Senin, 27 April 2015

Dari Dunia Maya ke Dunia Nyata (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Kesalahan banyak orang yang “bermain” hal seperti ini adalah tidak fokus, sehingga kurang mampu mengenali kepribadian orang yang dituju. Riana, misalnya, dia berharap Aldi memahami bahwa dia naksir dirinya. Riana pun mencoba mendekati Aldi melalui mention. Tapi jika Riana juga aktif me-mention puluhan cowok lain, bisa diperkirakan apa hasilnya? Benar, Aldi yang dituju belum tentu paham, sementara puluhan cowok lain yang tidak dituju bisa salah paham. Bisa jadi, Aldi juga naksir Riana. Tetapi, melihat Riana juga asyik dengan banyak cowok lain, Aldi bisa ragu-ragu.

Kalau kau berhubungan dengan cowok mana pun, ingat-ingatlah mantra sakti ini, “Sentuhlah dia tepat di egonya.” Itulah cara paling mudah, paling logis, dan tidak akan pernah usang sampai kapan pun, dalam hal “menjerat” cowok.

Jika Riana memang ingin Aldi memahami dan tertarik kepadanya, dia harus bisa menunjukkan kepada cowok itu, bahwa Aldi memang istimewa baginya. Jika konteks itu terjadi di Twitter atau di Facebook, Riana harus bisa membatasi interaksinya dengan cowok-cowok lain, dan menujukan fokusnya kepada Aldi sampai cowok itu paham. Dari sana, Riana akan tahu apakah Aldi memberi respons sebagaimana yang diinginkannya atau tidak.

Aturan tak tertulis di dunia gebet menggebet adalah, “Jangan pernah mengejar lebih dari satu kelinci.” Kalau kita naksir seseorang, fokuslah hanya kepadanya, sampai orang yang kita tuju telah jelas menunjukkan sikap negatif atau penolakan. Itu berlaku tidak hanya bagi cowok, tapi juga bagi cewek. Kalau kita mengejar dua kelinci sekaligus, keduanya justru akan lepas karena makin sulit ditangkap.

Sekarang, andaikan saja Riana telah berhasil “menjerat” Aldi, hingga cowok itu juga menunjukkan sikap yang sama—naksir Riana. Apa tugas selanjutnya? Tentu saja “menyeret” Aldi agar mau menemuinya. Bagaimana caranya?

Sekali lagi, sebenarnya tidak terlalu sulit. Lakukan dengan cara sebagaimana yang diinginkan Aldi!

Kembali lagi, fokus! Riana mungkin bisa memancing Aldi untuk ketemuan dengan menulis tweet tentang itu di timeline-nya. Tetapi, agar Aldi sungguh-sungguh paham bahwa tweet itu memang ditujukan untuknya, Riana harus fokus. Dia harus terus menjaga interaksinya dengan Aldi, sehingga Aldi benar-benar yakin tweet itu memang ditujukan untuknya. Jika Riana asyik cekikikan dengan puluhan cowok di Twitter, kemudian menulis tweet tentang ajakan ketemuan, bagaimana Aldi bisa yakin kalau tweet itu memang ditujukan untuknya?

Untuk kesejuta kalinya, fokus!

Ehmm... saya mau nyulut rokok dulu.

Sekarang andaikan Riana telah berhasil membuat Aldi paham bahwa dia menginginkan pertemuan. Apa yang harus dipahami di sini?

Perhatikan, saat Riana dan Aldi bertemu, mereka bukan bertemu sebagai teman, tetapi akan bertemu sebagai dua orang yang sama-sama naksir. Latar belakang itu kadang menjadikan pertemuan sangat kaku, khususnya jika tidak ada kesadaran masing-masing. Untuk hal ini, ada kisah seorang teman yang bisa saya ceritakan.

Dika (bukan nama sebenarnya) kenal dan saling naksir dengan seorang cewek di dunia maya. Sebut saja namanya Cici. Singkat cerita, mereka telah berkomunikasi cukup baik, sampai kemudian janjian untuk ketemu. Dika pun datang ke kota Cici yang jaraknya cukup jauh, berharap itu bisa menjadi pertemuan menyenangkan. Tetapi harapan Dika pupus. Sikap Cici menurutnya sangat kaku. Meski mereka sama-sama mengharapkan pertemuan itu, Cici tampak sok jaim sehingga menjadikan Dika bingung dan serba salah.

Dika memahami mungkin Cici deg-degan bertemu dengannya, tetapi Dika juga mengakui bahwa dia sama deg-degan saat bertemu Cici. Kalau saja mereka bertemu sebagai teman, urusannya mungkin tidak akan seruwet itu. Tapi mereka bertemu sebagai dua orang yang saling naksir. Urusan akan semakin ruwet, jika si cowok kebetulan cowok baik-baik, dalam arti bukan bangsat yang biasa berhubungan dengan cewek. Di situlah dibutuhkan kesadaran masing-masing—tidak hanya dari si cowok, tetapi juga dari si cewek.

Kenyataan itulah yang dihadapi Dika. Dia cowok baik-baik yang tidak biasa berurusan dengan cewek. Dia rela datang jauh-jauh ke kota tempat tinggal Cici, karena percaya itu akan jadi pertemuan yang manis. Ketika menghadapi sikap Cici yang ternyata kaku dan sok jaim, Dika tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Singkat cerita, kisah itu pun selesai di situ. Sejak itu, mereka memang masih berinteraksi di dunia maya, tapi perasaan Dika kepada Cici sudah lenyap. Bahkan, jika Cici kembali meminta mereka bertemu, Dika mengatakan belum tentu mau.

Apa pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah itu? Cewek-cewek perlu memahami, bahwa ketika dua orang yang saling naksir bertemu, bukan hanya cewek yang (mungkin) merasa berdebar. Si cowok juga merasakan hal yang sama. Dalam konteks kisah Dika, keduanya saling naksir—artinya bukan hanya Dika yang naksir Cici. Tetapi, saat mereka bertemu, Cici bersikap sok jaim seolah hanya Dika yang naksir dirinya.

Sok jaim—ya Tuhan, tidak ada kalimat lain yang bisa saya gunakan untuk mendefinisikan istilah itu selain, “Sikap keparat yang sangat menjengkelkan dan membosankan, hingga seorang genius sekali pun berubah menjadi idiot saat dihadapkan pada cewek yang bersikap semacam itu!”

Jadi, hei cewek-cewek, kalau kalian memang naksir seorang cowok, dan kalian yakin dia cowok baik-baik, singkirkanlah sikap terkutuk itu! Dalam skala ekstrem, saya bahkan lebih memilih cewek biasa yang tidak sok jaim, daripada cewek hebat dan istimewa tapi sangat sok jaim.

Itu kunci penting yang harus diingat cewek mana pun yang akan bertemu dengan cowok yang ditaksirnya. Jadilah ramah dan jujur, hadapi si cowok dengan senyum. Jangan sok jaim, jangan sok jaim, dan jangan sok jaim!

Latar belakang itu pulalah yang menjadikan saya sangat berhati-hati jika akan bertemu dengan cewek yang saya kenal di dunia maya. Jika saya mengenal cewek di dunia maya, lalu saling merasa cocok, dan dia menginginkan pertemuan, maka syarat standar yang harus dipenuhi terlebih dulu adalah: Kami telah bisa bercakap-cakap dan saling tertawa! Jika syarat itu tidak terpenuhi, sampai kiamat pun kami tidak akan pernah bertemu!

Syarat itu terpaksa saya gunakan, demi menghindari sikap sok jaim yang bisa muncul saat kami bertemu. Demi Tuhan, saya membenci sikap sok jaim seorang wanita, sebesar kebencian saya pada iblis di neraka! Sok jaim adalah mempersulit hal-hal mudah, dan saya tidak punya waktu untuk disia-siakan. Sok jaim adalah mengubah kejujuran menjadi kemunafikan, mengatakan “tidak” ketika ingin menjawab “ya”. Itu sangat menjengkelkan, membingungkan, sekaligus membosankan!

Karena itulah, saya mengharuskan syarat itu: Sebelum bertemu, kami telah bisa bercakap-cakap dan saling tertawa. Setidaknya, dengan adanya keakraban semacam itu, pertemuan kami nantinya akan lebih mudah dijalani karena tidak terlalu kaku. Rasanya tentu sangat menjengkelkan kalau kita sudah jauh-jauh melakukan perjalanan—mengeluarkan tenaga, waktu, biaya—demi menemui seseorang, tapi sikap orang itu sangat menjengkelkan.

Karenanya, sekali lagi, cewek perlu mengingat hal itu, dan menyadari sepenuhnya. Buanglah sikap sok jaim, dan hadapilah si cowok dengan jujur. Fakta bahwa si cowok telah rela menempuh perjalanan jauh demi untuk menemuimu, sudah cukup sebagai bukti bahwa kau istimewa baginya. Karenanya, perlakukan dia secara layak, dan—demi Tuhan—buang jauh-jauh sikap sok jaim yang terkutuk dan terlaknat.

Sebentar. Rokok saya mati. Korek mana korek?

Well, uraian di atas kebanyakan ditujukan untuk cewek. Bagaimana dengan cowok? Sepertinya saya tidak perlu mengajari, karena rata-rata cowok sudah cukup paham hal-hal seperti ini. Namun, kalau boleh mengingatkan, temuilah cewek gebetanmu ketika pikiranmu benar-benar segar. Dengan kata lain, jangan bertemu ketika sedang stres atau ketika sedang punya beban pikiran. Untuk hal ini, ada pengalaman pribadi yang bisa saya ceritakan.

Saya pernah kenal seorang cewek di dunia maya. Dari awal, semuanya berlangsung lancar, tidak ada masalah. Dia tipe cewek yang asyik di mata saya; jujur, apa adanya, tidak sok jaim, dan—ini yang paling penting—punya inisiatif. Dia memahami karakter saya yang introver, dan dia benar-benar tahu cara menghadapi saya. Obrolan kami pun nyambung dengan mudah. Kami bercakap-cakap dengan akrab, saling bercanda, tertawa, dan semuanya berjalan dengan menyenangkan.

Selama berinteraksi dengannya di dunia maya, saya merasa nyaman. Dia orang biasa—bukan tipe “seleb” yang punya banyak groupis. Jadi kami pun ngobrol dengan asyik layaknya teman, tanpa ada orang lain yang mengganggu. Dia fokus kepada saya, sebagaimana saya fokus kepadanya. Saya menyukai—dan hanya menyukai—suasana percakapan pribadi semacam itu.

Lalu kami janjian untuk ketemu. Karena kami telah menjalani kebersamaan yang akrab di dunia maya, saya pun tidak keberatan pergi jauh ke tempat tinggalnya. Ketika saya bertanya, “Enaknya berapa hari?”

Dia menjawab, “Bagaimana kalau tiga hari? Dari Jum’at sampai Minggu?”

Perhatikan, dia menjawab dengan inisiatif—bukan mengajukan jawaban membingungkan semacam, “Terserah!” (Sebagai cowok, saya sangat menyukai dan menghargai inisiatif semacam itu.)

Dia bahkan melakukan yang lebih baik lagi. Karena kebetulan hari yang dijanjikan bertepatan dengan akhir pekan—dan biasanya hotel-hotel akan fully booked—dia pun berinisiatif memesankan hotel untuk menginap. Sampai di sini, semuanya baik-baik saja, dan saya sangat menghargai inisiatifnya.

Lalu saya datang ke tempat tinggalnya. Yang jadi masalah, waktu itu kebetulan saya sedang sangat stres. Ketika pergi, saya pikir acara pertemuan itu bisa menjadi semacam hiburan yang akan membantu meredakan stres. Tapi rupanya saya keliru. Gara-gara stres yang sedang saya alami, acara pertemuan kami tidak berjalan semanis yang kami harapkan. Meski fisik saya ada di sana, pikiran saya ada di tempat lain.

Selama di sana, kami sebenarnya menikmati kebersamaan yang menyenangkan—menonton film, jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, menyaksikan kabaret, sampai ngobrol larut malam di kedai Starbucks. Namun, pikiran saya tidak fokus pada pertemuan kami, karena sedang dibebani hal lain yang membuat stres. Akibatnya, mungkin ada sikap tertentu yang saya lakukan tanpa sadar, namun tidak disukainya. Singkat cerita, itu menjadi pertemuan yang kurang mengesankan.

Jadi, kalau ingin menemui cewek yang kalian kenal di dunia maya, sebaiknya temuilah saat pikiran sedang segar, hingga bisa fokus pada pertemuan yang sedang dijalani, juga agar kalian bisa menghadapinya dengan lebih baik. Menemui seorang cewek dalam kondisi stres bisa membuat acara berantakan, karena fisik dan pikiran tidak sejalan. Saya telah mengalami. Kalian tidak perlu mengulangi.

Akhirnya, selamat menemui teman atau gebetan kalian. Semoga menjadi pertemuan yang berkesan dan menyenangkan.

Dari Dunia Maya ke Dunia Nyata (1)

Cara terbaik mendapat pasangan:
Fokuslah hanya pada satu orang, dan tunjukkan kepadanya.
Setelah itu... biarkan cinta melakukan tugasnya.
@noffret


Catatan ini adalah follow up dari catatan sebelumnya; Curhat Cowok tentang Cewek yang Membuatnya Jatuh Cinta. Karenanya, beberapa bagian dalam catatan ini mengacu pada kasus tersebut.

***

Pertemuan yang berawal dari dunia maya ke dunia nyata bukan hal aneh. Itu bahkan sangat biasa di zaman sekarang. Tidak hanya untuk pertemanan, namun juga sampai pada tahap yang lebih serius, semisal pacaran dan seterusnya. Untuk pertemuan yang berdasar pertemanan semata mungkin tidak perlu dibahas lebih lanjut, karena siapa pun tentu sudah paham. Yang perlu kita bicarakan, mungkin, adalah pertemuan yang bertendensi untuk berhubungan lebih dari teman. 

