Selasa, 28 Juli 2015

Pria, Wanita, dan Masalah Kita

Kita memang makhluk subjektif. Meski kehidupan memiliki
banyak sisi, namun kita cenderung hanya menilai dari satu sisi.
@noffret


“Wanita tidak pernah salah,” kata pepatah populer. Saya tidak tahu sejak kapan pepatah itu mulai muncul dan beredar. Seingat saya, ketika dulu belajar menghafal pepatah di waktu SD, tidak ada pepatah itu. Yang masih saya ingat adalah pepatah “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”, juga “hemat pangkal kaya”, dan “rajin pangkal pandai”.

Kemungkinan besar, pepatah “wanita tak pernah salah” mulai populer sejak era internet—setidaknya, saya mulai mengenal dan akrab dengan pepatah itu sejak sering nongkrongin Twitter. Berdasarkan yang saya tahu, pepatah itu muncul sebagai refleksi (atau olok-olok) dalam hubungan pria-wanita. Ketika pria dan wanita pacaran, pihak yang sering menjadi tumpuan kesalahan adalah pria. Kapan saja terjadi pertengkaran, pria akan selalu salah. Sebegitu sering atau banyaknya kasus semacam itu, muncullah pepatah “wanita tak pernah salah”.

Dalam kenyataan sehari-hari, kadang kita mendapati adegan mirip sinetron. Misalnya seorang wanita menampar pria. Ketika menyaksikan hal semacam itu, apa kira-kira yang ada dalam persepsi kita? Secara umum, saat menyaksikan wanita menampar pria, persepsi banyak orang kira-kira, “Pasti si pria telah kurang ajar!”

Sekarang, coba kita balik adegan tersebut—seorang pria menampar wanita. Apa kira-kira yang muncul dalam benak kita? Secara umum, persepsi banyak orang kira-kira, “Sungguh terlalu! Pria macam apa yang menampar wanita?!”

Coba lihat—wanita tak pernah salah. Ketika pria ditampar, kita menyalahkan si pria. Sebaliknya, ketika pria menampar, kita tetap menyalahkan si pria. Pria selalu salah! Pertanyaannya, sekarang, benarkah memang seperti itu? Benarkah pria memang selalu salah, khususnya dalam hubungan pria dan wanita? Benarkah wanita makhluk lemah (dan indah)—sebegitu lemah (dan indah) hingga tak mungkin berbuat salah?

“Wanita dijajah pria sejak dulu,” kata lagu lama. Mungkin, ya. Tapi yang “sejak dulu” belum tentu tetap berlangsung “sampai sekarang”. Sekarang, ada Komnas Perempuan, sebuah lembaga yang khusus mengadvokasi dan mengurusi masalah kaum wanita. Kita tahu, tidak ada lembaga serupa untuk pria, misalnya Komnas Lelaki.

Tentu saja kita mendukung keberadaan Komnas Perempuan, meski sebenarnya telah ada Komnas HAM yang secara khusus ditujukan untuk mengadvokasi hak asasi manusia. Omong-omong, seingat saya, wanita juga manusia. Tetapi, yeah, wanita tampaknya memang tak pernah salah.

Dalam suatu berita populer, pernah ada kejadian seorang wanita dijambret seorang pria. Rupanya, si wanita jago karate. Ketika tasnya dijambret, dia tidak berteriak histeris atau menangis. Sebaliknya, dia langsung mengejar si penjahat, merenggut kembali tasnya, kemudian menghajar si penjahat hingga luka-luka. Berita itu populer, dan para pembaca memuji-muji si wanita sambil tak lupa memaki si penjahat.

Sekarang, jika posisi kejadian itu dibalik, kira-kira bagaimana reaksi kita? Bayangkan saja seorang pria dijambret penjahat wanita. Si pria mengejar penjahat wanita yang menjambret tasnya, kemudian menghajarnya hingga terluka. Apakah kita akan tetap memuji si pria sembari memaki si penjahat yang kebetulan wanita?

Terdengar dilematis? Sekarang kita akan melihat kejadian nyata yang tak jauh beda, peristiwa yang benar-benar terjadi, yang bahkan lebih dilematis.

Di Mesir, ada seorang polwan (polisi wanita) bernama Nashwa Mahmud. Dia bertugas di Kairo. Sebagaimana umumnya wanita Mesir, dia juga berhijab. Dan sebagaimana umumnya polisi, dia juga dilengkapi peralatan keamanan, dari senjata api sampai senjata kejut berupa pentungan yang dapat mengalirkan listrik.

Pada 23 Juli 2014, Nashwa Mahmud menjadi buah bibir karena suatu peristiwa penangkapan. Dalam video yang beredar di internet, tampak polwan itu menyeret seorang pria dari tengah kerumunan di bioskop Metro, Kairo. Setelah berhasil menyeret si pria, Nashwa Mahmud memukul, menempeleng, hingga menyetrum si pria dengan pentungan listrik.

Berita itu dimuat di situs al Yawm-al-Sabi, portal berita terkenal di Mesir, dan banyak pembaca situs tersebut yang mendukung aksi Nashwa Mahmud. Para pengguna internet di Mesir bahkan membuat hastag khusus di Twitter, berbunyi #InSolidaritywithColonelNashwa. Mereka menilai tindakan Nashwa Mahmud hanyalah bagian dari melaksanakan tugas sebagai seorang polisi.

Jadi, Mesir adem ayem dengan kasus itu. Dunia juga adem ayem, seolah tak terjadi apa-apa. Seorang pria ditarik dari kerumunan bioskop, lalu—di hadapan banyak orang yang menyaksikan—seorang polisi wanita memukul, menempeleng, hingga menyetrum pria tersebut. Jika di hadapan banyak saksi mata saja seorang polisi merasa bisa berbuat sewenang-wenang, bisakah kita membayangkan yang mereka lakukan jika tidak ada saksi mata?

Tetapi, oh well, dunia adem ayem, karena perilaku kekerasan itu dilakukan wanita terhadap pria.

Sekarang bayangkan bagaimana kira-kira reaksi dunia, jika peristiwa kekerasan semacam itu terjadi dalam posisi terbalik? Apa kira-kira reaksi kebanyakan orang—termasuk kita—jika menyaksikan seorang polisi pria menganiaya seorang wanita, terlepas apa kesalahannya? Hampir bisa dipastikan, dunia akan ribut. Komnas Perempuan dan para aktivis HAM akan mencerca, sementara para selebtweet di Twitter tiba-tiba berubah menjadi pembela wanita.

Oh ya, tentu saja kita bisa mudah mengatakan, “Tidak seharusnya wanita dianiaya!” Karena itu pula, kita pun marah jika melihat wanita dianiaya, khususnya oleh pria. Tetapi, jika kita menentang penganiayaan terhadap wanita, kenapa kita seolah menganggap hal biasa jika penganiayaan terjadi terhadap pria? Kenapa kita tidak marah ketika melihat pria dianiaya, sebagaimana kita marah melihat wanita dianiaya?

Dalam kultur peradaban yang patriarkhis, wanita memang sering kali menjadi subordinasi dalam hubungan antara pria dan wanita. Tetapi, rupanya, posisi itu tidak selamanya menjadikan wanita selalu dalam posisi lemah. Sebaliknya, dalam banyak hal, posisi semacam itu justru memunculkan justifikasi bahkan legitimiasi jika terjadi kasus-kasus tertentu.

Belum lama, misalnya, sastrawan Saut Situmorang berpolemik di Facebook, sehubungan kasus penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh. Saut berada di posisi yang menentang penerbitan buku tersebut, dan posisi itu menjadikannya berseberangan dengan Fatin Hamama, wanita yang terindikasi terlibat dalam proses penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh. Singkat cerita, Saut memunculkan kata “bajingan” dalam polemik itu, dan dia dipolisikan dengan tuduhan “melecehkan wanita”.

Saya tidak bermaksud membela Saut Situmorang atau Fatin Hamama. Tetapi, sekarang, cobalah balik kasusnya. Andaikan saja Fatin yang mengeluarkan kata “bajingan” dalam polemik tersebut, bisakah Saut mempolisikan Fatin dengan tuduhan “melecehkan pria”?

Kenapa wanita merasa berhak (dan diberi hak) untuk melaporkan pria dengan tuduhan “melecehkan wanita”, tetapi pria tidak memiliki hak yang sama? Padahal aksi pelecehan—termasuk pelecehan verbal—tidak hanya dilakukan pria terhadap wanita, tapi juga dilakukan wanita terhadap pria. Tentu saja kita bisa mengatakan, “Tidak seharusnya wanita dilecehkan! Kehormatan mereka harus dijaga!” Kalau memang begitu, apakah pria boleh dilecehkan, dan kehormatan pria tidak perlu dijaga?

Kita mungkin terlalu lama hidup dalam kultur patriarkhis, hingga kultur itu kemudian membutakan mata kita, serta mengerosi kepekaan kita sebagai manusia. Kita tidak lagi menyadari bahwa pria dan wanita sama-sama manusia, dan tidak lagi peka untuk menyadari bahwa pria—sebagaimana wanita—juga manusia yang memiliki hak dan kehormatan sama.

Jika kita mendengar istilah “perkosaan”, apa yang langsung muncul dalam benak kita? Kebanyakan orang pasti akan mempersepsikan pria memperkosa wanita. Sebegitu kuat persepsi itu, hingga kita sulit membayangkan peristiwa sebaliknya. Padahal, tidak selamanya korban perkosaan pasti wanita. Ada kalanya, justru si wanita pelaku perkosaan, dan si pria adalah korban.

Sebagian orang mungkin mencibir, “Ah, itu kan kejadian langka. Sangat kasuistis!”

Kata siapa...?

Di Stockholm, Swedia, ada rumah sakit bernama South General Hospital. Rumah sakit itu membuka layanan UGD khusus untuk pria korban perkosaan. Fasilitas itu menyediakan dokter, perawat, psikolog, dan pekerja sosial, untuk membantu pria korban pemerkosaan. Dibukanya layanan tersebut, karena banyaknya pria yang menjadi korban kejahataan perkosaan di Swedia. Pada 2014 saja, tercatat ada 370 kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap pria. Jumlah itu secara kasatmata menunjukkan kepada kita, bahwa setiap hari di Swedia rata-rata ada satu pria yang diperkosa.

Memang, meski yang menjadi korban adalah pria, tidak semua pelaku perkosaan adalah wanita. Sebagian dari kasus itu—khususnya di Swedia—adalah perkosaan pria terhadap pria. Tetapi bahwa pria juga bisa menjadi korban perkosaan adalah fakta. Dengan kata lain, tidak selamanya korban perkosaan atau pelecehan seksual pasti wanita. Tetapi berapa banyak dari kita yang mau membuka pikiran untuk menyadari kenyataan semacam itu?

Teman saya, sebut saja Ferdinan, adalah pria yang menjadi salah satu “korban pemerkosaan” wanita. Dia bekerja di sebuah lembaga, dan terikat perjanjian tidak boleh menikah selama masih bekerja untuk lembaganya. Karena perjanjian itu, Ferdinan pun sangat menjaga diri, berhati-hati, bahkan selalu berusaha menjaga jarak dengan wanita mana pun. “Sayangnya”, Ferdinan tipe pria yang dikejar banyak wanita.

Dalam suatu pertemuan sosial, Ferdinan berjumpa dengan wanita yang ia tahu telah lama mengejar-ngejarnya. Mereka bercakap-cakap dalam pertemuan itu, dan Ferdinan tidak curiga atau punya pikiran macam-macam. Ketika si wanita menyuguhkan minum untuknya, Ferdinan pun menenggaknya tanpa berpikir. Lalu awal bencana dimulai.

Tanpa sepengetahuan Ferdinan, si wanita rupanya telah mencampurkan ramuan tertentu ke dalam minuman, dan Ferdinan pun “tak mampu mengendalikan diri”—dia seperti hilang akal, bahkan tidak menyadari yang ia lakukan. Singkat cerita, mereka bercinta, dan si wanita hamil. (Sebelum peristiwa itu terjadi, si wanita sudah berkali-kali merayu Ferdinan, tapi selama itu pula Ferdinan kukuh menolak.)

Alur kisah ini bisa ditebak—si wanita kemudian menuntut Ferdinan menikahinya karena ada janin dalam kandungan. Ferdinan menolak, karena terikat perjanjian tidak boleh menikah. Si wanita lalu melaporkan hal itu ke polisi, dengan alasan perkosaan, bahkan menyebut “Ferdinan sengaja membuatnya mabuk hingga tidak sadar”. Polisi percaya, dan kasus itu dikategorikan perkosaan, dengan Ferdinan sebagai tersangka.

Sebelum beritanya mencuat, lembaga tempat Ferdinan bekerja segera turun tangan. Mereka berhasil “membungkam” kasus itu, tapi mereka juga tidak menginginkan skandal. Jadi, direktur lembaga menyatakan pada Ferdinan, “Kami percaya kepadamu, tapi kami tidak menyukai skandal. Karenanya, dengan terpaksa kami mengeluarkanmu, dan berharap kau memahami keputusan ini.”

Ferdinan memahami pemecatan itu. Dia lalu menikahi wanita yang telah “memperkosanya”. Akhir kisah, sebagaimana cerita Cinderella, mereka pun hidup bahagia selama-lamanya. (Setidaknya, semoga saja begitu!)

