Selasa, 19 Mei 2015

Ketemu Mantan di Kawinan Teman

Kalau mantan pacarmu bilang, “Aku sudah melupakanmu,” itu bohong.
Kalau dia sudah melupakanmu, dia tidak akan ngomong begitu.
@noffret


Dalam hidup, kadang ada saat-saat canggung, semisal harus ketemu mantan pacar di suatu acara. Well, bagaimana cara terbaik saat harus bertemu mantan? Kalau kau seorang bocah, Bruce Wayne telah mengajari cara yang paling elegan. Ketika dia mengadakan pesta ramah tamah, dan dalam pesta itu ada Rachel Dawes—mantannya—Bruce Wayne datang ke pesta itu dengan tiga cewek, naik helikopter!

Saya sering membayangkan melakukan hal itu. Jika sewaktu-waktu harus bertemu mantan, saya akan mengajak tiga cewek, dan naik helikopter. Yang jadi masalah, tidak ada cewek yang cukup tolol untuk mau saya ajak. Masalah lainnya, saya tidak punya helikopter!

Jadi, ketika tempo hari ketemu mantan pacar di acara kawinan teman, saya pun datang ke sana bersama teman cowok, dan—tentu saja—tidak naik helikopter. Saya sudah tahu akan ketemu mantan di sana, karena teman yang menikah ini dulu sekampus dengan kami. Sejak putus bertahun lalu, saya belum pernah ketemu mantan. Jadi tidak tahu bagaimana perasaan saya nanti jika ketemu dengannya.

Di acara resepsi, saya bertemu banyak teman sekampus dulu. Sebagian masih lajang, sebagian sudah menikah dan datang bersama pasangan, bahkan sebagian lagi ada yang membawa anaknya yang masih imut. Selama hanyut dalam obrolan dengan mereka, saya sempat berdebar memikirkan apa yang harus saya lakukan nanti kalau ketemu mantan di sana.

Dan peristiwa itu akhirnya terjadi.

Saat melangkah menuju meja prasmanan yang kebetulan sepi, saya berpapasan dengan dia yang juga akan mengambil makanan. Kami sama-sama terkejut, dan sejujurnya saya tidak tahu kenapa saya harus terkejut—toh sebelumnya sudah tahu kalau dia pasti juga diundang acara resepsi ini. Tapi itulah kenyataannya, saya terkejut. Dari raut wajahnya, dia juga tampak terkejut. Lalu kami sama-sama tersenyum, dan saling sapa.

Berdiri bersama di depan meja prasmanan, kami mengambil makanan sambil berbasa-basi seperti umumnya teman lama. Dia datang ke acara resepsi bersama Elia, teman karibnya. Saat dia bertanya saya datang bersama siapa, saya mengatakan datang bersama teman cowok. Lalu percakapan pun mengalir... rasanya seperti déjà vu.

Sambil memegangi piring berisi makanan, kami duduk berhadapan. Selama makan, saya sesekali memandanginya. Bagaimana pun, dia pernah menjadi orang yang sangat dekat dengan saya... bertahun lalu. Bagaimana pun, dia pernah menjadi pacar yang saya gandeng tangannya, yang pernah saya rindukan senyumnya, yang pernah membuat saya mabuk kepayang selama bersamanya.

Dia masih cantik, seperti dulu. Tetapi, di lubuk hati paling dalam, saya sudah tidak lagi memiliki perasaan seperti yang dulu pernah saya rasakan. Bagaimana pun, waktu yang saya lalui tanpa dirinya telah mengikis perlahan-lahan perasaan saya kepadanya. Jadi, saat memandanginya, saya hanya merasakan bahwa saya pernah menjadi pacarnya. Tidak lebih dari itu. Tidak ada lagi debar, tidak ada lagi getar, tidak ada lagi cinta yang dulu.

Seusai makan, dia bertanya, “Kenapa kamu tidak mengajak pacarmu?”

Saya menjawab jujur, “Aku belum punya pacar.”

Dia menatap seperti tak percaya, “Apa masalahnya, coba?”

“Masalahnya,” saya menyahut perlahan, “aku belum menemukan yang sepertimu.”

Dia memahami yang saya maksud, dan tersenyum.

Masalahnya bukan karena saya belum menemukan perempuan secantik dirinya. Masalahnya adalah karena saya belum menemukan perempuan yang memiliki sikap seperti dirinya!

....
....

Mantan pacar saya bernama Ririn (bukan nama sebenarnya). Dia adik angkatan saya di kampus. Saya telah tahu dirinya sejak pertama kali dia masuk kampus, karena waktu itu nyaris semua cowok di kampus ramai menyebut-nyebut namanya. Tetapi saya tidak punya ketertarikan apa pun. Waktu itu saya masih patah hati karena perempuan yang saya cintai menikah, seperti yang pernah saya ceritakan di sini.

Saya dan Ririn baru berkenalan saat saya semester empat, dan dia semester dua. Bahkan setelah kenal pun, saya tetap tidak punya perasaan apa pun kepadanya. Lebih dari itu, sangat jarang kami bisa bersama cukup lama, karena selalu ada banyak cowok yang terus-menerus mengelilinginya. “Dia bukan tipeku,” pikir saya waktu itu. Jadi, kalau pas ketemu, kami hanya saling sapa sekadarnya.