Sebagaimana di dunia nyata, di dunia maya juga terjadi praktik gebet menggebet. Banyak orang punya gebetan di dunia maya. Jika didefinisikan, “gebetan” memiliki arti kira-kira “orang yang kita taksir, dan kita harapkan menjadi pacar”.

Di berbagai sosial media, banyak orang yang mengincar seseorang, lalu berusaha mendekati, dengan harapan orang yang dituju bisa menjadi pacar. Karena mereka bertemu di dunia maya, bisa jadi tempat tinggal mereka berjauhan—bisa luar kota sampai luar negeri. Karenanya, tugas para “penggebet” di dunia maya bukan hanya “menggebet” orang yang dituju, tapi juga mencari cara agar mereka bisa bertemu. Kadang-kadang, itu bukan hal mudah, khususnya jika orang yang kita gebet tergolong sibuk atau karena faktor lainnya.

Jika si penggebet adalah cowok, dan yang digebet adalah cewek, urusannya mungkin tidak akan terlalu sulit. Nyaris setiap cowok tahu yang harus dilakukan, dan mereka pun bisa melakukannya—dengan cara paling norak sampai paling elegan. Kalau pun ditolak atau diabaikan, bisa dibilang bukan masalah, toh cowok memang sekali-sekali ditolak cewek. Tapi bagaimana kalau pihak ceweklah yang naksir?

Bayangkan ilustrasi ini.

Riana naksir seorang cowok di Twitter, bernama Aldi. Riana pun mencoba mendekati Aldi, melalui mention atau semacamnya. Pertanyaan besarnya, tentu, bagaimana agar Aldi memahami maksud Riana? Sebagai cewek, Riana tidak bisa terus terang secara vulgar menyatakan maksudnya kepada Aldi. Tapi dia ingin Aldi memahami kalau dia sedang mendekatinya, dan berharap Aldi memberi respons yang sama. Bagaimana caranya?

Sebenarnya tidak terlalu sulit. Yang pertama kali harus diperhatikan Riana adalah mengetahui dan memahami karakter Aldi, kemudian “bermain” dengan cara yang diinginkan Aldi. (Jika saya harus menguraikan hal ini secara detail, penjelasannya bisa sepanjang 350 SKS, dan kalian bisa mati bosan.) Intinya, agar Aldi memahami dan memberi respons seperti yang diharapkan Riana, maka Riana harus melakukan segalanya seperti yang diharapkan Aldi.

Setiap cowok memiliki kepribadian berbeda. Suatu trik menggebet yang mungkin berhasil diterapkan untuk satu cowok, belum tentu akan berhasil pula jika diterapkan pada cowok lain. Karenanya, kalau kau cewek dan berencana menggebet seorang cowok, perhatikan—benar-benar perhatikan—karakter dan kepribadiannya, lalu “bermainlah” sesuai kepribadiannya.

Kadang ada cewek-cewek yang terlalu pede, dan meyakini, “Cara paling mudah menggaet cowok adalah dengan ngomongin seks!”

Mungkin, ya. Kenyataannya, cewek yang ngomongin seks di Twitter, misalnya, biasanya akan “dikerubuti” cowok-cowok yang mengirim mention. Tetapi tidak semua cowok seperti itu! Sebagian cowok justru risih jika membicarakan seks dengan lawan jenis secara “keroyokan”, karena lebih suka membicarakan seks jika hanya berdua. Jika topik itu diobrolkan di ruang terbuka, semisal Twitter, cowok jenis itu hanya mau jika tidak ada orang lain yang terlibat—alias hanya dia dan si cewek.

Tidak usah jauh-jauh, saya sendiri termasuk cowok yang tak bisa “dipancing” dengan obrolan seks, jika ada orang lain yang ikut terlibat dalam obrolan tersebut. Bahkan, umpama saya tertarik pada seorang cewek, tapi kemudian mendapatinya asyik mengobrolkan seks secara terbuka dengan banyak cowok, ketertarikan saya akan hilang. Saya hanya mau mengobrolkan seks dengan cewek, dengan satu syarat mutlak—obrolan itu hanya melibatkan saya dan si cewek! Jika ada orang lain nimbrung, saya akan mundur.

Sebagai manusia normal, tentu wajar jika kita sesekali mengobrolkan seks, khususnya dengan orang dekat. Tapi menjadi tidak wajar, bahkan membosankan, jika obrolan kita setiap saat hanya seks dan selangkangan. Oh, well, tidak ada yang lebih membosankan di dunia ini selain orang yang topik obrolannya cuma seks, selangkangan, seks, selangkangan, seks, selangkangan... apalagi jika membicarakannya secara vulgar dengan sembarang orang atau dengan banyak orang.

Di dunia ini hanya ada dua tempat yang bisa kita gunakan untuk membicarakan seks secara terbuka dengan banyak orang. Pertama di seminar, dan kedua dalam tulisan ilmiah (atau setidaknya dalam tulisan satu arah—tidak ada komunikasi antara pembaca dan penulis). Di luar itu, obrolan seks dengan orang banyak akan menjadi vulgar, bahkan murahan. Dan saya tak pernah tertarik dengan apa pun yang murahan.

Tentu munafik kalau saya mengatakan tidak tertarik pada seks. Sebagai lelaki normal, tentu saya punya ketertarikan pada seks. Tetapi bukan berarti saya akan tertarik dengan orang (cewek) yang asyik mengumbar obrolan seks secara demonstratif dengan siapa pun. Bahkan, jika teman saya—cowok maupun cewek—asyik mengobrolkan seks dengan banyak orang secara vulgar, saya akan merasa risih, hingga akan pura-pura tak mengenalnya.

Jadi, kalau kau ingin saya menjauhimu, caranya sangat mudah. Obrolkan saja seks dan selangkangan secara vulgar dengan banyak orang setiap saat, maka saya akan segera menjauhimu, dan akan pura-pura tak mengenalmu. Dan, asal kalian tahu, di dunia ini ada banyak cowok seperti saya. Mereka mungkin cowok-cowok biasa, tidak terkenal, tidak suka cari perhatian, tapi yang jelas mereka cowok-cowok baik yang ingin mendapatkan pacar yang sama baik.

Karenanya, sekali lagi, sebelum mencoba menggebet seorang cowok, perhatikan terlebih dulu karakter dan kepribadiannya. Salah melangkah dalam hal itu bukan hanya akan membuat gebetanmu lepas, tapi bisa jadi dia malah ilfil.

Sebenarnya, urusan semacam ini di dunia maya (Facebook, Twitter, atau lainnya) tidak terlalu sulit, karena kita bisa mengenali kepribadian orang per orang melalui tulisannya, kebiasaannya, atau sikap dan tingkah lakunya. Profil dan interaksi di dunia maya diwakili tulisan, semua percakapan juga dilakukan melalui tulisan. Kalau kita cukup peka, kita bisa memahami karakter orang per orang melalui tulisannya. Lebih mudah lagi jika orang yang kita tuju memiliki blog, hingga kita bisa langsung mengenali karakter dan kepribadiannya secara utuh.

Lanjut ke sini.

Wasiat Gwen Stacy

“Mudah sekali merasa penuh harapan di hari indah seperti ini. Tetapi ada masa gelap yang menanti kita di depan. Ada kalanya kalian merasa kesepian—itu saat ketika harapan sangat dibutuhkan.

“Tak peduli betapa sulit masa yang kaujalani, atau betapa menderitanya dirimu, kau harus berjanji kepadaku... bahwa kau akan terus memegang teguh Harapanmu.

“Teruslah bertahan. Kita harus bangkit dari penderitaan. Harapanku untuk kalian, kalian akan menjadi Harapan.

“Semua orang membutuhkan Harapan. Walaupun kita gagal, itu tetap cara terhebat menjalani hidup.

“Saat kita memandang sekitar kita hari ini, ke semua orang yang membantu kita menjadi seperti sekarang, aku tahu rasanya mengucapkan selamat tinggal. Tapi kita akan membawa kenangan satu sama lain ke dalam kehidupan kita selanjutnya. Untuk mengingatkan diri kita sebenarnya, dan akan menjadi apa kita.

“Empat tahun bersama kalian begitu luar biasa. Aku akan merindukan kalian semua.”

—Diucapkan Gwen Stacy pada hari wisuda


Dalam hidupnya yang singkat, Gwen Stacy telah menunjukkan dirinya seorang mbakyu. Sosok perempuan yang tahu cara menghadapi bocah introver di balik topeng Spiderman.

Tuhan mengasihimu, Gwen.

Kamis, 23 April 2015

Autis, Ayan, Gila

Ibuku berkata pada teman-temannya, “Ya, anak saya memang gila.”
Entah dia bangga atau menyesal waktu mengatakannya.
@noffret


Kita pasti sering mendengar atau mendapat nasihat agar tidak menggunakan kata “autis” yang ditujukan untuk olok-olok. Larangan itu muncul, karena sebagian orang kadang menggunakan istilah atau kata “autis” untuk menyebut atau mengolok-olok orang lain. Misalnya, saat melihat seseorang asyik sendiri dengan ponselnya, mereka kadang berkomentar, “Kalau sudah pegang ponsel, dia benar-benar jadi autis!”

Ada teman saya yang bingung dengan larangan tersebut. Sebut saja namanya Deni. Menurut Deni, apa salahnya menggunakan kata “autis” untuk menyebut seseorang yang terlalu asyik sendiri dengan aktivitasnya?

Saya mencoba menjelaskan, larangan itu mungkin timbul karena penggunaan kata “autis” untuk tujuan mengolok-olok bukan hal baik, khususnya jika didengar orang yang kebetulan punya anak atau adik yang mengidap autisme.

Deni tidak puas dengan penjelasan umum itu. Dia menyatakan, “Aku sering melihatmu asyik sendiri kalau sedang membaca buku. Kalau aku bilang kamu autis jika sudah pegang buku, apakah kamu marah?”

“Tidak,” saya menjawab jujur.

“Kalau aku menyebutmu autis karena asyik sendiri dengan bukumu, apakah kamu akan menganggap itu sebagai ejekan?”

“Tidak,” jawab saya lagi.

Deni menatap saya. “Aku menyebutmu autis, dan kamu tidak marah, karena tidak menganggap itu sebagai ejekan. Jadi, apa masalahnya?”

Saya mencoba menjawab dengan sabar, “Masalah sebenarnya mungkin bukan pada orang yang dituju atau disebut autis, sebagaimana yang kamu contohkan. Yang jadi masalah adalah jika ucapanmu didengar orang yang kebetulan punya anak, adik, atau keluarga, yang benar-benar menyandang autisme. Bisa jadi ucapanmu tadi menyinggung atau menyakiti perasaan mereka.”

“Kenapa mereka harus tersinggung?” sahut Deni dengan bingung. “Aku tidak mengolok-olok anak atau adik atau keluarga mereka. Aku sedang mengolok-olokmu. Kalau kamu tidak marah dengan olok-olok yang kulontarkan, kenapa orang lain harus tersinggung?”

Sesaat, saya kebingungan.

Sekilas, ucapan Deni terdengar benar. Dia tidak mengolok-olok siapa pun. Dia mengolok-olok saya. Kalau saya yang diolok-olok tidak tersinggung, kenapa orang lain harus tersinggung?

Deni masih diam, seperti menunggu saya menjawab.

Saya mengambil rokok, menyulutnya, mengisapnya sesaat, kemudian berkata perlahan-lahan, “Mungkin begini. Bayangkan seorang ibu yang kebetulan memiliki anak yang mengidap autisme. Dia sangat kerepotan mengurusi anaknya yang berkebutuhan khusus itu, setiap hari harus menghadapi segala macam kelakuannya yang mungkin merepotkan bahkan menyulitkan. Nah, kemudian dia mendengarmu mengolok-olokku autis. Bisa saja dia tersinggung atau bahkan sakit hati, karena masalah anaknya digunakan sebagai bahan ejekan atau olok-olok. Meski kamu sedang mengolok-olokku, dan aku tidak tersinggung, tapi dia bisa saja tersinggung.”

Deni mengangguk. Kemudian melontarkan pertanyaan tak terduga, “Lalu bagaimana dengan ayan?”

“Bagaimana dengan... apa?”

“Ayan, epilepsi.” Deni menjelaskan. “Banyak orang menggunakan kata ‘ayan’ untuk mengejek atau mengolok-olok orang lain. Kenapa itu tidak dipersoalkan?”

Saya paham maksud Deni. Dalam pergaulan sehari-hari, kita juga pasti sering mendengar teman kita mengolok-olok atau mencandai temannya dengan sebutan “ayan”. Misalnya, “Kamu kalau menari kayak orang ayan.” Atau, istilah itu juga kadang digunakan untuk mengolok-olok diri sendiri. Misalnya, “Karena patah hati, aku pun kejang-kejang kayak orang ayan.”

Pertanyaan Deni tadi mengingatkan salah satu bagian masa kecil saya. Sewaktu SMP, saat sedang jalan kaki pulang sekolah, saya mendapati kerumunan tidak jauh dari sekolah. Orang-orang tampak menonton sesuatu. Karena penasaran, saya pun mendekat, untuk melihat apa yang sedang mereka tonton.

Di tengah kerumunan, saya menyaksikan seorang lelaki—mungkin usianya sekitar 20-an—sedang telentang di tanah, dengan tubuh kejang-kejang dan ekspresi yang aneh. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Jadi saya ikut menonton, dan bertanya-tanya apa yang menimpa lelaki itu. Tidak lama kemudian, seorang wanita datang, dan membubarkan kerumunan dengan wajah antara sedih dan marah. Wanita itu mungkin ibu si lelaki yang kejang-kejang tadi.