Sekarang, jika berita semacam itu muncul di media, kira-kira apa yang akan menjadi persepsi kita? Mungkinkah kita percaya bahwa Ferdinan tidak bersalah, bahwa justru dia yang “diperkosa”? Kemungkinan besar tidak! Alih-alih berpihak pada Ferdinan, kebanyakan orang akan langsung memihak si wanita karena meyakini bahwa jika pria dan wanita terlibat dalam sesuatu, pasti si pria yang salah. Dalam hubungan antarmanusia, wanita tidak pernah salah. Dan itu, kadang-kadang, mengerikan.

Saya menulis catatan ini tidak dengan maksud memojokkan wanita. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa pria juga manusia sebagaimana wanita. Yang punya hak untuk dijaga perasaan serta kehormatannya, yang seharusnya punya kesetaraan yang adil ketika terjadi masalah di antara mereka. Sebaliknya, wanita juga manusia, yang kadang bisa khilaf, keliru, bahkan bisa berbuat salah secara sengaja.

Jika kita wajib menghormati wanita, maka pria pun punya hak yang sama. Jika kita tidak boleh menganiaya wanita, pria pun punya hak yang sama. Karena, kadang-kadang, kita lupa kalau pria maupun wanita sama-sama manusia.

Noffret’s Note: Penyangkalan

Ketika menghadapi kebenaran yang tak ingin diakuinya,
reaksi kebanyakan orang adalah menyangkalnya.
—Twitter, 27 Juni 2014

Penyangkalan adalah reaksi paling umum manusia
ketika mendapati kenyataan yang ia takuti,
sembunyikan, atau tak ingin diakuinya.
—Twitter, 27 Juni 2014

Mula-mula, orang menyangkal realitas.
Kemudian, ia menyangkal diri sendiri.
Setelah itu terjadi, proses kegilaan pun dimulai.
—Twitter, 27 Juni 2014

Di zaman ini ada orang-orang yang mengaku
mendengar suara langit, seolah dirinya manusia
paling suci. Itulah contoh penyangkalan diri.
—Twitter, 27 Juni 2014

Beberapa orang yang kecewa terhadap diri dan
hidupnya akan menyangkal diri sendiri dan realitas.
Lalu menciptakan khayalan tidak waras.
—Twitter, 27 Juni 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Berkata pada Pecahan Genteng

Aku berkata pada pecahan genteng, “Masalahnya sepele. Ya, kan?”

Pecahan genteng cuma diam, karena dia pecahan genteng.

Minggu, 26 Juli 2015

Iwan Fals VS Rhoma Irama

Cara mudah mengetahui suatu musik tergolong hebat
atau menyedihkan: Dengarkanlah dua puluh tahun
sejak musik itu diciptakan.
@noffret


Di rumah saya ada poster Iwan Fals. Poster itu berukuran besar, dibingkai kayu berukir, dan menampilkan sosok Iwan Fals dalam kondisi tergantengnya.

Sebenarnya, ada artis lain yang juga ingin saya pasang posternya di rumah, yaitu Rhoma Irama. Tetapi, sampai saat ini, saya belum menemukan poster Rhoma Irama yang cocok. Kelak, jika telah menemukan, saya akan memasang poster Rhoma Irama di samping poster Iwan Fals. Mereka dua orang yang sangat saya kagumi—legenda hidup yang mengukir namanya dengan karya berskala raksasa.

Tanpa bermaksud menafikan musisi besar lain, Iwan Fals dan Rhoma Irama adalah dua “raksasa” di dunia musik Indonesia. Mereka mencipta dan menyanyikan lagu dalam jumlah luar biasa. Ada yang tahu berapa tepatnya lagu karya Iwan Fals atau Rhoma Irama? Saya tidak tahu, dan mungkin jutaan orang lain yang sama mengagumi mereka juga tidak tahu, karena karya mereka tak terhitung banyaknya. Dalam produktivitas berkarya, mereka benar-benar manusia yang sangat langka.

Iwan Fals terlahir dengan nama Virgiawan Listanto. Karena biasa dipanggil “Iwan”, dia pun menggunakan nama itu, dan menambahkan “Fals” di belakang namanya sebagai cara mengolok-olok diri sendiri. Kenyataannya, lagu-lagunya memang terdengar “fals” bagi tikus-tikus kantor, badut-badut kota, para wakil rakyat, dan... Bento!!!

Sementara Rhoma Irama terlahir dengan nama Irama. Karena biasa dipanggil “Oma”, dia pun menjadikan “Oma Irama” sebagai nama panggungnya. Setelah berangkat haji ke Mekkah, dia menambahkan “H” di depan namanya, menjadi H. Oma Irama. Karena dia juga berdarah biru (keturunan bangsawan), maka jadilah “Rhoma Irama”, yang merupakan singkatan Raden Haji Oma Irama.

Terlepas dari asal usul nama mereka, pernahkah kita bertanya-tanya, bagaimana dua orang itu bisa melahirkan karya dalam jumlah luar biasa? Ketika memikirkan hal itu, saya tidak bisa berhenti takjub, karena menyaksikan betapa di dunia ini ada orang-orang yang luar biasa produktif, hingga menjadi sosok mengagumkan, dan sulit ditandingi. Yang lebih mengagumkan, mereka tidak sekadar produktif, tetapi karya-karya mereka juga hebat, bahkan abadi.

Di dunia ini, sangat sulit menemukan orang yang sangat produktif dalam melahirkan karya hebat. Kadang ada orang yang produktivitasnya luar biasa, tapi kualitas karyanya biasa-biasa saja. Sebaliknya, ada orang yang karyanya sangat hebat dan mengagumkan, tapi tidak produktif, hingga jumlah karyanya sangat sedikit. Iwan Fals dan Rhoma Irama adalah makhluk langka—produktif, dan karya mereka juga hebat.

Selain itu, mereka berdua juga memiliki kesamaan—bisa menciptakan lagu tentang apa pun, dengan gaya bermacam-macam, namun memiliki ciri khas unik, dan semuanya enak didengar. Mereka bisa menyanyikan lagu-lagu yang sarat makna, sama asyiknya saat menyanyikan lagu-lagu cinta. Berikan gitar kopong pada Iwan Fals atau gitar buntung pada Rhoma Irama, dan dua bocah itu akan segera menunjukkan kehebatannya.

Dalam musik dangdut, misalnya, ada ribuan musik yang pernah kita dengar. Tetapi dangdut Rhoma Irama memiliki ciri khas tersendiri, dengan karakteristik unik—sesuatu yang tidak bisa kita dapatkan di musik dangdut lain. Musik dangdut Rhoma Irama—jika kita khusyuk menyimak—sebenarnya sangat rumit, tetapi musik yang rumit itu enak didengar telinga, hingga kita tidak menyadari kerumitannya.

Pernah mendengar lagu Rhoma Irama yang berjudul “Pesta Pasti Berakhir”? Oh, well, kalian harus mendengarnya! Itu salah satu lagu yang perlu didengar di dunia fana ini, sebelum kita mati!

“Pesta Pasti Berakhir” adalah lagu dangdut khas Rhoma Irama, yang mengajak pendengarnya merenungkan hidup—suatu lagu yang tergolong berat. Dan lagu yang berat itu dibalut nada yang rumit, melibatkan banyak instrumen musik. Ajaibnya, lagu yang seharusnya terdengar sangat berat itu bisa asyik didengar telinga—sebegitu asyik, hingga kita tidak merasa sedang “diceramahi”. Saya tidak pernah bosan mendengarkan lagu ini!

Selain “Pesta Pasti Berakhir”, ada lagu lain yang sama hebat, berjudul “Sebujur Bangkai”. Itu juga salah satu lagu yang perlu kita dengar di dunia sebelum mati! Sama seperti “Pesta Pasti Berakhir”, lagu “Sebujur Bangkai” juga rumit dan melibatkan banyak instrumen musik. Tetapi, sama seperti yang lain, lagu itu juga enak didengar telinga. Bagi saya, “Sebujur Bangkai” adalah lagu dangdut terhikmat sedunia akhirat!

Dan Rhoma Irama tidak hanya hebat dalam hal-hal semacam itu. Ketika menyanyikan lagu cinta, dia juga sama hebatnya. Dalam lagu-lagu yang romantis, dia tahu bagaimana memuja wanita yang dicintainya dengan cara yang indah, tanpa terjebak menjadi norak.

Dalam lagu “Primadona Desa”, misalnya, dia menggunakan aforisma yang sangat indah sekaligus halus untuk memuji wanita pujaannya, “...alam menjadi saksi keindahanmu, kicau burung-burung memuji penciptaanmu.” Itu kalimat yang tidak bisa kita temukan di lagu dangdut lain. Lirik yang indah itu dibalut musik yang sama indah, menjadikan “Primadona Desa” menjadi salah satu lagu cinta yang abadi didengar telinga. 

Kemudian, dalam lagu cinta yang sedih, Rhoma Irama juga tahu cara menyayat sukma pendengarnya—dengan lirik yang membius, dengan melodi yang pedih. Cobalah dengar lagu “Tabir Kepalsuan”. Lirik dan musiknya sangat sedih, dan dalam lagu itu Rhoma Irama memainkan gitar melodinya dengan nada yang sangat menyayat—sebegitu menyayat, hingga kita yang mendengarnya akan merasa perih... perih... perih...

Itu baru sedikit dari banyak lagu lain yang pernah dicipta dan dinyanyikan Rhoma Irama. Orang ini sepertinya bisa menciptakan lagu tentang apa saja, dan nyaris semua enak didengar. Dari “Begadang”, “Lari Pagi”, “Judi”, “Kehilangan Tongkat”, “Gulali”, “Main Piano”, “Emansipasi Wanita”, “Yatim Piatu”, “Bencana”, “Gitar Tua”—sebut apa pun. Hebatnya, lagu-lagunya abadi, dan dihafal jutaan orang dari masa ke masa.

(Catatan: Agar lebih memahami yang saya maksudkan, dengarkanlah lagu-lagu Rhoma Irama melalui CD asli, bukan lewat CD/VCD bajakan, MP3, apalagi melalui YouTube. Lewat CD musik yang asli, kita akan bisa menikmati kompleksitas dan rumitnya musik yang diciptakan Rhoma Irama secara utuh, tanpa distorsi.)

Tidak kalah hebat dari Rhoma Irama, Iwan Fals juga memiliki kemampuan yang sama. Coba sebutkan tema apa yang belum digarap Iwan Fals dalam lagu-lagunya. Terus terang saya kesulitan, karena sepertinya nyaris semua hal pernah dibahas Iwan Fals dalam banyak lagunya. Dari urusan politik, ekonomi, militer, pendidikan, pemberdayaan desa, perang, alam dan penghijauan, cinta dan kerinduan, sampai hal-hal remeh seperti cerita kehilangan motor, anak-anak bermain bola, hingga waria di Taman Lawang.

Dan sama seperti Rhoma Irama, Iwan Fals juga mampu membalut lagu-lagunya dengan musik yang enak didengar, bahkan didengar abadi dari zaman ke zaman. Saya telah mengenal lagu-lagu Iwan Fals sejak masa SMP, dan tetap mengaguminya sampai dewasa kini. Sangat jarang ada musisi yang mampu bertahan dalam beberapa generasi, dan tetap eksis, serta tetap dicintai.

Saya tidak akan membicarakan lagu-lagu Iwan Fals yang terkenal semacam “Bento”, “Bongkar”, atau semacamnya, karena kalian pasti sudah sangat hafal. Bahkan, saya curiga, ada di antara kalian yang tidak hafal lagu “Indonesia Raya”, tapi hafal lagu “Bento”.

Well, ada dua album Iwan Fals yang sangat saya sukai, yaitu “Orang Gila” dan “1991”. Bagi saya, itu dua album Iwan Fals yang sangat puitis, dalam, berkarakter, sekaligus paling “berat”. Dalam album “Orang Gila”, terdapat lagu “Doa Dalam Sunyi” dan “Lingkaran Hening” yang sangat indah dan dalam. Ada pula lagu romantis berjudul “Lagu Cinta” yang puitis dan memiliki karakter kuat—jauh beda dengan lagu-lagu cinta yang biasa kita dengar.

Begitu pula album “1991”. Dalam album itu terdapat lagu “Ada” yang sangat filosofis, “Untuk Bram” dan “Cendrawasih” yang sangat puitis, serta “Cikal” dan “Untuk Yani”. Di antara semua lagu yang terdapat dalam album itu, mungkin hanya “Cikal” dan “Untuk Yani” yang sangat terkenal. Tapi lagu-lagu lain dalam album “1991” tidak kalah hebat sekaligus sangat dalam—butuh waktu cukup lama untuk bisa memahami arti atau makna yang terkandung di dalamnya.

Lagu “Ada” dalam album “1991”—seperti yang disebutkan tadi—sangat filosofis. Setiap kali mendengarnya, saya berpikir Iwan Fals telah merangkum filsafat eksistensial yang sangat rumit dalam sebuah lagu yang kontemplatif. Itu tema yang bisa dibilang belum pernah diangkat penyanyi mana pun di negeri ini. 

Selain “Ada”, lagu lain yang juga menarik adalah “Cikal”. Banyak orang menganggap lagu itu “hanya bisa dipahami oleh Iwan Fals sendiri”. Kenyataannya, sampai hari ini saya juga belum paham arti atau maksud lagu itu. Saya memang tahu “Cikal” adalah anak kedua Iwan Fals—Cikal Rambu Basae—dan ada kemungkinan lagu itu ditujukan untuk anaknya. Tapi apa arti atau makna lagunya, well, hanya Tuhan dan Iwan Fals yang tahu.

