Jumat, 08 Mei 2015

Sepasang Sandal di Depan ATM

Sandal jepit tuh ada dua macam. Pertama yang
biasa-biasa saja, kedua yang membuat kita seneeeeeeeeeeng
waktu memakainya. #DuniaHarusTahu
@noffret 


Farah Quinn, koki seksi yang terkenal itu, akan masuk ke bilik ATM (Anjungan Tunai Mandiri), dan terkejut saat mendapati sepasang sandal di sana. Rupanya, ada seorang wanita yang masuk ke bilik ATM, dan melepas sandalnya sebelum masuk. Entah dengan tujuan apa, Farah Quinn kemudian memotret sepasang sandal itu, dan mengunggahnya ke Instagram.

Pada foto itu, Farah Quinn menulis, “Mba Yu niatnya mau ke ATM atau ke mushola? :(” Foto itu diunggah pada November 2014, dan seketika mengundang banyak komentar pedas dari para follower-nya di Instagram. Farah Quinn mungkin tidak menyangka tindakannya yang terkesan sepele itu akan mengundang amarah banyak orang.

Mungkin Farah Quinn hanya heran karena mendapati sesuatu yang tidak pernah dilihatnya—orang melepas sandal saat masuk bilik ATM. Karena keheranannya pula, dia sampai merasa perlu mengabadikan moment itu dengan sebuah foto yang diunggah ke Instagram. Sayangnya, tidak semua orang memiliki keheranan yang sama seperti yang dirasakan Farah Quinn. Alih-alih ikut merasa heran, orang-orang itu justru menghujatnya.

Sebenarnya, saya juga pernah mendapati hal serupa seperti yang dialami Farah Quinn. Suatu waktu, saya pernah datang ke kantor kelurahan untuk mengurus sesuatu. Lantai kantor kelurahan itu sangat bersih—keramik putihnya tampak mengilat. Tetapi saya sadar, itu kantor kelurahan dan bukan mushala. Jadi, saya tetap memakai sandal dan tidak melepasnya. Kenyataannya, para petugas dan orang-orang lain di sana juga tetap memakai sandal atau sepatunya.

Sambil menunggu urusan selesai, saya duduk di kursi panjang dekat pintu masuk. Tidak lama setelah itu, muncul tiga ibu-ibu yang datang ke sana untuk mengambil jatah raskin (beras dari pemerintah yang ditujukan untuk orang-orang miskin). Saat akan masuk kantor kelurahan, ibu-ibu itu melepas sandalnya di depan pintu. Sambil heran, saya bilang pada mereka, “Bu, sandalnya dipakai saja.”

Salah satu dari mereka menyahut, “Nggak apa-apa, Mas. Kami biasa melepas sandal, kok, kalau ke sini.”

Saya tidak punya hak untuk memaksa, jadi saya pun membiarkan. Tiga ibu-ibu itu meninggalkan sandalnya di depan pintu kantor kelurahan, dan masuk ke dalam tanpa alas kaki. Sesaat kemudian, mereka muncul lagi dengan gendongan beras, memakai kembali sandalnya, lalu berjalan pulang. Semuanya tampak wajar. Mereka tidak menganggap melepas sandal di kantor kelurahan sebagai masalah atau keanehan.

Jadi, jika saya heran melihat ibu-ibu itu melepas sandal di kantor kelurahan, mungkin ibu-ibu itu juga heran melihat saya enjoy mengenakan sandal di kantor kelurahan. Bisa jadi, di mata mereka, saya bocah yang tidak tahu adab.

Apa yang terjadi di sini? Hanya perbedaan pola pikir dan latar belakang kebiasaan. Ibu-ibu itu mungkin biasa menganggap lantai yang putih bersih layak dihormati, sehingga merasa perlu melepas sandal, demi tetap menjaga kebersihan.

Sebagai ibu rumah tangga, mereka tentu tahu beratnya membersihkan lantai dan repotnya menjaga kebersihan rumah. Karenanya, mereka mungkin akan merasa bersalah jika memakai sandal kotor seenaknya untuk menginjak-injak lantai yang sudah bersih mengilap, meski itu lantai kantor kelurahan. Apakah itu salah? Saya pikir bukan hak kita untuk menganggap itu salah atau tidak.

Di lain waktu, saya pernah datang ke sebuah tempat fotokopi. Seperti umumnya tempat fotokopi lain, tempat itu ada di pinggir jalan raya, dibatasi trotoar. Yang aneh, di tempat itu ada peringatan cukup besar yang berisi permintaan melepas sandal atau sepatu jika masuk area fotokopi. Pada papan peringatan itu juga terdapat kalimat, “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Jadi, jika kita bermaksud masuk ke tempat fotokopi, yang artinya menginjak lantainya, kita harus melepas sandal.

Ini tempat fotokopi, pikir saya dengan heran. Kenapa saya harus melepas sandal? Tetapi, yeah, kebersihan adalah sebagian dari iman. Saya bisa apa? Jadi, meski dengan heran, saya tetap patuh melepas sandal, demi bisa memfotokopi!