Sejak itulah kemudian saya tahu bahwa yang menimpa lelaki tadi disebut epilepsi atau ayan. Ketika kumat, dia akan terjatuh, kemudian kejang-kejang dengan ekspresi aneh seperti yang tadi saya saksikan. Yang mengkhawatirkan, kadang dia kumat tanpa pandang tempat. Berdasarkan cerita yang sekilas saya dengar dari orang-orang yang berkerumun, lelaki pengidap ayan itu kadang kumat tiba-tiba ketika sedang ada di jalan raya. Itu jelas berbahaya, karena dapat mengancam keselamatannya.

Sejak itu pula, saya mulai menyadari bahwa di dunia ini ada penyakit atau masalah medis yang disebut epilepsi, dan bahwa di sekitar saya ada orang yang mengidap masalah tersebut. Bahkan sampai hari ini, saya masih bisa mengingat ekspresi wanita yang mendatangi anaknya yang sedang kumat itu, bertahun-tahun lalu. Sebentuk ekspresi kasih seorang ibu, bercampur sedih dan amarah. Mungkin sedih menghadapi nasib anaknya, dan marah karena masalah anaknya dijadikan tontonan orang-orang.

Dan sekarang, Deni bertanya, “Kenapa orang-orang menggunakan kata ‘ayan’ untuk mengejek atau mengolok-olok temannya? Kenapa itu tidak dipersoalkan, padahal kita dilarang menggunakan kata ‘autis’ untuk tujuan yang sama?”

Sekali lagi saya kebingungan menghadapi pertanyaan Deni.

Sekilas, yang dinyatakan Deni memang ada benarnya. Autis maupun ayan sama-sama masalah medis. Jika kita dilarang menggunakan kata “autis” untuk mengolok-olok orang lain, kenapa kita bisa leluasa menggunakan kata “ayan” untuk tujuan yang sama?

Jika memang penggunaan “autis” dilarang untuk olok-olok, seharusnya masalah medis lain—semisal “ayan”—juga dilarang. Jika ibu yang memiliki anak penderita autisme bisa tersinggung masalah anaknya digunakan olok-olok, tentunya ibu yang memiliki anak penderita epilepsi juga sama tersinggung kalau masalah anaknya digunakan untuk tujuan yang sama.

“Juga jangan lupa,” ujar Deni, “kita pun terbiasa menggunakan istilah ‘gila’ untuk menyebut atau mengolok-olok orang lain. Padahal, ‘gila’ tak jauh beda dengan ‘autis’ atau ‘ayan’. Tapi kita biasa menggunakan istilah ‘gila’ untuk berbagai tujuan, termasuk untuk bercanda dan mengolok-olok.”

Kembali saya terdiam. Kali ini lebih lama. Sambil mengisap rokok, saya menyadari betapa seringnya kita menggunakan istilah “gila” untuk berbagai maksud dan tujuan, sebagaimana yang disebut Deni. Saat mengolok-olok teman, kita bisa enteng menyatakan, “Kamu memang gila!” Atau saat melihat sahabat melakukan hal-hal tertentu, kita tersenyum sambil berujar, “Dasar gila, lo!”

Padahal, “gila” adalah istilah yang merujuk kondisi kejiwaan bermasalah. Orang yang mengalami masalah kejiwaan, umum disebut gila. Bahkan ada rumah sakit khusus untuk orang-orang semacam itu, yang disebut Rumah Sakit Jiwa atau lazim disingkat RSJ. Artinya, ada orang-orang yang mengidap masalah tersebut, kemudian keluarganya membawa dia ke Rumah Sakit Jiwa untuk berobat. Tak jauh beda dengan ayan atau epilepsi, gila adalah masalah yang bisa menimpa orang per orang.

“Aku punya famili yang kebetulan mengalami masalah kejiwaan,” ujar Deni. “Dia kakak sepupuku. Aku tidak tahu apa masalah atau penyebabnya, yang jelas dia dinyatakan gila, dan dibawa ke RSJ. Sepulang dari RSJ, dia kelihatan waras, seperti umumnya orang lain. Tapi kadang dia kumat, lalu berteriak-teriak tidak jelas, atau tertawa-tawa sendiri. Ya seperti orang gila. Masalah itu sudah berlangsung beberapa tahun, dan sampai sekarang tampaknya belum sembuh total. Kadang waras, kadang kumat.”

Setelah terdiam sesaat, Deni melanjutkan, “Aku tahu bagaimana repotnya keluarga dalam menangani kakak sepupuku yang bermasalah itu. Orangtuanya sudah menghabiskan banyak biaya untuk berobat. Mereka juga telah biasa dengan ulah kakak sepupuku yang sangat merepotkan ketika kumat. Pernah, saat aku di rumahnya, aku mendapatinya sedang kumat. Dia berteriak-teriak tidak jelas, dan kami semua menarik-nariknya agar masuk rumah, sementara orang-orang menyaksikan kami.”

Saya masih mendengarkan.

“Meski begitu,” lanjut Deni, “sejujurnya kami tidak tersinggung ketika mendengar orang lain menggunakan istilah ‘gila’ untuk mengolok-olok temannya. Kami menyadari bahwa olok-olok itu tidak dimaksudkan untuk mengejek kakak sepupuku—itu murni olok-olok umum yang digunakan banyak orang. Bahkan aku atau para sepupuku yang lain juga tidak masalah menggunakan istilah itu untuk saling olok-olok, karena kami sadar bahwa olok-olok itu tidak ditujukan untuk sepupu kami yang kebetulan gila.”

Saya mengangguk-angguk, memahami maksud cerita Deni.

Kemudian, Deni kembali mengajukan pertanyaan awal, “Jadi, kalau kita menganggap tidak masalah menggunakan istilah ‘ayan’ atau ‘gila’ untuk mengolok-olok orang lain, kenapa kita harus marah ketika orang lain menggunakan istilah ‘autis’ untuk tujuan yang sama?”

Setelah memikirkan sesaat, akhirnya saya menjawab, “Sejujurnya, aku tidak tahu, Den.”

Apakah di Surga Ada Mbakyu?

Di dunia ini, aku tidak punya mbakyu. Kalau di surga juga tidak ada mbakyu, oh well, malang sekali nasibku.

Noffret’s Note: Prefer Reading

Berapa kali seseorang memulai suatu era baru di dalam hidupnya karena membaca buku? —Henry David Thoreau #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015

Untuk setiap wabah yang melanda dunia, selalu ada penawarnya. Buku dan aktivitas membaca adalah penawar wabah kebodohan. #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015

Soekarno tidak akan menjadi Soekarno, dan Hatta tidak akan menjadi Hatta, kalau mereka tidak membaca buku. #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015

Tunjukkan seorang hebat kepadaku, dan akan kutunjukkan kepadamu seorang pembaca buku. #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015

Seorang bocah pesakitan yang dijuluki “Si Bego” berhasil menjadi presiden AS, karena sebuah buku. Namanya John F. Kennedy. #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015

Seorang wanita korban kekerasan berubah menjadi wanita yang menginspirasi dunia, karena sebuah buku. Namanya Maya Angelou. #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015

Seorang tak lulus SD berhasil menjadi penemu dan pencipta terbesar sepanjang masa, karena sebuah buku. Namanya Thomas Edison. #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015

Seorang pelayan toko bisa menjadi orang paling berpengaruh di Amerika Serikat, karena sebuah buku. Namanya Abraham Lincoln. #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015

Seorang penderita buta, tuli, dan bisu, menjadi wanita yang menginspirasi dunia, karena sebuah buku. Namanya Helen Keller. #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015

Seorang anak miskin dan bodoh berhasil menjadi anak muda paling kaya di Malaysia, karena sebuah buku. Namanya Billy PS. Lim. #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015

Seorang wanita frustrasi menjadi sosok yang menginspirasi jutaan orang di dunia, karena sebuah buku. Namanya Rhonda Byrne. #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015

Membaca buku adalah pekerjaan sunyi yang mengubah jauh lebih banyak dibanding suara sekeras apa pun di muka bumi. #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015

Untuk setiap satu orang yang memilih membaca daripada sibuk bicara, artinya satu lagi orang terbebas dari wabah kebodohan. #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015

Betapa banyak kehidupan berubah lebih baik karena membaca buku. Selamat Hari Buku Sedunia! #PreferReading
—Twitter, 23 April 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Minggu, 19 April 2015

Cinta Putih

Kalau kita mencintai sepenuhnya,
kita tak pernah kehilangan sepenuhnya.
@noffret 


Saya melihat perempuan itu pertama kali, tepat pada hari ketika saya memutuskan untuk bunuh diri. Dia tidak tahu, tak pernah tahu, bahwa keberadaannya bukan hanya menyelamatkan hidup saya, tetapi juga mengubah total kehidupan yang kemudian saya jalani. Selama bertahun-tahun saya menyimpan kisah ini di hati, hingga sekarang saya memutuskan untuk menuliskannya di sini.

Kalau kau pernah mengalami kehidupan sebagai bocah miskin, bodoh, dan terbelakang, kau akan memahami kisah yang akan saya ceritakan ini.

Waktu itu saya kelas dua SMP—bodoh, miskin, kuper, dan menatap hidup begitu gelap. Beratnya hidup semenjak kecil telah memaksa saya dewasa sebelum waktunya. Dan dengan “kedewasaan” yang begitu naif waktu itu, saya menatap masa depan begitu suram. Tidak ada masa depan bagi bocah tanpa harapan seperti saya.

Di sekolah, setiap bulan saya khawatir dipanggil ke kantor TU untuk ditagih pembayaran SPP yang selalu nunggak. Setiap saat saya prihatin jika ada guru yang mewajibkan murid-murid membeli buku, atau memfotokopi sesuatu, dan saya tidak bisa melakukannya karena ketiadaan uang. Setiap waktu saya terus makan hati karena tidak bisa seperti teman-teman. Tetapi, di atas semua itu, yang paling membuat saya depresi adalah mimpi-mimpi buruk yang sering mencengkeram saya setiap malam.

Entah karena banyaknya pikiran atau beratnya beban yang saya tanggung, saya sering mengalami mimpi buruk saat tidur. Sering saya terjaga di tengah malam, dengan keringat membasah, lalu kebingungan sendirian, dan merasakan kepala yang sangat berat. Kelak, bertahun-tahun kemudian, saya harus mengonsumsi berbutir-butir pil pereda sakit kepala setiap hari, demi mengatasi pusing yang setiap saat menyerang.

Tapi waktu itu saya belum mengenal obat sakit kepala. Waktu itu, dengan segala kepolosan sebagai bocah, saya bahkan memutuskan untuk bunuh diri—tepat ketika saya baru naik kelas dua SMP. Dengan segala beban hidup dan masa depan yang gelap dan suram, ditambah mimpi buruk setiap malam, saya pikir tak ada gunanya meneruskan hidup, karena sama artinya menyiksa diri sendiri.

Waktu itu belum ada internet, dan metode bunuh diri—yang tidak menyakitkan—masih merupakan pengetahuan rahasia. Jadi, meski telah memutuskan untuk mengakhiri hidup, saya belum yakin bagaimana caranya. Seorang teman di sekolah, yang juga sering bermain dengan saya, bersedia membantu rencana itu, dan dia akan menanyakannya pada orang dewasa yang “lebih tahu mengenai soal itu”.

Suatu hari, saat istirahat di sekolah, dia berbisik, “Aku sudah mendapatkan caranya. Nanti kita ketemu di belakang.”

“Di belakang” yang dia maksud adalah kamar kecil untuk siswa laki-laki—suatu tempat di bagian belakang sekolah yang juga berfungsi sebagai zona merokok murid-murid nakal.

Jadi, pada waktu jam pelajaran, saya pun izin pada guru yang sedang mengajar, lalu keluar kelas dan menuju ke “belakang”. Di kamar kecil tidak ada siapa pun—teman saya belum datang. Sambil menunggu kedatangannya, saya mengeluarkan rokok, dan menyulutnya. Kalau kau terlahir sebagai bocah miskin, bodoh, kuper, dan kesepian, kau akan tahu bahwa rokok bisa menjadi temanmu.

Selama beberapa saat saya duduk sendirian di sana, mengisap rokok, sampai kemudian teman saya datang dengan langkah bergegas. Dengan bergegas pula dia mendekati saya, dan berbisik, “Buang rokokmu! Ada guru BP mau ke sini!”

Semua penghuni sekolah tahu bahwa kamar kecil itu memang sering digunakan murid-murid nakal untuk merokok, dan Mister X—guru BP (Bimbingan Penyuluhan)—cukup sering melakukan inspeksi ke sana. Tidak jarang ada murid yang tertangkap sedang merokok, dan biasanya mendapat aneka hukuman. Jadi, ketika teman saya berbisik ada guru BP yang akan datang, saya pun secara spontan menjentikkan rokok di tangan ke tempat yang cukup jauh.

Sialnya, karena terburu-buru, rokok yang terbuang itu belum sempat saya matikan apinya, hingga asapnya masih mengepul.

Dengan panik, saya segera menuju tempat rokok itu, bermaksud memadamkan apinya sebelum Mister X tiba. Pada waktu itulah, saya melihat perempuan yang kelak membuat saya jatuh cinta bertahun-tahun....

Ketika saya tiba di tempat rokok itu, untuk memadamkan apinya, tanpa sengaja saya menoleh ke jendela kaca sebuah kelas, tepat di samping saya berdiri. Ruang kelas itu hening, murid-murid sedang khusyuk mendengarkan guru yang sedang mengajar, dan tatapan saya jatuh pada seraut wajah lembut yang membuat saya terlupa segalanya. Lupa pada rokok yang harus saya matikan segera, lupa pada bunuh diri yang saya rencanakan semula.

Mister X tiba di sana. Dan saya seperti tikus terperangkap. Dia memerintahkan saya ke kantor BP bersama puntung rokok yang menjadi “bukti kejahatan”. Tetapi, berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya, kali ini saya datang ke kantor BP dengan hati berbunga. Pada waktu itu pula, saya memutuskan untuk membatalkan niat bunuh diri, karena saya masih ingin melihat perempuan itu lagi... melihatnya lagi... melihatnya lagi....