“Cikal” adalah lagu absurd—untaian lirik yang seolah muncul begitu saja dari bibir Iwan Fals, yang diikuti genjrengan gitar. Jika kita perhatikan, lirik lagu itu pun tidak terstruktur sebagaimana umumnya lirik lagu lain. Tetapi, hebatnya, bahkan lagu yang tidak jelas dan sulit dipahami seperti itu pun tetap enak didengar! Oh, well, bahkan jutaan orang bisa menghafalnya!

Saya membayangkan, ketika Iwan Fals menulis lirik dan menyanyikan lagu “absurd” itu, mungkin dia tidak berharap penggemarnya akan menyukai. Sebagai musisi hebat, dia pasti menyadari bahwa penikmat musik menyukai lagu-lagu yang jelas dan terstruktur. Tapi dia tidak peduli, dan tetap membuat lagu yang “absurd”. Mungkin, dia berpikir, dia hanya ingin berkarya, dengan caranya sendiri, dan tak peduli orang akan suka atau tidak.

Iwan Fals adalah bocah—sosok yang bermain dengan keasyikannya sendiri—tetapi bermain dengan sangat serius, hingga hasilnya sangat bagus!

Begitulah cara kerja para maestro!

Mereka tidak memfokuskan pikiran pada hasil, tetapi pada proses. Dan itu pula yang membedakan orang hebat dengan orang biasa. Orang-orang hebat berkarya dengan memfokuskan pikiran kepada proses, sementara orang-orang biasa berkarya dengan memfokuskan pikiran pada hasil. Dua pola pikir yang berbeda, dan hasilnya juga jelas beda.

Ketika bermain basket, orang-orang hebat bermain dengan menujukan pandangan pada bola di lapangan—dan tidak peduli pada papan skor. Hasilnya, skor mereka sangat bagus, karena mereka bermain sangat bagus. Sebaliknya, orang-orang biasa bermain basket dengan menujukan pandangannya pada papan skor, karena berharap nilai yang bagus. Hasilnya, skor mereka sangat buruk, karena mereka bermain buruk!

Iwan Fals, dan Rhoma Irama, adalah bocah-bocah yang asyik bermain dengan mainannya. Yang satu bermain dengan gitar kopong, satunya lagi bermain dengan gitar buntung. Tetapi mereka bermain sangat serius—sebegitu serius, hingga hasilnya sangat bagus.

Orang-orang hebat tidak pernah bekerja—mereka bermain! Karena mereka bermain, mereka pun terus asyik, dan tidak ingin berhenti. Hasilnya, karya mereka—yang merupakan hasil “mainan” mereka—jumlahnya sangat banyak dan berkualitas.

Setiap kali melihat Iwan Fals atau Rhoma Irama—di poster, di panggung, di televisi, atau ketika mendengarkan lagu-lagu mereka—saya seperti diingatkan bahwa manusia bisa menciptakan keajaiban dengan melahirkan karya berskala raksasa... jika kita mencintai yang kita lakukan.

Bermain dengan hati, bekerja dengan cinta, itulah cara manusia biasa menjadi sosok luar biasa, dengan jumlah karya luar biasa.

Aku Orang Bodoh

Buktinya aku belajar.

Seks dan Selangkangan

Aku tidak suka hal-hal sulit. Tapi aku tak pernah berminat pada apa pun yang bisa didapatkan orang lain dengan mudah.
—Twitter, 30 Maret 2015

Cewek yang membicarakan seks secara vulgar dengan banyak orang mungkin akan menarik banyak cowok. Tapi yang jelas bukan aku.
—Twitter, 20 April 2015

Tidak ada yang lebih membosankan bagiku di dunia ini selain orang yang topik obrolannya cuma seks dan selangkangan, seks dan selangkangan.
—Twitter, 20 April 2015

Tentu munafik kalau aku bilang tak tertarik pada seks. Tapi aku tak pernah tertarik pada obrolan seks yang vulgar dengan banyak orang.
—Twitter, 20 April 2015

Membicarakan seks dan selangkangan dengan banyak orang secara vulgar itu murahan. Dan aku tak pernah tertarik dengan apa pun yang murahan.
—Twitter, 20 April 2015

Jika temanku membicarakan seks dan selangkangan secara vulgar dengan banyak orang, aku akan menjauh dan pura-pura tak mengenalnya.
—Twitter, 20 April 2015

Orang yang membicarakan seks dan selangkangan secara vulgar, tak jauh beda dengan orang yang sok alim dan sok suci. Sama-sama membuat risih.
—Twitter, 20 April 2015

Aku mau membicarakan seks denganmu, dengan satu syarat mutlak; percakapan itu hanya aku denganmu. Jika ada orang lain, aku akan menyingkir.
—Twitter, 20 April 2015

Kalau kau ingin aku menjauh darimu, caranya mudah. Obrolkan saja seks dan selangkangan dengan banyak orang, maka aku pun menjauh darimu.
—Twitter, 20 April 2015

Jika aku punya pacar yang membicarakan seks dan selangkangan secara vulgar dengan banyak orang, aku akan memutuskannya... detik itu juga.
—Twitter, 20 April 2015

Dalam urusan seks, manusia dan hewan tak jauh berbeda. Tapi manusia punya adab dan etika, serta tahu cara melakukan dan membicarakannya.
—Twitter, 20 April 2015

Terlalu dangkal jika mengasumsikan seks adalah urusan selangkangan. Seks adalah urusan otak, perasaan, dan kenyamanan; sebuah ketertarikan.
—Twitter, 20 April 2015

Kalau tujuanmu ingin menarik perhatianku, pertama-tama gunakan isi kepalamu, bukan isi celana dalammu.
—Twitter, 20 April 2015

Aku selalu tertarik pada perempuan elegan. Dan perempuan elegan tidak membicarakan seks dan selangkangan secara vulgar dengan banyak orang.
—Twitter, 20 April 2015

“Cara mudah menarik lelaki adalah membicarakan seks dan selangkangan.” Mungkin memang benar. Tapi kau pun tahu kualitas lelaki semacam itu.
—Twitter, 20 April 2015

Orang paling menyedihkan adalah orang yang berusaha menarik perhatian dengan cara membicarakan seks dan selangkangan secara vulgar.
—Twitter, 20 April 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Noffret’s Note: Magneto

Magneto: What's your name?
Pyro: John.
Magneto: What's your real name, John?
Pyro: Pyro.
—Twitter, 23 Februari 2014

Magneto: Quite a talent you have there, Pyro.
Pyro: I can only manipulate the fire. I can't create it.
Magneto: You're a god among insects.
—Twitter, 23 Februari 2014

Magneto: Are you sneaking around in here, Charles?
Whatever are you looking for?
Charles Xavier: I'm looking for hope.
—Twitter, 23 Februari 2014

Jean Grey: I saw Senator Kelly... He's dead.
Storm: It's true. I watched him die.
Magneto: Are you sure you saw what you saw?
—Twitter, 23 Februari 2014

Senator Kelly: What are you going to do?
Magneto: Let's just say God works too slow.
—Twitter, 23 Februari 2014

Mankind has always feared what it doesn't understand. —Magneto
—Twitter, 23 Februari 2014

I've always thought of God as a teacher; a bringer of light,
wisdom, and understanding. —Magneto
—Twitter, 23 Februari 2014

“Are you a God-fearing man, Senator? That is such a strange phrase.”
—Magneto kepada Senator Kelly, X-Men 1
—Twitter, 23 Februari 2014

I am no hero. Merely a man who has seen and done and endured what can
never be forgotten or forgiven. —Magneto, Uncanny X-Men #196
—Twitter, 23 Februari 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Minggu, 19 Juli 2015

Sebaiknya Kita Tidak Usah Merayakan Lebaran

Temanku tidak pernah minta maaf di hari lebaran.
Dia lebih suka meminta maaf kapan pun di hari biasa.
Aku senang menjadi temannya.
@noffret


Teman saya berkata, “Sebaiknya kita tidak usah merayakan lebaran.”

Saya kaget, “Lho, kenapa?”

Dia menjawab, “Karena, kalau dipikir-pikir, lebaran tak jauh beda dengan truk muatan yang terlalu banyak kelebihan beban. Akibatnya, lebih banyak masalah yang timbul daripada kemaslahatan.”

Saya mengerutkan kening. “Aku belum paham maksudmu.”

“Maksudku sederhana.” Dia tersenyum, lalu melanjutkan, “Setiap kali lebaran tiba, berbagai hal terjadi sekaligus—liburan panjang, harga-harga naik, antrean panjang di mana-mana, orang-orang mendekati atau mengakrabi hedonisme, sementara orang-orang lainnya menyabung nyawa di jalanan demi bisa mudik. Semua hal itu mengerikan, dan membawa dampak buruk atau mudarat lebih banyak daripada manfaat atau dampak baik yang bisa diperoleh. Apalagi...”

“Sebentar,” saya menyela. “Sepertinya aku tidak melihat dampak buruk dari semua yang kamu katakan barusan. Apa salahnya orang-orang mendapat liburan panjang sesekali? Apa salahnya orang-orang bersenang-senang setahun sekali? Apa salahnya orang-orang pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga di hari lebaran? Dan, omong-omong, apa salahnya harga-harga naik sesekali, toh orang-orang juga punya uang untuk membeli karena baru dapat THR?”

Dia kembali tersenyum, lalu berkata dengan sabar. “Mari kita urai satu per satu. Pertama, karena adanya lebaran, orang-orang mendapat liburan panjang. Seiring dengan itu, mereka dapat THR atau tunjangan hari raya yang biasanya cukup besar, untuk bekal lebaran. Karena mendapat uang tambahan plus liburan panjang, mereka pun punya dua hal—waktu dan kemampuan untuk bersenang-senang. Jadi, mereka pun beli baju baru, aneka barang baru, pergi ke tempat-tempat hiburan semacam kebun binatang, dan membuat masakan enak di rumah. Karena permintaan untuk berbagai hal naik tiba-tiba, maka harga-harga pun naik. Sementara itu, orang-orang yang bekerja di luar kota umumnya ingin mudik ketika lebaran. Akibatnya, kebutuhan sarana transportasi melonjak tiba-tiba, dan antrean panjang mengular di mana-mana. Mereka yang tidak kebagian tiket transportasi—atau yang tidak punya cukup uang untuk membayar sarana transportasi umum—memilih mudik dengan sepeda motor. Hasilnya, pemudik dengan sepeda motor setiap tahun mencapai jutaan, dan hasilnya adalah kecelakaan bahkan kematian di jalan raya dalam jumlah mengerikan.”

Saya terdiam mendengar tuturannya.

“Dan semua itu terjadi setiap tahun!” dia melanjutkan. “Tidakkah itu mengerikan? Setiap tahun, kantor-kantor dan perusahaan atau pabrik mana pun harus merelakan para pekerja mendapat liburan panjang plus memberi uang THR setiap kali lebaran tiba. Setiap tahun, harga-harga naik tinggi karena orang-orang butuh makan enak, pakaian baru, liburan yang asyik, dan lain-lain. Setiap tahun, ratusan orang tewas atau luka-luka di jalan raya akibat mudik. Setiap tahun, ada banyak aktivitas terhenti gara-gara lebaran. Akibatnya, seperti yang kukatakan tadi, lebaran jadi mirip truk muatan yang mendapat terlalu banyak kelebihan beban. Dan, seperti yang juga kukatakan tadi, hasilnya adalah lebih banyak mudarat daripada manfaat.”

“Aku bisa memahami kerisauanmu,” saya menyahut. “Tapi aku masih belum melihat faktor lebih banyaknya mudarat daripada manfaat seperti yang kamu bilang.”

Dia menjelaskan, “Sekarang andaikan kita tidak usah merayakan lebaran. Setiap kali lebaran datang, tidak usah ada liburan panjang atau uang THR. Agar tidak terjadi gejolak, berikan jatah libur lebaran sebagai hak cuti bagi para pekerja. Artinya, setiap pekerja tetap mendapat libur panjang, tapi diminta untuk menggunakannya secara berkala atau tidak sekaligus. Para pekerja juga tetap mendapat uang THR, tetapi tidak diberikan sekaligus ketika lebaran, melainkan diberikan secara berkala bersama gaji setiap bulan. Hasilnya, para pekerja mendapat jatah liburan lebih banyak, juga jumlah gaji lebih besar, dan mereka bisa memanfaatkannya kapan pun tanpa harus menunggu lebaran tiba.”

Saya mengangguk, mulai memahami.

Dia melanjutkan, “Jika libur lebaran dan uang THR telah ditiadakan, dan diganti seperti yang kujelaskan tadi, maka kemungkinan terjadinya lonjakan kenaikan harga barang-barang dapat ditekan. Orang tidak lagi ribut mencari pakaian baru atau barang-barang baru setiap kali lebaran tiba, karena mereka bisa mencicil semua kebutuhan sejak jauh-jauh hari sebelum lebaran, karena telah memiliki uang untuk itu. Begitu pula dengan kebutuhan hiburan keluarga, atau semacamnya. Dengan adanya jatah cuti yang lebih banyak dan jatah gaji yang lebih besar, mereka dapat liburan kapan pun. Dan karena jatah liburan panjang ketika lebaran telah ditiadakan, maka kebutuhan mendadak pada sarana transportasi juga bisa ditekan. Orang bisa pulang ke kampung halaman kapan pun, tanpa harus menunggu lebaran, karena mereka memiliki jatah cuti atau waktu libur yang bisa didapat kapan pun. Hasilnya, orang-orang yang nekat mudik dengan sepeda motor bisa dikurangi, dan jumlah kecelakaan atau kematian di jalan raya bisa ditekan.”

