Kamis, 25 Juni 2015

Anak-anak Teraniaya

Anak-anak lahir tanpa pilihan, tumbuh besar
tanpa pegangan, menikah tanpa kesadaran,
lalu punya anak-anak tanpa pengetahuan. Mengerikan!
@noffret


Seorang bocah lelaki diikat tali pada lehernya, dan si ayah menariknya seperti seekor anjing. Sambil berteriak marah, sang ayah menarik dan menyentak tali di tangannya, dan bocah laki-laki yang terikat tali itu pun tersandung-sandung. Bocah itu terlihat merangkak di atas trotoar, seiring tarikan tali di lehernya, terjatuh dan tersandung-sandung sepanjang sekitar 100 meter.

Adegan itu tidak terjadi dalam film atau sinetron, tetapi benar-benar terjadi di dunia nyata, tepatnya di provinsi Zhejiang, Cina. Adegan itu, tanpa sepengetahuan si pelaku, direkam oleh seseorang, kemudian diunggah ke internet. Dalam video itu sempat terdengar umpatan si ayah, “Aku akan membesarkanmu seperti seekor anjing!”

Warga yang menyaksikan video itu pun marah, dan mengutuk perilaku si ayah yang dinilai di luar batas kewajaran. Ketika diwawancarai media, ayah yang kejam itu menyatakan bahwa yang dilakukannya (mengikat leher anaknya kemudian menariknya sepanjang trotoar) adalah bentuk hukuman, karena si anak bermain-main di luar rumah ketika seharusnya belajar.

Setengah tahun sebelum menyaksikan video tersebut, saya sempat menyaksikan video lain yang isinya tak jauh beda—kemarahan seorang ayah pada anaknya. Video itu sempat viral di Twitter, dan banyak orang yang marah saat menyaksikannya.

Berdasarkan adegan video yang saya saksikan, seorang lelaki memasuki sebuah warnet dengan langkah bergegas, melongok-longok ke setiap bilik warnet, sampai kemudian menemukan yang ia cari. Dengan ekspresi marah, tiba-tiba lelaki itu menarik seseorang dari dalam bilik warnet, lalu menyeretnya sepanjang lorong warnet. Yang diseret adalah anaknya—seorang bocah laki-laki.

Adegan itu pun menarik perhatian orang-orang di warnet. Melihat amarah si bapak, si penjaga warnet bahkan tidak berani menagih biaya internet si bocah. Jadi, bocah itu terus diseret sampai ke luar warnet, kemudian dimarahi dan ditempelengi di tempat parkir depan warnet. Si bapak seperti tak peduli orang-orang menyaksikannya. Dia terus memarahi dan menempelengi anaknya.

Di luar dua video tersebut, di dunia nyata saya telah menyaksikan begitu banyak perilaku kekerasan yang dilakukan orangtua kepada anak-anaknya. Sebagian dari yang pernah saya saksikan di dunia nyata bahkan jauh lebih sadis dan mengerikan daripada dua adegan video tadi.

Saya pernah melihat orangtua yang menenggelamkan kepala anaknya ke dalam bak air, sampai si anak nyaris kehabisan napas. Saya juga pernah menyaksikan orangtua yang menyabetkan ikat pinggang pada anaknya, hingga kulit si anak terluka dan berdarah. Ada pula orangtua yang sengaja menyimpan rotan dengan tujuan untuk “mendidik” anak-anaknya. Jika si anak dinilai nakal, si orangtua akan mengambil “senjata andalan” itu, kemudian menyabet-nyabetkannya ke tubuh si anak hingga sekujur tubuhnya memerah. Daftarnya masih panjang.

Mungkin seorang anak sewaktu-waktu berbuat kenakalan yang membuat orangtuanya marah. Tapi haruskah kenakalan seorang anak dihukum dengan cara-cara mengerikan seperti itu? Saya tidak tahu. Saya belum pernah punya anak, sehingga tidak tahu bagaimana rasanya menjadi orangtua yang punya anak. Tetapi saya pernah menjadi anak-anak, sehingga tahu bagaimana rasanya menjadi anak.

....
....

Yang ingin saya paparkan dalam tulisan ini sebenarnya adalah konsekuensi serta tanggung jawab orangtua, khususnya dalam mendidik dan membesarkan anak.

Hidup adalah soal pilihan. Ada yang memilih melajang, ada yang memilih menikah. Ada yang memilih punya anak, ada pula yang memilih tidak punya anak. Masing-masing pilihan itu mengandung konsekuensi dan tanggung jawab, dan setiap kita tidak bisa lari dari tanggung jawab atas konsekuensi pilihan yang kita ambil.

Orang yang memilih melajang, misalnya, mungkin harus menghadapi konsekuensi hidup sendirian. Tetapi dia bertanggung jawab pada diri sendiri. Sebaliknya, orang yang memilih menikah mungkin menjalani kehidupan yang lebih menyenangkan, karena memiliki pasangan. Tetapi tanggung jawab seorang yang menikah tentu tidak sebebas seorang lajang. Seorang suami atau seorang istri tidak hanya bertanggung jawab pada diri sendiri, tetapi juga pada pasangannya.

Begitu pula soal punya anak atau tidak. Pasangan yang memilih dan memutuskan untuk punya anak tentu harus siap menanggung konsekuensi dan tanggung jawab atas pilihannya. Konsekuensi dan tanggung jawab itu tidak hanya kemampuan melahirkan secara layak, tetapi juga mendidik dan membesarkan secara layak pula. Orang tidak bisa seenaknya melahirkan anak-anak dan kemudian menghadapinya tanpa tanggung jawab. Tidak ada anak yang meminta dilahirkan. Untuk setiap anak yang dilahirkan ke dunia, ada tanggung jawab orangtuanya.

Tanggung jawab orangtua kepada anak bahkan tidak hanya urusan mendidik dan membesarkan, tetapi juga menyiapkan mental agar benar-benar mampu menghadapi anak. Fakta banyaknya anak yang menghadapi kekerasan orangtuanya—sebagaimana yang saya contohkan di awal catatan ini—adalah bukti betapa orangtua belum mampu menyiapkan mentalnya sendiri dalam menghadapi dan membesarkan anak. Mereka masih berpikir egosentris, bahwa anak harus menjadi cermin dirinya, tanpa memahami bahwa dia dan anaknya adalah dua makhluk berbeda.

Mungkin anak kita nakal dan susah diatur. Tapi anak siapa yang tidak...? Rata-rata anak memang nakal dan susah diatur, karena memang begitulah anak-anak. Tinggal bagaimana mental si orangtua dalam menghadapi si anak, itulah yang membedakan. Orangtua yang kurang menyiapkan mentalnya mungkin menghadapi si anak dengan kekerasan, sementara orangtua yang telah menyiapkan mentalnya dapat menghadapi si anak dengan lebih baik.

Karenanya, kewajiban pertama untuk menjadi orangtua bukan apa pun, melainkan menyiapkan mental untuk menjadi orangtua. Sebelum memutuskan untuk punya anak, tanyakan pada diri sendiri, “Apakah aku memang benar-benar telah siap untuk memiliki anak?” Karena punya anak tidak bisa disamakan dengan punya baju atau barang lain yang bisa dibuang atau diperlakukan seenaknya jika dianggap menjengkelkan.

Setelah mempertanyakan mental diri sendiri, tanyakan pula, “Apakah aku telah mempersiapkan kehidupan yang layak untuk calon anakku?” Untuk menjawab pertanyaan itu, kita butuh dua hal, yaitu pengetahuan yang cukup dalam hal mendidik dan membesarkan anak, serta persiapan untuk memberikan penghidupan yang layak. Tanpa adanya dua hal itu, memiliki anak bisa menjadi spekulasi yang mengerikan. Tidak hanya mengerikan bagi si orangtua, tapi juga mengerikan bagi si anak.

Seperti ilustrasi kekerasan orangtua terhadap anak yang saya contohkan di atas. Kenyataan semacam itu terjadi, sering kali, karena kurang atau tidak adanya persiapan yang matang si orangtua sebelum memutuskan punya anak.

Hidup masih pas-pasan, misalnya, tapi memutuskan punya banyak anak. Apa akibatnya? Beban jelas bertumpuk. Ketika anak-anak lahir dan tumbuh, yang terbebani oleh keadaan itu bukan hanya si orangtua, tetapi juga anak-anak. Diakui atau tidak, ketiadaan uang sering kali menjadi bahan bakar pertengkaran suami istri. Kondisi hidup yang menekan sering kali menjadikan sumbu emosi sangat pendek, sehingga pasangan suami istri mudah meledak. Ketika pertengkaran suami istri terjadi, siapakah yang menjadi korban pertama? Anak-anak!

Ada jutaan orang di dunia ini yang trauma dan memandang buruk pernikahan, karena memori dan bawah sadar mereka masih terus merekam pertengkaran-pertengkaran orangtuanya. Kalau kau punya teman psikolog, tanyakan hal itu, dan mereka akan memberikan jawaban yang sama. Memori paling jernih adalah memori anak-anak. Kita melakukan apa pun, mereka akan terus ingat. Jika mereka tidak ingat, memori itu akan tersimpan di bawah sadar mereka, dan kemudian mempengaruhi kehidupan mereka selanjutnya.

