Senin, 04 Mei 2015

Misteri Hilangnya Mie Instan

Hanya dengan menambahkan bawang goreng kering
banyak-banyak, masakan mie instan jadi jauh lebih enak.
Terpujilah bawang goreng kering!
@noffret


Sebenarnya, saya tidak terlalu suka mie instan. Tetapi lapar bisa muncul sewaktu-waktu, dan keberadaan mie instan sangat membantu mengganjal perut. Karena sering bekerja semalam suntuk, perut saya kadang lapar tiba-tiba, di jam-jam yang “kurang strategis”, misalnya pukul 03:00. Mencari warung makan dini hari semacam itu cukup merepotkan. Karena itu saya bersyukur dengan adanya mie instan.

Jika disuruh memilih nasi uduk atau mie instan, tentu saja saya akan memilih nasi uduk. Tapi nasi uduk tidak bisa didapat sewaktu-waktu, sementara mie instan nyaris selalu tersedia di rumah. Meski kurang suka, keberadaan mie instan yang makin beragam dengan aneka rasa cukup membantu selera dalam menyantapnya. Dibanding sepuluh tahun lalu, misalnya, mie instan zaman sekarang makin beragam dan kita bisa memilih rasa yang diinginkan.

Jadi, setiap belanja ke swalayan, saya selalu membeli beberapa bungkus mie instan aneka rasa, kemudian menyimpannya di dapur, sebagai semacam persediaan ketika lapar mendadak dan saya kesulitan mencari makan. Meski begitu, saya hanya akan memasak mie instan jika benar-benar butuh dan mendesak. Selama punya alternatif lain, saya tidak akan memakannya. Karena, sederhana saja, nasi uduk jauh lebih enak daripada mie instan!

Nah, beberapa waktu lalu, saya sedang suntuk menulis naskah di komputer. Itu naskah yang cukup berat, dan telah menghabiskan waktu cukup lama, tapi belum juga selesai. Sementara penerbit yang memintanya sudah bolak-balik menghubungi, menanyakan kapan naskah akan dikirim. Mereka meminta agar naskah itu selesai bulan ini, dan rasanya saya ingin menjawab, “Itu mustahil!”

Sebenarnya, saya juga ingin menyelesaikan naskah itu secepatnya, agar beban pekerjaan berkurang. Tapi kenyataannya naskah itu benar-benar sulit digarap, dan membutuhkan ratusan halaman. Dalam estimasi kasar, saya memperkirakan naskah itu butuh 600-an halaman, sementara yang selesai baru 300-an halaman. Well, masih butuh 300-an halaman lagi, dan itu benar-benar kerja yang berat. Bahkan tanpa diburu-buru deadline pun sebenarnya saya sudah cukup pusing.

Setiap hari, saya terus mengerjakan naskah itu, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Bahkan ketika tidur pun saya kadang bermimpi sedang menggarap naskah, lalu terbangun dan mengkhayal naskah yang tertulis di komputer benar-benar telah bertambah. Tapi tentu saja tidak terjadi. Dan saya harus benar-benar menggarapnya kembali, meneruskan menulisnya lagi, hingga halamannya benar-benar bertambah. Ketika sedang khusyuk bekerja seperti itu, sering kali saya lupa makan.

Suatu malam, menjelang pukul 02:00, ketika sedang membaca ulang beberapa halaman di monitor, tiba-tiba perut saya kelaparan. Pikiran saya pun segera membayangkan mie instan di lemari dapur. Kalau tidak salah ingat, saya masih punya dua bungkus mie instan yang memang saya simpan untuk kebutuhan darurat.

Maka saya pun segera menutup lembar kerja di komputer, melangkah ke dapur, membuka lemari untuk mengambil mie instan, dan... saya tercengang. Mie instan itu memang ada di sana, tepat dua bungkus seperti yang ada dalam ingatan. Tapi hanya ada bungkusnya. Mie di dalamnya tidak ada secuil pun! Jika sebelumnya dua bungkus itu cembung karena ada mie di dalamnya, sekarang dua bungkus itu tipis dan rapi, karena isinya sudah tak ada sama sekali.