Kembali saya mengangguk. “Konsepmu masuk akal.”

Dia tersenyum senang.

“Tetapi,” saya melanjutkan, “bagaimana pun, orang-orang selalu butuh berkumpul dengan keluarga di hari lebaran. Untuk silatrurrahmi, untuk bermaaf-maafan, bahkan untuk membagikan sedekah atau angpau untuk sanak saudara dan keponakan. Itu sudah tradisi lebaran yang berlangsung bertahun-tahun, kan?”

“Benar sekali,” dia mengangguk. “Itu sudah jadi tradisi. Tradisi yang telah berlangsung bertahun-tahun, hingga kita telah sangat terbiasa. Dan di situlah yang kumaksud lebih banyak mudarat daripada manfaat.”

“Tolong jelaskan.”

“Semua hiruk-pikuk yang terjadi selama lebaran, sebenarnya—seperti yang kamu katakan tadi—adalah tradisi. Kita bersilaturrahmi ke tetangga, sanak saudara, bahkan ke teman-teman, karena tradisi. Kita saling meminta dan memberi maaf setahun sekali saat lebaran, karena tradisi. Kita bahkan membagikan sedekah untuk para keponakan dan handai taulan saat lebaran, karena tradisi. Kita telah begitu terbiasa dengan tradisi, sehingga pelan-pelan kehilangan esensi. Kita menganggap tradisi sebagai kewajiban, seiring pelan-pelan kehilangan fungsi hakiki dari yang kita lakukan.”

“Sepertinya obrolan kita mulai mendalam,” saya tersenyum. “Aku boleh merokok?”

“Tentu saja kamu boleh merokok.”

Setelah saya menyulut rokok dan mengisapnya sesaat, dia melanjutkan, “Karena setiap tahun kita selalu dan terus-menerus merayakan lebaran, akibatnya kita melakukan hal-hal tertentu sebagai tradisi. Seperti silaturrahmi, saling maaf-maafan, dan memberi sedekah untuk orang lain. Padahal, silaturrahmi, saling maaf, dan aktivitas memberi, seharusnya dilakukan sebagai bagian kesadaran, dan bukan semata hanya tradisi. Itulah hal-hal yang kusayangkan dari perayaan lebaran. Untuk berilaturrahmi, kita menunggu lebaran. Untuk meminta dan memberi maaf, kita menunggu lebaran. Bahkan untuk beramal pada handai taulan dan para keponakan, kita juga menunggu lebaran. Bagiku, itu menyedihkan, karena mencerabut kemanusiaan kita menjadi hanya sekadar tradisi setahun sekali.”

Sambil mengepulkan asap dari mulut, saya menyahut, “Dalam hal itu, aku menyetujui pikiranmu.”

Dia mengangguk, dan melanjutkan, “Sekarang bayangkan jika kita tidak usah merayakan lebaran. Jika ingin bersilaturrahmi pada saudara, famili, tetangga, atau orang lain, kita akan melakukan kapan pun, tanpa harus menunggu lebaran. Jika kita bersalah pada seseorang, kita tidak perlu menunggu lebaran hanya untuk meminta maaf. Begitu pula jika ingin memberi sedekah untuk orang lain, kita bisa melakukan kapan pun tanpa harus menunggu lebaran. Bukankah itu lebih baik? Silaturrahmi yang dilakukan di luar hari lebaran akan lebih tulus, karena kita bersengaja meluangkan waktu untuk mendatangi seseorang demi bisa menemuinya. Meminta dan memberi maaf di luar hari lebaran akan lebih tulus, karena berasal dari kesadaran semata, bukan karena tradisi lebaran. Begitu pula pemberian yang kita lakukan pada orang lain, kemungkinan akan lebih bermanfaat, karena bisa jadi orang yang kita beri sedekah kebetulan sedang kesusahan. Jika perayaan lebaran tidak ada, maka banyak hal bisa dilakukan semata demi kemanusiaan dan atas nama kemanusiaan—dari menyambung tali silaturrahmi, saling meminta dan memberi maaf, juga kebaikan hati pada orang lain.”

Saya terdiam cukup lama mendengar penuturannya. Dia juga diam sesaat, seperti membiarkan hening merayapi kami.

Setelah jeda beberapa waktu, dia melanjutkan perlahan-lahan, “Yang kusayangkan, ada banyak orang sengaja menunggu lebaran hanya untuk menemui saudara serta famili demi menyambung silaturrahmi. Ada banyak orang menunggu lebaran hanya untuk meminta dan memberi maaf. Ada banyak orang menunggu lebaran hanya untuk bersedekah pada orang lain. Itu menyedihkan dan merisaukan, karena... siapa yang bisa menjamin kalau lebaran tahun depan kita masih hidup? Kita menumpuk banyak hal dan berharap akan melakukannya pada waktu lebaran, padahal tidak pernah ada jaminan bahwa kita masih punya kehidupan ketika lebaran datang.”

Keheningan kembali merayap. Di antara kepulan asap rokok, saya menyadari semua yang dikatakannya memang benar. Terlalu banyak orang menggantungkan lebaran untuk hal-hal yang seharusnya telah dilakukan tanpa harus menunggu lebaran. Seperti menyambung tali persaudaraan, aktivitas bermaafan, dan memberikan kebaikan hati.

Setelah mengisap rokok sesaat, saya berkata perlahan-lahan, “Kalau kamu punya pemikiran seperti itu—dan aku mengakui kebenaran pemikiranmu—kenapa kamu tidak mencoba memulainya? Maksudku, mungkin kamu bisa memulai hal itu dari diri sendiri.”

“Aku sudah mencoba melakukan,” dia menyahut. “Sudah cukup lama, aku tidak lagi menunggu lebaran hanya untuk bersedekah pada orang lain. Kapan pun aku punya rezeki berlebih, aku akan bersedekah, tak peduli hari lebaran atau bukan. Kapan pun aku bersalah pada orang lain, aku menemuinya, dan meminta maaf, dan tak terpikir untuk menunggu lebaran. Begitu pula, kapan pun aku berniat mengunjungi sanak famili atau saudara, aku mendatangi mereka tanpa harus menunggu lebaran. Tetapi, kadang-kadang, aku justru mendapat persangkaan keliru.”

“Apa maksudmu? Mendapat persangkaan keliru?”

Dia menjelaskan, “Dulu, saat pertama kali menyadari bahwa seharusnya kita tidak usah merayakan lebaran, aku pun memutuskan untuk menemui para famili dan saudaraku, tetangga, teman-teman, dan siapa pun yang kukenal. Waktu itu, aku mendatangi mereka satu per satu. Selain untuk silaturrahmi, aku meminta maaf kepada mereka semua, kalau-kalau aku pernah punya kesalahan yang tidak kusadari. Seiring dengan itu, karena kebetulan rezeki sedang berlebih, aku juga memberi sedekah untuk para keponakan. Aku benar-benar tulus melakukannya. Tetapi sebagian dari mereka menatapku aneh, seolah-olah aku sudah tidak waras.”

“Kenapa mereka begitu?”

“Mungkin mereka menganggapku aneh,” dia menjawab. “Karena terbiasa melakukan hal-hal itu pada waktu lebaran, mereka pun menganggap aneh mendapatiku bersilaturrahmi dan meminta maaf pada mereka di hari biasa. Karena itulah, seperti yang tadi kukatakan, perayaan lebaran—tanpa kita sadari—telah memberikan lebih banyak mudarat daripada manfaat. Hal-hal baik dan mulia yang seharusnya dilakukan kapan saja setiap hari, terpaksa harus menunggu lebaran tiba, karena dianggap hanya lebaran waktu yang tepat. Terus terang aku sedih. Karena lebaran, aku merasa tidak bebas menyambung tali kemanusiaan. Karena lebaran, aku merasa tidak leluasa untuk meminta maaf. Lebaran telah menjadi tradisi, dan tradisi itu telah sedemikian kuat menjauhkan kita dari hakikat kemanusiaan yang kita miliki.”

“Aku bisa memahami kegalauanmu,” saya berkata perlahan-lahan. “Dalam banyak hal, aku setuju dengan yang kamu katakan. Omong-omong, bagaimana dengan puasa Ramadan?”

“Puasa Ramadan adalah ibadah, kewajiban, tak perlu lagi diperdebatkan,” dia menyahut. “Tetapi, kupikir, kita bisa menjalankan ibadah Ramadan tanpa harus merayakan lebaran secara gegap gempita. Kita bisa beribadah sebulan suntuk selama Ramadan tanpa harus merayakannya dengan petasan, baju baru, opor ayam, dan segala macam perayaan duniawi. Kita bisa menjalankan puasa setiap siang dan tawarih setiap malam tanpa harus merasa merdeka hanya karena lebaran tiba. Puasa Ramadan adalah ibadah yang tak perlu lagi diperdebatkan. Tapi perayaan lebaran yang lebih banyak bernilai tradisi—dan lebih banyak menjauhkan kita dari hakikat kemanusiaan—tampaknya perlu dipikirkan kembali.”

Hening. Hening sangat panjang.

Jadilah Dirimu Sendiri

Kadang-kadang, orang menjauhi kita bukan karena dia ingin menjauhi kita. Tapi karena kita tanpa sadar mendorongnya agar menjauhi kita.
—Twitter, 19 April 2015

Di alam, burung-burung akan berkumpul dengan sesama yang memiliki bulu sama. Begitu pun manusia. Kita mendekat pada orang yang sama.
—Twitter, 19 April 2015

Secara ilmiah maupun alamiah, manusia selalu tertarik pada manusia lain yang sama dengan dirinya. Aku pun tertarik pada yang sama sepertiku.
—Twitter, 19 April 2015

Bahkan cinta paling kuat pun bisa pudar perlahan-lahan, ketika kita mulai menyadari orang yang kita cintai jauh berbeda dengan diri kita.
—Twitter, 19 April 2015

Aku tak pernah memaksa siapa pun untuk tertarik dan menyukaiku. Tetapi aku selalu tertarik dan menyukai orang-orang yang sama sepertiku.
—Twitter, 19 April 2015

Jangan berubah menjadi orang lain hanya karena ingin disukai. Jadilah dirimu sendiri. Tapi jadilah dirimu sendiri yang terbaik.
—Twitter, 19 April 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Yang Terakhir

Telepon itu datang larut malam, dan si penerima sudah tahu siapa peneleponnya begitu mendapati nama yang muncul di layar.

“Ya.”

“Kau dijadwalkan minggu ini,” suara di seberang sana.

Dengan heran, si penerima bertanya, “Kupikir, aku sudah tidak punya tugas apa pun?”

“Aku tahu pemberitahuan ini mendadak. Tapi beberapa hal kadang muncul mendadak, dan perlu segera diselesaikan. Kami memutuskan ini yang terakhir. Setelah ini, tugasmu selesai.”

“Ini terakhir... atau sisa?”

“Maaf?”

“Aku mau menjadi yang terakhir, tapi aku tak mau menerima sisa. Yang terakhir atau menerima sisa adalah dua hal yang berbeda.”

Jumat, 17 Juli 2015

Pernah



























































































































Idealisme dan Sepotong Emping

Ada suatu masa ketika kebodohan menjadi mayoritas,
kedangkalan merasa paling benar,
dan akal budi umat manusia menuju ladang penyembelihan.
@noffret


Bangsal rumah sakit itu hanya diisi dua orang—seorang pria berusia 60-an, dan seorang bocah yang jauh lebih muda. Meski tinggal dalam satu ruangan yang sama, kedua orang itu sangat jarang bercakap. Si lelaki tua sering menerima tamu—para keluarga dan orang-orang yang menjenguk—sementara si bocah lebih banyak tidur atau membaca buku.

Berdasarkan pendengaran dari percakapan-percakapan sekilas, si bocah tahu kalau si lelaki tua dirawat di sana karena masalah stroke. Meski pihak rumah sakit telah menyediakan makanan setiap hari, tampaknya si lelaki tua tidak doyan makanan rumah sakit. Jadi, setiap hari, keluarganya selalu datang membawakan aneka makanan yang diinginkan si lelaki tua.

Si bocah memperhatikan hal itu, dan air liurnya sering menetes. Dibanding makanan rumah sakit yang setiap hari ditawarkan kepadanya, makanan-makanan yang dibawakan untuk si lelaki tua tampak jauh lebih lezat—nasi uduk, nasi kebuli, nasi tomat, rendang, opor ayam, sate, dan... emping. Hampir setiap hari si bocah melihat selalu ada emping yang dibawakan untuk si lelaki tua. Tampaknya orang tua itu sangat menyukai emping.

Beberapa kali si bocah mendapati dokter datang ke bangsal, membicarakan makanan-makanan yang disantap si lelaki tua, dan menyatakan bahwa semua makanan itu tidak sehat—atau tidak baik untuk kesehatannya—mengingat masalah stroke yang sedang dihadapinya. “Anda sebaiknya mengonsumsi makanan yang disediakan rumah sakit,” ujar si dokter, “itu jauh lebih sehat dari makanan yang dibawakan keluarga Anda.”