Karenanya, setelah mempertanyakan mental diri sendiri, tanyakan apakah kita juga telah mempersiapkan kehidupan yang layak untuk anak-anak yang akan dimiliki. Selain pengetahuan yang cukup dalam hal mendidik dan membesarkan, orangtua juga wajib memberikan penghidupan yang layak untuk anak, meski ukuran “kelayakan” bisa sangat relatif. Cobalah pikirkan fakta berikut ini:

Jika kehidupan kita sudah cukup nyaman atau mapan, dengan ekonomi yang cukup untuk menunjang kebutuhan sehari-hari, kenakalan anak-anak tidak akan terlalu menyita pikiran kita. Kenapa? Karena masalah kita hanya anak-anak. Kita tidak punya masalah dengan uang atau kebutuhan sehari-hari. Hasilnya, ketika anak-anak kadang nakal atau melakukan hal-hal yang menjengkelkan, kita tidak terlalu emosi. Kita bisa menghadapi anak-anak dengan akal sehat dan pikiran jernih. Menghadapi kenakalan mereka, kita bisa menanganinya dengan lembut dan penuh kasih.

Sebaliknya, jika kehidupan sangat pas-pasan, hingga kita sering kesulitan memperoleh kebutuhan sehari-hari, maka kenakalan anak-anak akan menjadi masalah besar. Kenapa? Karena masalah kita sudah terlalu banyak! Akibatnya, ketika anak-anak kadang nakal atau melakukan hal-hal menjengkelkan, kita pun langsung emosi. Karena emosi mendidih, kita pun menghadapi serta memperlakukan mereka dengan tidak layak. Dari situlah sering kali munculnya kekerasan dan penganiayaan terhadap anak-anak.

Orangtua A dan orangtua B bisa jadi melakukan tindakan yang jauh berbeda ketika menghadapi anak dengan kenakalan yang sama. Apa yang membedakan? Latar belakang mereka! Orangtua yang telah menyiapkan mental dalam menghadapi anak-anak sering kali dapat memperlakukan anak-anak secara lebih baik, daripada orangtua yang tidak menyiapkan mental dalam menghadapi anak-anak. Yang menjadi crusial point di sini bukan perilaku si anak, melainkan kesiapan orangtua!

Setiap orangtua mengharapkan anak yang baik—itu benar. Yang kadang mereka lupa, anak yang baik membutuhkan didikan serta cara membesarkan yang juga baik.

Noffret’s Note: Keluarga

Sebagian orang mendewa-dewakan keluarganya, sebagian lain menganggap keluarganya adalah kutukan dari neraka. Begitulah manusia.
—Twitter, 1 Mei 2015

Orangtua kita adalah makhluk sempurna, dan keluarga kita adalah surga. Tapi bukan berarti semua keluarga di dunia seperti keluarga kita.
—Twitter, 1 Mei 2015

Ada temanku yang mencaci-maki kedua orangtua, dan mengutuk keluarganya. Setelah tahu akar masalahnya, aku bisa memaklumi perbuatannya.
—Twitter, 1 Mei 2015

Ada yang berkata keluarga adalah segalanya. Tapi ada pula yang berkata bahwa keluarga adalah neraka dunia. Tak perlu memaksakan opini kita.
—Twitter, 1 Mei 2015

Ada anak-anak terluka di bawah langit, dan yang melukai mereka adalah keluarga serta orangtuanya. Aku memaklumi jika mereka benci keluarga.
—Twitter, 1 Mei 2015

Jika keluargamu hebat dan sempurna, syukuri saja diam-diam. Memamerkan kesempurnaan keluargamu bisa jadi melukai hati orang-orang lain.
—Twitter, 1 Mei 2015

Alasan terbesar orang-orang menyukai kisah Keluarga Cemara adalah... karena itu refleksi khayalan mereka tentang indahnya keluarga.
—Twitter, 1 Mei 2015

“Kau tahu, aku tidak punya masalah apa pun,” dia berkata, “masalah hidupku selalu datang dari orangtua dan keluarga.” | Aku mendengarkannya.
—Twitter, 1 Mei 2015

Ada orang-orang yang ketakutan membangun keluarga, karena terlalu trauma menyaksikan keluarga orangtuanya. Dan kita pura-pura tak melihat.
—Twitter, 1 Mei 2015

“Tak ada yang lebih berharga selain keluarga,” kata seseorang. Tapi temanku berkata, “Tak ada yang lebih menghancurkanku, selain keluarga.”
—Twitter, 1 Mei 2015

“Sam” di posting ini » http://bit.ly/1QTNQD7 adalah seorang genius yang dirusak orangtuanya sendiri. Kelak akan kuceritakan secara utuh.
—Twitter, 1 Mei 2015

Ada banyak mitos yang kita percaya tentang keluarga dan orangtua, sama banyaknya dengan kebodohan dan ketidakacuhan kita pada sesama.
—Twitter, 1 Mei 2015

Dia berkata, “Satu-satunya yang tertanam sejak lama adalah aku tidak percaya tentang keluarga.” | Seketika, aku merasa nyaman bersamanya.
—Twitter, 1 Mei 2015

Di dunia ini, asal kau tahu, ada banyak orang yang merasa hidupnya akan lebih baik dan sempurna, kalau saja mereka tidak memiliki keluarga.
—Twitter, 1 Mei 2015

Hanya karena kau memuji-muji keluargamu baik, hebat, sempurna, tralala, dan segalanya, bukan berarti semua orang punya keluarga sepertimu.
—Twitter, 1 Mei 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Dosa Terbesar Manusia

Yang paling mengerikan di pikiranku adalah membayangkan anak-anak yang menyesali kelahirannya, dan menangisi hidup hingga ajal tiba.
—Twitter, 18 Mei 2015

Bayi-bayi tidak punya pilihan ketika dilahirkan. Padahal mereka menghadapi risiko sejak tangis pertamanya di dunia. Oh, itu mengerikan.
—Twitter, 18 Mei 2015

Ada jutaan anak yang tersiksa, kesepian, perih, menangis tanpa suara. Salah apa mereka hingga ada orang yang tega melahirkannya ke dunia?
—Twitter, 18 Mei 2015

Dalam pikiranku, dosa terbesar manusia adalah melahirkan anak yang disia-sia. Di telapak kaki mereka tersimpan batu-batu api dari neraka.
—Twitter, 18 Mei 2015

Orang yang yakin banyak anak banyak rezeki, tapi hidup anak-anaknya telantar, adalah cermin kebodohan, keterbelakangan, egoisme, dan ironi.
—Twitter, 18 Mei 2015

Motivasi kebanyakan orang memiliki anak, karena mereka berharap ada yang mengurusi di hari tua. Cobalah pikirkan, betapa egoisnya mereka.
—Twitter, 18 Mei 2015

Orang yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik, seharusnya menyadari untuk tidak sok pede mengurus anak.
—Twitter, 18 Mei 2015

Anak-anak lahir tanpa pilihan, tumbuh besar tanpa pegangan, menikah tanpa kesadaran, lalu punya anak-anak tanpa pengetahuan. Mengerikan!
—Twitter, 18 Mei 2015

Tidak ada yang lebih mengerikan di muka bumi selain kebodohan yang dipeluk erat sebagai jalan kebenaran, egoisme yang dianggap kemuliaan.
—Twitter, 18 Mei 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Pindah

“Aku ingin pindah,” kata temanku. “Makin lama, aku makin tidak betah tinggal di sini.”

“Jadi, kamu ingin pindah kemana?” tanyaku.

“Ke tempat yang tidak memungkinkanku pindah lagi.”

“Kalau kamu jadi pindah, ajaklah aku.”

Jumat, 19 Juni 2015

Harvard, Suatu Sore

Mekar dan luruh. Daun-daun memiliki cerita
yang tak pernah dikisahkannya kepadamu.
@noffret


Kantin Harvard University mirip kantin Hogwarts dalam kisah Harry Potter—dengan meja kursi tertata rapi, dan atap megah yang tinggi. Karenanya, siapa pun yang pernah duduk di kantin Harvard pasti akan berpikir bahwa setting kantin Hogwarts dalam film Harry Potter kemungkinan besar terinspirasi kantin Harvard.

Di kantin kampus yang luas itu, seorang mahasiswa selalu duduk sendirian setiap siang menjelang sore, dengan sebuah buku atau bacaan lain di tangan, ditemani segelas teh. Biasanya, kantin selalu ramai. Dan keramaian itu surut perlahan menjelang sore. Kantin akan nyaris sepi memasuki Jum’at, karena rata-rata mahasiswa mulai bersiap menyambut akhir pekan. Tetapi, di sana, selalu ada seorang mahasiswa yang setia duduk setiap siang menjelang sore, dan tetap ada di sana meski menjelang akhir pekan.

Keberadaan mahasiswa itu rupanya menarik perhatian seorang dosen yang mungkin telah lama memperhatikan. Suatu hari, ketika si mahasiswa sedang duduk diam menekuri buku di tangan, sang dosen mendekati.

“Tidak keberatan aku ikut duduk di sini?” sapanya ramah.

Si mahasiswa mengangkat mukanya dari buku, dan terkejut. “Oh, eh, Profesor. Tentu saja Anda boleh duduk di sini. Uhm... maksud saya, well, saya bahkan merasa terhormat bisa duduk semeja dengan Anda.”

Sang dosen duduk. Dengan wajah seramah semula, dia berkata, “Aku ingin menikmati teh, tapi tampaknya kantin selalu sepi setiap sore begini.”

Si mahasiswa telah menutup bukunya, dan duduk tenang menghadapi sang dosen.

“Sepertinya kau sangat suka dengan teh kantin ini?” ujar sang dosen lagi.

Si mahasiswa tersenyum, memahami yang dimaksud sang dosen, dan mengangguk. “Bukan hanya tehnya, Sir, saya juga sangat menikmati keheningan di sini. Setiap selesai kuliah siang, saya selalu ke sini, karena tidak menemukan tempat lain yang lebih hening dan nyaman.”

