Sabtu, 07 Februari 2015

Sepele, tapi Sangat Berbahaya

Yang kita percaya belum tentu benar.
Yang benar belum tentu kita percaya. Kepercayaan
dan kebenaran, kadang tak seiring sejalan.
@noffret


Saya punya keponakan, laki-laki, berumur 5 tahun. Seperti umumnya perasaan orang lain terhadap keponakannya, saya juga sangat menyayangi bocah itu. Kapan pun kami ketemu, saya akan mengajaknya ke toko mainan, dan membelikan yang diinginkannya. Meski bukan orangtua kandungnya, perasaan sayang dan cinta saya kepadanya sangat dalam. Kalau kami lama tidak ketemu, saya merasa sangat kangen. Kalau sudah ketemu, saya pun sering lupa waktu saat bermain-main dengannya.

Yang unik menyangkut keponakan saya ini, dia suka nonton horor. Jadi, kalau di televisi pas ada acara horor—semacam uji nyali atau semacamnya—dia akan nonton, meski dengan takut-takut. Kesukaannya pada horor itu pulalah yang kemudian membuat dia punya khayalan macam-macam.

Pernah, saya mendengarnya bercerita kepada ibunya, bahwa dia melihat sesosok “hantu berbaju putih-putih” di samping rumah neneknya. Ibunya percaya. Di lain hari, keponakan saya yang masih kecil itu berkata melihat sosok “hantu hitam-hitam” di bawah pohon mangga yang ada di depan rumah nyokap saya. Sekali lagi, ibunya percaya pada cerita itu. Dua kisah itu hanya sedikit di antara kisah-kisah horor lain yang pernah diceritakan keponakan saya, yang dipercaya penuh oleh ibunya.

Apakah saya juga percaya? Sejujurnya, tidak. Saya tidak percaya kepada cerita keponakan saya, karena sangat janggal. Pertama, ceritanya kadang berubah-ubah. Artinya, dia bisa saja mengarang cerita tersebut, kemudian lupa dengan karangan ceritanya sendiri. Itu khas anak-anak. Kedua, dia tidak mengalami ketakutan apa pun. Kalau memang dia melihat “hantu hitam-hitam” di bawah pohon mangga, mestinya dia akan takut, atau setidaknya menampakkan wajah khawatir, jika diajak ke tempat pohon mangga tersebut. Tapi dia tidak menunjukkan gejala semacam itu.

Saya tidak bermaksud mengatakan keponakan saya suka bohong. Yang saya maksudkan, anak-anak kecil kadang terobsesi dengan khayalannya, kemudian menceritakan kepada orang dewasa (biasanya orangtuanya) seolah-olah itu hal nyata. Kita pasti sudah sering mendengar anak-anak kecil menyatakan punya “teman rahasia”, bisa sesosok peri atau lainnya. Sering kali, cerita semacam itu hanya khayalan anak-anak, dan dia terobsesi oleh khayalannya.

Menyangkut keponakan saya, dia suka nonton acara horor. Bisa jadi, kesukaannya nonton horor itu menimbulkan khayalan dalam benaknya, yang kemudian ia ceritakan pada ibunya seolah-olah khayalan itu nyata. Ketika ibunya menanggapi, ceritanya pun makin menjadi-jadi. Yang agak jadi masalah, ibunya benar-benar percaya. Dia tidak menyangsikan sedikit pun, dan benar-benar meyakini cerita anaknya. Kecenderungan itu mungkin umum—khas perasaan ibu terhadap anak kandungnya.

Lagi pula, kebanyakan orang tua juga sering percaya pada “ajaran” yang menyatakan, “Anak kecil tidak mungkin berbohong.”

Dalam ilmu psikologi, pepatah yang menyebutkan “anak kecil tidak mungkin berbohong” merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Catherine Fuller yang muncul pada era 1970-an. Teori itu sangat terkenal, dan diamini oleh para praktisi psikologi anak di berbagai negara. Sampai kemudian suatu kasus mengerikan muncul di Amerika, dan teori itu pun ditinggalkan oleh dunia psikologi. Kasus mengerikan itu melibatkan anak-anak yang bersekolah di TK McMartin di California, Amerika Serikat.

Kasus itu dimulai oleh seorang ibu yang anaknya bersekolah di TK McMartin. Dia mencurigai anaknya telah dicabuli oleh guru-guru di TK. Karena kecurigaan itu, dia menanyai anaknya. Singkat cerita, si anak mengiyakan kecurigaan ibunya. Maka dia pun semakin yakin kalau anaknya telah dicabuli guru-guru di TK McMartin. Dia melaporkan kasus itu ke polisi, dan sekelompok guru serta karyawan di TK McMartin pun ditangkap.