....
....

Perempuan itu bernama Nadia (bukan nama sebenarnya). Dia adik kelas saya. Sejak pertama kali melihatnya hari itu, saya tahu telah jatuh cinta kepadanya. Dia sangat indah, lembut, dan kemudian saya tahu dia juga terkenal pintar. Sejak hari itu dan di waktu-waktu kemudian, saya mabuk kepayang merindukannya. Itu cinta pertama dalam hidup, juga cinta terbesar.

Cinta mampu mengubah neraka tampak surga—setidaknya itulah yang saya alami. Jika hari-hari sebelumnya sekolah terasa sangat membosankan, kini terasa menyenangkan. Jika hari-hari sebelumnya saya menatap hidup penuh kegelapan, kini seperti melihat cahaya terang. Meski mungkin terdengar naif, sekarang saya tahu alasan untuk hidup, sekarang saya menyadari mengapa harus hidup... untuk melihat perempuan yang membuat saya jatuh cinta.

Tetapi, bahkan waktu itu pun saya menyadari siapa saya dan siapa Nadia. Meminjam pepatah terkenal, itu seperti pungguk merindukan bulan. Jadi, saya pun memendam cinta diam-diam. Menyimpan kerinduan dalam-dalam. Dan sesekali memandanginya dari kejauhan. Tidak masalah, itu sudah cukup bagi saya. Melihatnya sesekali saat di sekolah sudah terasa sangat indah.

Ketika saya naik kelas tiga SMP, Nadia naik ke kelas dua. Dan selama waktu-waktu itu, saya tetap jatuh cinta kepadanya, dan tetap memendamnya diam-diam. Sampai kemudian saya lulus SMP, saya tetap jatuh cinta kepadanya, dan tetap tidak pernah menyatakannya. Kadang-kadang, ada cinta yang sebaiknya tidak dikatakan, dan saya anggap itu sebagai kesimpulan.

Selepas SMP, saya masuk ke sebuah SMA. Mendapatkan teman-teman baru, guru-guru baru, serta pengalaman baru. Di SMA, saya masuk dalam kepengurusan OSIS, dan sesekali mewakili sekolah dalam beberapa lomba. Kesibukan dan segala aktivitas selama menjalani satu tahun pertama di SMA sempat melenakan angan saya dari Nadia... sampai kemudian perempuan itu muncul di SMA saya!

Ketika saya naik kelas dua SMA, ada pendaftaran murid baru. Salah satu murid baru yang mendaftar ke sana adalah Nadia. Saya mendapatinya tanpa sengaja pada masa orientasi, dan saya nyaris pingsan.

Pagi itu, hari kedua masa orientasi, siswa-siswi baru berkumpul di lapangan sekolah, dan beberapa pengurus OSIS melakukan inspeksi untuk mengecek perlengkapan mereka. Saya termasuk yang bertugas pagi itu, dan saya pun melakukan pengecekan pada siswa-siswi baru. Di tengah barisan, sesosok perempuan menatap saya, dan wajahnya tampak familier. Oh, well, saya bahkan sangat hafal wajahnya. Itu Nadia.

Ya Tuhan, bagaimana perempuan itu ada di sini?

Sesaat, waktu seperti berhenti. Saya terpaku menatapnya, tak bisa bergerak, dan tak memahami kenapa tiba-tiba dia ada di depan saya. Dia tidak tahu bahwa saya telah jatuh cinta kepadanya bertahun-tahun, dia tidak tahu bahwa saya sering memimpikannya, dia tidak tahu bahwa saya merindukannya setiap saat... dan sekarang dia ada di sini. Tepat di depan saya, dengan keindahan dan kelembutan mempesona.

Karton besar yang terpasang di dadanya kemudian menyadarkan saya bahwa perempuan itu ada di sana karena menjadi salah satu siswa baru. Dari tatapannya, Nadia tampak masih mengenali saya sebagai kakak kelasnya dulu.

Dengan gerak seperti robot, saya memeriksa perlengkapan yang dibawa Nadia tanpa mengucapkan apa pun, dan segera menganggapnya beres. Oh, well, bahkan umpama dia tidak membawa perlengkapan apa pun, saya tidak akan mempermasalahkannya. Persetan dengan perlengkapan! Keberadaannya di sana bahkan melebihi harapan saya yang paling liar.

Lalu kisah baru dimulai di sekolah itu.

Menjalani hari-hari seusai masa orientasi rasanya seperti mengalami déjà vu. Saya seperti mengulang masa-masa SMP, memiliki adik kelas yang membuat jatuh cinta, dan hari-hari di sekolah terasa lebih indah. Setiap hari, saya selalu merindukan sekolah—bukan untuk apa pun, hanya untuk bisa melihat Nadia. Hari-hari libur, apalagi liburan panjang, sering kali terasa menyiksa karena saya tidak bisa melihatnya, dan saya merindukannya, merindukannya, merindukannya....

Tetapi, sebagaimana di SMP, saya tidak pernah menyatakan perasaan kepadanya. Saya tetap menyadari—dan mungkin terlalu menyadari—siapa saya, dan siapa dia. Jadi, saya tetap memendam cinta itu diam-diam, menikmatinya diam-diam, dan merindukannya diam-diam. Entah dia menyadari atau tidak, saya juga sering memandanginya diam-diam.

Orang Melayu punya pepatah terkenal, berbunyi, “Kau merak kahyangan, dan aku unggas di rimba.” Tepat seperti itulah yang saya rasakan.

Di SMA, Nadia tumbuh menjadi gadis remaja dengan keindahannya yang makin mempesona, sementara saya masih bocah lusuh yang nakal. Tidak perlu genius untuk menyadari bahwa saya tidak layak untuknya. Dalam cinta diam-diam, saya bahkan diam-diam pula bersyukur karena dia telah menyelamatkan hidup saya dari rencana bunuh diri bertahun-tahun lalu—meski dia tidak menyadarinya. Itu sudah cukup. Saya tidak perlu merusak hubungan kami dengan pernyataan cinta yang hanya akan sia-sia.

Kadang-kadang, saat melangkah ke perpustakaan sekolah, tanpa sengaja kami berpapasan. Biasanya, ketika itu terjadi, kami akan sama-sama menunduk. Dan jika wajah kami kebetulan bertatapan, kami akan saling mengulum senyum dengan kaku. Saya mengganggap itu ekspresi dua orang yang merasa saling kenal, tapi sebenarnya tidak saling mengenal, karena kenyataannya kami tidak pernah bercakap satu patah kata pun, meski telah saling melihat bertahun-tahun.

Dan ketika itu terjadi, saya merasa berdebar—sangat berdebar. Lalu bayangan indah itu melekat dalam benak saya hingga lama.

....
....

Tiga tahun di SMA terasa sangat singkat. Entah karena banyaknya kesibukan yang saya jalani di sekolah, atau karena saya menganggap hari-hari di SMA sangat indah dengan keberadaan Nadia. Yang jelas, akhirnya saya sampai di ujung kelulusan kelas tiga, dan harus segera meninggalkan sekolah. Untuk kedua kalinya, saya meninggalkan Nadia karena kelulusan sekolah. Dan, entah konyol atau tidak, selama bertahun-tahun itu kami belum pernah bercakap sedikit pun.

Selepas SMA, saya tidak bisa melanjutkan pendidikan karena alasan klise—tidak ada biaya. Jadi, saya mencoba melamar kerja ke sana kemari, lalu sempat bekerja di beberapa tempat—termasuk di tempat ini—sambil berusaha menabung dan terus memutar otak bagaimana caranya agar hidup saya lebih baik. Selama waktu-waktu itu, saya bekerja seperti robot, nyaris tanpa henti. Saya sering berangkat kerja jam tujuh pagi, lalu lembur, dan baru pulang jam dua dini hari.

Meski hari-hari saya telah dihabiskan untuk bekerja dan bekerja, namun ada saat-saat jeda ketika saya merasa waktu berhenti—saat saya tiba-tiba merasa kangen pada Nadia.

Saya tidak tahu bagaimana kabarnya waktu itu. Setelah tiga tahun di SMA, dia tentu sudah lulus, dan melanjutkan kuliah entah di mana. Saya tidak tahu. Yang jelas, saat kerinduan begitu menyesakkan, dan kerja sedang libur, saya kadang pergi ke tempat tinggal Nadia. Saya tahu di mana alamat rumahnya. Tetapi, saya tidak pernah memberanikan diri mengetuk pintu dan menemuinya. Yang saya lakukan waktu itu hanya lewat depan rumahnya, dan merasa kerinduan saya sedikit terobati.

Ada banyak waktu ketika saya melakukan kegiatan aneh itu—merasakan rindu yang tak tertahan, kemudian sendirian pergi ke tempat tinggal Nadia, melewati depan rumahnya. Selama waktu-waktu itu, saya tak pernah melihatnya satu kali pun. Tetapi melihat genteng rumahnya pun sudah cukup.

Selama empat tahun sejak lulus SMA, saya terus bekerja keras dan mulai membangun usaha sendiri. Kisah menyangkut hal itu bisa panjang sekali jika saya ceritakan di sini. Yang jelas, dalam waktu empat tahun itu kemudian saya bisa menikmati kehidupan yang jauh lebih baik. Saya keluar dari rumah orangtua, dan mengontrak rumah sendiri. Waktu itu usia saya baru 20 tahun, dan telah mencapai hampir semua hal yang saya impikan sebagai bocah.

Suatu malam, ada beberapa teman datang ke rumah. Dua orang telah saya kenal sejak SMA, sementara dua lainnya belum saya kenal. Yang jelas, mereka semua kuliah di—sebut saja—Universitas X. Kami pun mengobrol asyik di rumah saya sampai larut malam. Selama mengobrol itu, mereka sempat membicarakan seorang mahasiswi teman mereka, bernama Nadia, yang menjadi salah satu aktivis kampus.

Entah mengapa, waktu itu naluri saya tergelitik. Meski Nadia yang mereka bicarakan bisa jadi orang lain, namun saya penasaran. Jadi, saya pun menanyakan pada mereka, siapa Nadia yang mereka sebut tadi. Mereka pun menjelaskan. Saya tanya seperti apa ciri-cirinya, di mana alamatnya, dari mana asal sekolahnya, dan lain-lain. Semua jawaban mereka tepat merujuk pada Nadia yang saya kenal.

Jadi Nadia sekarang kuliah di Universitas X, batin saya.

Saat itu pula, sambil menahan gelora yang membuncah tiba-tiba, saya bertanya, “Omong-omong, kapan kampus kalian membuka pendaftaran mahasiswa baru?”

“Dua bulan lagi,” jawab salah satu dari mereka. “Kenapa?”

“Tiba-tiba aku ingin kuliah di kampusmu.”

....
....

Dua bulan kemudian, saya mendaftar sebagai mahasiswa baru di Universitas X. Tanpa motivasi apa pun, selain hanya ingin melihat Nadia, hanya ingin kembali bersamanya. Oh, well, ini mungkin terdengar gila. Tapi cinta katanya memang bisa membuat orang menjadi gila.

Maka saya pun mulai menjalani kehidupan baru sebagai mahasiswa. Di Universitas X, saya mencari informasi mengenai Nadia. Berdasarkan informasi dari teman-teman seangkatannya, Nadia sekarang tinggal menggarap skripsi, jadi sudah jarang masuk kampus. “Paling dia ke kampus kalau ada jadwal dengan dosen pembimbing,” ujar seorang teman karib Nadia.

Setiap hari, saya masuk kampus tanpa motivasi apa pun, selain hanya ingin melihat perempuan yang saya rindukan. Sebagaimana di SMA, di kampus pun saya kembali rajin masuk perpustakaan. Jadi, di sela-sela masuk kelas dan di sela-sela ngobrol dengan teman-teman, saya selalu menyempatkan diri masuk perpustakaan. Sampai hampir dua bulan kuliah di sana, belum pernah sekali pun saya bertemu Nadia.

Sampai suatu hari, saya masuk perpustakaan setelah mengisi perut di kantin. Sebenarnya itu jadwal biasa. Di perpustakaan, saya menuju ke tempat duduk yang biasa, lalu membaca majalah terbitan baru.

Ketika sedang asyik menekuri majalah, saya merasa ada seseorang sedang menatap saya. Saat mengangkat muka, detak jantung saya nyaris berhenti. Hanya tiga meter dari tempat saya duduk, perempuan yang saya rindukan bertahun-tahun sedang berdiri. Menatap saya. Dengan keindahan yang telah menghapus mimpi-mimpi buruk dalam hidup saya.

Waktu seperti berhenti. Saya merasa mengalami déjà vu.

Siang itu, di perpustakaan kampus, saya merasa kembali ke masa lalu... saat kami biasa bertemu di perpustakaan SMA namun saling diam... masa-masa di SMP saat saya mulai memendam cinta diam-diam... dan sekarang, bertahun-tahun kemudian, kami kembali bertemu, bertatapan... seperti dulu. Dari tatapannya, dia masih mengenali saya.

Dengan kaku, saya mengulum senyum, dan Nadia membalas dengan senyum yang sama kaku.

“A-aku tidak mengira...” ujar saya tergagap. “Aku tidak mengira kita bertemu di sini.”

Dia mengangguk, namun tampak salah tingkah. “Aku lagi nyari referensi buat skripsi,” ujarnya kemudian. “Jadi, kamu kuliah di sini?”

“Ya.” Kali ini saya yang salah tingkah. “Aneh, ya?”

Dia memahami yang saya maksud, dan tersenyum. Saat di SMA, dia yang “menyusul” saya. Kini, saat kuliah, saya yang “menyusulnya”. Entah bagaimana, alam semesta tampaknya berkonspirasi untuk terus mempertemukan kami.