Dengan takjub campur heran, saya mengambil bungkus plastik mie yang telah kosong, memeganginya dengan terpana, dan memikirkan bagaimana bisa mie di dalamnya lenyap tanpa bekas. Dua bungkus yang kosong itu sama sekali tidak rusak—masih rapi dan mulus seperti biasa. Tidak ada robekan apa pun, tidak ada lubang apa pun. Jadi ke mana perginya mie di dalamnya? Yang lebih penting lagi, bagaimana mie di dalam bungkus itu bisa keluar dan lenyap?

Tiba-tiba perut saya tidak lapar lagi, berganti penasaran yang meluap. Buru-buru saya membuat teh hangat, lalu merokok, dan mulai memikirkan misteri itu. “Pertanyaannya sepele,” kata saya pada diri sendiri, “bagaimana kira-kira caramu mengeluarkan mie instan dari dalam bungkus plastik, tanpa harus merusak bungkusnya?”

Sampai subuh, saya tetap belum bisa menemukan jawaban untuk pertanyaan “sepele” itu. Saya pikir, Deddy Corbuzier atau bahkan Harry Houdini pun belum tentu mampu melakukan hal semacam itu—melenyapkan dua bungkus mie instan hingga hilang tak berbekas, tanpa merusak bungkusnya sedikit pun.

Sherlock Holmes, detektif pertama di dunia, berkali-kali menyatakan bahwa deduksi bisa membawa kita menemukan jawaban yang kita cari. Tapi deduksi macam apa yang harus saya ambil dalam menghadapi kasus hilangnya mie instan dari bungkusnya? Sementara Hercule Poirot yang genius selalu menasihati, “Gunakan sel-sel kelabu di kepalamu, mon ami, dan kau akan menemukan pelakunya.”

Pelaku apa, Monsiour? Misteri yang saya hadapi sekarang bukan kasus pembunuhan pelik yang pelakunya sulit dideteksi. Ini kasus sepele—menghilangnya mie instan dari bungkusnya, tanpa jejak, tanpa bekas, tanpa ada kerusakan apa pun yang bisa dipelajari atau dilacak. Mie instan dari dua bungkus itu lenyap—hilang tanpa bekas—tanpa sisa secuil pun, tapi bungkusnya tetap utuh! Dan kasus yang sangat misterius itu terjadi di dapur rumah saya!

Sambil menyulut rokok lagi, saya memperhatikan bungkus mie instan kosong itu, memperhatikannya benar-benar, seinci demi seinci, mencari-cari bekas kerusakan secuil apa pun yang mungkin terjadi. Tapi nyatanya bungkus plastik itu benar-benar masih utuh, sama persis seperti bungkus mie instan baru. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang rusak. Tapi bagaimana mie di dalamnya bisa lenyap? Dan bagaimana caranya...?

Seekor semut merayap di atas tutup panci. Tiba-tiba saya teringat pada Sherlock Holmes. “Deduksi,” katanya berkali-kali. Dan Hercule Poirot seolah menimpali, “Gunakan sel-sel kelabumu.”

Semut. Mie instan yang hilang. Sesuatu yang lenyap tanpa bekas. Nyaris seketika, saya melihat jejak yang semula tidak ada. Jika makanan yang terbungkus rapi bisa hilang tanpa bekas, maka semut akan menjadi kandidat tersangka paling kuat. Makhluk kecil itu jauh lebih kuat dari yang disangka kebanyakan manusia. Jangankan bersama kawanannya, bahkan ketika sendirian pun semut bisa melakukan hal-hal hebat.

Menyadari kemungkinan itu, saya kembali memeriksa bungkus mie instan yang kosong, dan mulai mempelajarinya lebih teliti. Beberapa menit kemudian, saya menemukan sebuah lubang di balik lipatan tengah bungkus itu. Sebuah lubang yang kecil, kira-kira seukuran ujung korek api, tertutup lipatan plastik hingga hampir tak terlihat. Tapi lubang itu sudah cukup membantu otak saya memikirkan kemungkinan yang terjadi.

Lalu saya pun mulai merekonstruksi kasus misterius itu, dan membangun deduksi. Mula-mula, semut menemukan mie instan di lemari dapur. Entah lubang pada bungkus mie telah ada sebelumnya atau dia yang membuatnya, yang jelas semut menyadari bungkus plastik itu berisi makanan. Maka dia pun lalu memanggil kawanannya, berbondong-bondong, mendatangi mie instan, menyusup ke dalam bungkusnya melalui lubang yang ada, lalu bersama-sama menghancurkannya seremah demi seremah, dan membawanya keluar untuk dikumpulkan di sarang mereka.