Pelayan kantin datang, membawakan teh untuk sang dosen. Dia menawari jika ada hal lain yang bisa dibawakannya, namun sang dosen hanya mengucap terima kasih.

Sang dosen menyeruput teh, kemudian kembali menatap si mahasiswa di depannya. Beberapa saat kemudian, mereka pun terlibat percakapan yang intens. Sang dosen tahu betul siapa mahasiswa ini—arsip di akademik menyebutkan si mahasiswa hanya akan ada di sana selama tiga bulan untuk suatu program ekstensif, seorang pembelajar yang tekun, dengan penampilan sangat biasa, dan tak memakai kacamata.

“Kau punya pacar, Nak?” ujar sang dosen di sela percakapan.

“Sir?”

Sang dosen tersenyum menenangkan. “Maaf, kalau pertanyaanku terlalu pribadi bagimu.” Kemudian, dengan nada kebapakan, dia melanjutkan, “Kau tahu, orang tua sepertiku kadang ingin tahu terlalu banyak.”

“Well, sebenarnya, saya belum terpikir untuk punya pacar, Sir.”

“Bagaimana dengan pernikahan?”

“Kalau Anda ingin jawaban jujur, saya sama sekali belum memikirkannya. Hidup yang saya pilih tidak memungkinkan saya menjalin hubungan emosional dengan seseorang. Not yet.”

Sang dosen mengangguk. “Hidup adalah soal pilihan, eh? Dan kadang ada hal-hal lain yang lebih penting untuk dilakukan, selain menjalin hubungan dengan seseorang lalu membangun keluarga.”

“Anda mengatakannya dengan tepat, Sir.”

“Karena aku juga pernah berpikir sepertimu.” Sang dosen terdiam cukup lama, lalu melanjutkan ucapannya, “Dulu, saat masih muda sepertimu, aku pernah berpikir tak jauh beda denganmu. Dan, aku ingin mengakui, bahwa ketika aku keluar dari prinsip itu, aku mendapati hidupku selesai.”

Si mahasiswa masih mendengarkan.

“Saat kau sendirian,” lanjut sang dosen, “kau tidak mempertaruhkan apa pun, selain dirimu sendiri. Kau akan bisa melakukan apa pun, tanpa mengkhawatirkan hal-hal lain, dan itu menjadikanmu tak bisa dihentikan siapa pun. Tetapi, setelah kau memiliki istri dan anak-anak, kau akan menghadapi dunia yang bukan hanya jauh berbeda, tetapi juga menghadapi kenyataan bahwa hidupmu—dirimu yang sekarang—telah hilang. Setelah itu, setiap kali kau akan melakukan sesuatu, kau akan teringat istri dan anak-anakmu, dan sejak itu kau akan mudah dihentikan, karena kau harus memikirkan dan mempertaruhkan nasib keluargamu.”

“Itu pula yang saya pikirkan, Sir.”

Sang dosen mengangguk. “Aku pernah mengenal anak-anak muda dengan kemampuan mengagumkan, tak bisa dihentikan, dan dunia pernah menatap mereka penuh harap. Tetapi, ketika anak-anak muda itu menikah dan berkeluarga, seluruh kehebatan mereka runtuh. Tidak ada lagi dunia bagi mereka, selain istri dan anak-anaknya. Mereka kemudian mudah dihentikan dan dikalahkan, karena pikiran mereka lebih terfokus untuk menyelamatkan keluarga—anak dan istrinya. Dan, aku harus mengakui, aku termasuk di antaranya.”

“Anda masih orang hebat bagi saya, Sir.”

“Kau baik sekali, Nak,” sang dosen tersenyum. “Tetapi kau mungkin menyadari, aku tak akan bisa melakukan hal-hal yang mungkin akan kaulakukan.”

Mereka bertatap sesaat—antara kecanggungan dan kesalingpengertian.

Keheningan itu kemudian dipecahkan suara sang dosen, “Aku tahu, kau tidak lama di sini, dan tak lama lagi aku sudah tak bisa melihatmu. Tetapi, kapan pun, jika aku berkesempatan menemuimu di masa depan, aku ingin melihatmu seperti dirimu yang sekarang. Well... bagaimana orang Prancis mengatakannya?”

“Au revoir?”

Sang dosen mengangguk. “Au revoir.”

....
....

Waktu-waktu berlalu.

Si mahasiswa tak pernah melupakan percakapan hari itu.

Waktu Berlalu

“Waktu berlalu,” kata makelar hape.

Ya, waktu berlalu, pun kataku.

Minggu, 14 Juni 2015

Menghadapi Pembenci

Cinta adalah ruang bercahaya. Benci adalah pintu tertutup.
Objektivitas melihat melalui lubang kunci.
@noffret 


Raditya Dika dan Syahrini muncul di acara Mata Najwa, Januari 2015, dalam edisi Para Pencuri Perhatian. Radith dinilai memiliki pengaruh besar melalui karya-karyanya, begitu pula Syahrini. Apa pun yang mereka lakukan, bisa dibilang selalu mencuri perhatian banyak orang.

Dalam acara Mata Najwa, mereka menjawab berbagai pertanyaan Najwa Shihab dengan serius, meski diselingi canda dan tawa. Radith dan Syahrini bahkan sempat saling ledek dengan seru, hingga penonton cekikikan.

Sebagai sosok populer seperti mereka, tentu tidak menutup kemungkinan adanya hater, orang yang sirik, atau para pembenci. Saat ditanya mengenai hal itu, Radith menyatakan, “Kemungkinan adanya hater selalu ada. Tinggal kita memilih untuk merasa terganggu atau tidak. Dan saya memilih untuk tidak merasa terganggu.”

Itu jawaban Radith. Bagaimana dengan Syahrini? Kita tahu, salah satu orang yang paling sering diledek atau bahkan di-bully—khususnya di dunia maya—adalah Syahrini. Dia melakukan apa pun, selalu ada orang-orang “kreatif” yang menjadikan tingkah laku Syahrini sebagai bahan olok-olok. Ketika ditanya mengenai hal itu oleh Najwa Shihab, Syahrini menyatakan, “Semakin orang berusaha merendahkanmu, Tuhan akan semakin meninggikanmu, dan melancarkan rezekimu.”

Perhatikan, itu yang ngomong Syahrini. Jika ada orang yang paling sering diolok-olok, di-bully, diledek, atau bahkan diejek dan direndahkan di dunia ini, Syahrini adalah salah satunya. Tidak ada artis lain yang pernah menghadapi begitu banyak ejekan, olok-olok, cemoohan, dan upaya merendahkan, sebagaimana yang pernah dialami Syahrini. Dan orang yang telah menghadapi begitu banyak cibiran serta ejekan bernada merendahkan itu menyatakan, “Semakin orang berusaha merendahkanmu, Tuhan akan semakin meninggikanmu, dan melancarkan rezekimu.”

Meski kalimat itu tidak diucapkan filsuf agung yang bijaksana, saya tetap percaya. Syahrini, sebagaimana Radith, tidak dipusingkan oleh orang-orang yang mungkin membenci mereka.

Semakin tinggi pohon, kata pepatah, semakin besar angin menggoyang. Kenyataannya memang begitu. Saat kita bukan siapa-siapa, orang tidak akan peduli pada kita. Tetapi, begitu kita memiliki sesuatu yang tidak dimiliki banyak orang, maka perhatian orang-orang akan tertuju pada kita, dan sejak itu angin akan mulai menggoyang. Angin itu bisa berupa orang-orang sirik, pihak-pihak yang merasa tersaingi, sampai para pembenci yang tak logis.

Oh, well, di dunia ini ada banyak pembenci yang tak logis. Mereka membenci sesuatu atau seseorang bukan karena apa pun, melainkan semata-mata karena benci. Jadi, ketika orang-orang semacam itu ditanya mengapa mereka membenci si A atau si B, mereka sendiri tidak tahu alasannya. Mereka hanya membenci, atau hanya ingin membenci. Dan energi kebencian itulah yang kemudian menggerakkan mereka untuk mengganggu, meledek, mengejek, hingga berupaya merendahkan sosok yang mereka benci.
 
Selain pembenci yang tak logis, ada pula orang-orang sirik atau mereka yang merasa tersaingi. Di dunia ini banyak orang yang membenci orang lain, semata-mata karena sirik atau merasa tersaingi. Sirik tanda tak mampu, katanya. Yang ironis, orang-orang sirik itu bukannya menggunakan energi yang dimilikinya untuk memperbaiki diri, tetapi justru membuang-buang energi untuk membenci.

Kalau kita membenci orang lain karena merasa tersaingi, energi yang kita curahkan untuk membenci akan menjadi energi yang bukan hanya sia-sia, tetapi juga merusak diri sendiri.

Bayangkan ilustrasi ini. Seseorang memiliki atau mencapai sesuatu, dan kita merasa tersaingi. Perasaan itu memunculkan sifat iri yang lazim disebut sirik. Lalu kita membenci orang yang membuat kita merasa tersaingi. Didorong kebencian, bisa jadi kita melakukan hal-hal yang kita harap bisa mengganggunya, lalu berharap orang yang kita benci tidak bisa tidur karena semua itu. Faktanya, kita sendirilah yang tidak bisa tidur akibat kebencian yang kita rasakan!

Kalau kita berusaha mengganggu orang lain karena kebencian, maka justru kitalah yang akan merasa paling terganggu!