Ketika kasus pelaporan pencabulan di TK McMartin itu muncul di media, para orangtua yang memiliki anak di TK McMartin banyak yang ikut curiga kalau anak mereka juga telah menjadi korban pencabulan. Lalu mereka menanyai anak-anaknya, dan singkat cerita sekelompok anak mengakui kalau mereka telah dicabuli gurunya di TK. Para orangtua itu pun ikut melapor ke polisi, dan sebuah histeria terjadi di Amerika. Itu kisah yang sangat sensasional pada 1984.

Kasus itu sampai di pengadilan, namun hanya dua guru yang diajukan ke muka hakim, karena yang lain dianggap tidak terdapat cukup bukti. Saat di pengadilan itulah kemudian terungkap fakta mengerikan, betapa ternyata anak-anak yang dipercaya “tidak akan berbohong” itu nyatanya bisa berbohong jika diberi pertanyaan yang sama berulang-ulang, atau diberi pertanyaan yang diarahkan. Di hadapan hakim, anak-anak polos itu mengakui secara jujur bahwa mereka tidak mengalami apa pun sebagaimana yang dinyatakan orangtua mereka.

Pada proses pengungkapan kasus di muka pengadilan, bukti-bukti diajukan, dan hasilnya kasus dugaan pencabulan itu sama sekali tidak ada. Anak-anak yang dicurigai telah dicabuli oleh guru di TK McMartin tidak menunjukkan bukti-bukti tersebut. Hasilnya, dua guru TK McMartin pun dibebaskan pengadilan, dan dinyatakan tidak bersalah.

Sejak kasus itulah, teori psikologi yang mengatakan “anak tidak mungkin berbohong” mulai ditinggalkan, dan tidak lagi digunakan dalam ilmu psikologi. Karena kenyataannya memang anak-anak bisa berbohong, meski mereka mungkin tidak memaksudkannya demikian.

Seperti keponakan saya yang masih kecil. Dia mungkin tidak bermaksud berbohong dengan mengatakan melihat hantu di bawah pohon mangga. Itu hanya khayalannya sebagai anak-anak, akibat terpengaruh tontonan atau lainnya, yang kemudian membentuk bayangan di benaknya. Ketika khayalan itu diceritakan kepada ibunya, dan si ibu tampak menanggapi, keponakan saya pun makin bergairah menceritakan khayalannya. Dalam psikologi, hal semacam itu disebut false memory atau false memory of child. Anak bisa dengan mudah memanipulasi keterangannya, dan meyakini keterangannya sebagai fakta.

Begitu pula dengan anak-anak kecil lain. Anak-anak yang suka menonton film action, misalnya, bisa jadi punya khayalan serupa. Suatu hari, mungkin ada seseorang yang menepuknya dengan lembut, tetapi—karena terpengaruh film action yang biasa ditontonnya—bisa jadi dia menceritakan pada ibunya kalau dia “dinakali” atau bahkan “dipukul” atau lainnya. Bisa jadi itu khayalannya semata—khususnya jika memang tidak ada bukti yang jelas. Jika cerita yang sebenarnya khayalan itu ditanggapi serius, maka si anak akan cenderung makin antusias dengan cerita khayalannya, dan bisa jadi ceritanya akan makin “seram”.

Lebih parah lagi jika si ibu ikut mendramatisir, lalu bertanya berulang-ulang, “Kamu benar dinakalin orang itu? Dia sering nakalin kamu? Di mana saja kamu dinakalin orang itu? Apakah dia juga nakalin anak-anak lain?” Maka si anak pun akan menceritakan apa pun, demi “membungkam” pertanyaan ibunya. Itu khas anak-anak. Mereka tidak bermaksud berbohong, tetapi bisa berbohong jika dihadapkan pada pertanyaan yang mengarahkan, atau diberi pertanyaan serupa berulang-ulang.

Ketika keponakan saya bercerita kepada ibunya bahwa dia melihat “hantu hitam-hitam” di bawah pohon mangga, mungkin semula dia hanya memaksudkan cerita itu sebagai khayalan. Sebagai anak kecil, dia belum bisa membedakan antara cerita khayalan dengan cerita kenyataan. Dengan nalurinya yang polos, dia hanya ingin menceritakan apa yang ada di benaknya—khas anak-anak.

Masalah mulai muncul, ketika ibunya percaya pada cerita itu. Karena si ibu menampakkan kepercayaan, bahkan sikap antusias, keponakan saya pun makin “menjadi-jadi”. Ketika ditanya “hantu” apa saja yang dilihatnya, keponakan saya pun menceritakan apa saja yang dikhayalkannya. Maka dia pun mengatakan melihat “hantu putih-putih” di samping rumah, dan aneka hantu lain. Tetapi apakah itu benar, apakah itu fakta?

