Minggu, 19 Juli 2015

Sebaiknya Kita Tidak Usah Merayakan Lebaran

Temanku tidak pernah minta maaf di hari lebaran.
Dia lebih suka meminta maaf kapan pun di hari biasa.
Aku senang menjadi temannya.
@noffret


Teman saya berkata, “Sebaiknya kita tidak usah merayakan lebaran.”

Saya kaget, “Lho, kenapa?”

Dia menjawab, “Karena, kalau dipikir-pikir, lebaran tak jauh beda dengan truk muatan yang terlalu banyak kelebihan beban. Akibatnya, lebih banyak masalah yang timbul daripada kemaslahatan.”

Saya mengerutkan kening. “Aku belum paham maksudmu.”

“Maksudku sederhana.” Dia tersenyum, lalu melanjutkan, “Setiap kali lebaran tiba, berbagai hal terjadi sekaligus—liburan panjang, harga-harga naik, antrean panjang di mana-mana, orang-orang mendekati atau mengakrabi hedonisme, sementara orang-orang lainnya menyabung nyawa di jalanan demi bisa mudik. Semua hal itu mengerikan, dan membawa dampak buruk atau mudarat lebih banyak daripada manfaat atau dampak baik yang bisa diperoleh. Apalagi...”

“Sebentar,” saya menyela. “Sepertinya aku tidak melihat dampak buruk dari semua yang kamu katakan barusan. Apa salahnya orang-orang mendapat liburan panjang sesekali? Apa salahnya orang-orang bersenang-senang setahun sekali? Apa salahnya orang-orang pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga di hari lebaran? Dan, omong-omong, apa salahnya harga-harga naik sesekali, toh orang-orang juga punya uang untuk membeli karena baru dapat THR?”

Dia kembali tersenyum, lalu berkata dengan sabar. “Mari kita urai satu per satu. Pertama, karena adanya lebaran, orang-orang mendapat liburan panjang. Seiring dengan itu, mereka dapat THR atau tunjangan hari raya yang biasanya cukup besar, untuk bekal lebaran. Karena mendapat uang tambahan plus liburan panjang, mereka pun punya dua hal—waktu dan kemampuan untuk bersenang-senang. Jadi, mereka pun beli baju baru, aneka barang baru, pergi ke tempat-tempat hiburan semacam kebun binatang, dan membuat masakan enak di rumah. Karena permintaan untuk berbagai hal naik tiba-tiba, maka harga-harga pun naik. Sementara itu, orang-orang yang bekerja di luar kota umumnya ingin mudik ketika lebaran. Akibatnya, kebutuhan sarana transportasi melonjak tiba-tiba, dan antrean panjang mengular di mana-mana. Mereka yang tidak kebagian tiket transportasi—atau yang tidak punya cukup uang untuk membayar sarana transportasi umum—memilih mudik dengan sepeda motor. Hasilnya, pemudik dengan sepeda motor setiap tahun mencapai jutaan, dan hasilnya adalah kecelakaan bahkan kematian di jalan raya dalam jumlah mengerikan.”

Saya terdiam mendengar tuturannya.

“Dan semua itu terjadi setiap tahun!” dia melanjutkan. “Tidakkah itu mengerikan? Setiap tahun, kantor-kantor dan perusahaan atau pabrik mana pun harus merelakan para pekerja mendapat liburan panjang plus memberi uang THR setiap kali lebaran tiba. Setiap tahun, harga-harga naik tinggi karena orang-orang butuh makan enak, pakaian baru, liburan yang asyik, dan lain-lain. Setiap tahun, ratusan orang tewas atau luka-luka di jalan raya akibat mudik. Setiap tahun, ada banyak aktivitas terhenti gara-gara lebaran. Akibatnya, seperti yang kukatakan tadi, lebaran jadi mirip truk muatan yang mendapat terlalu banyak kelebihan beban. Dan, seperti yang juga kukatakan tadi, hasilnya adalah lebih banyak mudarat daripada manfaat.”

“Aku bisa memahami kerisauanmu,” saya menyahut. “Tapi aku masih belum melihat faktor lebih banyaknya mudarat daripada manfaat seperti yang kamu bilang.”

Dia menjelaskan, “Sekarang andaikan kita tidak usah merayakan lebaran. Setiap kali lebaran datang, tidak usah ada liburan panjang atau uang THR. Agar tidak terjadi gejolak, berikan jatah libur lebaran sebagai hak cuti bagi para pekerja. Artinya, setiap pekerja tetap mendapat libur panjang, tapi diminta untuk menggunakannya secara berkala atau tidak sekaligus. Para pekerja juga tetap mendapat uang THR, tetapi tidak diberikan sekaligus ketika lebaran, melainkan diberikan secara berkala bersama gaji setiap bulan. Hasilnya, para pekerja mendapat jatah liburan lebih banyak, juga jumlah gaji lebih besar, dan mereka bisa memanfaatkannya kapan pun tanpa harus menunggu lebaran tiba.”

Saya mengangguk, mulai memahami.

