Jumat, 19 Juni 2015

Harvard, Suatu Sore

Mekar dan luruh. Daun-daun memiliki cerita
yang tak pernah dikisahkannya kepadamu.
@noffret


Kantin Harvard University mirip kantin Hogwarts dalam kisah Harry Potter—dengan meja kursi tertata rapi, dan atap megah yang tinggi. Karenanya, siapa pun yang pernah duduk di kantin Harvard pasti akan berpikir bahwa setting kantin Hogwarts dalam film Harry Potter kemungkinan besar terinspirasi kantin Harvard.

Di kantin kampus yang luas itu, seorang mahasiswa selalu duduk sendirian setiap siang menjelang sore, dengan sebuah buku atau bacaan lain di tangan, ditemani segelas teh. Biasanya, kantin selalu ramai. Dan keramaian itu surut perlahan menjelang sore. Kantin akan nyaris sepi memasuki Jum’at, karena rata-rata mahasiswa mulai bersiap menyambut akhir pekan. Tetapi, di sana, selalu ada seorang mahasiswa yang setia duduk setiap siang menjelang sore, dan tetap ada di sana meski menjelang akhir pekan.

Keberadaan mahasiswa itu rupanya menarik perhatian seorang dosen yang mungkin telah lama memperhatikan. Suatu hari, ketika si mahasiswa sedang duduk diam menekuri buku di tangan, sang dosen mendekati.

“Tidak keberatan aku ikut duduk di sini?” sapanya ramah.

Si mahasiswa mengangkat mukanya dari buku, dan terkejut. “Oh, eh, Profesor. Tentu saja Anda boleh duduk di sini. Uhm... maksud saya, well, saya bahkan merasa terhormat bisa duduk semeja dengan Anda.”

Sang dosen duduk. Dengan wajah seramah semula, dia berkata, “Aku ingin menikmati teh, tapi tampaknya kantin selalu sepi setiap sore begini.”

Si mahasiswa telah menutup bukunya, dan duduk tenang menghadapi sang dosen.

“Sepertinya kau sangat suka dengan teh kantin ini?” ujar sang dosen lagi.

Si mahasiswa tersenyum, memahami yang dimaksud sang dosen, dan mengangguk. “Bukan hanya tehnya, Sir, saya juga sangat menikmati keheningan di sini. Setiap selesai kuliah siang, saya selalu ke sini, karena tidak menemukan tempat lain yang lebih hening dan nyaman.”

Pelayan kantin datang, membawakan teh untuk sang dosen. Dia menawari jika ada hal lain yang bisa dibawakannya, namun sang dosen hanya mengucap terima kasih.

Sang dosen menyeruput teh, kemudian kembali menatap si mahasiswa di depannya. Beberapa saat kemudian, mereka pun terlibat percakapan yang intens. Sang dosen tahu betul siapa mahasiswa ini—arsip di akademik menyebutkan si mahasiswa hanya akan ada di sana selama tiga bulan untuk suatu program ekstensif, seorang pembelajar yang tekun, dengan penampilan sangat biasa, dan tak memakai kacamata.

“Kau punya pacar, Nak?” ujar sang dosen di sela percakapan.

“Sir?”

Sang dosen tersenyum menenangkan. “Maaf, kalau pertanyaanku terlalu pribadi bagimu.” Kemudian, dengan nada kebapakan, dia melanjutkan, “Kau tahu, orang tua sepertiku kadang ingin tahu terlalu banyak.”

“Well, sebenarnya, saya belum terpikir untuk punya pacar, Sir.”

“Bagaimana dengan pernikahan?”

“Kalau Anda ingin jawaban jujur, saya sama sekali belum memikirkannya. Hidup yang saya pilih tidak memungkinkan saya menjalin hubungan emosional dengan seseorang. Not yet.”

Sang dosen mengangguk. “Hidup adalah soal pilihan, eh? Dan kadang ada hal-hal lain yang lebih penting untuk dilakukan, selain menjalin hubungan dengan seseorang lalu membangun keluarga.”

“Anda mengatakannya dengan tepat, Sir.”

“Karena aku juga pernah berpikir sepertimu.” Sang dosen terdiam cukup lama, lalu melanjutkan ucapannya, “Dulu, saat masih muda sepertimu, aku pernah berpikir tak jauh beda denganmu. Dan, aku ingin mengakui, bahwa ketika aku keluar dari prinsip itu, aku mendapati hidupku selesai.”

Si mahasiswa masih mendengarkan.

“Saat kau sendirian,” lanjut sang dosen, “kau tidak mempertaruhkan apa pun, selain dirimu sendiri. Kau akan bisa melakukan apa pun, tanpa mengkhawatirkan hal-hal lain, dan itu menjadikanmu tak bisa dihentikan siapa pun. Tetapi, setelah kau memiliki istri dan anak-anak, kau akan menghadapi dunia yang bukan hanya jauh berbeda, tetapi juga menghadapi kenyataan bahwa hidupmu—dirimu yang sekarang—telah hilang. Setelah itu, setiap kali kau akan melakukan sesuatu, kau akan teringat istri dan anak-anakmu, dan sejak itu kau akan mudah dihentikan, karena kau harus memikirkan dan mempertaruhkan nasib keluargamu.”

“Itu pula yang saya pikirkan, Sir.”

Sang dosen mengangguk. “Aku pernah mengenal anak-anak muda dengan kemampuan mengagumkan, tak bisa dihentikan, dan dunia pernah menatap mereka penuh harap. Tetapi, ketika anak-anak muda itu menikah dan berkeluarga, seluruh kehebatan mereka runtuh. Tidak ada lagi dunia bagi mereka, selain istri dan anak-anaknya. Mereka kemudian mudah dihentikan dan dikalahkan, karena pikiran mereka lebih terfokus untuk menyelamatkan keluarga—anak dan istrinya. Dan, aku harus mengakui, aku termasuk di antaranya.”

“Anda masih orang hebat bagi saya, Sir.”

“Kau baik sekali, Nak,” sang dosen tersenyum. “Tetapi kau mungkin menyadari, aku tak akan bisa melakukan hal-hal yang mungkin akan kaulakukan.”

Mereka bertatap sesaat—antara kecanggungan dan kesalingpengertian.

Keheningan itu kemudian dipecahkan suara sang dosen, “Aku tahu, kau tidak lama di sini, dan tak lama lagi aku sudah tak bisa melihatmu. Tetapi, kapan pun, jika aku berkesempatan menemuimu di masa depan, aku ingin melihatmu seperti dirimu yang sekarang. Well... bagaimana orang Prancis mengatakannya?”

“Au revoir?”

Sang dosen mengangguk. “Au revoir.”

....
....

Waktu-waktu berlalu.

Si mahasiswa tak pernah melupakan percakapan hari itu.

 
;