Lalu kami bercakap-cakap di sana, meski dengan agak kaku. Bagaimana pun, itu percakapan pertama kali, meski kami telah saling kenal bertahun-tahun lalu. Kami sama-sama menyadari, itu moment yang sangat aneh. Pertemuan yang diawali di SMP, kebersamaan selama di SMA, dan sekarang di perpustakaan kampus. Selama bertahun-tahun saling mengenali, baru sekarang kami berkomunikasi.

Nadia telah tumbuh dewasa, dan keindahannya semakin mekar. Wujud kelembutan dan pesona yang pernah saya kenali bertahun-tahun lalu kini tampak semakin indah, dan saya tetap merasakan debar yang dulu saya rasakan, getar yang dulu saya hayati. Saya ingin waktu benar-benar berhenti, agar kami bisa selamanya di sana... bercakap-cakap tanpa usai, melepaskan kerinduan yang telah lama tersimpan.

Mungkin karena telah sama-sama cukup dewasa, kami pun akhirnya bisa bercakap-cakap secara normal—tidak lagi sekaku atau semalu-malu jika kami masih remaja. Di akhir percakapan, saat dia akan pergi, saya memberanikan diri bertanya, “Kapan-kapan, aku boleh menilponmu?”

Dia mengangguk, dan menyebutkan nomor telepon rumahnya (waktu itu ponsel belum menjadi barang populer). Setelah dia selesai menyebutkan nomornya, saya hanya mengangguk. Sebelum itu, sebenarnya, saya telah hafal nomor teleponnya. Buku tebal Yellow Pages telah memberitahu sejak lama, dan nomornya bahkan telah tersimpan di ponsel saya.

Sekitar seminggu setelah pertemuan itu, saya benar-benar meneleponnya. Butuh waktu lama bagi saya untuk menenangkan debaran jantung, sebelum kemudian memberanikan diri memencet nomornya, dan mendengarkan dering panggilan. Dia yang menerima. Dan menyapa ramah. Lalu kami bercakap-cakap.

Mendengar suaranya lewat telepon, gemuruh jantung saya makin tak karuan. Rasanya dia sedang berbisik tepat di telinga. Terus terang saya masih agak kaku, dan belum bisa berkomunikasi dengan lancar. Untungnya, Nadia memahami. Dia tahu bagaimana menghadapi saya yang kikuk, hingga pelan-pelan saya bisa menikmati percakapan, sampai obrolan kami perlahan-lahan makin lancar. Lalu semuanya berlangsung dengan alami.

Di lain waktu, saya kembali menelepon. Dan percakapan kami makin lancar, bahkan kami mulai bisa bercanda. Segala kekakuan yang semula menyelimuti kami menghilang perlahan-lahan, dan kami mulai bisa saling tertawa. Sampai kemudian, saya memberanikan diri untuk datang ke rumahnya.

“Kamu tahu alamatku?” dia bertanya.

“Ya,” saya menyahut. Sambil diam-diam membatin, “bahkan sambil memejamkan mata pun, aku tidak akan tersesat.”

Suatu malam, saya datang ke rumahnya. Tak perlu dikatakan bagaimana debaran jantung yang saya rasakan. Setelah puluhan atau bahkan ratusan kali melewati depan rumahnya selama bertahun-tahun, kini saya benar-benar datang ke rumahnya, mengetuk pintu, dan dia muncul. Saat melihat senyumnya yang merekah, saya merasa betapa dunia ini sangat indah, dan saya bersyukur karena masih dapat bernapas.

Dari kunjungan pertama, saya kembali mengunjunginya di lain waktu. Dan itu menjadi saat-saat termanis dalam hidup yang pernah saya alami. Saat mengetuk pintu rumahnya, dan melihatnya keluar dengan senyum mekar, saya tidak hanya menyaksikan perempuan yang begitu saya cintai, tetapi juga sosok yang pernah menyelamatkan hidup saya dari akhir yang tragis... seseorang yang selalu saya rindukan bertahun-tahun.

Selama kami bersama dan bercakap-cakap, saya belum pernah menceritakan kepadanya bahwa dulu saya hampir bunuh diri, kalau saja tidak melihatnya di sekolah waktu SMP. Waktu itu, saat duduk di rumahnya, dan bercakap-cakap menyenangkan, khayalan saya begitu indah. Dalam bayangan, saya akan menceritakan hal itu, kelak jika hubungan kami benar-benar telah jelas. Berdasarkan kebersamaan yang kami jalani, saya memang sempat yakin bahwa kami akan menuju ke arah itu.

Tapi rupanya takdir berkehendak lain.

....
....

Suatu waktu, karena pekerjaan yang harus saya hadapi, kami kehilangan kontak sampai hampir empat bulan. Selama waktu-waktu itu, konsentrasi saya hanya tercurah pada urusan kerja, agar selesai secepatnya. Ketika akhirnya urusan itu selesai, dan saya kembali menemui Nadia di rumahnya, saya mendapati sesuatu yang tak pernah saya sangka.

Saat percakapan kami makin intens dan menjurus, Nadia berbisik parau, “Aku telah bertunangan.”

Dia dijodohkan dengan lelaki yang masih kerabat dari pihak ayahnya. Nadia tidak bisa menolak, karena kenyataannya memang belum punya calon pasangan. Hubungan kami waktu itu belum jelas. Pertunangan itu terjadi tiga bulan setelah kami kehilangan kontak. Sebelumnya, Nadia sudah mencoba menghubungi ponsel saya. “Tapi ponselmu tidak pernah aktif,” bisiknya.

Saya tidak tahu harus mengatakan apa waktu itu. Yang masih saya ingat, malam itu bagian paling dalam jiwa saya menggigil kedinginan, seolah diterpa angin kencang. Sesuatu dari diri saya seperti dicerabut dan hilang, hingga yang saya rasakan hanya kehampaan... dan kekosongan.

Tiga bulan kemudian, Nadia menikah.

Saya diundang ke acara pernikahannya, dan saya datang. Sepulang dari resepsi, saya masuk kamar, dan menangis semalaman.

Itu duka paling dalam yang pernah saya alami dalam hidup, kehilangan terbesar yang pernah saya rasakan. Sejak itu, saya menjalani hari-hari seperti mayat hidup. Tanpa energi, tak bisa berpikir, hampa. Teman-teman dekat saya, yang mengetahui hal itu, berdatangan dan menghibur, tapi luka kehilangan yang saya alami telah begitu dalam.

Saya tidak menyalahkan siapa pun atas hal itu. Yang jelas, butuh waktu lebih dari setahun bagi saya untuk memulihkan diri. Selama waktu-waktu itu, saya menjalani kehidupan yang benar-benar kacau. Hingga puncaknya terjadi saat saya mengalami kecelakaan parah yang hampir merenggut nyawa. Peristiwa tragis itu tidak hanya menghentikan kekacauan hidup saya, tapi juga memberi kesempatan bagi saya untuk mulai berpikir jernih.

Saya telah kehilangan Nadia. Selama masa-masa itu, setiap kali teringat kepadanya, memori saya seperti rangkaian flashback menyiksa dan berulang-ulang. Saat pertama kali melihatnya di SMP... mencintainya diam-diam... lalu kembali bertemu saat SMA, memandanginya setiap hari... perjumpaan di perpustakaan kampus... saat-saat kami bercakap di telepon... saat saya mengunjunginya... senyumnya, suaranya... tawanya... lalu saya terisak.

....
....

Kehilangan adalah satu hal, pikir saya suatu ketika. Tapi melanjutkan hidup adalah hal lain. Bagaimana pun, bertahun-tahun lalu, Nadia telah menyelamatkan hidup saya dari kemungkinan kematian yang tragis. Tanpa disadarinya, takdir telah menggunakan dirinya untuk memperpanjang sejarah hidup saya... dan itu tentu bukan tanpa alasan. Fakta bahwa dia akhirnya tak bisa saya miliki, bukan berarti hidup saya harus berhenti. Suatu saat, rasa kehilangan akan terlalui, dan luka akan sembuh. Tapi hidup saya belum berakhir.

Sampai hari ini, saya tak pernah takut mati. Kematian adalah teman dekat yang dulu pernah akan saya temui. Tetapi, kini saya tahu, ada yang lebih berharga daripada berhenti hidup. Yakni meneruskan hidup, mengisinya dengan hal-hal baik, dan menyentuh kehidupan orang lain. Seperti catatan ini. Mungkin catatan ini tak akan pernah tertulis jika bertahun-tahun lalu saya tidak melihat Nadia, dan kalian tak akan pernah membaca kisah ini kalau saja dulu saya memutuskan untuk mati.

Kini, saat menulis catatan ini, saya tidak tahu apakah Nadia membacanya atau tidak. Tapi saya merasa perlu menuliskannya, agar dunia tahu... bahwa bertahun-tahun lalu, seorang bocah miskin, dekil, dan putus asa, hampir mengakhiri hidup kalau saja tidak melihat dirinya. Saya merasa berutang budi untuk hal itu, dan menulis pengakuan ini secara jujur membuat saya merasa utang telah terbayar lunas.

Tuhan tahu, saya sangat mengasihinya. Dia cinta terputih yang pernah saya miliki... meski tak pernah saya miliki.

Tak Terpatahkan

Out of the night that covers me
Black as the pit from pole to pole
I thank whatever Gods may be
For my unconquerable soul

In the fell clutch of circumstance
I have not winced nor cried aloud
Under the bludgeonings of chance
My head is bloody, but unbow’d

Beyond this place of wrath and tears
Lies but the horror of the shade
And yet the menace of the years
Finds, and shall find me, unafraid

It matters not how strait the gate
How charged with punishments the scroll

I am the master of my fate
I am the captain of my soul

Invictus, Robert William Henley


Dari malam yang menyelimutiku, sehitam lubang yang dalam
Aku berterima kasih kepada Tuhan di mana pun Ia berada
Atas jiwaku yang tak terkalahkan, dalam keadaan yang menimpaku
Aku tak mengeluh atau pun menangis, di bawah tempaan takdir
Jiwaku berdarah namun tak terpatahkan

Di balik tempat amarah dan air mata ini, hanya mengintip horor kematian
Namun ancaman bertahun-tahun akan menemukanku… tanpa rasa takut
Seberapa pun kuatnya gerbang, seberapa pun beratnya hukuman
Aku adalah penguasa takdirku, aku nakhoda jiwaku

Iron Man: The End

“Menurutmu, apakah kisah Iron Man masih akan berlanjut?”

“Tidak,” saya menjawab pasti.

Dia menatap heran. “Kenapa kau begitu yakin?”

“Karena, dalam kisah Iron Man 3, dia menikah.” Kemudian, dengan berbisik, saya melanjutkan, “Ketika superhero menikah, kisahnya selesai.”

Selasa, 14 April 2015

Pertanyaan Paling Sia-sia di Dunia

Pertanyaan “kapan cerai?” pasti dianggap tidak sopan.
Tapi kenapa pertanyaan “kapan kawin?” dianggap sopan?
@noffret


Pertanyaan paling sia-sia di dunia adalah pertanyaan, “Kapan kawin?” Tidak ada yang lebih sia-sia di bawah langit dibanding pertanyaan itu. Sebegitu sia-sia, hingga pertanyaan itu seharusnya disimpan di dasar kerak neraka.

Di sekeliling kita ada orang-orang kurang kerjaan atau kurang belajar, yang kebetulan sudah kawin atau sudah menikah. Karena kurang kerjaan—atau kurang belajar—mereka suka nyinyir pada orang-orang yang tidak atau belum menikah, dan mengajukan pertanyaan sia-sia sekaligus paling klise di dunia, berbunyi, “Kapan kawin?”

Mari kita pikirkan pertanyaan itu secara dewasa, dan—kalau bisa—secara adil dan bijaksana. Kita mulai dari premis awal; apa manfaat pertanyaan itu?

Ada banyak orang yang tidak atau belum menikah di sekitar kita, baik pria maupun wanita. Mereka tidak atau belum menikah dengan berbagai alasan dan latar belakang. Ada yang memang memutuskan hidup melajang, ada yang ingin menikah tapi belum menemukan pasangan, ada yang sudah punya pacar tapi masih menyiapkan masa depan, dan lain-lain, dan sebagainya.

Jika kita bertanya “kapan kawin?” pada orang yang memutuskan melajang, maka pertanyaan itu sungguh sia-sia. Karena hidup adalah soal pilihan. Ada yang memilih menikah, ada yang memilih melajang. Mengajukan pertanyaan “kapan kawin?” pada orang yang memutuskan melajang sama artinya tidak menghormati pilihan orang lain. Jika kita tidak senang mendapati orang lain mencampuri urusan pribadi kita, begitu pun orang lain.

Kemudian, ada yang belum menikah karena memang belum menemukan jodoh atau pasangan. Orang-orang semacam itu banyak di sekeliling kita. Mereka sebenarnya ingin menikah, punya harapan dan cita-cita membangun keluarga, punya pasangan dan anak-anak. Tapi kenyataannya mereka belum menemukan jodoh yang tepat. Jika kita mengajukan pertanyaan “kapan kawin?” kepada mereka, sama artinya kita menyakiti perasaan mereka.

Itu tak jauh beda dengan mendapati orang kelaparan karena tidak punya uang untuk membeli makanan, kemudian kita bertanya dengan sok jumawa, “Kapan kamu mau makan?” Kira-kira, bagaimana perasaan mereka? Kalau saja diizinkan berkata kasar, mungkin mereka akan mengatakan, “Tutup mulutmu, bangsat! Aku kelaparan setengah mati karena tidak punya makanan, dan sekarang kamu bertanya kapan aku mau makan?”

Karenanya, saat mendapati orang lain belum menikah, dan kita tahu dia belum menikah karena belum memiliki pasangan, langkah terbaik dan lebih bijak adalah mengenalkan temanmu yang mungkin berjodoh dengan dia. Itu jauh lebih baik, daripada bertingkah sok-sokan dengan mengajukan pertanyaan keparat berbunyi, “Kapan kawin?”

