Minggu, 08 Maret 2015

Curhat Cowok tentang Cewek yang Membuatnya Jatuh Cinta

Campuran cinta dan keraguan adalah sakit.
@noffret


Dengan suara galau, dia bercerita, “Aku jatuh cinta sama cewek itu, dan dia pun mungkin begitu. Tapi kami kayak terus-menerus menghadapi jalan buntu. Tiap kali aku mau maju, dia melakukan hal-hal yang bikin aku mundur. Lain waktu, aku mau maju lagi, dia bikin aku mundur lagi. Teruuuuuus kayak gitu. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan. Aku udah lama memendam kegalauan ini, sampai lebih dari setahun, dan rasanya nggak tahan lagi...”

Riza (tentu saja bukan nama sebenarnya) adalah cowok baik-baik, seorang kutubuku, dan teman yang menyenangkan—setidaknya bagi saya. Karena kesibukan masing-masing, kami jarang ketemu di dunia nyata, meski kadang “berpapasan” di dunia maya ketika kebetulan sedang sama-sama online. Kalau pas ketemu di dunia maya, biasanya kami saling sapa, berbagi informasi tentang buku baru, atau semacam itu.

Pas G-Talk saya menyala tempo hari, dia menyambar dengan mengirim pesan, “Tumben jitoknya dinyalain.”

“Lagi pengin,” jawab saya asal.

“Kamu lagi ada waktu?”

“Ini jitok sengaja kunyalain, karena emang lagi ada waktu.”

“Maksudku, kamu ada waktu buat ngobrol panjang?”

“Buat kamu, aku selalu siap ngobrol panjang.”

“Aku pengin curhat, siapa tahu kamu bisa ngasih solusi. Tapi kayaknya nggak enak kalau lewat jitok.”

“Kalau gitu, datang aja ke rumah.”

“Besok, ya.”

“Sip. Malam aja.”

Besok malamnya, Riza benar-benar datang, dan menyampaikan curhatnya, sebagaimana yang saya tulis di awal catatan ini. Ceritanya, sekitar dua tahun yang lalu, Riza kenal seorang cewek di Facebook. Setelah itu, mereka kadang bercakap lewat wall—saling komentar, saling bercanda, saling haha-hihi—sebagaimana orang lain di Facebook. Yang jelas, keduanya sama-sama “nyambung”. Cewek itu, sebut saja, bernama Eva.

Sebenarnya, di dunia nyata, Riza tidak terlalu dekat dengan cewek. Dia lebih akrab dengan buku daripada lawan jenis—lebih mengenal Milan Kundera daripada Wulan Ekarina, lebih tahu seluk-beluk Chronicle of Narnia daripada lekuk-lekuk indah Sarah Ardhelia. Tetapi berkomunikasi dengan cewek lewat tulisan, setidaknya di Facebook, membuat Riza merasa nyaman. Ketika cewek yang menjadi lawan bicaranya bisa “nyambung”, Riza pun makin senang.

Kenyataannya, faktor utama yang membuat Riza senang berinteraksi dengan Eva adalah karena cewek itu tidak sok jaim. Riza yang pendiam bertemu Eva yang ramah seperti baut menemukan sekrup. Lebih dari itu, Eva juga cewek cerdas—status-statusnya di Facebook selalu menarik, berwawasan, sekaligus elegan. Faktor itulah yang menjadikan Riza tertarik. Ketika mereka mulai berinteraksi, dan Eva bisa mengimbangi, Riza semakin tertarik.

Singkat cerita, Riza naksir Eva. Itu sekitar dua tahun yang lalu. Tetapi, karena baru pertama kali jatuh cinta di dunia maya, Riza tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kadang, Riza menulis status di wall-nya, yang dimaksudkan untuk menyampaikan perasaannya. Entah paham atau tidak bahwa status-status itu ditujukan untuknya, Eva sering memberi respons positif atas status-status itu, yang membesarkan hati Riza.