Semut adalah pekerja yang hebat. Jika mempelajari kehidupan mereka, kita akan melihat betapa makhluk-makhluk kecil itu jauh lebih menakjubkan dari yang mungkin kita pikirkan. Kawanan semut liar di hutan bahkan bisa “menyantap” seekor kerbau atau kuda yang mati, hingga habis tanpa bekas! Dengan ukurannya yang kecil, semut bisa menyantap apa pun tanpa sisa. Dan jika kuda atau kerbau saja bisa dihancurkan, maka menghancurkan mie instan pasti bukan hal sulit bagi mereka!

Jadi, pelaku “kejahatan” yang terjadi di dapur saya adalah semut. Merekalah yang telah datang ke lemari dapur, dan menemukan mie instan yang teronggok di sana.

Semut-semut itu tidak bisa membawa mie bersama bungkusnya keluar dari lemari yang tertutup. Jadi mereka pun membuat lubang pada bungkusnya, lalu menyusup masuk dan menghancurkan mie di dalamnya, kemudian keluar masuk lemari melalui celah-celah yang ada. Setelah itu, selama berminggu-minggu, kawanan mereka pasti sangat sibuk sekali membawa remah-remah mie instan dari lemari ke sarang, dikumpulkan sebagai persediaan makanan. Dan selama waktu-waktu itu, saya bahkan tidak sempat memperhatikan!

Oh, well, tentu saja ini baru deduksi. Untuk benar-benar meyakini deduksi itu, dan benar-benar bisa memastikan bahwa semut memang pelakunya, kita harus menggunakan uji coba. Maka, siang harinya, saya membeli dua bungkus mie instan, memasukkannya ke lemari dapur seperti semula, dan menunggu apa yang akan terjadi.

Setiap hari, saya terus memantau lemari, melihat dan mempelajari perubahan yang terjadi, sekecil apa pun. Beberapa hari sejak saya masukkan mie instan ke sana, beberapa semut mulai tampak datang. Saya terus memantau, dan membiarkannya, seolah-olah saya tidak tahu yang mereka lakukan. Seminggu sejak mie instan ada di sana, saya mendapati lubang di balik lipatan bungkusnya—tepat seperti yang terjadi pada dua bungkus mie sebelumnya. Semut-semut itu telah mulai bekerja.

Satu minggu lagi, saya periksa kembali, dan kini saya mendapati isi mie instan telah berkurang. Bungkusnya masih utuh, masih rapi, tidak ada kerusakan apa pun. Tapi isinya telah berkurang, tidak lagi sepenuh ketika masih utuh. Seiring dengan itu, saya menyaksikan kawanan semut yang tampak hilir mudik di sekitar mie yang ada di sana. Kawanan itu jumlahnya tidak terlalu banyak, terlihat normal, tapi saya tahu mereka membawa remah-remah mie instan di moncong mereka.

Betapa ajaibnya semut, pikir saya dengan takjub. Makhluk-makhluk kecil itu telah melakukan sesuatu yang bahkan tidak bisa dilakukan makhluk-makhluk lain yang jauh lebih besar dari mereka. Membuat lubang pada bungkus mie instan, kemudian menghancurkan makanan di dalamnya, lalu keluar masuk lubang untuk memunguti remah-remah mie yang telah mereka hancurkan... semua itu membutuhkan ketekunan tanpa putus asa, kerja keras tanpa kenal lelah, dan semangat menyala-nyala.

“Dan jika kau benar-benar menginginkan sesuatu dengan seluruh jiwa ragamu,” ujar Paulo Coelho, “maka alam semesta akan berkonspirasi untuk membantumu.”

Dengan segala kelemahan dan kesederhanaannya, semut telah membuktikan kebenaran itu. Mereka telah melakukan sesuatu yang semula tampak mustahil, dan mengubahnya menjadi mungkin. Jika makhluk sekecil itu pun bisa melakukan keajaiban dengan ketekunan, kesabaran, serta semangat dan kerja keras... saya tentu juga bisa melakukannya.

Lalu saya teringat pada naskah sulit yang sedang saya kerjakan. Dan, tiba-tiba, saya tidak lagi melihatnya sebagai hal sulit untuk dikerjakan. Menyelesaikan naskah tebal itu kini tampak jauh lebih mudah daripada melakukan sesuatu yang telah dilakukan semut-semut kecil di dapur saya.

 
;