Raditya Dika dan Syahrini, misalnya, punya banyak penggemar. Di luar yang banyak itu, mungkin ada satu dua orang yang membenci. Dibandingkan yang menyukai mereka, jumlah si pembenci tidak ada apa-apanya! Ketika si pembenci mencoba mengganggu, itu tak jauh beda dengan lalat menyerang gajah. Sia-sia. Karenanya, saya setuju dengan sikap Radith dalam hal menghadapi pembenci, “Tinggal kita memilih untuk merasa terganggu atau tidak. Dan saya memilih untuk tidak merasa terganggu.”

Sering kali, para pembenci meluangkan banyak waktu, energi, dan pikiran, demi tujuan mengusik dan mengganggu orang yang dibenci. Mereka sering kali bahkan sampai menguntit atau stalking orang yang dibenci, karena tidak ingin melewatkan apa pun. Tidakkah itu konyol dan ironis? Jangan-jangan, benci memang akronim “benar-benar cinta”, seperti yang dinyatakan banyak orang. Karena hanya orang bencilah yang sering kali paling aktif bahkan agresif dalam urusan menguntit orang lain.

Dan tidakkah energi yang kita gunakan untuk membenci itu sia-sia? Kalau kita merasa tersaingi orang lain, kemudian membencinya, kita hanya membuang sumber daya yang kita miliki secara percuma. Karena waktu, energi, serta pikiran yang kita curahkan untuk membenci, mengganggu, dan mengusik, sebenarnya bisa digunakan untuk melakukan hal lain yang lebih bermanfaat, yang bahkan dapat memperbaiki diri kita.

Membenci adalah fokus pada orang lain dengan cara negatif. Itu merusak. Bukan merusak orang yang dibenci, tetapi merusak diri kita sendiri. Karena perasaan kebencian, berbagai insting negatif muncul dalam diri kita. Insting negatif itu kemudian mengarahkan pikiran negatif, yang berakhir dengan tindakan negatif. Dan apa pun yang negatif, kita tahu, selalu menghasilkan akhir yang sama negatif. Tidak ada orang sirik yang sukses, apalagi kaya dan terkenal. Apalagi sampai dicintai dan dikagumi banyak orang!

Seperti yang dinyatakan di atas—semakin tinggi pohon tumbuh, semakin besar angin menggoyang. Saat kita bukan siapa-siapa, orang tidak menghiraukan kita. Tetapi, ketika kita memiliki sesuatu yang luar biasa, orang-orang mulai menatap ke arah kita. Tidak semua mereka menatap dengan cinta. Ada pula yang menatap dengan benci. Jangankan orang-orang terkenal seperti Radith atau Syahrini, bahkan orang-orang biasa seperti kita pun tidak menutup kemungkinan ada yang benci.

Bisa jadi, kita tidak melakukan apa pun yang mengganggu orang lain, tidak merugikan siapa pun, dan tidak mengusik siapa pun. Tetapi, entah dengan alasan apa, ada orang yang membenci kita, lalu berusaha mengganggu dan mengusik hidup kita. Bisa dibilang, hal-hal semacam itu telah menjadi sesuatu yang umum. Karena di sekeliling kita banyak orang yang tidak punya apa pun, selain kebencian. Mereka membenci diri sendiri, membenci hidupnya sendiri. Karena mereka tidak bisa mengganggu diri sendiri, mereka pun mengganggu orang lain.

Para pembenci adalah orang yang muak dan jijik melihat dirinya sendiri. Karenanya, yang paling dibenci si pembenci sebenarnya bukan siapa pun, tetapi diri sendiri. Karena mereka tidak bisa membenci diri sendiri, mereka pun membenci orang lain.

Jadi, kapan pun kita menghadapi orang menyedihkan semacam itu, kita bisa mengingat ucapan Radith, “Tinggal kita memilih untuk merasa terganggu atau tidak. Dan saya memilih untuk tidak merasa terganggu.” Baik pula untuk berpikir positif seperti Syahrini, “Semakin orang berusaha merendahkanmu, Tuhan akan semakin meninggikanmu, dan melancarkan rezekimu.” Lebih dari itu, orang-orang baik yang menyukai kita selalu jauh lebih banyak daripada orang berhati busuk yang mungkin membenci kita.

Membenci adalah tindakan sia-sia, dan melayani para pembenci juga sama sia-sia. Para pembenci meluangkan banyak waktu, energi, dan pikiran, demi mengganggu orang yang dibenci. Melayani orang semacam itu hanya buang waktu, energi, dan pikiran. Para pembenci tidak punya tujuan apa pun, selain berharap orang yang dibenci bernilai serendah mereka. Karenanya, daripada berfokus mengurusi para pembenci, jauh lebih baik berfokus pada diri dan hidup kita sendiri.

Di dunia maya, saya pernah mendapati seorang penipu yang mengganggu penjual buku. Si penipu menjual sesuatu di internet, dan yang dijualnya adalah barang yang ditujukan untuk menipu. Si penjual buku juga menjual di internet, dan barang yang dijualnya jelas buku yang bermanfaat. Si penjual buku tidak pernah mengganggu si penipu, tetapi si penipu kemudian habis-habisan mengusik dan mengganggu si penjual buku. Apa alasannya? Tidak ada alasan lain, selain cuma satu; sirik!

Si penipu—yang jualan barang untuk menipu—mungkin menganggap rezeki si penjual buku lebih banyak (dan lebih baik) dari dirinya. Lalu dia iri, dan mengganggu si penjual buku. Si penipu tidak berkaca pada dirinya sendiri, dia justru menujukan pandangan kepada orang lain yang kebetulan dapat dilihatnya. Bukannya malu menjual sesuatu yang mengandung unsur penipuan, si penipu justru menyerang orang lain yang ia nilai lebih baik dari dirinya. Begitulah para pembenci. Mereka tidak memiliki apa pun, selain kebencian pada diri sendiri.

Topik, sobat saya yang lucu, pernah menyatakan bahwa cara mudah menghadapi pembenci adalah, “Doakan saja mereka cepat mati!”

Itu menurut Topik. Bagaimana menurut saya? Menghadapi pembenci, menurut saya, doakan saja mereka cepat muak dan bosan melihat kebenciannya sendiri. Karena para pembenci sebenarnya tidak punya apa pun, selain kebencian pada diri sendiri.

Google Kok Dipisuhi

Teman saya misuh-misuh, “Google tuh memang asu!”

Saya kaget, “Lhoh, Google kok dipisuhi? Memang kamu ada masalah apa dengan Google?”

Dia tidak menjawab, hanya kembali misuh-misuh.

....
....

Ternyata, bahkan Google pun tak terbebas dari pisuhan.

Lakukan dengan Sederhana

Kita sering menuduh dunia atau orang lain mempersulit kita. Padahal diri kita sendirilah yang sering kali mempersulit diri sendiri.
—Twitter, 8 Maret 2015

Kalau semua cara sudah dilakukan tapi terus gagal, kembalilah ke cara yang mudah. Tak perlu menyulitkan diri sendiri dan orang lain.
—Twitter, 8 Maret 2015

Jika semua sekrup tidak ada yang bisa masuk baut, jangan salahkan bautnya. Perhatikan sekrup di tangan kita. Sesederhana itu pemecahannya.
—Twitter, 8 Maret 2015

Jika gambar dan keping puzzle memang benar, semuanya tidak akan ada masalah. Jika ada masalah, artinya ada kekeliruan, atau kita yang tolol.
—Twitter, 8 Maret 2015

Hal-hal sederhana biasanya justru hal-hal paling berharga. Tapi sayangnya kita mungkin terlalu naif untuk melihat dan menyadarinya.
—Twitter, 10 April 2015

“Bagaimana agar siapa pun mau menuruti keinginan kita?” | “Jawabannya sangat mudah dan sederhana, penuhi dulu keinginan mereka.”
—Twitter, 10 April 2015

Filosofi hidupku sangat sederhana dan selalu berhasil: Jangan persulit hal-hal mudah, dan lakukan segalanya dengan cara paling sederhana.
—Twitter, 10 April 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Paham

Suatu saat, kapan pun, semua akan paham.

Meski mungkin pura-pura tak paham.

Rabu, 10 Juni 2015

Puasa Sejak Dalam Pikiran

Selamat merayakan hari belum puasa
bagi yang belum puasa.
@noffret


Sebagian masyarakat Indonesia tampaknya sangat suka meributkan hal yang itu-itu saja. Setiap tahun, menjelang datangnya bulan Ramadan, selalu muncul pro dan kontra mengenai warung-warung penjual nasi atau makanan. Di Twitter, misalnya, selalu ada orang-orang yang sampai berperang hanya untuk meributkan urusan warung.

Sebagian orang meminta atau bahkan memaksa warung-warung tutup, dengan alasan untuk menghormati orang yang berpuasa. Sebagian lain menolak permintaan itu, dan mengimbau agar warung-warung makan tetap buka, untuk menghormati orang-orang yang tidak berpuasa. Anehnya, hal yang sama terus berulang setiap tahun. Padahal cuma soal warung. Seolah dalam hidup kita tidak ada yang lebih penting selain hanya meributkan warung yang sebaiknya buka atau tidak di bulan puasa.

Urusan warung ini konyol, sekaligus ironis. Konyol, karena persoalan yang sama selalu dibahas lagi dan dibahas lagi dan dibahas lagi setiap tahun, saat bulan puasa tiba. Juga ironis, karena seolah-olah puasa hanya soal menahan lapar dengan cara tidak makan dan minum. Dua pola itu mencerminkan sifat kekanak-kanakan, sekaligus pemahaman beragama yang setengah matang.

