Rabu, 18 Februari 2015

Tangis Dalam Sunyi

Sering kali aku ngeri membayangkan anak-anak
tak berdosa dilahirkan hanya untuk mewarisi kebodohan,
menanggung luka, meratapi kelahirannya.
@noffret


Rasanya ingin menangis saat membaca dua berita itu. Berita pertama mengisahkan seorang wanita yang diusir dari rumah sakit setelah melahirkan, karena tidak bisa membayar biaya persalinan. Berita kedua tentang seorang ibu yang melahirkan anak dengan masalah medis serius, akibat kekurangan gizi selama hamil. Bayi yang masih beberapa bulan itu hanya terbaring tak berdaya di rumah, karena orangtuanya tidak punya biaya untuk membawanya berobat ke rumah sakit.

Mari kita mulai dari berita pertama. Seorang wanita diusir dari rumah sakit setelah melahirkan bayinya, karena tidak bisa membayar biaya persalinan. Sang suami tidak terima dengan pengusiran itu, hingga kemudian kejadiannya masuk koran. Berdasarkan berita yang saya baca, itu anak pertama mereka. Pasangan suami istri tersebut menyatakan bahwa rumah sakit tidak memiliki perikemanusiaan.

Ketika dikonfirmasi wartawan, pihak rumah sakit menjelaskan, bahwa ruang persalinan serta kamar untuk ibu yang baru melahirkan sangat terbatas di rumah sakit mereka, sementara kebutuhan untuk itu di luar kapasitas yang ada. Dengan kata lain, jumlah kebutuhan dan persediaan tidak seimbang. Karenanya, ketika ada pasien melahirkan namun ternyata tidak memiliki biaya, pihak rumah sakit tidak punya pilihan lain, selain memintanya meninggalkan rumah sakit. Mereka telah membantu si wanita untuk melahirkan, namun mereka tidak bisa membiarkannya tetap di rumah sakit tanpa membayar.

Saat membaca berita itu sampai akhir, saya bertanya-tanya sendiri, siapakah yang salah dalam kisah itu? Rumah sakit yang dinilai tidak berperikemanusiaan, ataukah pasangan suami istri yang tidak melakukan persiapan matang sebelum memutuskan punya anak?

Sejujurnya, saya tidak tahu siapa yang salah. Yang saya pikirkan terus-menerus dari kisah itu adalah bayi yang telah dilahirkan tersebut. Bagaimana nasibnya kelak, jika awal kelahirannya saja telah dimulai dengan masalah?

Punya anak adalah hak dan pilihan masing-masing pasangan. Siapa pun yang telah menikah dan menjadi suami istri memiliki hak dan kebebasan untuk punya anak atau tidak. Tetapi hak tidak berdiri sendiri. Kapan pun ada hak untuk memilih, di situ juga ada kewajiban, setidaknya konsekuensi dari pilihan. Memutuskan untuk punya anak adalah satu hal. Tetapi, seiring dengan itu, keputusan tersebut juga menuntut kewajiban dan konsekuensi. Di antaranya mempersiapkan kelahiran calon anak dengan matang, menyiapkan biaya melahirkan sampai perawatan, dan lain-lain yang daftarnya bisa sepanjang rel kereta api.

Karenanya, saya tidak habis pikir dengan berita tadi. Bagaimana bisa sepasang suami istri memutuskan punya anak, namun tidak diiringi persiapan matang untuk menunjang pilihan tersebut. Mereka tentunya tahu bahwa melahirkan membutuhkan banyak hal, dari biaya rumah sakit sampai biaya perawatan bayi dan si ibu. Mereka tentunya mengerti bahwa setiap anak yang dilahirkan membutuhkan biaya hidup. Kalau membayar biaya melahirkannya saja sudah keberatan, bagaimana nantinya si anak akan tumbuh?

Mungkin sebagian orang percaya nasihat kuno, yang menyatakan bahwa “menikah akan melancarkan rezeki”. Jadi, mereka pun menikah dengan modal keyakinan itu, berharap entah bagaimana mereka akan menjalani hidup dengan limpahan rezeki setelah menikah, hingga kemudian melahirkan anak. Lalu ketika si anak lahir, mereka kebingungan membayar biaya kelahirannya.