Di Facebook, Eva memiliki banyak teman sekaligus pengikut. Karena status-statusnya yang menarik, banyak orang—khususnya cowok—yang selalu memberi “like” atau komentar untuk setiap statusnya. Eva pun menanggapi setiap komentar mereka dengan ramah. Meski begitu, Eva tampak memberi perhatian khusus kepada Riza. Atau, setidaknya, itulah yang dipikir dan dirasakan Riza. Bahkan, menurut Riza, Eva sering menulis status yang tampaknya ditujukan untuk Riza.

Sejak itu, Riza pun makin rajin membuka Facebook. Jika dulu hanya masuk FB kalau sedang punya waktu, sekarang dia sengaja meluangkan waktu untuk log in Facebook demi bisa berkomunikasi dengan Eva. Sampai pada tahap itu, semuanya tampak tidak ada masalah. Eva bahkan secara tersirat beberapa kali memancing Riza untuk ketemuan, dan Riza pun telah menyiapkan diri.

Tetapi, kemudian Riza introspeksi. (Ingat, Riza adalah kutubuku yang terbiasa berpikir dua arah—bukan cowok culun yang mudah ge-er.) Waktu itu, Riza memang berpikir, atau merasa, kalau Eva juga naksir dirinya. Ketika Eva menulis status yang tampaknya ditujukan untuk dirinya hingga ajakan tersirat untuk ketemuan, Riza juga sempat berpikir status-status itu ditujukan untuknya. Tetapi kemudian Riza berhenti sejenak, dan introspeksi.

Bagaimana pun, pikir Riza waktu itu, cowok yang mendekati Eva bukan hanya dirinya. Di Facebook, di depan mata kepalanya sendiri, Riza menyaksikan banyak cowok lain yang juga sangat aktif mendekati Eva. Dibanding yang dilakukan Riza, cowok-cowok lain jauh lebih agresif dalam berupaya mendekati Eva. Dan, selama itu, Eva juga tampak merespons cowok-cowok lain dengan sama baik, sebagaimana dia biasa merespons Riza.

“Jadi,” ujar Riza malam itu di depan saya, “aku khawatir hanya ge-er, dan status-status hingga ajakan pertemuan itu ternyata bukan ditujukan buat aku.”

Saya memahami keraguan Riza. Bagaimana pun, dia cowok baik-baik yang tidak biasa berinteraksi dengan cewek—apalagi di dunia maya. Melihat interaksi dan keakraban Eva dengan banyak cowok di Facebook, Riza pun jadi tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Jangan-jangan Eva sebenarnya tidak punya perasaan apa-apa kepadanya. Jangan-jangan status berisi ajakan ketemuan itu ditujukan untuk cowok lain.

Sejak introspeksi itu pula, Riza pun mencoba menetralkan perasaannya sendiri, dan mulai jaga jarak dengan Eva agar perasaannya tidak terus meletup-letup. Bagaimana pun, dia jatuh cinta pada Eva. Jika ternyata itu cinta yang bertepuk sebelah tangan, Riza ingin menyudahinya sebelum terlalu jauh.

Sebenarnya, ada banyak cewek yang berusaha mendekati Riza. Bukan hanya di dunia maya, di dunia nyata pun saya tahu banyak cewek naksir Riza. Meski sikapnya kadang terlihat kaku, dia punya tutur kata yang sopan bahkan halus. Itu, ditunjang senyumnya yang malu-malu, tampaknya membuat cukup banyak cewek kepincut. Tetapi cinta memang aneh. Bukannya jatuh cinta pada salah satu cewek yang berusaha mendekatinya, Riza justru jatuh cinta pada cewek di Facebook yang bahkan belum pernah ia lihat sosoknya.

Nah, setelah introspeksi dan menyadari bahwa Eva mungkin tidak punya perasaan apa pun dengannya, Riza pun mulai mengurangi perhatian pada Eva. Di Facebook, Riza kadang mendapati Eva janjian temu dengan cowok-cowok lain, dan Riza makin yakin kalau selama ini dia hanya ge-er—mengira Eva naksir dirinya. Karenanya, ketika mendapati Eva kembali menulis status ajakan ketemuan, Riza pun meyakini bahwa status itu tidak dimaksudkan untuknya.