Si dokter adalah lelaki muda berwajah ramah, dengan tutur kata dan sikap orang berpendidikan. Meski menghadapi “kebandelan” si lelaki tua yang tampak tak pernah peduli pada nasihatnya, dokter muda itu tidak pernah menampakkan kejengkelan. Sikapnya pada si lelaki tua bahkan tampak hormat. Setiap kali memberikan nasihat yang berkaitan dengan kesehatan si lelaki tua, dia tampak berusaha menyatakannya dengan suara sedatar mungkin.

Suatu hari, dokter muda itu datang ke bangsal menemui si lelaki tua. Si bocah baru terbangun dari tidurnya, dan lamat-lamat mendengar suara dokter berkata, “...masalah emping. Itu sangat tidak baik untuk kesehatan Anda. Tensi darah Anda sudah sangat tinggi. Mengonsumsi emping setiap hari menjadikan tensi darah Anda sulit kembali normal. Saya sangat menyarankan, untuk kesekian kali, agar Anda berhenti mengonsumsi emping.”

“Anda tahu, Dokter,” sahut si lelaki tua dengan suara terdengar serak, “aku lebih memilih mati daripada meninggalkan emping.”

Mungkin karena sudah lelah, si dokter hanya mengangkat bahu mendengar jawaban itu. Dengan sikap sopan, ia kemudian pamit meninggalkan si lelaki tua.

Setelah si dokter berlalu, si bocah terusik, dan dia berkata pada si lelaki tua, “Anda orang hebat, Sir.”

“Eh...?” si lelaki tua menoleh.

Si bocah menjelaskan, “Saya baru mendengar ada orang yang lebih memilih mati daripada meninggalkan sesuatu yang disukainya.”

Si lelaki tua tersenyum. “Hidup adalah soal pilihan, Nak. Masing-masing orang menjalani kehidupan yang dipilihnya sendiri.”

“Termasuk emping?”

“Termasuk emping,” si lelaki tua menegaskan. “Aku sangat menyukai emping, sejak masa kanak-kanak. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menjauhkan emping dariku. Para dokter melarangku menikmati makanan-makanan lezat yang dibawakan keluargaku, dan memintaku agar makan makanan hambar yang disediakan rumah sakit. Tawaran yang sangat tak masuk akal! ”

“Tapi mengingat kesehatan Anda, Sir...”

“Nak,” potong si lelaki tua, “yang tidak membunuhmu akan menguatkanmu. Selama puluhan tahun aku menikmati emping, dan aku tidak terbunuh olehnya.”

Si bocah bingung menghadapi jawaban itu. Karenanya, dia pun berkata ragu-ragu, “Saya harap Anda benar, Sir.”

....
....

Besoknya, si lelaki tua mati dengan sepotong emping di dekatnya. Tampaknya, dia meninggal saat sedang menikmati emping kesukaan, dan emping itu belum sempat ia habiskan saat nyawanya melayang. Potongan emping itu menjadi emping terakhir yang dinikmati si lelaki tua.

Keluarga si lelaki tua datang ke bangsal, dengan tangis, sementara pihak rumah sakit mulai mengurus jenazah si lelaki tua.

Dalam hiruk-pikuk di bangsal, si bocah sempat memperhatikan, lelaki tua itu mati dengan bibir tersenyum. Tampaknya ia mati dengan puas, dan bahagia, karena bisa mengejek dunia.

Harga dan Berharga

Ada hal-hal berharga yang layak kita perjuangkan, pun ada hal-hal yang sebaiknya ditinggalkan... meski mungkin tampak berharga.
—Twitter, 10 April 2015

Segala hal berharga membutuhkan perjuangan dan pengorbanan, tapi bukan berarti yang butuh perjuangan dan pengorbanan pasti berharga.
—Twitter, 10 April 2015

Yang paling menyedihkan di dunia bukan kegagalan saat meraih sesuatu yang berharga, tapi menangisi sesuatu yang sama sekali tak berharga.
—Twitter, 10 April 2015

Jangan pernah tertipu oleh label harga. Harga yang sejati tak pernah terlihat. Tapi kau akan tahu... oh, well, kau pasti akan tahu.
—Twitter, 10 April 2015

Barang obral tetap murah meski ditempel label mahal. Dan barang berharga tetap istimewa meski tanpa label apa pun. Dunia tak bisa ditipu.
—Twitter, 10 April 2015

Tak peduli diletakkan di atas nampan emas pun, tinja tetap tinja. Tak peduli dibenamkan ke dasar comberan sekali pun, permata tetap permata.
—Twitter, 10 April 2015

Aku orang sederhana, dengan selera sederhana, dengan hidup sederhana. Tapi aku tahu mana yang berharga, dan mana yang cuma pasang harga.
—Twitter, 10 April 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Selasa, 14 Juli 2015

Pelajaran Cinta yang Tidak Diajarkan di Sekolah

“Aku tidak suka drama!” jerit seorang wanita. |
Jadi yang dilakukannya itu apa? Mengheningkan cipta?
@noffret


Cara meraih hati pria: Tunjukkan keindahan pada matanya.

Cara meraih hati wanita: Tunjukkan keindahan selain pada matanya.

Para psikolog tahu, pupil mata pria melebar ketika melihat hal-hal indah, tapi wanita justru memejamkan mata.

Yang patut diingat, “keindahan” bagi orang per orang sangat relatif. Karenanya, jangan terpaku pada definisi keindahan yang seolah baku.

....
....

Kalau pria berkata, “Aku tidak suka drama!”, kenyataannya dia memang suka film action atau komedi. Tapi kalau wanita berkata, “Aku tidak suka drama!”, pada waktu itu dia sedang memerankan ratu drama.

Kalau pria mengatakan, “Terserah!” maka artinya memang begitu. Tapi kalau wanita mengatakan “Terserah!” maka bidadari di surga pun belum tentu tahu arti kata itu.

Pria suka mempermudah hal-hal sulit. Wanita suka mempersulit hal-hal mudah.

Itulah kenapa kisah cinta tak pernah selesai ditulis.

....
....

Jika wanita menolak pernyataan cinta seorang pria dengan kasar, ada tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, si wanita yang salah, karena tak tahu cara menolak yang elegan. Kemungkinan kedua, si pria yang salah, karena perilakunya yang telah membuat si wanita sangat jengkel atau malu. Kemungkinan ketiga, keduanya sama-sama salah, dengan berbagai alasan.

Tetapi, jika pria menolak pernyataan cinta seorang wanita dengan kasar, hanya ada satu kemungkinan, yaitu si wanita yang salah. Sekasar apa pun seorang pria, dia pasti tahu cara memperlakukan wanita, khususnya cara menolak yang lembut dan tidak menyakiti. Karenanya, jika pria sampai menolak pernyataan cinta dengan kasar, pasti sikap dan perilaku si wanita sudah sangat keterlaluan.

Tarzan yang hidup di hutan pun tahu cara memperlakukan Jane dengan manis. Sekasar-kasarnya pria, dia tahu cara memperlakukan wanita dengan lembut, kecuali jika si wanita sudah sangat mengganggu dan tak tahu malu.

....
....

Jika statemen di atas masih membingungkan atau meragukan, perhatikan fakta ini.

Ketika ingin memutuskan cinta dengan pasangannya, pria butuh waktu berhari-hari, bermalam-malam, untuk memikirkan cara terbaik dan terhalus untuk melakukannya. Pria tidak ingin (terlalu) menyakiti wanita pasangannya. Logika berperan besar dalam kehidupan pria, dan logika itu pula yang mengendalikannya.

Sebaliknya, wanita hanya butuh satu pertengkaran kecil—atau alasan apa pun yang dianggapnya masuk akal—ketika ingin memutuskan pria pasangannya. Ketika ingin memutuskan cinta, wanita tidak peduli perasaan pasangannya, atau bahkan tak peduli jika menyakiti perasaan pasangannya. Wanita lebih sering dikendalikan emosi.

Cinta, kau tahu, adalah lima huruf tak kasatmata, yang menjadi singgasana tempat wanita (merasa) bertahta.

....
....

Apa pun alasannya, pria yang menjelek-jelekkan wanita yang telah menolaknya akan membuat dunia tertawa mengejeknya.

Apa pun alasannya, wanita yang menjelek-jelekkan pria yang telah menolaknya akan membuat dunia muntah karena muak.

Oh, well, meski mereka tertawa atau muntah di belakangmu.

....
....

Wanita yang menjalin hubungan karena keterpaksaan, bisa jadi akan benar-benar jatuh cinta kepada pria yang menjalin hubungan dengannya.

Pria yang menjalin hubungan karena keterpaksaan, tidak akan pernah benar-benar jatuh cinta kepada wanita yang menjalin hubungan dengannya.

Hati wanita serupa es—ia bisa meleleh. Sekuat dan sebeku apa pun, kau hanya perlu menunggu waktunya. Hati pria seperti karang—ia sulit diubah. Tidak ada cara mengubah karang selain menghancurkannya.

....
....

Pria yang sering merayu akan mendapatkan banyak wanita. Pria yang sangat sering merayu tidak akan mendapatkan satu pun wanita.

Wanita yang suka dirayu akan mendapatkan banyak pria. Wanita yang sangat suka dirayu tidak akan mendapatkan satu pun pria.

Selalu ada perbedaan antara murah dan murahan.

....
....

Kalau pria berkata pada kekasihnya, “Aku mencintaimu apa adanya dirimu sekarang,” kemungkinan besar dia jujur.

Kalau wanita berkata pada kekasihnya, “Aku mencintaimu apa adanya dirimu sekarang,” kemungkinan besar dia bohong.

Jika ingin membuktikan, menikahlah... dan lihat kebenarannya.

....
....

Mengapa Adam dan Hawa terusir dari surga? Karena mereka memakan buah terlarang.

Mengapa mereka memakan buah terlarang? Karena rayuan Iblis.

Kenyataannya memang begitu—tapi sebenarnya tidak sesederhana itu.

You see that? Hawa tidak bisa menerima Adam apa adanya. Ketika Iblis membisiki bahwa memakan buah terlarang akan membuat mereka lebih bahagia, Hawa termakan rayuan. Ia lalu merayu Adam untuk mau makan buah terlarang.

Adam, sebagaimana umumnya pria yang menjadi anak turunnya, merasa berat menolak permintaan wanita pasangannya. Maka mereka pun memakan buah terlarang, dan terusir dari surga.

Adam dan Hawa adalah kita. Surga adalah keindahan hubungan yang hakiki. Iblis adalah kebohongan yang disembunyikan. Buah terlarang adalah jebakan perkawinan.

Manusia paling mengagumkan di muka bumi, kau tahu, adalah pria yang tetap memegang teguh idealismenya meski telah memiliki istri, anak, dan keluarga. Orang semacam itu layak kita cium tangannya.

....
....

Ketika menikah, wanita berharap pria pasangannya akan berubah, sebagaimana dia akan berubah. Karenanya, sejak awal pernikahan sampai kapan pun, wanita akan terus berusaha mengubah dirinya, dan pria pasangannya.

Sebaliknya, ketika menikah, pria berharap wanita pasangannya tidak berubah, sebagaimana dia tidak akan berubah. Karenanya, sejak awal pernikahan sampai kapan pun, pria akan terus berusaha untuk tidak berubah, dan dia akan kecewa ketika pasangannya berubah.

Cinta mendoktrinmu bahwa perkawinan adalah ladang kebahagiaan. Realitas akan mengajarkan kepadamu bahwa perkawinan adalah ajang pertempuran. Dan satu-satunya cara untuk menang dalam perkawinan adalah tetap bergandeng tangan... atau tersenyum dalam kutukan.

....
....

Pria yang terang-terangan menyatakan siap menikah akan membuat daya tariknya meningkat, dan para wanita akan mendekatinya.

Wanita yang terang-terangan menyatakan siap menikah akan membuat daya tariknya lenyap, dan para pria akan menjauhinya.

Buktikan saja kalau tak percaya.

....
....

Ada kemungkinan kau tidak paham atau bahkan tidak percaya pada beberapa hal yang tertulis di sini. Tidak apa-apa. Karena tujuan catatan ini memang bukan untuk meyakinkanmu agar mempercayai atau tidak mempercayai sesuatu.

Namun, bertahun-tahun mendatang—kalau kau masih ingat, dan kalau blog ini masih ada—cobalah kembali baca alinea-alinea di atas, dan mungkin kau baru memahami, serta menemukan kebenarannya. Sayangnya, mungkin, waktu itu kau sudah sangat... sangat tua.

Oh, well, kadang-kadang orang memang membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum menemukan dasar realitas. 

Resep dan Aturan Abadi

Cara terbaik membuat roti adalah mengikuti resepnya. Dan rumah dibangun setahap demi setahap. Kupikir, begitu pula hal-hal lain.
—Twitter, 19 Februari 2015

Ada roti yang mudah dibuat, ada pula yang resepnya sangat sulit. Tidak ada yang memaksa kita membuat. Tapi resep disediakan bagi yang suka.
—Twitter, 20 Februari 2015

Sebagian rumah butuh waktu singkat untuk membangunnya, sebagian lain butuh waktu lebih lama. Memilih rumah yang mana, tentu terserah kita.
—Twitter, 20 Februari 2015

Aturan emas yang selalu kupercaya: Jika menginginkan sesuatu secara tepat, ikuti resepnya! Setiap hal memiliki resep uniknya sendiri.
—Twitter, 20 Februari 2015

Banyak orang telah diberi cara yang mudah, tapi mereka justru mempersulit diri. Lalu putus asa, memaki, tanpa mau menyadari dan introspeksi.
—Twitter, 20 Februari 2015

Tak peduli sehebat dan seindah apa pun sebuah web, aku takkan pernah berminat membukanya jika loading-nya lambat. Itu sangat menjengkelkan.
—Twitter, 20 Februari 2015

Jika harus memilih, aku lebih suka web sederhana tapi loading-nya ringan, daripada web hebat tapi loading-nya lambat. Begitu pun lainnya.
—Twitter, 20 Februari 2015

Aturan abadi berurusan dengan manusia: Sebelum berharap orang lain mau memenuhi keinginan kita, penuhi dulu keinginannya.
—Twitter, 20 Februari 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Ada yang Hilang

“Ada yang hilang hari ini,” dia berkata.