Dia melanjutkan, “Jika libur lebaran dan uang THR telah ditiadakan, dan diganti seperti yang kujelaskan tadi, maka kemungkinan terjadinya lonjakan kenaikan harga barang-barang dapat ditekan. Orang tidak lagi ribut mencari pakaian baru atau barang-barang baru setiap kali lebaran tiba, karena mereka bisa mencicil semua kebutuhan sejak jauh-jauh hari sebelum lebaran, karena telah memiliki uang untuk itu. Begitu pula dengan kebutuhan hiburan keluarga, atau semacamnya. Dengan adanya jatah cuti yang lebih banyak dan jatah gaji yang lebih besar, mereka dapat liburan kapan pun. Dan karena jatah liburan panjang ketika lebaran telah ditiadakan, maka kebutuhan mendadak pada sarana transportasi juga bisa ditekan. Orang bisa pulang ke kampung halaman kapan pun, tanpa harus menunggu lebaran, karena mereka memiliki jatah cuti atau waktu libur yang bisa didapat kapan pun. Hasilnya, orang-orang yang nekat mudik dengan sepeda motor bisa dikurangi, dan jumlah kecelakaan atau kematian di jalan raya bisa ditekan.”

Kembali saya mengangguk. “Konsepmu masuk akal.”

Dia tersenyum senang.

“Tetapi,” saya melanjutkan, “bagaimana pun, orang-orang selalu butuh berkumpul dengan keluarga di hari lebaran. Untuk silatrurrahmi, untuk bermaaf-maafan, bahkan untuk membagikan sedekah atau angpau untuk sanak saudara dan keponakan. Itu sudah tradisi lebaran yang berlangsung bertahun-tahun, kan?”

“Benar sekali,” dia mengangguk. “Itu sudah jadi tradisi. Tradisi yang telah berlangsung bertahun-tahun, hingga kita telah sangat terbiasa. Dan di situlah yang kumaksud lebih banyak mudarat daripada manfaat.”

“Tolong jelaskan.”

“Semua hiruk-pikuk yang terjadi selama lebaran, sebenarnya—seperti yang kamu katakan tadi—adalah tradisi. Kita bersilaturrahmi ke tetangga, sanak saudara, bahkan ke teman-teman, karena tradisi. Kita saling meminta dan memberi maaf setahun sekali saat lebaran, karena tradisi. Kita bahkan membagikan sedekah untuk para keponakan dan handai taulan saat lebaran, karena tradisi. Kita telah begitu terbiasa dengan tradisi, sehingga pelan-pelan kehilangan esensi. Kita menganggap tradisi sebagai kewajiban, seiring pelan-pelan kehilangan fungsi hakiki dari yang kita lakukan.”

“Sepertinya obrolan kita mulai mendalam,” saya tersenyum. “Aku boleh merokok?”

“Tentu saja kamu boleh merokok.”

Setelah saya menyulut rokok dan mengisapnya sesaat, dia melanjutkan, “Karena setiap tahun kita selalu dan terus-menerus merayakan lebaran, akibatnya kita melakukan hal-hal tertentu sebagai tradisi. Seperti silaturrahmi, saling maaf-maafan, dan memberi sedekah untuk orang lain. Padahal, silaturrahmi, saling maaf, dan aktivitas memberi, seharusnya dilakukan sebagai bagian kesadaran, dan bukan semata hanya tradisi. Itulah hal-hal yang kusayangkan dari perayaan lebaran. Untuk berilaturrahmi, kita menunggu lebaran. Untuk meminta dan memberi maaf, kita menunggu lebaran. Bahkan untuk beramal pada handai taulan dan para keponakan, kita juga menunggu lebaran. Bagiku, itu menyedihkan, karena mencerabut kemanusiaan kita menjadi hanya sekadar tradisi setahun sekali.”

Sambil mengepulkan asap dari mulut, saya menyahut, “Dalam hal itu, aku menyetujui pikiranmu.”

Dia mengangguk, dan melanjutkan, “Sekarang bayangkan jika kita tidak usah merayakan lebaran. Jika ingin bersilaturrahmi pada saudara, famili, tetangga, atau orang lain, kita akan melakukan kapan pun, tanpa harus menunggu lebaran. Jika kita bersalah pada seseorang, kita tidak perlu menunggu lebaran hanya untuk meminta maaf. Begitu pula jika ingin memberi sedekah untuk orang lain, kita bisa melakukan kapan pun tanpa harus menunggu lebaran. Bukankah itu lebih baik? Silaturrahmi yang dilakukan di luar hari lebaran akan lebih tulus, karena kita bersengaja meluangkan waktu untuk mendatangi seseorang demi bisa menemuinya. Meminta dan memberi maaf di luar hari lebaran akan lebih tulus, karena berasal dari kesadaran semata, bukan karena tradisi lebaran. Begitu pula pemberian yang kita lakukan pada orang lain, kemungkinan akan lebih bermanfaat, karena bisa jadi orang yang kita beri sedekah kebetulan sedang kesusahan. Jika perayaan lebaran tidak ada, maka banyak hal bisa dilakukan semata demi kemanusiaan dan atas nama kemanusiaan—dari menyambung tali silaturrahmi, saling meminta dan memberi maaf, juga kebaikan hati pada orang lain.”