Sebenarnya, dasar alasan yang melatari apakah warung makan sebaiknya buka atau tidak selama bulan puasa memiliki argumen yang sahih. Yang meminta warung-warung tutup selama Ramadan beralasan untuk menghormati orang-orang yang berpuasa. Sementara yang meminta warung-warung makan tetap buka selama Ramadan beralasan untuk menghormati orang-orang yang tidak berpuasa. Sama-sama benar, sama-sama sahih. Keduanya bertujuan menghormati. Jadi, bisa dibilang tidak ada masalah, karena keduanya sama benar.

Masalah mulai muncul, ketika salah satu pihak merasa lebih benar, atau paling benar, kemudian menilai pihak lain salah. Karenanya, mari kita lebih adil pada orang lain, dengan cara lebih adil pada diri sendiri.

Karena puasa di bulan Ramadan adalah tuntutan agama (Islam), maka mari kita lihat bagaimana Islam mengatur hal ini. Dalam fikih, puasa diwajibkan kepada orang-orang yang telah memenuhi syarat, yaitu muslim (pemeluk Islam), mukallaf (orang dewasa yang berakal atau tidak gila), mampu (dapat menjalankan ibadah puasa), menetap di suatu tempat (dalam arti bukan musafir atau tidak sedang bepergian), dan tidak memiliki halangan (misalnya sedang haid). Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka tidak wajib berpuasa.

Sekarang, mari kita bandingkan aturan hukum fikih tersebut dengan realitas tempat kita tinggal. Pertama, syarat wajib puasa Ramadan adalah muslim. Data sensus penduduk BPS tahun 2000-2010 menyebutkan bahwa jumlah pemeluk Islam di Indonesia sebesar 87,18 persen. Artinya, ada 12,82 persen yang nonmuslim. Karena data BPS menunjukkan total populasi di Indonesia sebanyak 237.641.326 jiwa, maka artinya ada 30.465.617,99 jiwa yang bukan muslim.

Kedua, syarat wajib puasa Ramadan adalah mukallaf, yaitu orang dewasa yang berakal. Anak kecil, juga orang gila, tidak diwajibkan berpuasa. Data BPS menunjukkan bahwa ada 79,8 juta anak di Indonesia. Jumlah itu mencakup anak-anak berusia 0-18 tahun. Jika separuhnya berpuasa, maka masih ada 39,9 juta yang tidak/belum wajib puasa. Itu belum ditambah dengan jumlah orang gila atau tidak waras, yang sama-sama tidak diwajibkan berpuasa.

Ketiga, syarat wajib puasa Ramadan adalah mampu menjalankan ibadah puasa. Orang sakit, juga orang lanjut usia, tidak diwajibkan berpuasa. Data BPS pada tahun 2000 menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 14.439.967 (7,18 persen) orang lanjut usia. Jumlah itu meningkat drastis pada 2010, menjadi 23.992.553 jiwa (9,77 persen). Ada lebih dari 20 juta orang yang tidak diwajibkan berpuasa Ramadan di Indonesia, karena kondisi mereka.

Keempat, syarat wajib puasa Ramadan adalah menetap di suatu tempat, atau tidak sedang bepergian. Berdasarkan data pada 2012 saja, Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub mencatat ada 72,4 juta orang yang melakukan perjalanan dengan maskapai nasional, terdiri dari 63,6 juta penumpang domestik dan 8,8 juta penumpang internasional. Sedangkan data BPS menunjukkan, selama tahun 2012, jumlah penumpang angkutan kereta api mencapai 202,2 juta. Itu belum termasuk orang-orang yang bepergian menggunakan kapal laut, kendaraan pribadi, dan lain-lain.

Kelima, syarat wajib puasa Ramadan adalah tidak sedang memiliki halangan, semisal sedang haid atau menjalani masa nifas. Tentu saja yang mengalami haid dan nifas adalah wanita. Sekarang, berdasarkan pendataan penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri, per 31 Desember 2010, penduduk Indonesia mencapai jumlah 259.940.857 jiwa. Jumlah itu terdiri dari 132.240.055 pria dan 127.700.802 wanita. Jika seperempat saja dari semua wanita itu sedang haid atau baru melahirkan, maka artinya ada 31.925.005 wanita yang tidak berpuasa.

Berdasarkan data-data itu, kita melihat bahwa setiap bulan Ramadan tiba, ada berjuta-juta orang (di Indonesia) yang tidak diwajibkan berpuasa. Oh, well, tentu saja angka-angka itu masih bisa diperdebatkan. Tapi kembalilah kepada fikih sebelum ngotot merasa diri paling benar. Dengan jelas dan gamblang, hukum fikih telah menerangkan siapa saja yang wajib berpuasa, dan siapa saja yang tidak wajib berpuasa.

Lebih dari itu, tidak menutup kemungkinan kita melakukan perjalanan jauh di bulan Ramadan, sehingga boleh tidak puasa. Ketika merasa sangat kelaparan dan kepayahan setelah menempuh perjalanan, bisa jadi kita justru bersyukur saat mendapati ada warung makan yang buka.

Orangtua atau kakek-nenek kita mungkin sakit atau sudah sangat lanjut usia, sehingga tidak diwajibkan berpuasa. Selalu ada kemungkinan kita butuh memberi makan mereka, dan lagi-lagi bersyukur karena ada warung makan yang buka, karena di rumah tidak ada makanan apa pun.

Yang punya adik atau anak kecil, bisa jadi sangat terbantu dengan adanya warung makan yang buka di bulan Ramadan, sehingga dapat memberi makan mereka tanpa terlalu kerepotan. Begitu pula wanita yang sedang haid atau nifas yang membutuhkan makan. Di luar semua itu, ada banyak saudara kita yang nonmuslim, dan mereka juga tidak diwajibkan berpuasa selama Ramadan. Mereka tentu juga sama berhak untuk berharap warung-warung makan tetap buka.

Karenanya, menjadi tidak adil dan terkesan sangat berlebihan jika kita memaksa warung-warung makan tutup selama Ramadan, hanya dengan alasan penghormatan kepada orang yang berpuasa. Penghormatan terhadap orang yang sedang berpuasa tidak bisa hanya disandarkan pada warung yang buka atau tutup. Di sisi lain, bersikap adil tidak bisa hanya disandarkan pada penilaian diri sendiri.

Puasa tidak hanya soal makan atau tidak, karena esensi puasa tidak sekadar menahan lapar dan haus. Karenanya, memaksa warung-warung makan tutup selama Ramadan tidak hanya tidak adil, tetapi juga mendangkalkan makna puasa yang kita jalani. Bahkan umpama semua warung makan tutup selama Ramadan pun, orang bisa tetap mudah tergoda. Jika tidak tergoda masuk warung, masih ada setumpuk godaan lainnya. Karena puasa memang bukan sekadar menahan lapar dan haus.

Warung-warung makan mungkin dapat dipaksa tutup selama Ramadan, dan kita bisa menekan godaan untuk masuk warung. Tapi bagaimana dengan godaan amarah serta membicarakan hal-hal buruk? Bagaimana dengan godaan ujub, sombong, dan riya? Bagaimana dengan godaan menahan pandangan dan nafsu? Bagaimana dengan godaan dengki dan iri hati? Setan-setan konon dirantai di neraka selama Ramadan, tapi setan-setan keparat di dalam diri kita selalu leluasa berbuat apa saja.

Puasa bukan hanya sekadar tidak makan dan tidak minum. Jika warung-warung makan harus tutup selama Ramadan, maka artinya ada banyak hal lain—yang sama menggoda—yang juga harus tutup sebulan penuh. Toko-toko harus tutup, karena bisa membuat kita tergoda untuk berpikir duniawi. Para pengguna kendaraan, apalagi yang mewah, harus diminta pakai angkot selama Ramadan, karena melihat kendaraan mereka bisa memunculkan iri di hati.

Koran-koran dan majalah tidak boleh terbit selama Ramadan, karena berita mereka tidak menutup kemungkinan membuat kita marah atau tergoda membicarakan keburukan orang. Televisi harus berhenti siaran selama Ramadan, karena acara-acara mereka bisa jadi memunculkan nafsu dan membuat kita kesulitan menahan pandangan. Akhirnya, internet juga harus tutup sebulan penuh, karena di internet ada Twitter, Facebook, dan berbagai sosial media yang biasa dijadikan tempat ujub, sombong, dan riya. 

Puasa bukan hanya soal menahan lapar dan haus, karenanya memaksa warung-warung makan tutup selama Ramadan hanyalah mendangkalkan ibadah puasa yang kita jalani. Di antara yang lain, ibadah yang paling tidak bisa dipamer-pamerkan adalah puasa, karena seharusnya hanya diketahui Tuhan dan pelakunya. Memaksakan suatu kehendak kepada orang-orang yang tidak berpuasa, tidak jauh beda dengan memamer-mamerkan ibadah puasa.

Karena puasa bukan hanya soal menjaga badan, sebagaimana bersikap adil seharusnya dimulai sejak dalam pikiran.

Karena Membanggakan Mbakyu adalah Bagian dari Sayang

Seorang bocah berkata,
“Pokoke ora ono sing ngalahke mbakyuku!” |
Aku ingin sekali menjadi bocah itu.
@noffret


Dua bocah bercakap-cakap serius tentang mbakyu mereka. Sebegitu serius, hingga orang yang melihat mungkin mengira dua bocah itu sedang merencanakan kudeta terhadap negara.

Bocah pertama berkata, “Mbakyuku tuh cantiiiik banget.”

Mbakyuku juga!” sahut bocah kedua tak mau kalah. “Dia cantik, seksi, elegan.”