Hingga suatu waktu, ada acara pencinta alam yang kemudian mengakrabkan kami. Anak-anak pencinta alam berencana berkemah di suatu tempat, dan Ririn maupun saya ikut dalam acara itu. Selama acara kemah itulah, saya mulai akrab dengan Ririn, banyak berbincang dengannya, dan mengalami kedekatan yang belum pernah kami alami sebelumnya. Selama tiga hari di sana, kami banyak bertemu, bercakap, bercanda, dan tertawa.

Pada waktu-waktu itulah, saya mulai merasakan debar yang sebelumnya tidak saya rasakan. Selama acara kemah, saya melihatnya apa adanya—sosok yang begitu alami, bersahaja, tanpa persiapan penampilan apa pun sebagaimana ketika saya melihatnya di kampus. Dan percakapan kami begitu nyambung, mengalir lancar tanpa sok jaim, hingga saya merasa nyaman bersamanya. Saya masih ingat, waktu-waktu itu, tiba-tiba saya senang melihatnya, dan rasanya ingin terus bersamanya.

Saat kembali masuk kampus, seusai acara kemah, hubungan saya dengan Ririn terus berlanjut. Tetapi, karena setiap hari Ririn terus-menerus dikelilingi banyak cowok, saya pun kesulitan mendekati. Saya tidak tahu bagaimana cara mendekati cewek yang sedang asyik dengan banyak cowok. Jadi, saya pun kemudian asyik sendiri dengan kegiatan saya, atau dengan teman-teman saya, sementara Ririn terus dikerubuti lalat-lalat pemujanya.

Kadang-kadang, saat melihat saya di kampus, Ririn memanggil, dan dengan ceria mengundang, “Gabung sini!”

Tapi saya hanya tersenyum, dan tak pernah bergabung.

Saya tidak tahu apa yang dirasakan Ririn waktu itu. Yang jelas, perlahan-lahan Ririn menunjukkan perubahan sikap. Mungkin karena menyadari saya tidak pernah tertarik mendekatinya saat dia sedang dikerubuti lalat cowok-cowok, dia yang kemudian meninggalkan lalat-lalat di sekelilingnya. Saat melihat saya sendirian di kampus, dia meninggalkan kerumunannya, dan mendekati saya. Lalu kami bercakap berdua secara pribadi, seperti di acara kemah dulu.

Perlahan-lahan, itu menjadi kegiatan rutin kami. Selama bersama saya, sering ada cowok-cowok yang mendekatinya, tapi dia tidak mempedulikan.

“Aku selalu senang ngobrol sama kamu,” ujarnya suatu ketika. “Tapi kenapa kamu tidak pernah mau gabung dengan yang lain?”

“Yeah...” ujar saya serba salah, “terus terang, aku tidak nyaman jika harus mengerubutimu seperti sekumpulan lalat.”

Dia tertawa. Entah kenapa, saya senang melihatnya tertawa. Dia tidak hanya cantik, tapi juga dewasa, dan memiliki sikap yang sangat manis. Lalu kedekatan kami pun semakin intens, hingga saya merasa sangat nyaman bersamanya. Sampai suatu hari, kami saling menyatakan cinta. Sejak itu, saya mabuk kepayang setiap kali di dekatnya.

“Kenapa kita tidak jadian dari dulu?” ujar saya sering kali.

Dan dia menjawab dengan jawaban yang sama setiap kali, “Kenapa kamu tidak bilang cinta dari dulu?”

“Yeah, kamu terlalu sibuk dengan lalat-lalatmu!”

Lalu dia akan mencubit, menggelitik, menggoda, dan saya akan tertawa sambil jatuh cinta, tertawa sambil jatuh cinta, dan tertawa sambil jatuh cinta.

Itu saat-saat termanis yang pernah saya alami dalam hidup. Dengan segala kedewasaannya, dia sangat memahami saya. Dia tahu saya sangat peka, dan selalu berusaha menjaga perasaan saya dengan sikapnya yang manis. Selama kami pacaran, dia tidak pernah melakukan sesuatu yang menyakiti perasaan saya. Dia benar-benar tahu menjaga hati saya agar tidak terluka.

Meski sekarang kami tidak lagi pacaran, saya harus jujur mengakui bahwa dia pacar yang baik. Dia seorang perempuan dengan sikap yang membuat saya jatuh cinta.

....
....

“Aku mau mengambil es buah di sana, kamu mau nitip?”

Suara Ririn membuyarkan lamunan. Dengan tergagap, saya mengangkat muka, dan mendapatinya sedang berdiri menatap saya. “Uh... eh, apa?”

“Aku mau mengambil es buah di sana,” ulangnya. “Kamu mau?”

Saya mengangguk, “Ya, aku mau.”

Saat kembali, dia menyodorkan segelas es buah, dan kami kembali duduk berhadapan. Setelah menghabiskan es di gelasnya, Ririn menatap saya dan berkata perlahan, “Kapan pun, kamu pasti akan menemukan yang lebih baik dari aku.”

Mungkin, itu kalimat terbaik yang bisa diucapkan seseorang kepada mantan pacar.

 
;