Mungkin menikah memang melancarkan rezeki, seperti yang sering dikhotbahkan sebagian orang. Tapi kita tidak hidup di surga tempat segalanya dapat diperoleh hanya dengan mengulurkan tangan. Kita hidup di dunia tempat hukum sebab akibat terus berlangsung dan tak bisa ditawar-tawar. Untuk mendapatkan rezeki yang cukup, orang harus bekerja. Tak peduli seseorang menikah atau tidak, tetap seperti itulah aturannya. Tidak ada usaha, tidak ada hasil. Rezeki didapat sebagai hasil kerja. 

Beberapa orang kadang menyatakan, “Jangankan manusia, bahkan hewan-hewan pun telah dijamin rezekinya oleh Tuhan.”

Oh, well, memang benar bahwa Tuhan menjamin rezeki bagi setiap makhluk, termasuk manusia dan hewan. Tapi mari kita perhatikan lebih dekat. Apakah rezeki itu datang dari langit tanpa usaha, ataukah diperoleh dengan kerja?

Di dalam sangkar, burung peliharaan mendapat makan karena menghasilkan suara yang indah. Ayam-ayam dalam kandang mendapat makan karena menghasilkan telur. Kerbau mendapat makan karena memberikan tenaga untuk membajak sawah. Sapi mendapat makan karena menghasilkan susu. Anjing mendapat makan karena memberikan kesetiaan. Bahkan ikan-ikan hias dalam akuarium mendapat makan karena dianggap memberi hiburan atau kebanggaan bagi pemiliknya.

Di alam liar, hewan-hewan juga harus bekerja untuk mendapat makan, mendapat rezeki. Elang harus terbang mengepakkan sayapnya untuk mencari makanan, burung-burung yang lebih kecil juga harus menempuh berbagai upaya untuk mendapat rezeki yang sama—dari mematuki batang pohon seperti burung pelatuk, sampai mencari sisa-sisa makanan di antara gigi buaya seperti burung plover. Untuk mendapat makan, memperoleh rezeki, hewan-hewan itu harus bekerja.

Kelelawar harus keluar dari sarangnya untuk mendapat makan. Tupai harus memanjat pohon dan berlompatan untuk mendapat makan. Laba-laba harus bekerja keras membuat jerat untuk mendapat makan. Berang-berang harus membangun bendungan untuk mendapat makan. Lalat harus terbang kesana kemari untuk mendapat makan. Cacing-cacing harus merayap dalam tanah untuk mendapat makan. Bahkan semut yang kecil pun harus berjalan berkilo meter untuk mendapat makan. Bahkan makhluk semacam bakteri pun tetap harus bekerja untuk mendapat makan.

Memang benar setiap makhluk akan mendapat rezekinya masing-masing. Tetapi, sekali lagi, lihatlah lebih dekat, perhatikan lebih cermat. Tidak ada manusia atau hewan yang bisa mendapatkan rezeki tanpa bekerja. Semuanya mendapatkan makan setelah melakukan usaha dan upaya.

Karenanya, ungkapan yang menyatakan, “Tuhan menjamin rezeki setiap makhluk,” belum sampai pada titik, melainkan baru sampai pada koma. Tuhan menjamin rezeki setiap makhluk (koma) dengan catatan setiap makhluk mau bekerja, mau berusaha dan berupaya. Karena, kita tahu, Tuhan juga tidak akan mengubah nasib setiap makhluk, jika makhluk bersangkutan tidak mau mengubah nasibnya.

Begitu pun rezeki dalam perkawinan. Ungkapan yang menyatakan bahwa “perkawinan akan melancarkan rezeki” juga belum sampai pada titik, tetapi baru sampai pada koma. Perkawinan akan melancarkan rezeki (koma) dengan syarat orang yang telah menikah mau bekerja keras dan bertanggung jawab terhadap perkawinannya. Jangankan perkawinan manusia, bahkan perkawinan semut pun membutuhkan upaya dan kerja keras untuk mendapatkan rezeki.

Well, selain berita tentang wanita yang diusir dari rumah sakit setelah melahirkan bayinya, berita kedua yang juga membuat saya ingin menangis adalah kisah seorang ibu yang melahirkan bayi dengan masalah medis akibat kurang gizi.

Ceritanya, seperti yang saya baca pada berita tersebut, seorang ibu melahirkan anak keempat. Sang suami bekerja serabutan, dengan penghasilan tak pasti. Kepada wartawan yang menemuinya, ibu itu menceritakan bahwa selama hamil dia hanya makan mie instan karena tidak ada uang untuk membeli makanan yang lebih bergizi. Entah hal itu berhubungan atau tidak, yang jelas bayinya kemudian lahir dengan masalah medis akibat kurang gizi.