“Mbakyuku juga pintar.”

“Apalagi mbakyuku! Dia pintar, lucu, bijaksana.”

“Eh, mbakyuku juga penyayang binatang, lho.”

“Sama, mbakyuku juga gitu. Dia malah sering tidur sama kucing-kucingnya.”

Bocah pertama menatap bocah kedua, lalu berkata lirih, “Tapi... mbakyuku kadang jahat sama aku...”

“Apalagi mbakyuku!” sahut bocah kedua hampir nangis. “Dia tuh sukanya bikin kangen, tapi tidak mau tanggung jawab! Jadinya tiap hari, tiap malam, aku kangeeeeeeen terus!”

Setelah terdiam sesaat, bocah pertama seperti teringat sesuatu, lalu berujar, “Eh, eh, kamu kan tidak punya mbakyu?”

Bocah kedua pura-pura mati.

Noffret’s Note: Media

Apa pentingnya berita seperti ini bagi nusa dan bangsa dan kemaslahatan umat manusia? RT @kompascom Rumah Calon Menantu Jokowi Dicat Ulang
—Twitter, 8 April 2015

Indonesia adalah tempat media berkuasa mengendalikan kebodohan massa. Setengah tahun yang lalu telah menjadi buktinya.
—Twitter, 8 April 2015

Rata-rata, yang dikagumi massa adalah siapa saja yang diekspos media. Rata-rata, yang diekspos media adalah... ah, sudahlah.
—Twitter, 8 April 2015

“Ini Komentar Si A Tentang Kasus Z”, judul media massa. Padahal, Si A tidak bersangkut paut dengan Kasus Z. Bodohnya, massa tidak berpikir.
—Twitter, 8 April 2015

Hanya di Indonesia, seorang pejabat pemerintah bisa mengomentari apa saja, dari urusan harga talenan, sampai testis monyet dan jidat unta.
—Twitter, 8 April 2015 

Ada bajingan tampak pahlawan, dan ada pahlawan tampak bajingan. Kebanyakan orang, ironisnya, memilih yang pertama.
—Twitter, 8 April 2015

Sepuluh orang benar di antara sejuta orang keliru tak pernah mampu mengubah yang keliru. Apalagi jika mayoritas yang keliru merasa benar.
—Twitter, 8 April 2015

Suatu hari, kebodohan dan mayoritas menjadi pemenang. Bukan karena apa pun, tetapi semata-mata karena kebodohan dan mayoritas.
—Twitter, 8 April 2015

Aku telah sampai pada titik trauma, dan tak bisa lagi percaya pada apa pun atau kepada siapa pun yang diekspos media. Semuanya cuma drama.
—Twitter, 8 April 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Membahas

“Aku ingin membahas,” ujar temanku suatu hari.

“Membahas apa?” tanyaku.

“Apa saja—yang penting membahas.”

Lalu kami pun membahas.

....
....

Di akhir pembahasan, kami menyadari betapa anehnya istilah “membahas”.

Jumat, 05 Juni 2015

Tiga Melawan Usia

Hidup belum berakhir. Masih ada yang bisa dilakukan.
Selalu ada yang bisa dikerjakan.
@noffret 


Seorang lelaki tua memanggul tangga bambu di pundaknya. Saya melihatnya, tepat ketika baru membuka jendela rumah. Lelaki itu menengok ke arah saya, dan menawari, “Mas, butuh tangga?”

Sesaat, saya terkejut. Semula saya tidak paham yang dia maksud. Tapi kemudian selintas pikiran berkelebat, mungkin lelaki ini berjualan tangga. Jadi, saya pun menjawab, “Tidak, Pak.”

Lelaki tua itu tampak ragu sesaat, lalu menurunkan tangga di pundaknya. Kemudian, dengan ekspresi ragu pula, dia berkata, “Maaf, Mas, saya boleh minta air? Dari tadi sangat kehausan, tapi tangga saya belum laku.”

Siang itu sangat terik. Saya pun mengangguk, dan segera mengambilkan segelas air putih, lalu membawanya ke depan rumah.

Lelaki tua itu duduk di teras rumah, dan meminum air yang saya berikan. Dia menghabiskannya perlahan-lahan. Saya memperhatikannya—usianya mungkin 60-an, dengan kulit terbakar matahari. Saat dia mengembalikan gelas, saya tawari untuk minum lagi, tapi dia menggeleng. “Sudah cukup, Mas. Terima kasih.”

“Jadi, Bapak ini jualan tangga?” saya bertanya.

“Iya,” dia menjawab. “Di kampung saya ada yang bikin tangga, terus saya bantu jualkan, daripada menganggur di rumah.”

Terus terang, saya baru mendapati ada orang yang jualan tangga keliling. Karena tertarik, saya pun iseng bertanya, “Biasanya, sehari bisa terjual berapa, Pak?”

“Tidak mesti, Mas. Kadang laku, kadang tidak.” Kemudian, sambil menatap tangga yang kini tersandar di pagar rumah saya, dia melanjutkan, “Itu satu saja sudah tiga hari belum laku.”

Selama bercakap-cakap dengannya, saya pun tahu bahwa lelaki itu berusia 66 tahun, dan setiap hari berkeliling membawa satu tangga. Bila rezeki sedang lancar, dia bercerita, dalam sehari bisa menjual satu buah tangga, dan dia pun pulang dengan membawa sedikit keuntungan. Tetapi tangga bukan barang kebutuhan pokok banyak orang, jadi sangat jarang ada yang membeli tangga.

“Jadi, saya keliling ke banyak tempat, siapa tahu ada yang pas butuh,” ujarnya.

Saya mencoba bertanya, kenapa dia tidak jualan barang lain saja, yang lebih dibutuhkan banyak orang setiap hari. Dia menjelaskan, “Kalau jualan barang lain, semisal makanan, perlu banyak modal, Mas. Barang yang bisa saya jual tanpa modal ya tangga itu, karena kebetulan pembuatnya tetangga saya sendiri, jadi dia percaya sama saya.”

Saat dia pamit pergi, saya menatapnya dari belakang. Seorang lelaki tua berusia 66 tahun, berkeliling ke sana kemari memanggul sebuah tangga, dibakar terik matahari, dengan harapan bisa mendapat sedikit keuntungan.

Dia lelaki hebat, pikir saya seiring menatap langkah-langkah kakinya menjauh. Dan saya percaya, alasan kenapa bumi masih berputar dan langit belum runtuh karena masih ada orang-orang yang mau memeras keringat, dan bekerja keras demi rezeki yang halal. Orang-orang jujur semacam itulah yang menahan langit tetap di tempatnya, dan alam semesta menahan murka amarah menatap kerakusan dan kejahatan manusia.

Selain lelaki penjual tangga yang saya dapati lewat di depan rumah, ada lelaki hebat lain di Magelang. Namanya Tohari, biasa dipanggil Mbah Tohari, berusia 103 tahun. Sebagaimana lelaki tua penjual tangga, Mbah Tohari tidak mau dikalahkan usia. Meski tubuhnya telah renta, dia tidak mau berdiam diri hanya menunggu ajal. Setiap hari dia berkeliling jualan aneka barang—shampo, tisu makan, tisu wajah, dan lainnya—dengan sepeda onthel tua.

Mbah Tohari tinggal di Kampung Nambangan, Kelurahan Rejowinangun Utara. Setiap hari, dia membawa barang-barang jualannya yang dikemas dalam kardus, dan diletakkan di belakang sepeda. Karena usianya yang tua, Mbah Tohari sudah tidak mampu mengayuh sepeda. Karenanya, dia pun menuntun sepedanya ke sana kemari, meski dengan napas tersengal-sengal. Saat melewati jalan menanjak, dia sangat kepayahan, dan biasanya orang-orang yang melihat akan membantu mendorong.

Dia biasa berkeliling di wilayah Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Saat ditemui wartawan, Mbah Tohari menyatakan, “Daripada bengong di rumah, saya lebih senang berjualan. Meski penghasilannya tidak seberapa banyak.”

Berjualan barang-barang dengan sepeda tua telah dijalani Mbah Tohari bertahun-tahun. Dia tidak mau bergantung kepada siapa pun, termasuk pada anak atau cucu. Dalam keseharian, saat dia berjalan menuntun sepeda dengan kepayahan, kadang ada orang yang melihatnya dan merasa kasihan. Beberapa orang yang iba mencoba menolong dengan memberi uang tanpa membeli barang jualannya. Tapi dia menolak.

“Kalau ada orang memberi uang tanpa membeli barang, saya menolak,” ujarnya. “Karena saya lebih senang bila mendapat uang dari keringat saya sendiri.”

Filosofi hidup yang sederhana—lebih senang bila mendapat uang dari keringat sendiri. Dan filosofi itulah yang menjadikan manusia utuh sebagai manusia. Tidak ada makanan yang lebih baik di muka bumi selain makanan yang dihasilkan keringat sendiri. Tidak ada pakaian yang lebih baik selain pakaian yang basah oleh keringat sendiri. Tidak ada kehidupan yang lebih baik di bawah langit, selain kehidupan yang ditopang keringat sendiri.

Di Bandung, ada lelaki yang tak kalah hebat. Namanya Darta, berusia 78 tahun. Setiap hari, dia biasa membawa gembolan tas plastik berisi bungkusan amplop, yang kemudian ia jajakan di depan kampus ITB (Institut Teknologi Bandung). Selama 12 tahun, dia biasa mangkal di sekitar Masjid Salman ITB, menjual lembar demi lembar amplop.