Kemudian, ada pula orang yang telah punya pacar tapi belum menikah. Meski mereka jelas telah memiliki calon pasangan tetap pun, kita tetap tidak layak bertanya-tanya “kapan kawin?” pada mereka. Kita tak pernah tahu urusan pribadi dalam hubungan mereka. Bisa jadi, mereka sebenarnya ingin segera menikah, tapi mungkin masih perlu mengurus banyak hal yang lebih penting, dari urusan kuliah, kerja, atau urusan keluarga. Bertanya “kapan kawin?” pada mereka sama artinya mengerecoki urusan orang lain. Jika tidak membuat mereka marah, pertanyaan itu bisa membuat mereka tertekan.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan itu, kita melihat bahwa pertanyaan “kapan kawin?” sama sekali tidak bermanfaat apa apa. Diajukan kepada siapa pun, pertanyaan itu sungguh sia-sia. Bukannya memberi manfaat, pertanyaan itu justru mengundang mudarat. 

Sekarang, kita masuk pada premis selanjutnya; apa sebenarnya tujuan atau motivasi orang yang suka bertanya-tanya, “Kapan kawin?”

Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari pertanyaan itu. Pertama karena ketulusan, kedua karena kebodohan, dan ketiga karena kedengkian. Mari kita ulas satu per satu.

Kadang-kadang, orang yang bertanya “kapan kawin?” adalah orang terdekat kita, semisal famili, atau keluarga, atau setidaknya sahabat dekat. Biasanya, orang-orang itu mengajukan pertanyaan tersebut semata karena ketulusan.

Seorang ibu yang melihat anaknya betah melajang, atau seorang tante yang melihat keponakannya terus asyik bermain-main, mungkin sengaja mengajukan pertanyaan itu untuk mengingatkan si anak atau si keponakan agar mulai hidup serius. Kenyataannya, ketika kita menikah, mereka pun benar-benar membantu kita sekuat tenaga. Mereka orang-orang yang memang mengajukan pertanyaan “kapan kawin?” semata karena ketulusan.

Kemudian, latar belakang kedua, adalah karena kebodohan. Ada banyak orang tolol yang suka bertanya-tanya “kapan kawin?” pada siapa pun yang ditemuinya. Biasanya orang-orang semacam itu sudah menikah—biasanya pula sudah punya anak-anak—dan berpikir bahwa semua orang seharusnya juga menikah seperti dirinya. Jadi, ketika mendapati orang lain belum menikah—apa pun alasannya—orang-orang tolol itu akan bersikap jumawa, dan bertanya, “Kapan kawin?”

Oh, well, seolah-olah mereka akan terlihat hebat dengan bertanya-tanya seperti itu. Ya namanya juga orang tolol.

Terakhir, latar belakang ketiga, adalah karena kedengkian, atau karena hati dan pikiran yang rusak. Jika kalimat itu terdengar mengerikan, ingat-ingatlah yang akan saya katakan ini.

Kapan pun kalian mendapati orang yang rajin bertanya-tanya “kapan kawin?”, perhatikan dan lihatlah dengan cermat. Apakah perkawinannya bahagia? Apakah keluarganya menjalani hidup yang damai? Apakah hubungannya dengan pasangan tidak mengalami masalah? Jika dia telah punya anak-anak, apakah anak-anaknya hidup secara layak? Semakin dalam kalian mencermati, kalian akan terkejut. Sering kali, orang yang paling rajin bertanya “kapan kawin?” justru orang yang menjalani kehidupan menyedihkan!

Jadi, mereka kecewa dengan kehidupan dan perkawinannya. Karena mereka tidak bisa menyalahkan dan mengutuk diri sendiri, mereka menujukan pandangannya ke luar. Bukannya introspeksi dan berusaha memperbaiki perkawinan yang rusak, mereka justru bertingkah sok dan bertanya-tanya “kapan kawin?” pada yang masih lajang. Itu semacam "ego defense mechanism" dalam wujud yang mengerikan, karena didasari kedengkian akibat hati yang rusak, pikiran yang rusak.

Oh, well, mereka iri melihat para lajang bisa menjalani kehidupan yang bebas tanpa beban. Mereka menyesali perkawinannya, dan diam-diam mengutuk kehidupannya. Karena tidak mungkin terang-terangan menyatakan bahwa mereka menyesali perkawinannya, mereka pun menutupi kenyataan itu dengan bersikap sok, dan bertanya-tanya “kapan kawin?” pada siapa pun. Dan, begitu kalian benar-benar menikah, orang-orang dengki itu akan tersenyum diam-diam, dan berpikir, “Gotcha! Kena kau!”

Yang mengerikan, orang-orang semacam itu banyak sekali di sekeliling kita. Yang lebih mengerikan, mereka tidak menyadari latar belakang perbuatannya. Mereka bertanya-tanya “kapan kawin?” pada siapa pun, tanpa menyadari kenyataan perkawinannya sendiri yang menyedihkan. Jadi, pertanyaan “kapan kawin” yang kerap mereka lontarkan adalah desakan bawah sadar mereka, akibat kekecewaan diam-diam. Kekecewaan pada diri sendiri, kekecewaan pada pasangannya, kekecewaan pada perkawinannya, kekecewaan pada hidupnya.

Karenanya, seperti yang saya nyatakan tadi, jika kalian mendapati orang yang sangat suka bertanya “kapan kawin?”, perhatikan dan cermati kehidupannya. Kalian akan mendapati, bahwa sebagian besar orang yang paling rajin bertanya “kapan kawin?” justru orang yang paling tidak bahagia dalam perkawinannya! Mereka orang-orang yang menjalani kehidupan menyedihkan. Sebegitu menyedihkan, hingga hati dan pikiran mereka sama menyedihkan.

Sekarang, akhir premis; apa kesimpulannya?

Kesimpulan pertama, pertanyaan “kapan kawin?” adalah pertanyaan sia-sia—oh, hell, sangat sia-sia. Karenanya, kepada siapa pun yang suka nyinyir bertanya “kapan kawin?”, belajarlah untuk lebih bisa menjaga ucapan dan perasaan orang lain. Karena selain sia-sia, pertanyaan itu berpotensi menyakiti perasaan orang lain. Tidak semua orang harus menikah sepertimu. Dan kalau kebetulan perkawinanmu tidak bahagia, jauh lebih baik introspeksi dan memperbaiki kehidupanmu, daripada sibuk mengurusi orang lain.

Kesimpulan kedua, bagaimana pun kadang ada orang terdekat kita yang secara tulus mengajukan pertanyaan itu, semata-mata karena rasa sayang. Jika kita menghadapi orang-orang tulus semacam itu, mungkin langkah terbaik yang bisa kita lakukan adalah bersikap jujur.

Jika kita memang memutuskan melajang, nyatakan itu secara jujur, bahwa kita memutuskan untuk hidup melajang. Jika kita memang sudah ingin menikah, namun belum menemukan jodoh atau pasangan, katakan apa adanya. Atau jika kita kebetulan sudah punya pacar, tapi belum memutuskan kapan akan menikah karena berbagai hal tertentu, katakan terus terang. Pernyataan jujur itu bisa membuat kita terlepas dari beban, sekaligus membuat mereka mulai menyadari.

Akhirnya, pelajaran penting dalam hidup dan dalam berurusan dengan orang lain, adalah pelajaran berempati. Sebelum kita mengucapkan atau menanyakan apa pun kepada orang lain, pikirkan terlebih dulu; apakah pertanyaan atau ucapan itu akan menyakiti atau tidak.

Dalam hidup, dan dalam hubungan dengan sesama manusia, sering kali lebih baik menyesal karena diam, daripada menyesal karena telanjur mengeluarkan ucapan. Orang-orang bijak menyadari hal itu, hingga mereka berpikir terlebih dulu sebelum bicara, sementara orang-orang tolol berbicara tanpa berpikir.

Terkutuklah Sikap Sok Jaim

“Umpama nih,” ujar temanku, “kamu kirim SMS atau mention ke seorang cewek, dan dia baru membalas SMS atau mention-mu setelah lamaaaaa sekali. Apa yang akan kamu lakukan?”

“Tergantung. Kalau dia terlambat membalas SMS atau mention karena ponselnya ketinggalan atau karena dia kebetulan sedang off dari Twitter, tentu tidak masalah—kita harus memaklumi. Tapi kalau dia sengaja berlama-lama membalas SMS atau mention karena bertujuan sok jaim, maka aku akan bilang persetan dengannya!”

“Sepertinya kamu sangat membenci sikap sok jaim. Kenapa?”

“Sederhana—karena aku tidak ingin mempersulit diri. Sok jaim adalah mempersulit hal-hal mudah. Cewek yang sok jaim sedang mempersulit dirinya sendiri. Kalau dia melakukan hal semacam itu kepadaku, dia sedang mencoba mempersulitku. Persetan dengannya—aku tak punya waktu mengurusi sikap terkutuk semacam itu.”

Noffret's Note: Teman Perempuan

Saat-saat indah dalam hidupku adalah masa-masa sekolah dan zaman kuliah. Pada waktu itu, aku masih punya banyak teman perempuan.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Bedanya teman perempuan dengan teman lelaki: Teman perempuan tahu cara “mendengarkan”. Yaitu mendengarkan dengan hati, dengan empati.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Saat sedih. Curhat ke teman perempuan; dia mendengarkan. Curhat ke teman lelaki; dia cuma bilang, “Udahlah, ayo kita senang-senang.” Beda!
—Twitter, 30 Oktober 2014

Bagiku, teman lelaki adalah teman yang sempurna. Satu-satunya kekurangan mereka adalah tidak bisa mendengarkan dengan hati, dengan empati.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Suatu hari aku putus, dan curhat ke teman lelaki. Dia cuma tertawa. Suatu hari temanku putus, dan curhat kepadaku. Yeah, aku pun tertawa.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Kalau kau lelaki, lajang, dan punya teman-teman perempuan, kau termasuk lelaki beruntung. Tidak semua lelaki memiliki karunia semacam itu.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Harta terindah seorang lelaki sering kali bukan pacar atau pasangan, tapi teman perempuan. Sayangnya, harta itu sewaktu-waktu bisa hilang.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Ketika seorang lelaki menikah, teman-teman perempuannya menghilang. Kalau pun masih ada, istri si lelaki akan mengusir mereka agar hilang.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Saat teman perempuanmu menikah, saat itu pula dia berhenti menjadi temanmu. Kalian mungkin masih berhubungan, tapi tidak lagi seperti dulu.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Kadang-kadang, aku terpikir ingin kuliah lagi. Bukan agar lebih pintar, tapi agar bisa kembali memiliki teman-teman perempuan.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Bagiku, sangat penting memiliki teman perempuan. Sayangnya, keinginan berteman dengan mereka sering kali disalahartikan.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Saat-saat indahku, kalau diingat-ingat, bukan ketika bermesraan dengan pacar, tapi saat asyik ngobrol dan cekikikan dengan teman perempuan.
—Twitter, 30 Oktober 2014

Kini, saat dewasa, mencari teman perempuan jauh lebih sulit bagiku, daripada mencari uang atau pekerjaan. Mungkin lucu, tapi menyedihkan.
—Twitter, 30 Oktober 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Katakan dengan Satu Kalimat

Nggak mau! Nanti aku dikira lagi pedekate!

Jumat, 10 April 2015

Ideologi

Daripada mencari-cari kesalahan keyakinan orang lain,
aku lebih suka mempelajari dan mendalami keyakinanku sendiri.
@noffret


Orang bisa membunuh karena ideologi—itu kenyataan. Dari sejarah, kita tahu, orang-orang PKI bisa membunuh orang lain di luar ideologinya, sebagaimana orang-orang nonkomunis bisa membantai orang-orang yang dianggap atau dituduh terlibat PKI. Pembunuhan dan pembantaian itu bahkan kadang dilakukan pada orang-orang yang dikenal—tetangga, teman, atau bahkan saudara—dan alasan yang mendasarinya adalah ideologi.

Berabad-abad lampau, dua pasukan besar berhadapan dan saling bunuh dalam Perang Salib, karena ideologi. Puluhan tahun silam, Adolf Hitler membantai orang-orang Yahudi dalam Holocaust, karena ideologi. Beberapa tahun lalu, bangsa Serbia membunuhi orang-orang Bosnia, karena ideologi. Sesudahnya, orang-orang Yahudi Israel membantai bangsa Palestina, karena ideologi. Baru kemarin, orang-orang Sunni dan Syi’ah berperang di Irak, karena ideologi. Dan hari ini, orang-orang yang menyebut dirinya ISIS membunuh siapa pun yang dikehendaki, karena alasan yang sama—ideologi.

Ideologi, lebih dari apa pun, telah menciptakan wabah kematian umat manusia dalam jumlah luar biasa besar, yang sulit ditandingi wabah apa pun yang pernah terjadi di muka bumi. Yang lebih mengerikan, wabah kematian akibat ideologi tidak menghasilkan apa pun, selain sentimen kebencian yang makin mengental. Sebagai perbandingan, wabah Black Death yang pernah membunuh sepertiga populasi Eropa menghasilkan Renaissance, zaman keemasan bangsa Eropa. Tapi wabah kematian akibat ideologi... nothing!

Apa sebenarnya yang disebut ideologi? Dalam konteks sosial, ideologi sering mewujud sebagai keyakinan yang dibalut fanatisme. Dan apakah fanatisme? Fanatisme berasal dari kata fanatik. Orang yang memiliki paham terhadap sesuatu dengan diikuti sikap fanatik disebut fanatisme. Untuk hal itu, Napoleon Bonaparte punya kalimat lugas yang menggambarkannya, “Tidak ada tempat di kepala seorang fanatik yang bisa dimasuki pikiran sehat.”