Sejak itu pula, Riza berusaha jaga jarak dengan Eva, agar bisa menetralkan perasaannya. Dia tidak ingin semakin tenggelam dalam perasaan cinta yang hanya akan membuatnya patah hati. Sebagai “pelampiasan” kegalauan, Riza kadang menulis puisi atau catatan singkat di Notes-nya di Facebook. Tidak dengan maksud apa pun, selain hanya menuangkan perasaannya yang galau. “Sialnya”, Eva sering memberikan komentar pada puisi atau catatan-catatan Riza, sehingga Riza terus kesulitan mengendalikan perasaan.

Karena kenyataan itu, Riza pernah meninggalkan Facebook cukup lama, dengan harapan tidak melihat Eva, sehingga bisa mulai belajar melupakan. Tetapi, kenyataannya, dia jatuh cinta pada cewek itu. Setelah beberapa lama tidak mengakses Facebook, Riza kadang kangen pada Eva. Maka dia pun masuk ke FB demi bisa melihat Eva, sekadar mengobati kerinduannya.

Pada waktu-waktu itulah, Riza sering merasa dilema. Di satu sisi, dia senang melihat Eva di Facebook, meski hanya lewat fotonya. Tetapi, di sisi lain, dia juga merasa perih menyaksikan Eva terlihat akrab dengan cowok-cowok lain. Keakraban Eva dengan cowok-cowok lain bahkan lebih “intim” dibanding keakraban Eva dengan Riza. Kenyataan itulah yang makin membuat Riza meyakini bahwa perasaan cintanya kepada Eva memang tidak perlu diteruskan.

Tetapi, setiap kali mendapati Riza ada di Facebook, Eva selalu mendekati, hingga Riza—mau tak mau—melayani interaksi. Selama berinteraksi, Eva menunjukkan sikap bahwa dia “open” untuk Riza. Tetapi, setelah Riza memberi respons, Eva kembali asyik dengan cowok-cowok lain—bukannya menjaga interaksinya dengan Riza tetap terjaga.

“Begitu terus-menerus,” ujar Riza kepada saya, dengan tampang kusut.

Saya mencoba persuasif, “Yeah, cewek memang kadang gitu, kan? Jinak-jinak merpati.”

“Menurutku, itu jinak-jinak keparat.”

Saya tertawa. Fakta bahwa Riza sampai menyebut “kata keramat” itu menunjukkan kalau dia sudah sampai pada frustrasi level tinggi.

Dalam bayangan Riza, jika Eva memang juga naksir dirinya—sebagaimana yang ditunjukkan selama ini di Facebook—Eva seharusnya menjaga interaksi mereka. Dengan kata lain, Riza berharap Eva terus menjaga interaksi mereka dan mengurangi kedekatannya dengan cowok-cowok lain, sehingga Riza yakin dengan perasaannya. Melihat sikap Eva, Riza justru merasa sedang dipermainkan. Ketika dia menjauh, Eva mendekat. Ketika Riza sudah mendekat, Eva menjauh—dia malah asyik dengan cowok-cowok lain lagi.

Karena frustrasi itu pula, Riza sempat absen lama dari Facebook. Sampai beberapa bulan dia tidak lagi masuk FB, demi menetralkan perasaannya. Dia pikir, masuk FB dan berinteraksi dengan Eva hanya membuatnya frustrasi, dan—bagi Riza—membaca buku jauh lebih menyenangkan daripada berurusan dengan cewek tidak jelas yang hanya membuatnya jengkel.

Beberapa bulan tidak mengakses Facebook, suatu malam Riza iseng masuk FB. Dia berinteraksi dengan teman-temannya seperti biasa, dan sama sekali tidak berniat ketemu Eva. Tetapi, ketika mendapati Riza muncul di FB, Eva langsung menyambar dengan sikap yang membuat Riza berdebar. Mendapati cewek pujaan hatinya menyapa, Riza tidak punya pilihan lain selain memberi respons. Waktu itu, Eva bahkan menyatakan kangen karena lama tidak melihat Riza di FB.

