Rabu, 04 Februari 2015

Surat Cinta

Mungkin ada cinta yang sebaiknya tetap rahasia.
Mungkin ada rasa yang sebaiknya tak diucap.
Mungkin ada rindu yang sebaiknya tidak bertemu.
@noffret


Hari gini, ketika sarana komunikasi telah sangat praktis dan mudah, sepertinya makin langka orang menggunakan surat untuk menyatakan cinta. Jika tidak mungkin menyatakannya secara langsung, orang bisa menggunakan telepon atau ponsel. Jika ingin pernyataan dalam bentuk teks, aneka sarana bisa digunakan—dari SMS sampai e-mail. Untuk yang terakhir itulah, yang ingin saya bicarakan.

Sejujurnya, saya sangat tidak enak menulis catatan ini. Namun saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, sehingga saya pikir menumpahkan kebingungan dalam tulisan bisa dijadikan solusi. Ini tentang e-mail yang dikirimkan beberapa orang—yang tentunya perempuan—kepada saya.

Dari banyaknya e-mail yang saya terima, memang tidak semuanya saya balas. Jika isinya hanya apresiasi atau semacamnya, saya akan menganggapnya sebagai semacam komentar pembaca, yang tidak perlu dibalas secara khusus. Lebih dari itu, saya jelas tidak bisa membalas satu per satu e-mail yang masuk, karena jumlahnya sangat banyak. Saya hanya membalas e-mail yang di dalamnya terkandung sesuatu yang perlu dibalas, atau karena suatu alasan tertentu yang membuat saya merasa perlu membalasnya. Itu pun antre, dan kadang butuh waktu sangat lama.

Nah, dari banyaknya e-mail yang saya terima, beberapa di antaranya dikirim oleh para perempuan, yang—entah bagaimana—menyatakan cinta kepada saya. Sebagian bahkan terang-terangan menyatakan ingin menjadi pacar atau istri saya. Dari isi e-mail mereka, para perempuan itu adalah para pembaca blog ini. Saya tidak mengenal mereka, sebagaimana mereka juga tidak mengenal saya, selain hanya mengenal tulisan di blog.

Kenyataan itu membuat terkejut campur bingung. Ketika e-mail semacam itu baru satu dua, saya hanya terkejut. Tetapi, ketika jumlahnya makin banyak, saya jadi bingung. Terkejut, dan bingung, betapa perempuan-perempuan yang tidak pernah melihat saya itu bisa “jatuh cinta” sampai menyatakan cintanya, bahkan ada yang terang-terangan ingin dijadikan pacar, hanya karena membaca tulisan-tulisan saya.

Sejujurnya, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan pada e-mail-e-mail semacam itu. Karena kebingungan itu pula, saya terpaksa menulis catatan ini, sebagai semacam “jawaban umum” kepada siapa pun yang pernah mengirim “surat cinta”.

Terus terang, sebenarnya, saya pernah “trauma” dengan masalah semacam ini. Sekitar dua tahun yang lalu, ada seorang perempuan yang mengirim “surat cinta” melalui e-mail. Karena dia juga blogger, kami pun saling kenal. Tapi hanya sebatas itu. Sampai kemudian, dia mengirim e-mail yang berisi pernyataan cinta. Saya tidak menanggapi. Pertama karena saya memang tidak tahu bagaimana menanggapinya, dan kedua karena ada banyak e-mail lain yang lebih penting untuk ditanggapi.

Lalu perempuan itu mengirim e-mail lagi. Saya tetap tidak membalas. Setelah itu, dia terus-menerus mengirim e-mail ke inbox saya—isinya macam-macam—bahkan sampai mengirimkan foto-fotonya. Dia melakukan itu, nyaris setiap hari.

Sebagai manusia, saya punya batas kesabaran. Tentu saya menghargai perasaannya, dan menghormati pernyataan cintanya. Tetapi ulahnya yang sangat mengganggu—yang terus-menerus mengirim e-mail tidak jelas, sampai mengirimkan foto-fotonya—akhirnya menguras kesabaran. Tepat ketika saya sedang stres, dia kembali mengirim e-mail semacam itu, dan amarah saya pun meletup. Dengan jengkel, saya membalas e-mail-nya, menyatakan terus terang bahwa saya sangat terganggu oleh ulahnya yang memalukan.

Sejak itu, dia tidak berkirim e-mail lagi—karena alamat e-mail-nya saya blokir. Tapi kemudian dia mencaci-maki dan menjelek-jelekkan saya di belakang, dengan cara yang sangat kampungan. Oh, saya tahu—sangat mudah mengetahuinya. Bahkan, kalau mau, saya bisa meng-capture caci-maki itu di sini, agar orang-orang tahu siapa yang saya maksud. Tapi saya tidak serendah itu.