Di era digital seperti sekarang, penggunaan amplop sudah sangat jarang. Tetapi Darta percaya masih ada orang yang membutuhkan barang itu. Jadi dia pun menjual amplop, sesuatu yang bisa dilakukannya untuk mendapat rezeki. Amplop-amplop yang dijualnya masing-masing dibungkus dalam plastik berisi 10 amplop. Setiap bungkus dijual dengan harga Rp. 1.000.

Wartawan Merdeka.Com, yang mendapati lelaki tua itu, sempat terkejut dan bertanya, “Kenapa Kakek menjual semurah itu?”

“Saya masih dapat untung, kok,” jawab Darta. Lalu dia menjelaskan, untuk setiap penjualan satu bungkus—yang berisi 10 amplop—dia mendapat untung sebesar Rp. 200. Dia membeli seharga Rp. 800, dan dijual Rp. 1.000. Dia juga mengaku enggan untuk menaikkan harga amplopnya, karena khawatir tidak laku. “Yang penting saya bisa makan, dan selalu sehat,” ujarnya.

Sebenarnya, kondisi Darta tidak bisa dibilang fit. Tangannya gemetaran akibat usianya yang tua, pendengarannya sudah jauh dari sempurna, sementara kulitnya kusam karena tiap hari terbakar matahari. Tetapi dia tidak mau dikalahkan usia. Jadi dia melakukan yang masih bisa dilakukan. “Daripada saya mengemis, lebih baik saya berjualan,” ujarnya dengan senyum.

Bila rezeki sedang lancar, Darta menceritakan, dia bisa menjual 20 bungkus amplop, yang artinya bisa mendapat keuntungan sebesar Rp. 4.000. Tetapi kadang rezeki tidak mudah didapat, sehingga selama seharian Darta tidak mendapat uang sama sekali. “Pernah muter-muter tidak laku dijual,” dia menceritakan.

Selain berjualan amplop di sekitar kampus ITB, Darta kadang mencoba peruntungan dengan membuka lapak di tempat lain, semisal Simpang Lima, Dago, Bandung. Atau di sekitar Jalan Sukajadi, tepatnya di depan Rumah Sakit Sukajadi. Darta tinggal di Desa Cipicung, RT 6/RW1, Kabupaten Bandung. Artinya, untuk pergi ke tempatnya berjualan, Darta harus menempuh perjalanan sekitar 20 kilometer. Dia menempuh perjalanan jauh itu dengan jalan kaki.

“Saya biasa berangkat jam setengah lima subuh,” dia menceritakan. “Di jalan bisa sampai dua jam. Kalau pakai angkot, uangnya nanti habis, tidak bisa buat makan.”

Seorang lelaki berusia 78 tahun, dengan tubuh gemetaran karena digerogoti usia, berangkat kerja seusai subuh, berjalan kaki hingga 20 kilometer, hanya untuk mendapat rezeki yang tak seberapa. Sore hari, saat matahari telah tenggelam, dia kembali berjalan kaki untuk pulang, setelah seharian dibakar matahari atau diguyur hujan. Dan dia telah melakukan kegiatan itu selama 12 tahun. 

Selama bertahun-tahun bekerja memeras keringat demi mencari rezeki yang halal, Darta pasti telah sering mendapati remaja-remaja yang menghabiskan waktu dengan nongkrong di pinggir-pinggir jalan. Selama berjalan kaki setiap hari menempuh perjalanan puluhan kilometer, Darta pun pasti telah banyak menyaksikan anak-anak muda menyia-nyiakan usia dan tenaga mudanya.

Menjalani kehidupan yang begitu berat setiap hari selama bertahun-tahun, apakah Darta mengeluh? “Tidak,” dia menjawab. “Tuhan punya jalan bagi orang yang mau berusaha.”

Tuhan punya jalan bagi orang yang mau berusaha. Filsuf paling bijaksana pun pasti akan setuju dengannya.

Bocah yang Ingin Memindahkan Gunung

Seorang bocah menemui filsuf bijaksana, dan berkata, “Tuan Filsuf. Saya ingin memindahkan gunung. Menurut Tuan, apakah saya akan berhasil?”

“Bukan aku yang menentukan, Nak,” sahut sang filsuf acuh tak acuh.

“Lalu siapa yang menentukan, Tuan?”

“Tentu saja yang punya niat—yang punya keinginan.”

“Saya?” si bocah menatap filsuf di hadapannya. “Jadi, saya yang akan menentukan apakah akan berhasil atau tidak?”

“Tentu saja!” Dengan suara lirih namun jelas, sang filsuf menambahkan, “dan tergantung seberapa besar niatmu.”
 
Senin, 01 Juni 2015

Menyanyi dengan Tajwid

Ada dua lelaki di Malaysia, yang suaranya mampu
meruntuhkan hati para bidadari hingga mereka turun dari langit.
Namanya Iwan dan Amir.
@noffret


Iwan adalah penyanyi dan pencipta lagu terkenal Malaysia, sedangkan Amir adalah vokalis Uk’s (baca: Yukis), group musik papan atas Malaysia. Mereka adalah dua dari sedikit penyanyi Malaysia yang bisa menyanyi dengan sangat indah dan tartil, hingga saya sering berpikir mereka menyanyi dengan tajwid.

Perkenalan saya dengan lagu-lagu Malaysia diawali ketika saya bekerja di pabrik ini, seusai lulus SMA. Di pabrik batik itu terdapat sebuah radio-tape besar, dan para pekerja di sana sering menyetel stasiun radio yang memutar lagu-lagu Malaysia. Jadi, setiap hari, telinga saya pun “didoktrin” untuk menyimak dan menikmati lagu-lagu Malaysia. Dari situlah kemudian saya mengenal Iwan, Amir Uk’s, Zamani Slam, Amy Search, hingga Saleem Iklim.

Bertahun kemudian, saat tidak lagi bekerja di pabrik tersebut, saya masih suka mendengarkan lagu-lagu Malaysia, meski tidak semuanya. Saya bahkan sempat berlangganan majalah musik terbitan Malaysia, bernama URTV (baca: Yu Ar Tivi), demi bisa terus mengikuti perkembangan dunia musik negeri jiran. Dari URTV saya semakin tahu seluk beluk dunia hiburan—khususnya musik—Malaysia, siapa saja yang terlibat, dan nama-nama penyanyi Malaysia yang saya hafal semakin banyak.

Sebagaimana Indonesia, Malaysia juga memiliki banyak penyanyi dan musisi hebat. Meski di Malaysia juga ada penyanyi buruk serta musik yang buruk, sebagaimana di Indonesia. Tetapi, menyangkut musik, ada satu hal yang sangat saya kagumi dari Malaysia. Mereka sangat menghargai suara si penyanyi, dan tidak mempedulikan penampilan fisik. Dengan kata lain, orang jelek kayak apa pun bisa menjadi penyanyi di Malaysia, asal memiliki suara yang bagus.

Hal itu berbeda dengan Indonesia. Diakui atau tidak, pentas musik di Indonesia kadang kurang berlaku adil. Ada orang-orang yang memiliki suara sangat indah, tetapi sulit masuk dunia musik Indonesia, karena kebetulan memiliki tampilan fisik kurang menarik. Sebaliknya, ada orang-orang yang suaranya pas-pasan tapi bisa menjadi penyanyi di Indonesia, karena kebetulan memiliki tampilan fisik menawan.

Kenyataan yang terjadi di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari kultur masyarakatnya. Orang Indonesia, tampaknya, lebih bisa mengapresiasi musik jika si penyanyi memiliki tampilan menawan. Akibatnya, produser musik di Indonesia pun memperhitungkan tampilan fisik, agar penampilan si penyanyi bisa “dijual”. Jadi, kalau kita mendapati para penyanyi Indonesia rata-rata ganteng dan cantik, latar belakang itulah penyebabnya.

Sekali lagi, hal itu berbeda dengan Malaysia. Di dunia musik, masyarakat Malaysia memahami bahwa yang paling penting untuk diapresiasi adalah suara dan kualitas musiknya, bukan semata penampilan fisik si penyanyi. Tak peduli seperti apa pun, orang bisa mudah menembus pentas musik di Malaysia jika memang memiliki suara yang hebat, dan masyarakat Malaysia pun tetap mengapresiasi mereka.

Memang, di Malaysia ada penyanyi-penyanyi yang memiliki suara bagus dan tampilan menawan—misalnya Siti Nurhaliza—tetapi lebih banyak yang tidak. Amir Uk’s, misalnya, tidak bisa dibilang ganteng. Sementara Iwan memiliki penampilan yang lebih mirip preman daripada penyanyi. Tetapi, jika dua lelaki itu mulai menyanyi, semesta akan hening, burung-burung akan berhenti berkicau, langit seperti bergetar, dan para bidadari turun dari tangga pelangi.

Selama bertahun-tahun, saya tidak pernah bosan mendengarkan Amir atau Iwan menyanyi. Mereka tidak hanya memiliki suara yang sangat bagus, tetapi juga cara menyanyi yang sangat... sangat bagus, hingga saya berpikir mereka tidak hanya menyanyi dengan panduan notasi musik, tetapi juga dengan tajwid. Saat menyanyikan lagu bernada tinggi, misalnya, Amir sangat... sangat memukau. Kemampuannya meninggikan oktaf suara mungkin hanya dapat ditandingi Mariah Carey.

Amir atau Iwan pasti menguasai tajwid, hingga bisa membedakan idzhar, ikhfa, iqlab, hingga idgham bighunah dan idgham bilaghunah. Hasilnya, ketika mereka menyanyi, semesta pun bergetar.

