Jumat, 17 Juli 2015

Idealisme dan Sepotong Emping

Ada suatu masa ketika kebodohan menjadi mayoritas,
kedangkalan merasa paling benar,
dan akal budi umat manusia menuju ladang penyembelihan.
@noffret


Bangsal rumah sakit itu hanya diisi dua orang—seorang pria berusia 60-an, dan seorang bocah yang jauh lebih muda. Meski tinggal dalam satu ruangan yang sama, kedua orang itu sangat jarang bercakap. Si lelaki tua sering menerima tamu—para keluarga dan orang-orang yang menjenguk—sementara si bocah lebih banyak tidur atau membaca buku.

Berdasarkan pendengaran dari percakapan-percakapan sekilas, si bocah tahu kalau si lelaki tua dirawat di sana karena masalah stroke. Meski pihak rumah sakit telah menyediakan makanan setiap hari, tampaknya si lelaki tua tidak doyan makanan rumah sakit. Jadi, setiap hari, keluarganya selalu datang membawakan aneka makanan yang diinginkan si lelaki tua.

Si bocah memperhatikan hal itu, dan air liurnya sering menetes. Dibanding makanan rumah sakit yang setiap hari ditawarkan kepadanya, makanan-makanan yang dibawakan untuk si lelaki tua tampak jauh lebih lezat—nasi uduk, nasi kebuli, nasi tomat, rendang, opor ayam, sate, dan... emping. Hampir setiap hari si bocah melihat selalu ada emping yang dibawakan untuk si lelaki tua. Tampaknya orang tua itu sangat menyukai emping.

Beberapa kali si bocah mendapati dokter datang ke bangsal, membicarakan makanan-makanan yang disantap si lelaki tua, dan menyatakan bahwa semua makanan itu tidak sehat—atau tidak baik untuk kesehatannya—mengingat masalah stroke yang sedang dihadapinya. “Anda sebaiknya mengonsumsi makanan yang disediakan rumah sakit,” ujar si dokter, “itu jauh lebih sehat dari makanan yang dibawakan keluarga Anda.”

Si dokter adalah lelaki muda berwajah ramah, dengan tutur kata dan sikap orang berpendidikan. Meski menghadapi “kebandelan” si lelaki tua yang tampak tak pernah peduli pada nasihatnya, dokter muda itu tidak pernah menampakkan kejengkelan. Sikapnya pada si lelaki tua bahkan tampak hormat. Setiap kali memberikan nasihat yang berkaitan dengan kesehatan si lelaki tua, dia tampak berusaha menyatakannya dengan suara sedatar mungkin.

Suatu hari, dokter muda itu datang ke bangsal menemui si lelaki tua. Si bocah baru terbangun dari tidurnya, dan lamat-lamat mendengar suara dokter berkata, “...masalah emping. Itu sangat tidak baik untuk kesehatan Anda. Tensi darah Anda sudah sangat tinggi. Mengonsumsi emping setiap hari menjadikan tensi darah Anda sulit kembali normal. Saya sangat menyarankan, untuk kesekian kali, agar Anda berhenti mengonsumsi emping.”

“Anda tahu, Dokter,” sahut si lelaki tua dengan suara terdengar serak, “aku lebih memilih mati daripada meninggalkan emping.”

Mungkin karena sudah lelah, si dokter hanya mengangkat bahu mendengar jawaban itu. Dengan sikap sopan, ia kemudian pamit meninggalkan si lelaki tua.

Setelah si dokter berlalu, si bocah terusik, dan dia berkata pada si lelaki tua, “Anda orang hebat, Sir.”

“Eh...?” si lelaki tua menoleh.

Si bocah menjelaskan, “Saya baru mendengar ada orang yang lebih memilih mati daripada meninggalkan sesuatu yang disukainya.”

Si lelaki tua tersenyum. “Hidup adalah soal pilihan, Nak. Masing-masing orang menjalani kehidupan yang dipilihnya sendiri.”

“Termasuk emping?”

“Termasuk emping,” si lelaki tua menegaskan. “Aku sangat menyukai emping, sejak masa kanak-kanak. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menjauhkan emping dariku. Para dokter melarangku menikmati makanan-makanan lezat yang dibawakan keluargaku, dan memintaku agar makan makanan hambar yang disediakan rumah sakit. Tawaran yang sangat tak masuk akal! ”

“Tapi mengingat kesehatan Anda, Sir...”

“Nak,” potong si lelaki tua, “yang tidak membunuhmu akan menguatkanmu. Selama puluhan tahun aku menikmati emping, dan aku tidak terbunuh olehnya.”

Si bocah bingung menghadapi jawaban itu. Karenanya, dia pun berkata ragu-ragu, “Saya harap Anda benar, Sir.”

....
....

Besoknya, si lelaki tua mati dengan sepotong emping di dekatnya. Tampaknya, dia meninggal saat sedang menikmati emping kesukaan, dan emping itu belum sempat ia habiskan saat nyawanya melayang. Potongan emping itu menjadi emping terakhir yang dinikmati si lelaki tua.

Keluarga si lelaki tua datang ke bangsal, dengan tangis, sementara pihak rumah sakit mulai mengurus jenazah si lelaki tua.

Dalam hiruk-pikuk di bangsal, si bocah sempat memperhatikan, lelaki tua itu mati dengan bibir tersenyum. Tampaknya ia mati dengan puas, dan bahagia, karena bisa mengejek dunia.

 
;