Dari pengalaman itu pulalah, saya mulai jaga jarak dengan siapa pun di dunia maya, khususnya perempuan, akibat perasaan “trauma” yang saya alami. Pengalaman itu mengajarkan kepada saya, bahwa tidak semua perempuan memiliki kepekaan. Fakta bahwa saya tidak menanggapi pernyataan cintanya, mestinya bisa membuatnya peka untuk menyadari bahwa saya tidak menanggapinya. Tapi rupanya tidak semua perempuan memiliki kepekaan seperti yang saya bayangkan.

Untungnya, hanya satu perempuan yang semacam itu. Setidaknya, rata-rata perempuan lain yang pernah mengirimkan “surat cinta” kepada saya melakukannya dengan lebih baik dan lebih cantik. Setelah satu kali “surat cinta” mereka tidak saya tanggapi, mereka pun berhenti. Untuk perempuan-perempuan yang baik dan cantik itulah saya menulis catatan ini, dan saya berharap mereka bisa memahami.

....
....

Sebagai lelaki, saya sangat tersanjung dengan “surat-surat cinta” yang pernah saya terima. Tidak semua lelaki bisa mendapat surat cinta dari banyak perempuan, dan saya sangat menghargai hal itu.

Beberapa pernyataan cinta yang pernah saya baca bahkan sangat indah, dengan sanjungan yang begitu lembut, hingga saya amat terharu. Tuhan tahu, saya sangat menghargai semua itu, dan saya sangat menghormatinya. Fakta bahwa kalian “jatuh cinta” kepada saya tanpa pernah melihat saya, benar-benar membuat saya merasa menjadi manusia seutuhnya. Yang dicintai, dan dikasihi, tanpa pamrih.

Namun tolong maafkan saya.

Saya tidak tahu bagaimana membalas “surat cinta” kalian. Dari semua “surat cinta” yang pernah saya terima, tidak ada satu pun yang saya balas. Jadi, kepada siapa pun yang pernah mengirim “surat cinta” kepada saya, tolong ketahui dan pahami bahwa saya tidak hanya tidak membalas suratmu—tapi semua. Saya merasa perlu menyatakan hal ini, agar tidak ada yang salah sangka atau merasa “dibedakan”. Kenyataannya, sekali lagi, dari semua “surat cinta” yang pernah saya terima, tidak ada satu pun yang saya balas.

Kalian tidak tahu siapa saya—kalian bahkan tidak pernah melihat saya seperti apa. Siapa yang tahu kalau ternyata saya jelek, pendek, dekil, dengan wajah penuh jerawat? Kalian hanya mengenal saya melalui tulisan. Jika kemudian kalian merasa “jatuh cinta”, bukan saya yang membuat kalian jatuh cinta, melainkan tulisan yang kalian baca. Bisa melihat perbedaan esensialnya?

Kita semua pasti punya lagu atau musik yang sangaaaaaat kita sukai. Tiap kali mendengarnya, kita merasa “melayang”. Tiap kali menyanyikannya, kita merasa jatuh cinta. Saya juga punya lagu favorit semacam itu. Tiap kali mendengarkan Memories-nya Within Temptation, saya merasa sangat... sangat tersentuh. Perasaan yang sama juga saya rasakan saat mendengar Ariel menyanyikan Tak Ada yang Abadi. Tetapi, kita tahu, kita jatuh cinta pada lagu—bukan pada pencipta atau penyanyinya. 

Begitu pula, kurang lebih, “cinta” yang kalian rasakan. Ketika membaca beberapa tulisan saya yang mungkin menyentuh, kalian merasa “jatuh cinta”. Tetapi yang kalian “jatuh-cintai” sebenarnya bukan saya—melainkan tulisan saya. Sekali lagi, bisa melihat perbedaan esensialnya?

Karenanya, sejujurnya saya tidak tahu bagaimana membalas “surat cinta” kalian, meski sangat menghargainya.

Jadi, saya sangat berterima kasih untuk semua pernyataan itu—cinta kasih kalian. Saya sangat menghargai yang telah kalian lakukan, dan saya sangat menghormati perasaan yang kalian rasakan. Saya memahami, tentu butuh keberanian dan kesungguhan hati untuk melakukan hal itu. Namun maaf, saya tidak bisa membalas seperti yang mungkin kalian harapkan.

Akhirnya, silakan baca dan nikmati tulisan-tulisan saya, namun tidak usah jatuh cinta kepada saya. Lebih dari itu, kapan pun waktunya, kalian pasti akan menemukan lelaki yang lebih baik dari saya, yang membuat kalian jatuh cinta sebenar-benarnya. Jika itu belum terjadi, anggap saja sebagai doa.

Demi Tuhan, saya menyayangi kalian.

 
;