Minggu, 01 Maret 2015

Dua Lelaki dan Hikayat Hati (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Lelaki Pertama mengambil gelas, menyeruput teh di dalamnya, lalu berkata perlahan-lahan, “Seperti yang kubilang tadi, hidup adalah soal pilihan. Kehidupan yang dijalani setiap orang adalah pilihan masing-masing. Dan, diakui atau tidak, pilihan yang diambil setiap orang dipengaruhi oleh tiga hal—kebutuhan, keinginan, atau tuntutan sosial. Orang ingin punya pacar dan berharap bisa menikah, dapat disebabkan karena kebutuhan, karena keinginan, atau karena tuntutan sosial. Termasuk kau, tentu saja.”

“Dan bagaimana denganmu?”

“Dan bagaimana denganku?” Lelaki Pertama tersenyum. “Aku tak jauh beda dengan orang lain. Aku akan memilih melakukan sesuatu yang kupikir perlu kulakukan. Sejujurnya, sebagai lelaki, aku kadang ingin punya pacar, bahkan kadang terpikir untuk menikah. Tetapi hidup—setidaknya hidupku—tampaknya belum memungkinkanku melakukannya. Ada hal-hal yang jauh lebih penting yang harus kulakukan, dan punya pacar atau pernikahan akan menghambat langkahku untuk mengerjakan hal-hal yang harus kulakukan.”

Lelaki Kedua mengangguk. “Aku memahami maksudmu. Tapi, tidakkah kau pernah berpikir punya pasangan mungkin akan lebih baik, karena pasanganmu dapat mendukung dan membantumu?”

Lelaki Pertama tersenyum misterius, dan berbisik, “Jangan membodohi dirimu sendiri. Kau tahu hal-hal semacam itu tidak akan terjadi.”

Lelaki Kedua menatap temannya dengan serius. “Sebenarnya, aku tidak tahu.”

“Kalau begitu menikahlah, dan kau akan tahu.”

Setelah itu, berjam-jam kemudian mereka membahas perkawinan, relung-relung terdalam psikologi manusia, dan setumpuk rahasia yang disembunyikan banyak orang dari mata orang lain.

“Aku mengamati,” ujar Lelaki Pertama. “Aku mengamati banyak hal, bertahun-tahun, mendengarkan orang-orang berbicara, menyaksikan pikiran mereka, membaca kehidupan mereka, dan semua itu mengendap dalam memoriku menjadi tumpukan data yang tak terhitung banyaknya. Dari semua itulah kemudian aku bisa mengambil jarak yang cukup objektif untuk menilai apakah aku memang membutuhkan perkawinan atau tidak. Well, kita semua membutuhkan jarak, untuk melihat dan menilai serta menakar apa pun dengan objektif. Tetapi hubungan, cinta, dan perkawinan, meretas jarak itu hingga kebanyakan orang kehilangan objektivitas.”

Sesaat mereka terdiam. Lelaki Pertama mengisap rokoknya yang makin memendek, kemudian berkata perlahan-lahan, “Apa yang dilakukan pelukis setelah menyelesaikan lukisan di kanvas? Dia akan mundur, menjauh dari kanvas, untuk melihat lukisannya dari jarak yang cukup objektif, untuk menilai apakah lukisan itu baik atau buruk. Apa yang dilakukan penulis setelah menyelesaikan tulisannya? Sama saja. Dia akan mengendapkan tulisan itu beberapa lama, kemudian membacanya lagi di lain waktu untuk menilai secara objektif apakah tulisannya layak baca atau tidak. Kita membutuhkan jarak untuk dapat menilai secara objektif. Tetapi, ketika jatuh cinta, apa yang kita lakukan? Benar, kita tidak memberi kesempatan pada diri sendiri untuk menilai secara objektif, karena perasaan, hati, dan pikiran kita telah sangat terpaut pada pasangan, sangat meyakini dia yang terbaik, hingga satu-satunya keinginan hanyalah segera menyatu. Karena itulah, seperti yang tadi kukatakan, kau akan tahu setelah menikah...”