“Aku kudu piye?” batin Riza waktu itu dengan galau.

Karena interaksi tersebut, Riza kemudian membuka wall Eva untuk membaca status-status cewek itu, ingin tahu Eva menulis apa saja selama ini. Riza sempat terkejut, karena mendapati Eva sekarang telah berubah. Status-status Eva yang dulu cerdas dan elegan sekarang telah berganti dengan status-status yang vulgar.

Berdasarkan wall yang dibacanya, Riza mendapati perubahan itu dimulai beberapa bulan sebelumnya—saat dia mulai tidak masuk FB. Waktu itu, Eva ngobrol dengan teman-temannya sesama cewek, dan kebetulan obrolan mereka menjurus ke seks. Obrolan sesama cewek itu kemudian disambar banyak cowok, dan Eva serta teman-temannya merespons, hingga obrolan vulgar itu semakin menarik banyak orang, khususnya cowok-cowok.

Sejak itu, entah kenapa, Eva jadi lebih sering menulis status vulgar, dan cowok-cowok yang “mengerubutinya” semakin banyak. Riza semakin patah hati. Cewek yang dulu ia kagumi karena cerdas dan elegan sekarang berubah vulgar, membicarakan urusan seks secara terbuka dengan banyak cowok. Dan Eva tampaknya memang punya pengalaman yang luas tentang hal itu, sehingga membicarakan seks baginya semudah Riza membicarakan mie instan.

“Aku nggak masalah ngobrolin seks,” ujar Riza kepada saya. “Tapi sejujurnya aku risih jika ngobrolin seks secara terbuka, apalagi ramai-ramai.”

Dalam hal itu, saya sependapat dengan Riza. Sebagai cowok, saya juga senang-senang saja membicarakan seks dengan cewek. Tetapi dengan syarat mutlak—pembicaraan itu hanya melibatkan dua orang; saya dan cewek itu! Jika ada cowok lain yang nimbrung, saya tidak berminat. Mungkin kami tergolong cowok ketinggalan zaman, atau mungkin pula standar etika kami yang terlalu tinggi. Yang jelas, saya tidak tertarik—bahkan risih—jika harus membicarakan seks dengan cewek, tetapi ada banyak cowok lain yang terlibat.

“Sejak itu, aku makin jaga jarak dengan Eva,” ujar Riza. Tetapi, Riza menuturkan, Eva terus-menerus menjalankan praktik jinak-jinak keparat merpati. Saat Riza menjauh, Eva berupaya mendekati—mengajak Riza bercakap-cakap secara “intelek” seperti dulu. Kemudian, ketika Riza telah memberi respons, Eva kembali asyik ngobrol vulgar dengan cowok-cowok lain.

“Jadi apa sebenarnya yang dia inginkan?” tanyanya dengan jengkel.

Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Melihat wajah Riza yang nelangsa, saya tahu dia masih jatuh cinta pada Eva. Tetapi saya juga tidak berani menyarankan untuk terus mengharapkan Eva, mengingat sikap cewek itu yang tidak jelas—setidaknya bagi Riza. Mungkin Eva juga naksir Riza, seperti yang dirasakan dan dipikirkan Riza—tapi mungkin juga tidak.

Sambil menatap saya, Riza berkata, “Kamu bisa ngasih saran buatku?”

Setelah memikirkan sesaat, saya menggeleng. “Maaf, aku nggak bisa ngasih saran apa-apa.”

Riza menampakkan wajah kecewa. Kemudian, dia mengubah pertanyaan, “Kalau umpama kamu menempati posisiku, dan mengalami kisah yang kualami, apa yang kira-kira kamu lakukan?”

“Aku punya banyak hal untuk dipikirkan dan dikerjakan,” saya menjawab. “Jadi, kalau aku menempati posisimu, dan mengalami kisah seperti yang kamu alami, aku nggak akan buang-buang waktu dan energi sia-sia. Daripada ngurusin cewek nggak jelas, aku lebih suka ngurusin hal-hal lain yang lebih bermanfaat.”

....
....

Setelah itu, percakapan kami beralih topik ke buku.

 
;