Napoleon tahu hal itu, karena dia punya banyak fans—orang-orang yang sangat fanatik terhadapnya, hingga rela mati demi dirinya. Kenyataan bahwa dia bisa menguasai seluruh daratan Eropa dengan jelas menunjukkan bagaimana kepiawaian Napoleon dalam mengelola fanatisme pasukannya. Dan Jenderal Besar itu mengatakan, “Tidak ada tempat di kepala seorang fanatik yang bisa dimasuki pikiran sehat.”

Itu mengerikan, bahkan jika bukan Napoleon yang mengatakan. Saat orang fanatik terhadap sesuatu, akal pikirannya tertutup untuk menerima penjelasan lain. Dalam hal itu, ideologi adalah hal besar yang selalu mampu membuat orang menjadi fanatik. Meski dibayar uang sebanyak apa pun, orang masih mikir-mikir untuk melakukan bunuh diri dengan bom terlilit di tubuhnya. Tapi dengan alasan ideologi, mereka bisa melakukannya dengan santai—datang ke tempat ramai, kemudian memicu bom yang membunuh banyak orang sekaligus dirinya sendiri.

Ideologi. Fanatisme. Keyakinan.

Orang bisa bermusuhan tanpa sebab apa pun, selain hanya karena perbedaan ideologi. Orang bisa saling bunuh tanpa dasar apa pun, selain hanya karena sentimen ideologi. Ideologi, sebagaimana politik, tidak mengenal kawan dan lawan abadi. Yang ada hanya kepentingan atau keyakinan abadi. Saya tahu betul hal ini, karena pernah mengalami sendiri.

Dalam perjalanan hidup, saya pernah bergabung dengan sebuah organisasi ideologi. Sebut saja namanya Organisasi X. Setelah saya jelas tercatat sebagai anggota Organisasi X, sejak itu pula langsung terlihat mana teman dan mana lawan. Sebelumnya, saya berteman dengan banyak orang, dari berbagai latar belakang. Tetapi sejak saya masuk organisasi itu, sebagian teman berubah menjadi lawan, karena kebetulan mereka anggota organisasi lain yang berseberangan ideologi dengan organisasi saya.

Pada waktu itu, Organisasi X berseteru dengan organisasi lain—sebut saja Organisasi Z. Sebelumnya, saya berteman dengan cukup banyak orang yang merupakan anggota Organisasi Z. Tetapi, setelah saya jelas bergabung dengan Organisasi X, mereka langsung berubah. Tidak ada lagi keakraban antarteman seperti sebelumnya—yang ada hanya tatapan curiga, bahkan kebencian.

Hal semacam itu berlangsung sampai beberapa tahun. Orang-orang yang semula saya anggap teman berubah posisi menjadi lawan, dan alasan atau dasarnya hanya karena perbedaan ideologi. Kebencian mereka makin tampak ketika kiprah dan aktivitas saya dalam Organisasi X semakin nyata, hingga saya menduduki posisi penting dalam organisasi. Mereka tahu, saya telah menjadi salah satu otak di balik Organisasi X, dan sejak itu mereka menganggap saya sebagai ancaman.

Terdengar absurd? Itu belum seberapa.

Suatu hari, seorang anggota Organisasi Z membelot, karena konflik internal. Singkat cerita, dia menawarkan diri untuk bergabung dengan Organisasi X. Setelah kami yakin dia benar-benar “bersih”, dia pun diterima dalam Organisasi X. Dari dia, saya kemudian tahu bagaimana mengerikannya kebencian orang-orang Organisasi Z kepada kami di Organisasi X. Mereka, orang-orang yang semula saya kenal sebagai teman, kini telah berubah menjadi musuh yang mungkin tidak akan pikir-pikir jika harus menghabisi kami.

Dan alasannya karena ideologi. Sebagaimana politik, dalam ideologi tidak ada kawan dan lawan—yang ada hanya kepentingan. Atau, dalam konteks ini, keyakinan. Orang yang semula temanmu bisa berubah menjadi musuhmu hanya karena kau dinilai berbeda keyakinan dengannya. Sementara orang yang semula ingin membunuhmu bisa berubah menjadi temanmu hanya karena kau dianggap satu keyakinan dengannya. Mengerikan? Mungkin ya. Ironisnya, saya benar-benar mengalami.

Suatu waktu, terjadi perbedaan prinsip antara saya pribadi dengan organisasi X. Saya menawarkan opsi—ide saya disetujui dan saya akan tetap bergabung dengan organisasi, atau ide saya ditolak dan saya akan keluar dari organisasi. Semula, mereka menjanjikan akan memenuhi saran saya. Tapi janji itu tidak juga dilaksanakan. Ketika mulai dilaksanakan, pelaksanaannya melenceng dari yang saya minta. Singkat cerita, saya kecewa. Lalu keluar dari Organisasi X.

Keluarnya saya dari Organisasi X telah berusaha diredam kuat, agar beritanya tidak sampai bocor. Semua orang berusaha tutup mulut, dan bersikap seolah tidak ada masalah. Saya bukan orang yang suka koar-koar, jadi saya juga tutup mulut, dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Tetapi, ajaibnya, berita itu tetap bocor, bahkan dalam waktu singkat, dan orang-orang dari Organisasi Z mengetahuinya.

Hanya berselang satu bulan setelah saya keluar dari Organisasi X, beberapa orang yang menduduki posisi puncak di Organisasi Z menemui saya secara pribadi, dan menawari saya masuk organisasi mereka. Sikap mereka sangat ramah, dengan tutur kata yang sangat sopan dan halus. Sebagai iming-iming, mereka menawarkan proyek besar yang kebetulan sedang mereka tangani. Saya masih ingat yang mereka katakan waktu itu, “Kalau kau setuju masuk organisasi kami, proyek ini milikmu.”

Coba lihat. Orang-orang ini semula musuh-musuh saya, yang menunjukkan kebenciannya dengan sangat jelas dan terang-terangan—orang-orang yang ingin menghabisi saya kalau saja bisa. Tapi sekarang, karena saya telah keluar dari organisasi yang menjadi musuh mereka, orang-orang ini datang dengan sikap seperti sahabat, menawarkan sesuatu yang diharapkan bisa menyenangkan saya.

Mengimbangi sikap mereka, saya pun menyambut dengan sopan, dan menyatakan perlu memikirkannya. Tetapi, bagaimana pun, saya bukan pengkhianat. Meski telah keluar dari Organisasi X, bukan berarti saya bisa masuk Organisasi Z atau lainnya. Orang-orang dari Organisasi Z memahami sikap saya. Sejak itu, mereka tidak lagi mendekati, namun juga tidak membenci.

Seperti politik, ideologi tidak mengenal kawan dan lawan abadi. Yang ada hanya kepentingan serta keyakinan. Dan ideologi tak pernah mati. Selalu ada orang-orang yang menghidupkannya, mengipasinya agar terus menyala, dan selalu ada orang yang tahu bagaimana cara memanipulasinya.

Kini, ketika internet telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari, ideologi juga “hijrah” ke dunia maya, dan kita bisa menemukannya di mana-mana—di blog, di berbagai web, di Facebook, di Twitter, sebut lainnya. Mereka mengusung benderanya sendiri-sendiri, dengan keyakinannya sendiri-sendiri, dengan ideologinya sendiri-sendiri, dengan fanatismenya sendiri-sendiri. Dan, seperti yang dinyatakan Napoleon, “Tidak ada tempat di kepala seorang fanatik yang bisa dimasuki pikiran sehat.”

Sebagaimana di dunia nyata, di dunia maya pun ideologi hanya mengenal kepentingan abadi, yakni keyakinannya sendiri. Mereka tidak butuh penjelasan, bahkan tidak ingin didebat atau digugat. Ketika seseorang telah menenggelamkan dirinya ke dalam fanatisme ideologi, saat itu pula mereka telah menutup pikirannya sendiri. Mereka tidak lagi butuh penjelasan lain, karena telah memiliki penjelasannya sendiri. Bahkan, mereka tidak butuh kebenaran lain, karena telah memiliki kebenarannya sendiri.

Latar belakang semacam itulah yang menjadikan saya selama ini lebih suka tutup mulut, dan tidak mau terlibat perseteruan atau bahkan peperangan ideologi, khususnya di dunia maya. Daripada sibuk mencari-cari kesalahan keyakinan orang lain, saya lebih memilih sibuk mempelajari dan mendalami keyakinan saya sendiri.

Kadang ada yang menuduh saya menulis dan mengomentari banyak hal, tapi bungkam untuk isu-isu ideologi. Oh, well, saya memang sengaja diam, karena menakar manfaat serta mudarat, dan melihat lebih banyak mudaratnya.

Mereka yang saling serang karena perbedaan ideologi tidak akan pernah selesai, selama masing-masing orang masih menutup pikirannya sendiri. Mereka tidak saling memberi penjelasan, karena sebenarnya mereka sedang beradu pembenaran. Yang jadi masalah, ideologi menjadikan masing-masing merasa benar. Ketika orang-orang bising bersuara dan semua saling merasa benar, penyelesaian hanya ada dalam diam.

Ideologi dibangun di atas fanatisme. Fanatisme berdiri dengan landasan keyakinan. Dan keyakinan, kata Goenawan Mohamad, “bisa jadi semacam iman yang terlampau besar buat hal ihwal dunia yang fana.”

Tih

Ada “tih” dalam hitam dan putih.

Bagiku, itu menakjubkan.

Kepada Orang yang Suka Marah-marah

Sifat pemarah adalah musuh utama akal.
Ali bin Abi Thalib

Janganlah kecintaanmu itu memberatkan,
dan kemarahanmu itu membinasakan.
Umar bin Khattab

Kemarahan memadamkan kecerdasan.
Hamka


Kemarin aku melihatmu marah-marah kepada orang yang berbeda denganmu, dan kau menganggap perbedaan sebagai kebengkokan yang perlu diluruskan, sebentuk kesalahan yang membuatmu marah.

Hari ini aku melihatmu marah-marah kepada orang yang memilih jalan hidupnya sendiri, dan kau menganggap jalan yang ditempuhnya keliru, hingga kau merasa perlu marah-marah kepadanya.

Mungkin besok pun kau akan marah-marah lagi, kepada orang lain lagi, dengan setumpuk tuduhan kesalahan apa lagi, lalu kau akan berteriak dan marah-marah lagi.

Siapa, atau apa, sebenarnya dirimu?

Suaramu teredam oleh kemarahanmu, hingga aku tak bisa mendengar kebenaran apa pun yang kausampaikan kepadaku. Suaramu tenggelam dalam teriakanmu, hingga aku lebih memilih menutup telingaku.

Kau hanya berbicara, marah-marah, berteriak, mengutuk dan menyalahkan, tetapi tidak pernah memberi kesempatan pada siapa pun untuk menyatakan suaranya kepadamu. Kau menganggap kebenaran hanya milikmu, dan orang lain salah semua—dan karena itu kau terus marah-marah kepada mereka.

Kau menganggap setiap perbedaan adalah kesalahan, kemudian berteriak, mengangkat pedang, mencerca dan menyalahkan, seolah kau memang diturunkan dari langit sebagai wakil Tuhan.

Sekarang, diamlah sejenak, dan izinkan aku bicara.

Jika ada orang yang merasa mewakili sesuatu, dia harus menanyakan pada diri sendiri; apakah sesuatu yang diwakilinya memang ingin diwakili, atau dia hanya mengklaim mewakilinya?

Jika ada orang yang ingin memadamkan api, dia harus menakar diri sendiri; apakah memang sudah tidak ada api dalam dirinya, atau dia hanya iri melihat api yang lebih besar dari api miliknya?

Jika ada orang yang menarik pedang dan mengancam sesamanya, dia harus menimbang diri sendiri; apakah pedang itu membawa pesan kebenaran, atau hanya wujud kerakusan ego dan klaim kekuasaan?

Jika ada orang suka marah-marah melihat apa pun yang berbeda dengannya, dia harus berteriak pada diri sendiri terlebih dulu; apakah kemarahan itu bentuk kesadaran, ataukah diri yang merasa terancam?

Bocor

Tingkat kebocoran di atas berbanding lurus dengan tingkat kebocoran di bawah.

Begitu mudah terlihat, tapi orang-orang tak pernah melihat.

Mungkin karena sama-sama bocor.

Minggu, 05 April 2015

Berawal dari Miskol, lalu Kirim SMS, Terus Janjian, Berakhir dengan Potong Penis (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Saat mereka sampai di tempat sepi, Otong menghentikan motornya, lalu kembali mengajak Neng “begituan”. Neng ho’oh. Maka mereka pun “begituan”, dan kali ini sampai benar-benar selesai. “Di situ dia melakukannya sampai tuntas,” ujar Neng menjelaskan.

Seusai “begituan”, mungkin keduanya lapar. Otong mengajak makan nasi goreng yang tak jauh dari kampus Universitas Pamulang. Waktu itu sudah pukul 04.00 pagi. Seusai makan, Otong meminta agar Neng pulang dengan naik angkutan umum. “Dia beritahu saya naik angkot apa untuk pulang, dan memberi ongkos juga,” ujar Neng menceritakan.

....
....

Sampai di sini, apakah adegan-adegan dalam kisah ini terdengar masuk akal? Tidak? Well, sekarang, kita akan masuk pada bagian paling tak masuk akal dari rangkaian kisah ini.

....
....

Ketika mereka akan berpisah di warung nasi goreng yang sepi itu, Neng meminta Otong membuka celananya, karena Neng ingin melihat penis Otong. Kelak, di rumah sakit, Otong menceritakan pada polisi yang menemuinya, “Dia (Neng) nggak mau pulang sebelum lihat alat kelamin saya.”

Jadi, Otong pun melepas celananya, dan memperlihatkan penisnya pada Neng. Saat Otong sibuk melepas kancing dan menurunkan celana, diam-diam Neng mengambil pisau cutter dari dalam tas. Lalu disentuhnya penis Otong, dan dipotongnya penis cowok itu dengan pisau tajam yang telah disiapkannya.