Dalam cerita—meski cerita itu dituturkan anak-anak—ada perbedaan jelas antara fakta dan fiktif, antara kebenaran dan khayalan. Jika suatu cerita adalah fiktif atau hanya khayalan, kita tentu tidak perlu mempercayainya. Sebagai orangtua, langkah terbaik mungkin hanya mendengarkan, dan mendiamkannya. Sebaliknya, jika memang cerita itu fakta atau nyata terjadi, dan butuh penanganan tertentu, maka orangtua bisa menindaklanjutinya.

Lalu bagaimana mengetahui suatu cerita yang dituturkan anak hanya fiktif atau benar-benar fakta? Tentu dengan cara membuktikannya, dan melihat bagaimana reaksinya.

Pada kasus keponakan saya, dia mengatakan melihat “hantu hitam-hitam” di bawah pohon mangga. Kalau memang dia benar-benar melihat apa yang dilihatnya, tentunya dia akan takut jika diajak ke bawah pohon mangga. Setidaknya, jika dibawa ke tempat itu, dia akan menampakkan muka khawatir. Dalam kasus yang lebih ekstrem, dia pasti tidak akan sudi dan menolak sekeras mungkin jika diajak ke tempat yang ia anggap menyeramkan.

Kenyataannya, keponakan saya tidak menunjukkan tanda atau gejala semacam itu. Meski dia menyatakan melihat “hantu hitam-hitam” di bawah pohon mangga, nyatanya dia tetap enjoy saat diajak ke bawah pohon itu, bahkan bisa asyik bermain-main di sana. Kenyataan itulah yang menyebabkan saya meragukan kebenaran ceritanya, dan berpikir yang ia ceritakan hanya khayalannya sebagai anak-anak, yang tidak perlu terlalu dikhawatirkan.

Ini mungkin terkesan sepele—hanya celoteh anak-anak. Tetapi, hal sepele ini bisa menjadi masalah besar, bahkan berbahaya, jika menyangkut orang lain beserta tuduhan kejahatan. Seperti kasus yang terjadi di TK McMartin. Seorang anak mungkin hanya bercerita pada ibunya kalau dia “dinakali” gurunya. Sialnya, si ibu menanggapi celoteh itu dengan sangat serius, lalu mengajukan berbagai pertanyaan yang mengarahkan pada si anak, sampai menyimpulkan bahwa anaknya “dicabuli” oleh gurunya.

Mula-mula hanya sepele. Tetapi, karena respons yang tidak benar, sesuatu yang sepele itu berubah menjadi tidak sepele lagi, bahkan berbahaya, karena menyangkut nasib dan nama baik orang lain. Hasilnya, sesuatu yang semula sepele itu bahkan menciptakan histeria dan ketakutan di Amerika, sampai guru-guru di TK itu ditangkap polisi dan diajukan ke pengadilan. Beruntung pengadilan bisa membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Tapi bagaimana jika tidak...?

Karenanya, jika adik, keponakan, atau anak kita, menceritakan sesuatu yang “aneh”, sebaiknya tidak perlu buru-buru mempercayainya. Sebaiknya, takarlah terlebih dulu dengan akal sehat; apakah cerita itu mungkin terjadi, atau tidak? Jika mungkin terjadi, periksa dan selidiki kebenarannya. Cari bukti-buktinya. Selama penyelidikan dan bukti-buktinya tidak mendukung kebenaran cerita itu, sebaiknya hadapilah dengan akal waras, bahwa anak-anak kecil itu mungkin hanya sedang menceritakan khayalannya, dan kita sebaiknya tidak perlu terlalu terpengaruh.

Langkah itu semakin penting, jika cerita yang dituturkan berhubungan dengan orang lain. Jika anak atau keponakan kita mengatakan “dipukul” oleh si A, misalnya, takarlah dulu dengan akal sehat—mungkinkan dia benar-benar dipukul, atau hanya ditepuk, atau bahkan dielus dengan lembut? Kalau memang dia benar dipukul, tanyakan penyebabnya. Lalu cari buktinya, selidiki kebenaran ceritanya. Jika penyebabnya masuk akal, dan buktinya benar-benar ada, baru kita boleh percaya.

Anak-anak kecil memang tidak berbohong. Setidaknya, mereka mungkin tidak bermaksud berbohong. Tetapi mereka bisa mengatakan hal-hal yang sebenarnya hanya ada dalam khayalannya, dan mereka juga bisa membesar-besarkan sesuatu yang sebenarnya biasa saja. Jika ditanggapi dengan tidak tepat dan tidak bijak, anak-anak itu bahkan bisa menyebabkan orang-orang dibawa ke pengadilan, menghebohkan rakyat di suatu negara, sampai menyeret orang-orang tak bersalah ke penjara.

Di catatan yang akan datang, kita akan membicarakan yang saya maksudkan.

 
;