Omong-omong, tajwid adalah “melakukan sesuatu dengan elok dan indah, atau bagus dan membaguskan”. Istilah “tajwid” berasal dari bahasa Arab—“jawwada”—yang berarti “mengeluarkan huruf dari tempatnya, dengan memberikan sifat-sifat yang dimilikinya”. Dalam pembacaan Al-Qur’an, tajwid adalah ilmu yang mempelajari cara membunyikan/menyuarakan/mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam Al-Qur’an. Tajwid itulah yang membedakan efek suara yang dihasilkan oleh pembacaan Al-Qur’an.

Jadi, kalau suatu waktu kita mendengar orang membaca ayat-ayat Al-Qur’an, dan kita merasakan hati bergetar, hingga ingin terus mendengarkannya, maka bisa dipastikan orang itu membaca Al-Qur’an dengan tajwid. Itulah cara pembacaan Al-Qur’an yang benar. Tak peduli dibaca orang Jawa, orang Madura, orang Batak, atau orang mana pun, pembacaan Al-Qur’an akan memberikan efek positif dan keindahan yang sama, dengan syarat mutlak—dibaca dengan tajwid.

Sebaliknya, jika kita mendengar orang membaca Al-Qur’an, tetapi kita malah merasa terganggu, dan suasana jadi tidak nyaman karena bising, bisa jadi orang itu membaca Al-Qur’an secara asal-asalan dan tidak dengan tajwid, atau bisa pula karena TOA yang digunakannya perlu dimatikan. Menggunakan tajwid atau tidak menggunakan tajwid, itulah esensi penting dalam membaca Al-Qur’an.

Meski ilmu tajwid sering dipahami berkaitan erat dengan pembacaan Al-Qur’an, tetapi sebenarnya tidak hanya terbatas pada Al-Qur’an. Saya sepakat dengan Wikipedia yang mendefinisikan tajwid sebagai, “ilmu yang mempelajari cara membunyikan atau mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran maupun bukan.”

Dalam perspektif saya, tajwid adalah ilmu tentang kemampuan dalam menghayati sesuatu, sehingga kita bisa mengetahui secara pasti mana yang benar, dan meletakkannya di tempat yang paling benar.

Dalam tajwid pembacaan Al-Qur’an, misalnya, kita harus tahu dari bagian tenggorokan mana suatu huruf keluar, dan kita harus menyuarakan huruf itu dengan bagian tenggorokan yang benar. Dari situlah kemudian muncul bacaan yang disebut idzhar, ikhfa, idgham, dan lain-lain. Melalui tajwid, kita tahu mana bacaan (ayat) yang harus dibaca dengan jernih dan jelas, serta mana bacaan yang harus dibaca dengan efek gumam.

Nah, kemampuan seperti itulah yang saya bayangkan dimiliki oleh Iwan atau Amir di Malaysia, hingga mereka bisa menyanyi dengan sangat indah dan membius. Saya membayangkan, ketika mereka menyanyi dan menghadapi partitur, mereka tidak hanya memperhatikan notasi musik yang harus dipatuhi, tetapi juga memperhatikan tajwid nyanyian mereka, sehingga dapat menyanyikannya dengan benar dan indah.

Melalui lagu-lagu yang saya dengarkan, Amir maupun Iwan sangat tahu cara menggunakan pernapasan perut dan pernapasan dada seiring tinggi rendahnya nada, serta bagian mana yang harus dinyanyikan dengan suara jelas dan jernih, dan mana yang harus dilagukan dengan efek gumam. Oh, well, mereka pasti tahu cara membedakan idzhar dan idgham!

Itulah yang membedakan antara “penyanyi” dan “orang yang sekadar menyanyi”.

Di dunia ini, mungkin semua orang yang hidup di bawah langit dapat menyanyi. Jangankan orang dewasa, bahkan anak-anak balita pun bisa menyanyi. Tetapi ada perbedaan esensial antara “penyanyi” dan “orang yang sekadar bisa menyanyi”. Penyanyi adalah orang yang menyanyi dengan pengetahuan, dalam arti tidak asal menyanyi.

Percaya atau tidak, suara dapat dilatih. Orang yang suara aslinya cempreng bisa berubah sangat indah saat menyanyi, jika mendapat latihan yang tepat, dan menjalani proses latihan yang ketat. Tetapi menyanyi tidak hanya membutuhkan suara yang bagus, melainkan juga pengetahuan mengenai nada, cara memanfaatkan pernapasan perut dan dada, sampai pengetahuan tentang cara memunculkan suara dari rongga mulut. Penyanyi menguasai pengetahuan itu—sesuatu yang tidak dipahami orang-orang yang sekadar menyanyi.

Begitu pun dalam hal lain—menulis, melukis, menari, sampai pantomim. Setiap orang bisa menulis, of course. Tetapi ada perbedaan esensial antara “penulis” dan “orang yang sekadar bisa menulis”. Begitu pun, setiap orang mungkin bisa melukis dan menari atau main pantomim. Tetapi, sekali lagi, ada perbedaan esensial antara “pelukis” dan “orang yang sekadar bisa melukis”, antara “penari” dan “orang yang sekadar bisa menari”. 

Pesan penting yang ingin saya sampaikan melalui uraian ini adalah, “Lakukan apa pun pekerjaan kita dengan tajwid”. Artinya, dengan sungguh-sungguh pengetahuan, penuh penghayatan dan kedalaman, sehingga orang-orang yang menikmati pekerjaan kita bisa mendapat kepuasan. Karena selalu ada perbedaan antara “bekerja” dan “sekadar melakukan pekerjaan”.

Jika kita memilih menyanyi sebagai jalan hidup, menyanyilah dengan tajwid. Jika kita memilih menulis atau melukis sebagai pilihan hidup, menulis atau melukislah dengan tajwid. Artinya, jangan asal menyanyi, jangan asal menulis, dan jangan asal melukis. Karena alam semesta selalu tahu, mana yang bekerja dengan hati, dan mana yang bekerja sekadar untuk gaji.

Noffret’s Note: Bocah

Semakin dewasa, kehidupan makin rumit dan membosankan.
Hanya kehidupan para bocah yang selalu menyenangkan.
—Twitter, 29 April 2015

Bocah-bocah berbincang tentang hidup. Para remaja membahas pacar.
Orang dewasa stres mikir kerja. Orang tua bercakap-cakap tentang bocah.
—Twitter, 29 April 2015

Hanya para bocah yang memandang hidup penuh gairah, setiap tantangan
adalah permainan, dan setiap hari adalah anugerah yang menyenangkan.
—Twitter, 29 April 2015

Bocah-bocah selalu punya waktu untuk bertemu teman-temannya, bercanda,
dan tertawa. Orang-orang dewasa sudah terlalu sibuk ngurus keluarga.
—Twitter, 29 April 2015

Banyak orang yang semula hebat dan istimewa ketika menjadi bocah,
tapi kemudian berubah membosankan saat dewasa dan tak lagi menjadi bocah.
—Twitter, 29 April 2015

Hanya satu hal yang paling diminati para bocah; permainan. Hanya para bocah
yang memahami sepenuh kesadaran, bahwa hidup adalah permainan.
—Twitter, 29 April 2015

Saat orang dewasa menghadapi perbedaan, mereka marah dan ngamuk.
Saat bocah menghadapi perbedaan, mereka cuma tertawa. Namanya juga bocah!
—Twitter, 29 April 2015

Orang-orang dewasa tampaknya terlalu serius menghadapi hidup.
Mereka seharusnya kembali menjadi bocah,
dan memandang hidup dari mata bocah.
—Twitter, 29 April 2015

Seringkali aku ngeri membayangkan diriku menjadi dewasa.
Berubah membosankan, dengan sikap membosankan,
dengan topik percakapan membosankan.
—Twitter, 29 April 2015

Bagi orang-orang dewasa dan orang tua, semuanya sudah selesai.
Bagi para bocah, semuanya tak pernah selesai.
Bocah-bocah tahu cara hidup.
—Twitter, 29 April 2015

Topik obrolan remaja; pacar. Topik obrolan dewasa; pekerjaan. Topik obrolan
orang tua; anak dan keluarga. Topik obrolan bocah; alam semesta.
—Twitter, 29 April 2015

Hidupmu selesai, saat tidak lagi menjadi bocah. Suatu saat, kapan pun,
kau akan tahu itu benar. Meski mungkin kelak sudah sangat terlambat.
—Twitter, 29 April 2015

Ironi hidup paling ironis adalah, bocah-bocah terburu-buru menjadi orangtua.
Setelah itu, mereka kembali merindukan masa-masa menjadi bocah.
—Twitter, 29 April 2015

Bocah-bocah tidak mencari pacar, karena pacar terlalu membosankan. Bocah-
bocah hanya merindukan mbakyu, karena mbakyu selalu menenteramkan.
—Twitter, 29 April 2015

Aku ingin selamanya menjadi bocah. Hanya itu yang kutahu.
Dan itu pun sudah cukup.
—Twitter, 29 April 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Mbakyuku Pintar!

Dengan keyakinan tingkat dewa, bocah itu berkata, “Mbakyuku pintar!”

Saya langsung tertarik. “Oh, ya? Apa buktinya mbakyumu pintar?”

“Buktinya dia tahu add on.”

“Tahu... apa?”

“Add on.”

Saya mengerutkan kening. “Add on...?”

“Ya, add on. Terdengar keren, kan?”

“Uhm... add on tuh, apa?”

“Tuh, kan, kamu aja nggak tahu! Berarti mbakyuku emang pintar!”

....
....

Sejak itu, saya ingin sekali punya mbakyu yang tahu add on!

Ha

Ma.

 
;