Apa reaksi Otong ketika mendapati penisnya putus karena dipotong Neng? Berteriak kesakitan? Marah-marah? Mengutuk dan memaki Neng? Tidak! Berdasarkan penuturan Neng di hadapan polisi, inilah yang dikatakan Otong ketika mendapati penisnya telah hilang, “Kok kamu melakukan hal itu?”

Neng menjawab, “Tapi kamu kan nggak mati.”

Kemudian, masih dengan nada kalem, Otong menyatakan, “Emangnya lo enggak mikir apa, kalau sudah begini siapa yang mau kawin sama gue?”

Dan apa jawab Neng? Ketika ditanya polisi kenapa dia memotong penis Otong, Neng menggumam, “Saya juga enggak tahu kenapa saya melakukan itu.”

Di warung nasi goreng yang sepi dini hari itu, di hadapan Otong yang kini kehilangan penisnya dan bersimbah darah di selangkangan, Neng berkata, “Terus gimana, dong? Kita ke rumah sakit aja, yuk.”

((((((“Terus gimana, dong? Kita ke rumah sakit aja, yuk.”)))))

Kedengarannya seperti ngajak piknik ke Ancol.

Karena merasakan selangkangannya semakin perih dan darah yang keluar semakin banyak, Otong memutuskan untuk pergi ke rumah sakit secepatnya. Dia segera memungut potongan penisnya, mengendarai motor, dan menuju RSUD yang cukup jauh dari lokasi kejadian. Dan, karena khawatir terjadi hal-hal yang lebih mengerikan, Otong tidak mengajak Neng. Jadi, sejak itu, Otong pun praktis berpisah dengan cewek itu.

Sesampai di RSUD Tangerang Selatan, kondisi Otong sudah parah, dan dia segera ditolong para petugas di sana. Karena kasusnya yang mengerikan, polisi pun dipanggil oleh RSUD. Semula—entah dengan motivasi apa—Otong menyatakan bahwa orang yang memotong penisnya adalah waria yang kebetulan bertemu dengannya. Berita mengenai “waria yang memotong penis Otong” bahkan sempat muncul di banyak web.

Namun, penyelidikan polisi di TKP tidak menemukan bukti-bukti sebagaimana yang dituturkan Otong. Tidak ada waria, tidak ada saksi, tidak ada bukti—nothing. Akhirnya, setelah dikonfrontasi, Otong pun mengakui bahwa pelakunya adalah Neng, cewek yang telah “kencan semalam” dengannya.

Berdasarkan hal itu, polisi berusaha mencari Neng. Melalui pelacakan nomor ponselnya, posisi atau tempat tinggal Neng diketahui, dan dia pun ditangkap. Di hadapan polisi yang memeriksanya, Neng mengakui perbuatannya. Ia menuturkan kronologi kejadian itu secara runtut dan sistematis, sejak miskol yang diterimanya, kirim-kiriman SMS antara dia dan Otong, sampai janjian via ponsel untuk ketemuan, yang berakhir dengan pemotongan penis Otong.

Apakah Neng menyesali perbuatannya? Entahlah. Yang jelas, dia menceritakan rangkaian kisah itu dengan lancar, seperti mengisahkan kencan yang mengasyikkan. Bahkan, dia tertawa cekikikan ketika menceritakan adegan-adegan “panas” yang dilakukannya bersama Otong. Mungkin dia tidak menyadari bahwa perbuatannya akan segera menyeretnya ke penjara, dengan ancaman vonis mengerikan.

Lalu bagaimana dengan Otong? Menurut dokter yang dihubungi wartawan, penis Otong sulit disambung kembali, karena jangka waktunya (sejak terpotong) sudah cukup lama. Dokter Gideon Tampubolon dari RS Premier Bintaro, Tangerang, menjelaskan kepada wartawan Kompas.Com, “Syarat untuk operasi penyambungan adalah organ (penis) harus dalam kondisi bersih, dan langsung disimpan dalam cairan es atau larutan garam fisiologis yang dingin, supaya steril. Karena itu, pasien harus secepatnya dibawa ke rumah sakit.”

Operasi penyambungan organ (penis) yang putus, menurut Dokter Tampubolon, termasuk operasi mikro yang membutuhkan mikroskop dan melibatkan beberapa dokter spesialis, termasuk dokter urologi dan ahli bedah vaskuler. “Operasinya sangat rumit karena menyambung uretra, pembuluh darah, serta saraf,” ujarnya.

....
....

Seperti yang kita lihat, kisah ini mengerikan. Dan rangkaian kisahnya sangat absurd, bahkan tak masuk akal. Umpama ini cerpen fiksi, editor atau redaktur yang membacanya pasti akan tersenyum kecut. Karakteristik para tokohnya tidak “match” dengan penampilan, lokasi kejadiannya sangat aneh, dialog-dialognya tak masuk akal, sementara rangkaian kisahnya sangat absurd dan mengerikan.

Tetapi, well, kisah nyata memang sering tak masuk akal. Dan seabsurd apa pun, kita tetap percaya—atau dipaksa percaya—karena kenyataannya memang nyata. Bahwa dua orang yang semula tak saling kenal rupanya bisa bertemu dan “begituan” setelah diawali miskol, rangkaian SMS, dan janji ketemuan. Bahwa cewek yang mau “begituan” denganmu bisa jadi menyiapkan pisau untuk memotong penismu satu-satunya. Dan, bisa jadi pula, kau akan kehilangan penis selamanya karena alasan-alasan medis yang tralala.

....
....

Jadi, apa pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini?

Tidak ada pelajaran apa pun. Itulah pelajarannya.

Kalau saja Otong mau menggunakan waktunya untuk belajar, dan bukannya sibuk miskol cewek tak dikenal, mungkin peristiwa mengerikan itu tak terjadi. Kalau saja Neng lebih sibuk belajar, dan bukannya mengurusi miskol cowok tak dikenal, mungkin dia tidak ditangkap polisi.

Kalau saja Otong mau memanfaatkan waktunya untuk belajar, bekerja, dan melakukan hal-hal produktif, mungkin dia tidak kehilangan penisnya. Kalau saja Neng mau memanfaatkan waktunya untuk belajar, bekerja, dan mengerjakan hal-hal positif, mungkin dia tidak masuk penjara.

Tetapi, sayangnya, mereka tidak sibuk belajar. Kenyataannya mereka masih punya waktu untuk mengurusi miskol, kirim-kiriman SMS, tilpon-tilponan, janjian ketemuan, lalu kelayapan semalaman. Mereka tidak belajar—oh, well, mereka tidak menggunakan waktunya untuk belajar.

Jadi, kisah ini tidak punya pelajaran sama sekali. Dan itulah pelajarannya.

Berawal dari Miskol, lalu Kirim SMS, Terus Janjian, Berakhir dengan Potong Penis (1)

Kita menjalani hidup yang lebih absurd dari para kartun.
Mereka hidup dengan skenario jelas,
semustahil apa pun ceritanya. Kita tidak.
@noffret


Apa perbedaan fiksi dan nonfiksi? Fiksi adalah kisah rekaan atau khayalan, sementara nonfiksi adalah kisah nyata berdasar kenyataan sesungguhnya. Dalam beberapa hal, menulis fiksi jauh lebih sulit dibanding menulis nonfiksi.

Meski berdasar rekaan atau khayalan, fiksi harus masuk akal, logis, dan bisa dicerna akal sehat. Penulis kisah fiksi harus berusaha membuat pembacanya percaya pada kisah yang ia tuturkan. Karenanya, kisah yang dibangun dalam fiksi harus masuk akal, memiliki latar kisah yang jelas, bahkan kadang harus bisa dibayangkan dengan mudah. Itu bukan pekerjaan ringan—sering kali, menulis fiksi membutuhkan pemikiran yang lebih berat dibanding menulis nonfiksi.

Ketika menulis nonfiksi, yang merupakan fakta sesungguhnya, kita tinggal “memindahkan” realitas ke dalam tulisan. Tak peduli seaneh atau semustahil apa pun, orang tetap akan percaya, karena itu memang kisah nyata. Contoh mudah dalam hal ini adalah artikel-artikel berita yang biasa kita baca di koran, majalah, atau di web-web berita. Semua berita itu berdasar kenyataan. Karenanya, meski kisah di dalamnya sangat absurd dan tidak logis, kita percaya.

Kenyataannya, kisah dari dunia nyata memang kadang—bahkan sering—tidak logis, aneh, absurd, dan tak masuk akal. Termasuk kisah yang akan saya ceritakan berikut ini.

Kisah aneh dan absurd ini sudah cukup lama terjadi. Saya menuliskannya di blog ini berdasarkan puluhan artikel berita yang saya baca di banyak situs, khususnya Kompas.Com dan Tempo.Co. Di situs-situs tersebut, nama-nama pelakunya ditulis lengkap. Namun, dalam catatan ini saya akan menyamarkan nama-nama mereka.

Yang jelas, kisah ini benar-benar nyata, benar-benar terjadi, dan kita akan melihat absurditas yang luar biasa. Tidak hanya dalam kisahnya, tapi juga dalam dialog-dialognya, bahkan karakteristik para pelakunya. Kisah ini akan memperlihatkan kepada kita, betapa aneh dan tak masuk akal kisah di dunia nyata. (Nama-nama tempat, dan semua dialog atau ucapan para pelaku yang saya kutip dalam catatan ini, ditranskrip sesuai aslinya).

....
....

Neng adalah cewek berumur 22 tahun. Setiap hari, dia biasa mengenakan baju panjang dan kerudung. Seperti umumnya cewek lain di abad ke-21, Neng juga punya ponsel. Suatu hari, ponselnya berdering, dan sederet nomor asing muncul di layar. Ketika Neng menerima telepon itu, si penelepon menutup panggilannya. Rupanya cuma miskol (missed call).

Beberapa waktu kemudian, nomor tak dikenal itu kembali mengirim panggilan ke ponsel Neng. Tetapi, lagi-lagi, si penelepon menutup panggilan ketika Neng menerimanya. Dan begitulah kisah ini dimulai.

Sebagai cewek gahol, Neng tentu saja menganggap miskol semacam itu hal biasa, karena miskol—konon—salah satu ciri anak muda gahol. Dan si tukang miskol tidak jelas itu kemudian mengirim SMS. Dari SMS-nya, Neng memperkirakan kalau dia (yang suka miskol itu) mungkin mengira Neng adalah temannya. Ketika Neng bertanya dia siapa, si tukang miskol menyebutkan nama. Sebut saja namanya Otong. Umurnya 21 tahun.

Neng tidak kenal siapa Otong.

Lalu Otong menelepon Neng. Ketika bercakap-cakap, Otong berkali-kali memanggil Neng dengan sebutan Umay. Neng juga tidak tahu siapa Umay. Kelak, di hadapan polisi yang memeriksanya, Neng menyatakan, “Saya tidak tahu Umay itu siapa, tapi karena dia terus panggil saya dengan nama itu, ya saya iyakan saja.”

Karena sebelumnya sudah SMS-an, mereka pun mengobrol cukup lancar, meski Neng tetap tidak tahu siapa Otong. Singkat cerita, Otong mengajak ketemuan. Semula, Neng menyetujui. Tapi kemudian Neng sok jaim dengan membatalkan rencana ketemuan, dan menjanjikan lain kali saja. Jadi, mereka pun batal ketemu, tapi tetap SMS-an. Dan sesekali mengobrol via ponsel.

Di lain waktu, Otong kembali mengajak ketemuan. Kali ini, Neng benar-benar menyetujui. Maka, dua bocah yang dipertemukan oleh miskol itu pun janjian untuk ketemu di depan kampus Universitas Pamulang, Tangerang Selatan. Peristiwa itu terjadi pada 13 Mei 2014, pukul 19.00.

Karena menganggap cowok yang akan ditemuinya adalah orang asing, dan Neng sama sekali tidak tahu siapa dia, maka Neng pun merasa perlu berjaga-jaga. Jadi, dia mempersiapkan sebuah pisau cutter, yang ia masukkan ke dalam tas. Kelak, kepada polisi yang memeriksanya, Neng menyatakan, “Saya siapkan (pisau itu) karena orang yang mau saya temui (Otong) belum kenal, dan jaga-jaga kalau dia ngapa-ngapain saya.”

Cuaca Tangerang cukup cerah malam itu, ketika Neng dan Otong akhirnya bertemu. Neng naik angkot untuk datang ke tempat janjian mereka, sementara Otong mengendarai sepeda motor. Setelah ketemu, Otong mengajak Neng jalan-jalan. Neng setuju. Maka mereka pun jalan-jalan berboncengan ke sejumlah lokasi, seperti layaknya anak muda gahol yang sedang menikmati kencan. Kelak, Neng menceritakan, “Ia selalu mengajak saya ke tempat yang sepi, dan mengajak begituan (berhubungan intim).”

Sampai kemudian, mereka tiba di sebuah masjid. Ironisnya, mereka lalu benar-benar “begituan” di toilet masjid. Inilah yang dikatakan Neng di hadapan polisi yang memeriksanya, “Di dalam toilet, dia menyingkapkan rok saya, dan memasukkan alat kelaminnya hingga beberapa kali. Tapi belum tuntas, keburu ada orang datang.”

Orang yang memergoki aksi mereka segera mengusir keduanya. “Cepat pergi dari sini! Kalau tidak, kami panggilkan Ketua RT,” ujar Neng menirukan warga yang memergoki mereka “begituan” di area masjid tersebut.

Neng dan Otong pun segera kabur dari sana. Tapi hasrat tadi rupanya belum selesai. Maka, sambil masih berboncengan, Otong membawa motornya berputar-putar, mencari tempat yang strategis dan kondusif, sementara malam semakin larut. “Perjalanan kami cukup jauh,” Neng menceritakan, “saya dibawa ke Sawangan, Pondok Cabe, dan Cirendeu.”

Lanjut ke sini.

 
;