Aku menyahut, “Apa yang hilang, Sobat?”

“Kemarin.”

Aku mencoba tersenyum. “Tapi kita masih punya hari esok.”

Dia membalas senyum, “Well... tapi kita tak pernah tahu.”

Kamis, 09 Juli 2015

Soal LGBT, dan Soal Lainnya

Apa perbedaan logika dan prasangka? Logika berpijak
pada kenyataan. Prasangka berpijak pada ketikdaktahuan,
perkiraan, atau bahkan kebencian.
@noffret


Soal LGBT kembali merebak, beberapa waktu lalu, bertepatan dengan dilegalkannya perkawinan sesama jenis di Amerika. Seperti biasa, banyak orang ramai berpolemik—sebagian mendukung, sebagian menentang. Tidak apa-apa, karena begitulah dialektika.

Kebanyakan orang tertarik ikut berpolemik mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender), kemungkinan besar karena LGBT adalah kaum minoritas yang dianggap tidak normal. Dalam konstruksi sosial, kita mengenal ketertarikan antara pria dan wanita, atau heteroseksual. Keluarga kita, umumnya, begitu. Tetangga kita, umumnya, begitu. Famili kita, umumnya, begitu. Teman-teman kita, umumnya, begitu.

Nyaris semua orang yang kita kenal atau hidup di sekeliling kita adalah orang-orang hetero—yang pria tertarik pada wanita, yang wanita tertarik pada pria. Sebegitu terbiasa dengan hal itu, kita pun “kaget” ketika mendapati ada pria yang tertarik pada sesama pria, atau wanita yang tertarik pada wanita. Merekalah yang kemudian disebut kaum homo—yang pria biasa disebut gay, yang wanita disebut lesbi.

Normalkah orang-orang homo? Persoalan normal atau tidak normal itu telah menjadi bahan pembicaraan bahkan perdebatan para ilmuwan selama puluhan tahun. Ada yang mengajukan hipotesis bahwa kecenderungan homo berawal dari gen, ada pula yang percaya bahwa seseorang menjadi homo karena pengaruh lingkungan atau pergaulan. Topik itu bisa dicari dengan mudah melalui mesin pencari di internet, atau melalui buku-buku yang membahas soal tersebut.

Percaya atau tidak, fenomena homo tidak hanya terjadi pada manusia, tetapi juga pada hewan. Ada beberapa burung yang diketahui homoseksual—mereka tidak tertarik pada lawan jenis. Fenomena homo juga ditemukan pada lumba-lumba, dan para ilmuwan masih bingung bagaimana hewan-hewan itu bisa menjadi gay. Tentunya mereka tidak “salah gaul”, atau keranjingan situs-situs porno yang menyimpang.

Well, saya menulis catatan ini bukan untuk memosisikan diri mendukung atau menentang. Saya menulis catatan ini karena memikirkan betapa sensitifnya kita terhadap hal-hal yang kita anggap beda, tidak umum, atau tidak sama dengan kebanyakan kita. Tidak usah jauh-jauh sampai LGBT, bahkan kepada yang sama-sama hetero pun kita masih over sensitif.

Konstruksi sosial kita menempatkan pria dan wanita dengan (cukup) jelas. Dalam urusan pekerjaan dan mencari nafkah, misalnya, konstruksi sosial kita menempatkan pria sebagai pihak yang aktif. Sebaliknya, dalam urusan rumah tangga, misalnya memasak dan bersih-bersih rumah, konstruksi sosial kita menempatkan wanita sebagai pihak yang aktif. Di antara urusan-urusan itu, kadang ada hal-hal yang disepakati sebagai tugas pria atau tugas wanita.

Jika genteng rumah mengalami kebocoran, misalnya, konstruksi sosial kita memberikan tanggung jawab membetulkan genteng pada pria. Artinya, dalam hal itu, seorang istri boleh menuntut suaminya untuk membetulkan genteng yang bocor. Tetapi bagaimana jika seorang lelaki, seorang suami, benar-benar tidak bisa membetulkan genteng yang bocor, karena berbagai alasan?

Karena hal-hal semacam itulah, kita pun sering mendengar orang berkata, “Kamu laki-laki, masak gitu aja nggak bisa?”

Konstruksi sosial kita seolah telah memiliki aturan pasti bahwa setiap laki-laki harus dapat mengerjakan hal-hal yang ditujukan kepada laki-laki, sebagaimana perempuan juga harus dapat mengerjakan hal-hal yang ditujukan kepada perempuan. Padahal, selalu ada kemungkinan deviasi. Sebagian wanita tidak bisa mengandung dan melahirkan anak, karena adanya masalah medis tertentu. Begitu pun sebagian pria tidak bisa melakukan hal-hal yang telah disepakati masyarakat sebagai tugas pria, karena latar belakang tertentu.

Yang saya contohkan di atas adalah perkara remeh, hanya soal membetulkan genteng yang bocor. Faktanya, dalam kehidupan kita yang luas, masalah yang terjadi antara pria dan wanita—sehubungan dengan konstruksi sosial—tidak sebatas itu.

Konstruksi sosial kita punya aturan bahwa seharusnya pria menikah dengan wanita. Tidak cukup hanya mengimbau, konstruksi sosial kita bahkan sampai memerintah dengan berbagai dalih dan alasan, dengan segala diktum dan ajaran. Sebegitu kuatnya ajaran dan konstruksi yang telah dibangun, hingga pria hetero atau wanita hetero yang tidak menikah akan dianggap aneh, tidak normal, atau tidak umum.

Karenanya, seperti yang tadi saya bilang, tidak usah jauh-jauh sampai LGBT, bahkan kepada yang sama-sama hetero pun kita masih over sensitif. Seorang hetero yang memutuskan tidak menikah, misalnya, harus siap menghadapi berbagai gempuran sosial—dari tatapan aneh, komentar aneh, penilaian aneh, sampai dianggap orang aneh. Saya tidak perlu menunjuk orang lain sebagai contoh, karena saya sendiri pun mengalami hal itu.

Saya seorang pria, hetero, dan telah cukup umur untuk menikah. Tetapi sampai saat ini, saya masih memutuskan untuk tidak menikah. Sebagaimana orang lain yang memutuskan menikah dengan berbagai pertimbangan, saya pun memutuskan untuk tidak menikah karena berbagai pertimbangan. Saya menghormati mereka yang menikah, tetapi... kenapa mereka tampaknya sulit menerima apalagi menghormati keputusan saya untuk tidak menikah?

Dalam kehidupan sehari-hari, sangat sering saya menemui orang-orang sok pintar yang menceramahi saya tentang pentingnya menikah, berkeluarga, punya anak, dan bla-bla-bla, seolah mereka sangat tahu apa yang harus saya lakukan, seolah dunia akan kiamat hanya karena saya tidak menikah. Mereka menganggap saya tidak normal hanya karena saya tidak—atau belum—menikah, padahal menurut mereka seharusnya saya sudah menikah.

Pernah, saya menjadi pelanggan di suatu warung bakso. Karena merasa cocok, saya pun sering jajan bakso di tempat itu. Sering kali sendirian. Penjualnya—seorang ibu-ibu—cukup ramah, dan suka mengajak ngobrol kalau warung kebetulan sepi. Suatu hari, dia bertanya pada saya, “Anaknya sudah berapa, Dik?”

Saya mencoba tersenyum, dan menjawab, “Saya belum menikah.”

Seketika, ekspresi wajahnya berubah. Dan, sejak itu, sikapnya kepada saya tidak sehangat semula. Tidak perlu cenayang untuk dapat membaca pikirannya. Dia menganggap saya berbeda, tidak normal, atau tidak umum seperti dirinya.

Padahal, kalau mau frontal, sebenarnya saya punya alasan untuk marah. Saya ini bocah! Masak seorang bocah ditanya berapa anaknya? Itu benar-benar penghinaan sekaligus penistaan terhadap bocah!

Di lain waktu, saya suka membeli batagor di suatu tempat. Penjualnya sepasang suami istri. Mungkin karena sering melihat saya jajan di warung mereka, si istri pernah bertanya, “Kenapa istrinya nggak pernah diajak, Mas?”

Lagi-lagi saya mencoba tersenyum, dan menjawab, “Saya belum menikah.”

Dan, lagi-lagi, ekspresi wajahnya seketika berubah.

Sebenarnya, saya menunggu mereka melanjutkan pertanyaan, “Kenapa belum menikah?” Tapi mereka tidak pernah mengajukan pertanyaan itu, padahal pertanyaan itulah yang justru lebih penting. Daripada orang-orang menceramahi saya tentang pentingnya menikah, saya lebih ingin ditanya, “Mengapa tidak menikah?” Pertanyaan “mengapa” lebih empatik, dan tidak bersifat menghakimi.

Seperti orang-orang sok pintar yang biasa menceramahi saya tentang pentingnya menikah, berkeluarga, punya anak, dan bla-bla-bla. Mereka hanya menilai, menceramahi, mendoktrin, tapi tidak pernah sekali pun mereka bertanya, “Kenapa belum menikah?” Jadi, orang-orang itu hanya sok tahu, tanpa mau tahu latar belakang kenapa seseorang memiliki pilihan yang berbeda dengan mereka.

Dan, omong-omong, begitulah konstruksi sosial kita.

Coba lihat, saya bukan homo, saya hetero seperti mereka. Yang membedakan, mereka telah menikah, dan saya belum menikah. Tetapi bahkan hanya karena perbedaan itu, masyarakat sudah menganggap saya aneh, tidak normal, dan berbeda dengan umumnya mereka.

Kita terlalu peka, over sensitif, terhadap orang lain yang kita nilai berbeda. Sebegitu peka dan sebegitu sensitif, hingga kita kehilangan empati dan kearifan untuk memahami mengapa mereka sampai berbeda. Sebagaimana ada laki-laki yang tidak bisa membetulkan genteng yang bocor, dan sebagaimana ada perempuan yang tidak bisa melahirkan anak, setiap perbedaan memiliki alasan dan latar belakang.

Sayangnya, masyarakat kita lebih tahu cara menggunakan cocotnya dan sibuk berbicara, daripada belajar rendah hati untuk membuka telinga.

Awal Kekeliruan

Keliru berawal dari pikiran. Karena berpikir keliru, kita bertindak keliru, dan tidak menyadari itu keliru. Kenyataan tergantung pikiranmu.
—Twitter, 13 Februari 2015

Memasukkan sekrup ke dalam baut adalah pekerjaan mudah. Dengan syarat keduanya tepat. Jika sekrup tidak juga masuk, mungkin memang keliru.
—Twitter, 13 Februari 2015

Jika sesuatu yang sebenarnya sangat mudah terasa sulit, sering kali bukan sesuatu itu yang memang sulit, tapi karena cara kita yang keliru.
—Twitter, 13 Februari 2015

Meski kita sangat menyukai roti, kita tidak bisa memancing ikan dengan roti. Moral story: Pancinglah segala sesuatu dengan umpan yang tepat.
—Twitter, 13 Februari 2015

Pelajaran abadi: Tiga hal penting dalam properti: Lokasi, lokasi, lokasi. Tiga hal penting dalam psikologi: Observasi, observasi, observasi.
—Twitter, 13 Februari 2015

Manusia bisa diidentifikasi dari dua cara: Sidik jari, dan kebiasaan. Kalau kita tidak bisa melihat sidik jarinya, perhatikan kebiasaannya.
—Twitter, 13 Februari 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Noffret’s Note: Perubahan

Berubah itu mudah. Siapa pun bisa melakukannya. Yang sulit adalah menjaga perubahan tetap konsisten dan permanen.
—Twitter, 8 Maret 2015

Kalau seseorang berubah lebih baik, jangan perhatikan perubahannya. Perhatikan seberapa lama dia mampu menjaga perubahan yang dilakukannya.
—Twitter, 8 Maret 2015

Perubahan yang dilakukan karena mengharapkan sesuatu, adalah perubahan yang tak perlu dipercaya. Anak-anak kecil pun biasa melakukannya.
—Twitter, 8 Maret 2015

Anak-anak yang biasa nakal bisa berubah menjadi anak manis ketika menginginkan mainan. Setelah keinginan terpenuhi, mereka kembali nakal.
—Twitter, 8 Maret 2015

Jangankan manusia, bahkan ranting pohon pun sering kali harus dikawat dan dirawat, dijaga setiap hari, agar bisa berubah secara permanen.
—Twitter, 8 Maret 2015

Anak-anak menginginkan mainan. Orang dewasa menginginkan mainan. Tujuannya sama. Caranya pun sering sama. Mereka berubah... tapi sementara.
—Twitter, 8 Maret 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 

Menyapa Hutan

Aku menyapa hutan, “Hei, hutan.”