Tentu saja hak setiap orang, atau setiap pemilik tempat fotokopi, untuk membuat peraturan semacam itu. Wong itu tempatnya sendiri. Kalau saya keberatan dengan peraturan itu, saya bisa mencari tempat fotokopi lain yang membebaskan orang mengenakan sandal. No problem. Dan jika orang-orang merasa jengah karena harus melepas sandal atau sepatu hanya untuk bisa memfotokopi, hingga kapok datang ke sana, itu juga risiko si pemilik usaha fotokopi. Bukan masalah saya.

Selain tempat fotokopi, pengalaman serupa juga saya alami di tempat potong rambut. Sebelumnya, saya biasa potong rambut di salon, sekalian luluran. Sampai kemudian, seorang teman memberitahu ada tempat potong rambut yang kualitasnya tidak kalah dengan salon, tapi biayanya jauh lebih murah. Karena tertarik, saya pun minta diantar ke sana. Kebetulan waktu itu saya sudah perlu potong rambut.

Tempat potong rambut itu ada di pinggir jalan, berupa ruangan sederhana sekitar 5x5 meter. Ada bangku panjang di ruangan itu, tempat para lelaki menunggu giliran dipangkas rambutnya. Si tukang potong adalah lelaki berusia sekitar 35-an, dan tampak cekatan memangkas rambut. Sambil menunggu giliran, saya duduk di bangku panjang. Yang membuat saya heran, orang-orang di sana melepas sandalnya di depan pintu. Jadi, ketika masuk ke sana, saya ikut melepas sandal, sebagai bentuk penghormatan.

Selama duduk menunggu di tempat potong rambut itu, saya sempat memperhatikan. Ruangan itu memang menggunakan lantai keramik, dan tampak bersih. Tapi ini bukan mushala, dan seharusnya orang-orang tidak perlu melepas sandal di depan pintu. Di tempat itu juga tidak ada papan peringatan yang meminta agar orang melepas sandal atau sepatu. Dengan kata lain, mereka secara suka rela melepas sandal atau sepatunya.

Seperti yang dibilang teman saya, kualitas potong rambut di sana memang tidak kalah dengan salon. Terus terang saya puas memotong rambut di sana. Apalagi biayanya jauh lebih murah. Jadi, semenjak itu, saya pun berlangganan potong rambut ke sana. Jika rambut sudah perlu dipangkas, saya pun datang ke sana.

Berkali-kali datang ke tempat pangkas rambut itu, saya terus-menerus mendapati orang-orang melepas sandalnya di depan pintu. Jadi, selama waktu-waktu itu, saya pun ikut melepas sandal. Toh hanya melepas sandal ini, apa beratnya? Meski semula merasa heran, lama-lama saya mulai terbiasa dengan aktivitas melepas sandal di tempat pangkas rambut.

Apa yang terjadi di sini? Hanya soal pola pikir dan kebiasaan. Orang-orang yang datang ke tempat pangkas rambut itu mungkin biasa menghormati rumahnya yang bersih dengan cara melepas sandal atau sepatunya. Jadi, ketika datang ke sana, dan mendapati lantai yang bersih, mereka pun perlu melakukan hal yang sama. Karena orang-orang itu melepas sandalnya di sana, saya mengikuti sebagai bentuk penghormatan. Meski semula heran, lama-lama saya merasa biasa.

Jadi, jika Farah Quinn merasa heran saat melihat sepasang sandal di depan ATM, tentu saja wajar. Sebagai selebritas yang kaya dan terkenal, Farah Quinn pasti punya selusin pembantu di rumahnya, yang setiap saat siap membersihkan lantai rumah sebersih-bersihnya. Farah Quinn tentu biasa menginjak-injak lantai rumahnya yang putih mengilap dengan sandal atau sepatu, dan dia tidak merasa bersalah, karena selalu ada orang lain yang siap membersihkan. Lebih dari itu, toh itu rumahnya sendiri.

Yang patut disayangkan adalah kecerobohannya dalam memperlakukan rasa heran. Saat melihat sepasang sandal di depan ATM, dia tidak memberi waktu bagi dirinya sendiri untuk berpikir dan berempati, melainkan buru-buru mengambil kamera untuk memotretnya, kemudian menguggahnya ke Instagram. Motivasi Farah Quinn tentu cuma heran. Tapi tidak setiap orang punya keheranan seperti Farah Quinn.

Mungkin, sekali waktu, Farah Quinn perlu datang ke kantor kelurahan untuk melihat ibu-ibu yang datang ke sana saat mengambil jatah raskin. Atau mungkin pula Farah Quinn perlu sesekali potong rambut di tukang pangkas langganan saya, dan menyaksikan orang-orang dengan suka rela melepas sandal meski tidak diminta. Kadang-kadang, keheranan punya harga yang sangat mahal.

 
;