Bayi itu mengalami masalah pada kulit yang parah, sementara telinganya tidak tumbuh. Bayi itu juga tidak bisa menutup matanya, bahkan ketika sedang tidur. Entah si bayi merasa kesakitan atau tidak, yang jelas ia terus menangis, khususnya jika dilepas dari dekapan si ibu. Dokter yang pernah memeriksa menyatakan bayi tersebut bisa sembuh, asal dirawat dan diobati secara teratur. Tetapi orangtuanya tidak bisa membawa ke rumah sakit untuk berobat, karena tidak ada biaya.

Saya tercenung lama setelah membaca berita itu. Sepasang suami istri memiliki empat orang anak. Selama hamil anak keempat, si istri sampai terpaksa makan mie instan setiap hari karena tidak ada uang untuk membeli makanan yang layak dan lebih sehat. Ketika dilahirkan, bayi itu mengalami masalah medis yang serius, namun mereka tidak bisa membawa ke rumah sakit untuk berobat, karena tidak ada biaya. “Suami saya hanya bekerja serabutan dengan penghasilan pas-pasan,” ujar si istri.

Mereka menyadari kehidupan dan penghasilan yang pas-pasan, namun memiliki empat orang anak. Tentu saja itu pilihan mereka sepenuhnya. Tetapi, yang membuat saya ingin menangis, tidakkah mereka memikirkan nasib anak-anaknya?

Memiliki anak adalah hak setiap orangtua. Tetapi, begitu anak-anak itu lahir ke dunia, mereka menjadi tanggung jawab si orangtua, khususnya jika si anak belum dewasa dan belum bisa mencari rezeki sendiri. Bagaimana pun, orangtua punya kewajiban menghidupi anak-anaknya secara layak, meski ukuran kelayakan bisa relatif. Jika si anak kelaparan, orangtua wajib memberinya makan. Jika si anak sakit, orangtua wajib membawanya berobat. Bahkan jika si anak menangis, orangtua pun wajib menenangkan dan menenteramkan.

Mungkin sebagian orang percaya ajaran yang menyatakan “setiap anak membawa rezekinya sendiri-sendiri, sehingga banyak anak banyak rezeki”. Karenanya, orang-orang itu pun terus punya anak, meski menyadari kehidupan yang pas-pasan, dan penghasilan tidak menentu. Lalu anak-anak itu lahir untuk menghadapi hidup yang serba kekurangan, dijerat berbagai masalah dan kemiskinan, untuk tumbuh dalam luka... bersama luka.

Jika memang setiap anak membawa rezekinya sendiri, sehingga banyak anak banyak rezeki, saksikanlah anak-anak yang menyabung nyawa di jalan-jalan hanya untuk mendapat receh dari orang-orang yang kasihan. Lihatlah anak-anak kelaparan yang tak sanggup lagi untuk menangis, karena air matanya telah habis. Pandangilah anak-anak yang tidak bisa menjalani kehidupannya, karena keceriaan mereka sebagai anak-anak telah dirampas demi bisa mempertahankan hidup. Pikirkanlah berapa juta anak di dunia ini yang harus menanggung luka diam-diam karena mengutuk kehidupannya, lalu menangis sendirian dalam sunyi.

Saya tahu kenyataan itu, sungguh-sungguh tahu apa yang mereka rasakan, yang mereka pikirkan, yang mereka tangisi... karena saya pernah menjadi bagian dari mereka. Di antara jutaan anak-anak yang terluka di bawah langit karena kehilangan keceriaan masa kanak-kanaknya, saya termasuk di antaranya. Dan, demi Tuhan, luka yang ditimbulkan dari masa itu tak pernah sembuh, bahkan setelah saya meninggalkannya bertahun-tahun. Dalam hidup yang sekarang saya jalani, di dalam lubuk jiwa saya yang terdalam, ada luka yang terus menganga.

Dan luka itu semakin perih setiap kali melihat anak-anak dilahirkan bersama kenaifan orangtuanya. Luka itu semakin parah setiap kali menyaksikan anak-anak melakukan sesuatu yang dulu saya lakukan. Luka itu semakin berdarah setiap memandangi anak-anak yang terluka... kembali terluka... mengalami luka seperti yang dulu sama alami. Anak-anak yang dihempas terik tanpa alas kaki, anak-anak yang merana, berduka, dan kesepian, anak-anak yang dilemparkan nasib dan tangis dalam sunyi.

Entah sampai kapan anak-anak itu akan terus dilahirkan... entah kapan luka-luka di bawah langit akan tersembuhkan.

 
;