Hutan menyahut, “Hei, pal.”

Lalu aku tenteram.

Jumat, 03 Juli 2015

Manfaat Petasan

Apa hubungan Ramadan dengan petasan? Tidak ada.
Tapi karena sering mendengar petasan di bulan Ramadan,
kita pun menganggapnya berhubungan.
@noffret


Suara petasan mulai sering terdengar seiring datangnya bulan Ramadan. Entah dengan tujuan apa, hampir bisa dipastikan selalu ada orang-orang yang menyalakan petasan. Ledakan-ledakan petasan itu akan terus terdengar sampai datangnya hari raya Idul Fitri, bahkan sampai beberapa waktu sesudahnya.

Selain Ramadan dan Idul Fitri, petasan juga sering dinyalakan pada hari-hari besar, terutama Tahun Baru. Pada malam 1 Januari atau malam Tahun Baru, hampir bisa dipastikan akan terdengar suara petasan bersahutan, berbarengan suara terompet dan ribuan orang yang turun ke jalan atau mengunjungi konser di lapangan.

Saya sering menyaksikan orang-orang—dari anak-anak sampai orang dewasa—yang menyalakan petasan. Mula-mula, mereka menyiapkan petasan yang akan diledakkan. Ada yang besar, ada pula yang kecil. Kadang dibuat sendiri, kadang pula dibeli di tempat penjual petasan. Lalu mereka menyulut petasan dengan korek api. Sesaat sebelum meledak, mereka akan berlari menjauh, kadang sambil menutup kuping dengan tangan. Kemudian petasan meledak.

Selama puluhan atau bahkan ratusan kali menyaksikan orang menyalakan petasan, saya bertanya-tanya dalam hati, apa manfaat yang mereka peroleh dari menyulut petasan? Petasan disulut dengan tujuan meledak. Tapi mereka menutup kuping ketika petasan meledak. Jadi apa tujuan mereka menyulut petasan? Mungkin mereka bertujuan mengejutkan orang lain dengan ledakan petasan yang mereka sulut. Tetapi, sekali lagi, apa manfaatnya?

Jangan lupa, petasan adalah barang hasil buatan, dalam arti benda itu tidak muncul sendiri sebagaimana kerikil yang biasa kita lihat di mana-mana. Untuk membuat petasan, orang harus mengumpulkan sekian banyak bahan, meraciknya dengan hati-hati, mengemasnya dengan aman, baru kemudian bisa diledakkan. Ada proses yang cukup rumit, bahkan berbahaya, dalam pembuatan petasan. Untuk pekerjaan serumit itu, seharusnya karya yang dihasilkan memberi manfaat. Tapi apa manfaatnya...? 

Tiga tahun yang lalu, menjelang lebaran Idul Fitri 2012, seorang pemuda di Jombang tewas karena ledakan petasan. Menurut saksi mata, pemuda itu sedang membuat petasan yang rencananya akan dinyalakan pada malam takbiran. Diduga karena gesekan antara bahan pembuat petasan dan logam, terjadilah ledakan. Sebegitu kuat ledakan yang terjadi, gudang tempat membuat petasan itu sampai hancur, sementara tubuh korban terpental hingga 10 meter, dan tewas seketika dengan tubuh hancur penuh luka bakar.

Di Pemalang, Jawa Tengah, pada 21 Juli 2013, seorang lelaki berusia 50 tahun tewas ketika sedang meracik petasan di rumahnya. Selain menewaskan korban, api ledakan petasan itu juga menghanguskan rumah miliknya, serta satu rumah tetangganya. Kerugian sementara ditaksir mencapai lebih dari Rp 100 juta.

Masih di Pemalang, pada 7 Agustus 2013, sekelompok remaja menyalakan petasan berukuran besar. Petasan itu diletakkan di tanah lapang, dan orang-orang berkerumun menyaksikannya. Sesaat setelah disulut, petasan besar itu pun meledak. Tapi yang meledak bukan cuma petasan. Dua remaja yang kebetulan di dekat petasan itu ikut “meledak”—mereka terpental hingga beberapa meter. Satu tewas seketika akibat ledakan petasan, satunya lagi mengalami luka bakar parah.

Di Banyumas, Jawa Tengah, dua rumah terbakar akibat petasan. Peristiwa itu terjadi pada 7 Juli 2014, dan dua rumah yang hancur akibat petasan terletak di Jalan Pancurawis RT 03 RW 10, Kelurahan Purwokerto Kidul, Kabupaten Banyumas.

Peristiwa serupa terjadi di Situbondo, Jawa Timur. Sebuah rumah di Desa Bugeman, Situbondo, mengalami kebakaran akibat ledakan petasan. Suami istri pemilik rumah dikenal suka menyimpan dan menyalakan petasan. Entah apa yang terjadi, petasan yang mereka simpan meledak di dalam rumah, dan sepasang suami istri itu mengalami luka bakar cukup parah. Petugas pemadam kebakaran menemukan keduanya pingsan di rumah yang sedang dilalap api.

Pada 26 Januari 2015, peristiwa mengenaskan serupa terjadi di Malang, tepatnya di Dusun Baran, Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Seorang lelaki berusia 17 tahun tewas akibat ledakan petasan, dengan kondisi menyedihkan. Sementara rumah tempatnya membuat petasan mengalami kebakaran dan porak poranda akibat ledakan.

Lima bulan sebelumnya, pada 14 Agustus 2014, hal yang sama telah terjadi, bahkan menewaskan empat orang dalam dua peristiwa berturut-turut. Ketika dikonfirmasi media, Kapolres Malang, AKBP Rinto Djatmono, menjelaskan, “Ledakan pertama terjadi di Desa Mbaran Ngingit, Kecamatan Tumpang, Malang. Ledakan akibat petasan ini menewaskan tiga orang, yaitu si pemilik rumah, suami-istri, serta keponakannya. Sementara orangtua korban mengalami luka serius dan kini sedang dalam perawatan tim dokter.”

Sedangkan ledakan yang kedua, ia menerangkan, terjadi di Jalan Jamparing, Desa Pakisjajar, Kecamatan Pakis. “Ledakan di Jalan Jamparing ini menewaskan satu orang korban, tiga orang mengalami luka-luka, dan sedang dalam perawatan di Rumah Sakit Lavalete Kota Malang.”

Di Sumenep, Jawa Timur, seorang lelaki pembuat petasan juga tewas dalam kondisi menyedihkan. Peristiwa yang terjadi pada 21 Juli 2013 pukul 12.00 siang itu tidak hanya menewaskan si pembuat petasan, tetapi juga melukai nenek korban hingga harus dirawat di rumah sakit. Sementara rumah tempat membuat petasan mengalami kebakaran dan hancur.

Kapolres Sumenep, AKBP Marjoko, menyatakan dengan prihatin, “Kami berharap peristiwa ini menjadi yang pertama sekaligus terakhir. Kami minta warga Sumenep tidak main-main lagi dengan obat mercon maupun mercon.”

Di Denpasar, Bali, sembilan orang menjadi korban ledakan petasan pada malam Tahun Baru 2015. Dari sembilan korban ledakan petasan itu, dua orang di antaranya harus menjalani rawat inap di rumah sakit karena mengalami luka serius.

Di Cilacap, Jawa Tengah, kejadian serupa menimpa dua orang bernama Ahmad Syarifudin (27 tahun) dan Diki Novianto (16 tahun). Keduanya adalah pengunjung Pantai Sodong Adipala. Di tengah-tengah keramaian orang yang sedang menikmati suasana pantai, ada orang menyulut petasan. Seorang saksi mata menceritakan, “Ada 6 petasan yang dijajar, kemudian petasan dinyalakan bersamaan. Tetapi yang meledak hanya petasan paling besar, yang berdiameter sekitar 30 centimeter.”

Ketika petasan paling besar itu meledak, lima petasan lainnya terlempar ke tengah kerumunan orang, dan meledak. Ledakan petasan-petasaan itulah yang kemudian melukai orang-orang, termasuk Ahmad Syarifudin dan Diki Novianto. Ahmad Syarifudin menderita patah tulang pada paha serta tulang kering pada kaki kiri. Selain itu, bagian betis kirinya juga mengalami luka robek. Sementara Diki Novianto menderita luka dalam yang cukup parah di bagian dada, serta luka di paru-paru. Selain luka dalam, Diki sempat mengeluarkan darah dari mulutnya, serta beberapa giginya tanggal.

Kepolisian Sektor Adipala telah menangkap pelaku yang meledakkan petasan tersebut. Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polisi Resor Cilacap, Ajun Komisaris Agus Puryadi, menyatakan, “Kita sudah mengamankan dua orang, yakni pelaku, dan seorang lagi penjual petasan besar tersebut.”

Masih di Cilacap, seorang bocah berusia 13 tahun terpaksa diamputasi, juga gara-gara petasan. Bocah itu bermain-main petasan bersama teman-temannya. Ketika disulut, petasan tidak langsung meledak. Karena penasaran, dia pun memeriksa petasan itu, dan saat itulah petasan meledak hingga melukai tangannya. Akibat peristiwa tersebut, dia dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Margono Soekarjo, Purwokerto, Jawa Tengah, dan berakhir dengan amputasi, karena telapak dan jari-jari tangan kirinya putus. Peristiwa itu terjadi pada 21 Juli 2014.

Seminggu sebelumnya, pada 14 Juli 2014, peristiwa serupa terjadi di Karanganyar, Jawa Tengah, dan menimpa seorang bocah berusia 12 tahun. Bocah itu membuat petasan yang disebut mercon bazoka. Ketika petasan itu sedang dirakit, tiba-tiba meledak, dan ledakannya mengenai wajah. Hasilnya, dia dibawa ke RSUD Karanganyar.

Di Sidoarjo, Jawa Timur, seorang anak berusia 5 tahun juga menjadi korban petasan, hingga harus dilarikan ke RSUD Sidoarjo. Peristiwanya terjadi pada 22 Juli 2014. Informasi dari pihak RSUD Sidoarjo menyebutkan, kejadian berawal saat bocah itu sedang asyik bermain dengan teman-teman di kampungnya. Saat itu, korban diajak bermain petasan bumbung di dekat rumahnya. Ketika petasan dinyalakan, ledakannya mengenai korban, dan tubuhnya langsung tersambar api hingga mengalami luka bakar serius.

Di Bogor, pada 7 Agustus 2013, seorang bocah berusia 7 tahun terseret arus sungai akibat bermain petasan. Ceritanya, dia bersama teman-temannya bermain petasan di pinggir aliran sungai dekat rumahnya. Sejak sore, hujan mengguyur Bogor. Ketika hujan mulai reda selepas maghrib, bocah itu bermain-main petasan dengan temannya. Diduga karena terpeleset tanah yang licin, dia tercebur ke sungai dan terseret arus.

Jika cerita-cerita ini mau dilanjutkan, panjangnya bisa 750 SKS, dan kalian bisa membutuhkan waktu puluhan semester untuk menyelesaikannya. So, melalui kisah-kisah nyata yang saya nukil dari berbagai berita itu, sudahkah kita melihat manfaat petasan?

Sejauh ini, saya belum pernah membaca berita ada orang menjadi cerdas dan makin bijaksana karena suka menyulut petasan. Saya juga belum pernah mendengar ada orang yang makin ganteng atau makin cantik karena sering mendengar ledakan petasan. Bahkan, sejauh yang saya tahu, belum pernah ada orang yang disukai dan dihormati orang-orang lain karena hobi menyulut petasan.

Setiap kali mendengar atau membaca berita seputar petasan, setiap kali pula yang saya dapati adalah hal-hal negatif—orang tewas akibat petasan, orang mengalami luka-luka akibat petasan, orang diamputasi karena ledakan petasan, sampai ada yang terseret arus sungai gara-gara main petasan. Kadang-kadang bahkan orang sampai berantem gara-gara petasan—yang satu menyulut, yang satu merasa terganggu. Meski begitu, selalu, selalu, selalu, selalu ada yang menyulut petasan.

Jadi, apa manfaat petasan...? Bagi saya, manfaat petasan adalah menunjukkan kepada kita, bahwa di dunia ini ada hal-hal yang tidak bermanfaat tapi terus dibuat dan dilakukan. Contohnya ya petasan itu.

