loket itu harus antre, karena banyak orang yang mengurus hal serupa, jadi kami benar-benar membuang banyak waktu serta tenaga.

Hanya untuk mengurus satu hal, ada empat orang/petugas di empat loket berbeda yang harus ditemui, dengan proses yang cukup lama. Itu melelahkan, sekaligus menjengkelkan. Itu bahkan belum sampai pada urusan penggantian plat nomor kendaraan. Jika kebetulan harus mengganti plat, urusannya lebih panjang lagi.

Selama antre dalam pengurusan di masing-masing loket, saya tidak habis pikir kenapa mekanismenya harus dibuat rumit dan bertele-tele seperti itu. Masing-masing orang yang perlu mengurus perpanjangan STNK dan membayar pajak kendaraan harus berhubungan dengan empat orang di empat loket, dan semua orang itu harus antre, bahkan kadang berdesak-desakan. Kenapa tidak dibuat lebih mudah?

Bagaimana caranya? Sangat gampang!

Agar urusan itu menjadi lebih mudah dan lebih efektif, buat saja sistem satu loket. Letakkan beberapa petugas di sana. Ketika orang-orang datang dan perlu memperpanjang STNK atau membayar pajak, mereka tinggal menuju ke loket tersebut. Semua dokumen dimasukkan ke sana, lalu petugas yang akan mengurus kelanjutannya.

Perhatikan, si petugas yang mengurus kelanjutannya, bukan orang yang mengurus perpanjangan STNK atau membayar pajak. (Si petugas dibayar negara untuk bekerja, sementara orang yang mengurus perpanjangan STNK harus membayar proses tersebut. Masak pihak yang membayar justru yang lebih repot?)

Sementara para petugas sedang membereskan hal itu, orang-orang yang menunggu bisa duduk di kursi-kursi yang disediakan. Lalu petugas di loket tadi bisa memanggil nama-nama orang yang urusan pajak atau perpanjangan STNK-nya telah selesai diurus. Orang-orang yang namanya dipanggil bisa langsung membayarnya di sana, lalu pulang. Mudah, sederhana, efektif, dan menyenangkan.

Dengan sistem satu loket yang efektif dan memudahkan semacam itu, orang-orang pun tidak malas mengurus perpanjangan STNK atau membayar pajak kendaraannya. Hasilnya, yang diuntungkan tidak hanya para pemilik kendaraan, tetapi juga negara. Karena orang merasa mudah mengurus pajak atau perpanjangan STNK, mereka pun tidak segan mengurus dan membayarnya. Finish-nya tentu pemasukan pajak negara dapat terjaga.

Sebaliknya, dengan sistem bertele-tele seperti yang saya alami, yang kemudian tumbuh adalah sistem percaloan. Karena menyadari orang-orang malas berurusan dengan birokrasi, banyak calo yang muncul. Banyak pula orang yang lebih suka berhubungan dengan calo, daripada membereskan urusannya sendiri. Melalui calo, mereka hanya berurusan dengan satu orang, dan setelah itu si calo yang akan membereskan.

Seperti yang saya lakukan. Karena malas berurusan dengan birokrasi di kantor samsat yang ribet, saya lebih suka berurusan dengan biro yang biasa melayani urusan itu. Biro itu sebenarnya tak jauh beda dengan calo, yakni perantara urusan saya dengan kantor samsat. Masih lumayan, karena saya masih merasa punya tanggung jawab untuk membayar pajak, meski lewat calo. Tapi bagaimana dengan banyak orang lain yang lebih memilih tidak membayar pajak sama sekali daripada ribet?

Birokrasi yang ribet itu menjengkelkan, semua orang tahu. Prinsip hidup manusia adalah membutuhkan kemudahan, dan menjauh dari kesulitan atau hal-hal yang dipersulit. Karenanya, setiap kali berurusan dengan manusia, buat segalanya menjadi mudah, khususnya kalau hal itu memang bisa dilakukan dengan mudah. Mempersulit hal-hal mudah adalah doktrin manajemen kuno. Selain tidak efektif, itu juga merugikan semua pihak.  

Karenanya, saya heran dengan institusi yang saya ceritakan di awal catatan ini. Semula, mereka adalah institusi sederhana dengan mekanisme kerja sederhana. Berurusan dengan mereka sangat efektif sekaligus menyenangkan, karena mereka menggunakan sistem “satu loket”. Untuk setiap urusan, saya hanya berhubungan dengan satu orang.

Kini, dengan alasan pembaruan, mereka justru terkesan mempersulit hal-hal yang semula mudah. Urusan yang tadinya dilakukan di satu loket kini harus ditangani banyak loket atau banyak orang. Dalam manajemen, hal semacam itu sebenarnya bukan pembaruan, melainkan pembusukan. Semakin banyak orang yang terlibat untuk suatu urusan yang sebenarnya bisa dikerjakan satu orang, hasilnya bukan lebih baik. Selain ribet, juga memboroskan sumber daya, waktu, dan biaya.

Prinsip hidup manusia tak pernah berubah, sejak zaman purba sampai zaman internet. Mereka menyukai kemudahan, dan menjauhi kesulitan. Jika mereka bisa mendapatkan sesuatu dengan mudah, mereka tidak suka dipersulit. Karenanya, hukum kesuksesan abadi dalam berurusan dengan manusia adalah, “Mudahkan, jangan persulit. Mudahkan, jangan persulit!”

 
;