Saya terdiam cukup lama mendengar penuturannya. Dia juga diam sesaat, seperti membiarkan hening merayapi kami.

Setelah jeda beberapa waktu, dia melanjutkan perlahan-lahan, “Yang kusayangkan, ada banyak orang sengaja menunggu lebaran hanya untuk menemui saudara serta famili demi menyambung silaturrahmi. Ada banyak orang menunggu lebaran hanya untuk meminta dan memberi maaf. Ada banyak orang menunggu lebaran hanya untuk bersedekah pada orang lain. Itu menyedihkan dan merisaukan, karena... siapa yang bisa menjamin kalau lebaran tahun depan kita masih hidup? Kita menumpuk banyak hal dan berharap akan melakukannya pada waktu lebaran, padahal tidak pernah ada jaminan bahwa kita masih punya kehidupan ketika lebaran datang.”

Keheningan kembali merayap. Di antara kepulan asap rokok, saya menyadari semua yang dikatakannya memang benar. Terlalu banyak orang menggantungkan lebaran untuk hal-hal yang seharusnya telah dilakukan tanpa harus menunggu lebaran. Seperti menyambung tali persaudaraan, aktivitas bermaafan, dan memberikan kebaikan hati.

Setelah mengisap rokok sesaat, saya berkata perlahan-lahan, “Kalau kamu punya pemikiran seperti itu—dan aku mengakui kebenaran pemikiranmu—kenapa kamu tidak mencoba memulainya? Maksudku, mungkin kamu bisa memulai hal itu dari diri sendiri.”

“Aku sudah mencoba melakukan,” dia menyahut. “Sudah cukup lama, aku tidak lagi menunggu lebaran hanya untuk bersedekah pada orang lain. Kapan pun aku punya rezeki berlebih, aku akan bersedekah, tak peduli hari lebaran atau bukan. Kapan pun aku bersalah pada orang lain, aku menemuinya, dan meminta maaf, dan tak terpikir untuk menunggu lebaran. Begitu pula, kapan pun aku berniat mengunjungi sanak famili atau saudara, aku mendatangi mereka tanpa harus menunggu lebaran. Tetapi, kadang-kadang, aku justru mendapat persangkaan keliru.”

“Apa maksudmu? Mendapat persangkaan keliru?”

Dia menjelaskan, “Dulu, saat pertama kali menyadari bahwa seharusnya kita tidak usah merayakan lebaran, aku pun memutuskan untuk menemui para famili dan saudaraku, tetangga, teman-teman, dan siapa pun yang kukenal. Waktu itu, aku mendatangi mereka satu per satu. Selain untuk silaturrahmi, aku meminta maaf kepada mereka semua, kalau-kalau aku pernah punya kesalahan yang tidak kusadari. Seiring dengan itu, karena kebetulan rezeki sedang berlebih, aku juga memberi sedekah untuk para keponakan. Aku benar-benar tulus melakukannya. Tetapi sebagian dari mereka menatapku aneh, seolah-olah aku sudah tidak waras.”

“Kenapa mereka begitu?”

“Mungkin mereka menganggapku aneh,” dia menjawab. “Karena terbiasa melakukan hal-hal itu pada waktu lebaran, mereka pun menganggap aneh mendapatiku bersilaturrahmi dan meminta maaf pada mereka di hari biasa. Karena itulah, seperti yang tadi kukatakan, perayaan lebaran—tanpa kita sadari—telah memberikan lebih banyak mudarat daripada manfaat. Hal-hal baik dan mulia yang seharusnya dilakukan kapan saja setiap hari, terpaksa harus menunggu lebaran tiba, karena dianggap hanya lebaran waktu yang tepat. Terus terang aku sedih. Karena lebaran, aku merasa tidak bebas menyambung tali kemanusiaan. Karena lebaran, aku merasa tidak leluasa untuk meminta maaf. Lebaran telah menjadi tradisi, dan tradisi itu telah sedemikian kuat menjauhkan kita dari hakikat kemanusiaan yang kita miliki.”

“Aku bisa memahami kegalauanmu,” saya berkata perlahan-lahan. “Dalam banyak hal, aku setuju dengan yang kamu katakan. Omong-omong, bagaimana dengan puasa Ramadan?”

“Puasa Ramadan adalah ibadah, kewajiban, tak perlu lagi diperdebatkan,” dia menyahut. “Tetapi, kupikir, kita bisa menjalankan ibadah Ramadan tanpa harus merayakan lebaran secara gegap gempita. Kita bisa beribadah sebulan suntuk selama Ramadan tanpa harus merayakannya dengan petasan, baju baru, opor ayam, dan segala macam perayaan duniawi. Kita bisa menjalankan puasa setiap siang dan tawarih setiap malam tanpa harus merasa merdeka hanya karena lebaran tiba. Puasa Ramadan adalah ibadah yang tak perlu lagi diperdebatkan. Tapi perayaan lebaran yang lebih banyak bernilai tradisi—dan lebih banyak menjauhkan kita dari hakikat kemanusiaan—tampaknya perlu dipikirkan kembali.”

Hening. Hening sangat panjang.

 
;