“Kenapa aku akan tahu setelah menikah?” tanya Lelaki Kedua penasaran.

“Karena setiap orang akan tahu,” jawab Lelaki Pertama sambil tersenyum. “Sebagian orang telah tahu sebelum menikah. Jika mereka belum tahu, maka mereka akan tahu setelah menikah. Tetapi, yang jelas, setiap orang akan tahu kenyataan itu. Karenanya, seperti yang kunyatakan tadi, menikahlah dan kau akan tahu.”

“Kalau memang setiap orang seperti itu, kenapa selama ini tidak ada yang memberitahuku?”

Senyum Lelaki Pertama semakin lebar. “Jawabannya sederhana. Mereka tidak ingin memberitahumu.”

“Tapi kau tahu...”

Lelaki Pertama tertawa. “Tentu saja aku tahu! Karena itulah aku memberitahumu.”

“Uhm... kenapa ini jadi terdengar seperti berita buruk?”

Lelaki Pertama mematikan puntung rokoknya di asbak. “Aku tidak mengatakan seperti itu. Yang kumaksudkan, setiap orang akan tahu apa sebenarnya yang paling mereka inginkan, jika—dan hanya jika—mereka telah mengambil jarak dari yang akan mereka lakukan.”

“Tolong aku. Bisa diperjelas?”

“Sekarang bayangkan kau jalan-jalan ke swalayan, dan melihat pakaian yang sangat menawan. Kau menyukai pakaian itu, tertarik dengan semua yang ada pada pakaian itu, dan kau sangat ingin memilikinya. Lebih dari itu, kau punya cukup uang untuk membeli. Untuk mendapatkan pakaian itu, kau bisa mengajukan sejuta alasan—dari yang paling logis sampai yang tak masuk akal. Oh, well, pakaian itu sangat indah, hebat, menawan, dan kau punya uang. Apa salahnya membeli pakaian? Sejauh ini, kau setuju?”

Lelaki Kedua mengangguk. “Lanjutkan.”

“Mari andaikan kau membeli pakaian itu. Kau membayarnya di kasir, dan membawanya pulang. Pakaian itu pun milikmu. Setelah itu—dan hanya setelah itu—kau akan tahu, benar-benar tahu, apakah kau benar-benar membutuhkan pakaian itu atau tidak. Apa pun hasilnya, yang jelas pakaian itu sudah jadi milikmu. Tentu saja tidak masalah jika kenyataannya kau memang menyukai pakaian itu, dan tidak menyesali keputusanmu. Tetapi bagaimana jika sebaliknya?”

Setelah Lelaki Kedua mengangguk, Lelaki Pertama melanjutkan, “Sekarang andaikan kau mengambil jarak terlebih dulu pada pakaian yang membuatmu tertarik. Saat pertama kali tertarik, kau tidak buru-buru membelinya. Kau pulang, dan memikirkannya dengan tenang, bertanya pada dirimu sendiri, apakah kau benar-benar membutuhkan pakaian itu. Seberapa butuh? Atau hanya ingin? Atau jangan-jangan ketertarikan itu hanyalah nafsu sesaat karena melihat barang bagus? Bisa jadi, saat berpikir dengan tenang, kau teringat masih membutuhkan sesuatu yang jauh lebih penting, dan tiba-tiba pakaian itu tampak tidak penting. Pemikiran semacam itulah yang memberimu jarak untuk berpikir secara objektif, sebelum melakukan sesuatu yang akan kaulakukan.”

Sekali lagi Lelaki Kedua mengangguk. “Sekarang aku mulai memahami maksudmu.”

“Dan yang barusan kita bicarakan adalah pakaian. Peduli amat kalau ternyata kita tidak suka. Well, kita bisa memberikannya pada orang lain yang membutuhkan, atau bahkan membuangnya ke tempat sampah! Tapi bagaimana jika kenyataan semacam itu terjadi pada perkawinan? Bagaimana pun, kita tidak bisa memperlakukan perkawinan semudah kita memperlakukan sehelai pakaian.”

Lanjut ke sini.

 
;