Cinta yang Membuatmu Tersenyum

Jika aku diberi kemampuan untuk tahu siapa yang kelak jadi pasanganku, hal pertama yang akan kulakukan adalah belajar tertawa bersamanya.
—Twitter, 15 Desember 2014

Kalau kau tidak punya pacar dan tidak sedang jatuh cinta, syukuri dan nikmatilah kesendirianmu. Itu waktu-waktu terbaik dalam hidupmu.
—Twitter, 15 Desember 2014

Barusan temanku berkata, “Orang yang kita sayang, ironisnya malah paling sering bertingkah menjengkelkan.” | Aku hanya mengangguk, dan diam.
—Twitter, 15 Desember 2014

Aku bersyukur untuk beberapa kehilangan yang terjadi. Bersama waktu dan kesadaran, aku memahami itu kehilangan terbaik yang pernah kualami.
—Twitter, 17 Desember 2014

Yang paling kesepian adalah yang ditikam kerinduan. Yang paling tersiksa adalah yang tak tahu cara mengatakannya.
—Twitter, 19 Desember 2014

Yang sendirian belum tentu kesepian, yang sedang berpelukan belum tentu tenang dan tenteram, yang keras tertawa belum tentu sedang bahagia.
—Twitter, 20 Desember 2014

Yang mengejekmu hari ini karena tidak punya pacar, tunggu sepuluh tahun yang akan datang. Mereka yang mengejekmu akan tampak sangat kasihan.
—Twitter, 20 Desember 2014

Yang sedang terbakar di neraka tak perlu repot-repot merayu orang-orang di surga. Bahagia, sebagaimana hidup, adalah soal pilihan.
—Twitter, 20 Desember 2014

“Kapan kawin?” Yang bertanya sedang pusing menghadapi hidup, pasangan yang menjengkelkan, dan anak-anak yang rewel. Bagaimana aku tertarik?
—Twitter, 20 Desember 2014

Masyarakat menyebutnya, “Raja Sehari”. Betapa jelas dan gamblang. Sayangnya, orang-orang tidak mau berhenti sejenak untuk berpikir.
—Twitter, 20 Desember 2014

Omong-omong, memangnya siapa yang mau jadi raja tapi cuma sehari? Oh, banyak. Terlalu banyak yang menginginkan. Dan itulah anehnya.
—Twitter, 20 Desember 2014

Berjuang bertahun-tahun, berkorban bertahun-tahun, banting tulang, pusing dan stres bertahun-tahun, hanya untuk jadi raja sehari. Kasihan...
—Twitter, 20 Desember 2014

Aku tidak mau menjadi raja sehari hanya untuk menjadi budak seumur hidup. Bukan karena keangkuhan, tapi karena pilihan.
—Twitter, 20 Desember 2014

Tentu saja bohong kalau aku bilang tak butuh pasangan. Tetapi kalau keberadaan pasangan hanya membuatmu terluka dan menderita, buat apa?
—Twitter, 20 Desember 2014

Aku selalu tertarik pada hubungan, dan seseorang, yang bisa membuatku tertawa. Dan aku hanya percaya kepada cinta yang membuatku tersenyum.
—Twitter, 20 Desember 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Noffret’s Note: Ngemeng

Teman di sebelahku berkata, “Love that comes slow, would keep longer.” Yeah, well, atau tak akan pernah datang, pikirku. Tapi tak kukatakan.
—Twitter, 10 Januari 2015

Lalu seseorang mengutip Bernie Siegel, “Love heals, it is a truth.” Dan aku berbisik, “Atau membuatmu makin sakit.” Suaraku tak terdengar.
—Twitter, 10 Januari 2015

“Love conceals ugliness,” dia berkata, “and hate sees many faults.” Ah, belum tentu. Kadang, “Love sees many faults too.” Setidaknya bagiku.
—Twitter, 10 Januari 2015

“The first symptom of love in a young man is shyness; the first symptom in a woman, it's boldness.” Victor Hugo, eh? I hope he's right.
—Twitter, 10 Januari 2015

“Men always want to be a woman's first love, women like to be a man's last romance.” Oscar Wilde tampaknya benar. Well, dia sering benar.
—Twitter, 10 Januari 2015

“Someone you love most doesn't love you. Someone who love you most, is never the one you love most.” Entahlah, aku tidak tahu apa itu benar.
—Twitter, 10 Januari 2015

Joyce Brothers said, “The most obvious evidence of love is belief.” Ya, Ma'am, dan betapa sulitnya memberi serta mendapatkan itu.
—Twitter, 10 Januari 2015

“Smile is the shortest distance between two people.” Itu kebenaran paling tua di dunia. Sampai kemudian manusia mengenal istilah “sok jaim”.
—Twitter, 10 Januari 2015

“Love makes time pass away, and time makes love pass away.” Siapa pun yang mengatakannya, kuharap dia benar. Aku pun kadang berpikir begitu.
—Twitter, 10 Januari 2015

Dalam banyak hal, aku selalu setuju dengan Emerson. Termasuk satu ini, “What I must do is all that concerns me, not what the people think.”
—Twitter, 10 Januari 2015

“He who has a thousand friends has not a friend to spare, and he who has one enemy will meet him everywhere.” Ralph Waldo Emerson, again.
—Twitter, 10 Januari 2015

“Kindness in words creates confidence. Kindness in thinking creates profoundness. Kindness in giving creates love.” Lao Tzu adalah master.
—Twitter, 10 Januari 2015

“Kalau kau percaya, lanjutkan. Tapi kalau tak percaya, sebaiknya hentikan.” Ini yang ngomong aku sendiri. Ditujukan kepada diriku sendiri.
—Twitter, 10 Januari 2015


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Musim Sepi

Ke mana-mana yang terdengar musim sepi.

Juragan batik bilang, “Sekarang lagi sepi.”

Juragan buah mengeluh, “Akhir-akhir ini makin sepi.”

Juragan media berkata, “Trennya mulai sepi.”

Juragan tekstil menyatakan, “Pasarnya sedang sepi.”

Juragan pulsa berseloroh, “Bahkan penjualan pulsa pun sepi.”

....
....

Lha kok sepi kabeh?

Lha terus opo sing ora sepi?

....
....

Well, sepertinya cuma Twitter yang tak pernah sepi. Tak peduli siang, tak peduli malam, tak peduli jam kerja atau hari libur, Twitter selalu ramai. Ora tau sepi.

Yo wis, mugo-mugo rejekimu berkah, Jack Dorsey.

....
....

(Kok kowe iso ngomong Jowo?)

Hooo, yo biso! Aku dudu wong Londo!

Rabu, 01 Juli 2015

Dari Konsumen kepada Toko Online (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya (Dari Konsumen kepada Toko Online 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Nah, karena penasaran, saya pun lalu meriset toko online itu, untuk tahu apa atau siapa mereka sebenarnya. Dan hasilnya sangat mengejutkan! Mengejutkan, karena tidak pernah saya kira sebelumnya. Hampir semua ulasan positif mengenai toko tersebut adalah artikel berbayar. Sementara ulasan yang murni ditulis tanpa bayaran—di forum, di blog, atau di surat pembaca—berisi kekecewaan. Tidak perlu saya jelaskan di sini—kalian bisa merisetnya sendiri.

Yang jelas, banyak orang telah kecewa, bahkan trauma, dengan toko online tersebut, karena layanannya sangat mengecewakan—dari layanan pengiriman barangnya, sampai layanan customer service-nya. Beberapa dari mereka bahkan ada yang sampai kehilangan uang pembayarannya, akibat ketidakjelasan yang sama.

Di Kaskus, misalnya, ada banyak orang yang menulis testimoni kekecewaan mereka terhadap toko online tersebut. Kasus mereka tidak jauh beda dengan yang saya alami—mereka memesan barang di toko tersebut, tapi tidak menerima e-mail notifikasi. Karena ketidaktahuan, mereka pun mengirimkan uang pembayaran melalui nomor rekening yang tercantum di web toko tersebut. Tapi barang yang telah dibeli tidak juga dikirimkan. Ketika mereka menghubungi customer service-nya, mereka diberitahu bahwa pihak toko belum menerima pembayaran.

Kenyataan semacam itulah yang paling saya khawatirkan, hingga saya sangat-sangat-sangat mementingkan notifikasi.

Beberapa orang di Kaskus menceritakan, mereka sampai harus bersusah-payah menelepon customer service toko untuk meyakinkan bahwa mereka benar-benar telah mengirimkan pembayaran. Mereka bahkan sampai mengirimkan slip bukti transfer dan lain-lain. Lalu barang baru dikirim. Bahkan ketika barang dikirim pun, hasilnya masih ada yang mengecewakan—dari barang yang tidak sesuai pesanan, sampai adanya kerusakan.

Selama menemukan semua itu, saya benar-benar terkejut, karena tidak pernah menyangka. Toko online yang sangat besar dan terkenal, yang iklannya ada di mana-mana, ternyata memiliki kualitas layanan yang sangat tidak profesional, bahkan mengecewakan dan menjengkelkan. Untuk toko online sebesar itu, seharusnya mereka memiliki armada customer service yang profesional, yang selalu siap dan tanggap melayani pelanggan—bukan malah membuat bingung atau kecewa pelanggan.

Membuka toko online di internet memang sangat mudah—jauh lebih mudah dibanding membuka toko di dunia nyata. Tetapi toko online di internet menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dibanding tantangan yang harus dihadapi toko di dunia nyata. Di internet, toko online tidak hanya harus bersaing dengan toko-toko online lainnya, tetapi juga harus bersiap menghadapi keterbukaan informasi di dunia maya, yang bisa dibilang tak bisa dibendung dan dihalang-halangi.

Di dunia nyata, kalau kecewa pada suatu toko, kita mungkin cuma cerita pada keluarga atau teman-teman dekat, sementara orang-orang lain—masyarakat luas—mungkin tidak tahu. Hal yang jauh berbeda terjadi di internet. Ketika orang merasa dikecewakan oleh sebuah toko online, mereka memiliki banyak sarana untuk menyatakan kekecewaan—di Facebook, di Twitter, di forum, bahkan di blog pribadi—dan semua orang yang menemukan bisa mengetahuinya.

Karenanya, iklan dan promosi besar-besaran mungkin penting, demi menaikkan popularitas toko online. Tetapi yang jauh lebih penting adalah menjaga profesionalitas dan kualitas dalam melayani konsumen/pelanggan, demi menjaga integritas toko online. Dan integritas, kita tahu, jauh lebih penting daripada sekadar popularitas.

Di era internet, popularitas atau menjadi terkenal itu mudah—oh, well, sangat-sangat mudah. Tetapi integritas...? Itulah yang sulit, dan itu pula yang menjaga kelangsungan hidup kita. Tanpa integritas, siapa pun akan ditinggalkan, cepat atau lambat.

Tampaknya, toko online yang kita bicarakan ini lebih terfokus pada popularitas, tapi lupa menjaga integritas. Mereka menghabiskan biaya tak terhitung banyaknya untuk promosi dan iklan di mana-mana, membayar ratusan blogger untuk menulis ulasan positif untuk tokonya, tetapi mereka melupakan pentingnya layanan konsumen, abai terhadap pentingnya integritas mereka sendiri. Hasilnya, konsumen yang kecewa kemudian menyuarakan kekecewaannya di mana-mana. Dan itu, disadari atau tidak, akan menggerogoti popularitas yang telah mereka bayar sangat mahal.

Tanpa bermaksud menyederhanakan, sebenarnya yang diinginkan pembeli/pelanggan sangat sepele—cuma kejelasan.

Ketika pembeli/pelanggan selesai berbelanja, mereka butuh notifikasi atau jawaban atas belanja tersebut, agar mereka mengetahui jelas berapa yang harus dibayar, dan ke mana harus membayarnya.

Setelah pembeli/pelanggan melakukan konfirmasi pembayaran, lagi-lagi yang mereka harapkan juga sangat sepele—kejelasan. Bahwa pembayaran mereka telah diterima, dan barang akan segera dikirim. Cuma itu. 

Jika dua hal itu telah terpenuhi, pembeli akan percaya. Dan agar kepercayaan pembeli tetap terjaga, segera penuhi hak mereka dengan mengirimkan barang yang telah mereka bayar, sesuai dengan pesanan. Jika ada sesuatu yang menghalangi, semisal stok yang habis atau lainnya, segera hubungi pembeli dan jelaskan masalahnya—bukan malah pembeli yang harus bolak-balik menghubungi customer service. Begitulah cara mengubah pembeli menjadi pelanggan—dengan menjaga kepercayaan mereka, dan menunjukkan integritas penjual.

So, kepada teman-teman yang kebetulan membaca catatan ini, saya bisa memberi pesan penting yang bisa jadi akan menyelamatkan kalian dari kekecewaan atau bahkan penipuan.

Jika membeli suatu barang di toko online, yang perlu kita perhatikan bukan hanya terkenal atau tidaknya toko itu, tapi juga integritas atau kepercayaan pelanggan terhadap toko itu. Lebih baik berhubungan dengan toko tak terkenal tapi dipercaya, daripada dengan toko terkenal tapi mengecewakan.

Jika kita telah memesan suatu barang di toko online, pastikan kita mendapatkan notifikasi atas pembelian yang kita lakukan—khususnya jika belum pernah berhubungan dengan toko online tersebut. Umumnya, notifikasi berbentuk e-mail yang dikirim ke alamat e-mail kita. Dalam notifikasi itu ada penjelasan mengenai jumlah yang harus kita bayar, serta ke rekening mana pembayarannya. Notifikasi itu penting, karena akan menjadi bukti bahwa toko online tersebut telah mengetahui belanja yang kita lakukan. Tanpa notifikasi, jangan pernah membayar apa pun.

Setelah kita menerima notifikasi dan membayar belanja kita, konfirmasikan pembayaran tersebut pada toko online bersangkutan. Dan pastikan untuk mendapatkan tanggapan/jawaban dari mereka, yang menjelaskan bahwa pembayaran kita telah mereka terima. Jangan lupa, simpan bukti pembayaran yang kita lakukan—struk ATM atau bukti transfer—sehingga bisa digunakan sewaktu-waktu jika diperlukan.

Sekali kita telah membayar sesuatu, artinya kita punya hak untuk mendapatkan yang kita bayar. Jika toko online itu mengecewakan atau bahkan tidak bertanggung jawab, jangan ragu menceritakannya di blog, di forum, di Twitter, di Facebook, atau di mana pun, agar orang lain bisa belajar dari pengalaman kita, dan agar toko online bersangkutan memperbaiki layanannya. Dalam urusan di dunia maya, begitulah aturan mainnya.

 
;