Kamis, 09 Juli 2015

Soal LGBT, dan Soal Lainnya

Apa perbedaan logika dan prasangka? Logika berpijak
pada kenyataan. Prasangka berpijak pada ketikdaktahuan,
perkiraan, atau bahkan kebencian.
@noffret


Soal LGBT kembali merebak, beberapa waktu lalu, bertepatan dengan dilegalkannya perkawinan sesama jenis di Amerika. Seperti biasa, banyak orang ramai berpolemik—sebagian mendukung, sebagian menentang. Tidak apa-apa, karena begitulah dialektika.

Kebanyakan orang tertarik ikut berpolemik mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender), kemungkinan besar karena LGBT adalah kaum minoritas yang dianggap tidak normal. Dalam konstruksi sosial, kita mengenal ketertarikan antara pria dan wanita, atau heteroseksual. Keluarga kita, umumnya, begitu. Tetangga kita, umumnya, begitu. Famili kita, umumnya, begitu. Teman-teman kita, umumnya, begitu.

Nyaris semua orang yang kita kenal atau hidup di sekeliling kita adalah orang-orang hetero—yang pria tertarik pada wanita, yang wanita tertarik pada pria. Sebegitu terbiasa dengan hal itu, kita pun “kaget” ketika mendapati ada pria yang tertarik pada sesama pria, atau wanita yang tertarik pada wanita. Merekalah yang kemudian disebut kaum homo—yang pria biasa disebut gay, yang wanita disebut lesbi.

Normalkah orang-orang homo? Persoalan normal atau tidak normal itu telah menjadi bahan pembicaraan bahkan perdebatan para ilmuwan selama puluhan tahun. Ada yang mengajukan hipotesis bahwa kecenderungan homo berawal dari gen, ada pula yang percaya bahwa seseorang menjadi homo karena pengaruh lingkungan atau pergaulan. Topik itu bisa dicari dengan mudah melalui mesin pencari di internet, atau melalui buku-buku yang membahas soal tersebut.

Percaya atau tidak, fenomena homo tidak hanya terjadi pada manusia, tetapi juga pada hewan. Ada beberapa burung yang diketahui homoseksual—mereka tidak tertarik pada lawan jenis. Fenomena homo juga ditemukan pada lumba-lumba, dan para ilmuwan masih bingung bagaimana hewan-hewan itu bisa menjadi gay. Tentunya mereka tidak “salah gaul”, atau keranjingan situs-situs porno yang menyimpang.

Well, saya menulis catatan ini bukan untuk memosisikan diri mendukung atau menentang. Saya menulis catatan ini karena memikirkan betapa sensitifnya kita terhadap hal-hal yang kita anggap beda, tidak umum, atau tidak sama dengan kebanyakan kita. Tidak usah jauh-jauh sampai LGBT, bahkan kepada yang sama-sama hetero pun kita masih over sensitif.

Konstruksi sosial kita menempatkan pria dan wanita dengan (cukup) jelas. Dalam urusan pekerjaan dan mencari nafkah, misalnya, konstruksi sosial kita menempatkan pria sebagai pihak yang aktif. Sebaliknya, dalam urusan rumah tangga, misalnya memasak dan bersih-bersih rumah, konstruksi sosial kita menempatkan wanita sebagai pihak yang aktif. Di antara urusan-urusan itu, kadang ada hal-hal yang disepakati sebagai tugas pria atau tugas wanita.

Jika genteng rumah mengalami kebocoran, misalnya, konstruksi sosial kita memberikan tanggung jawab membetulkan genteng pada pria. Artinya, dalam hal itu, seorang istri boleh menuntut suaminya untuk membetulkan genteng yang bocor. Tetapi bagaimana jika seorang lelaki, seorang suami, benar-benar tidak bisa membetulkan genteng yang bocor, karena berbagai alasan?

Karena hal-hal semacam itulah, kita pun sering mendengar orang berkata, “Kamu laki-laki, masak gitu aja nggak bisa?”

Konstruksi sosial kita seolah telah memiliki aturan pasti bahwa setiap laki-laki harus dapat mengerjakan hal-hal yang ditujukan kepada laki-laki, sebagaimana perempuan juga harus dapat mengerjakan hal-hal yang ditujukan kepada perempuan. Padahal, selalu ada kemungkinan deviasi. Sebagian wanita tidak bisa mengandung dan melahirkan anak, karena adanya masalah medis tertentu. Begitu pun sebagian pria tidak bisa melakukan hal-hal yang telah disepakati masyarakat sebagai tugas pria, karena latar belakang tertentu.

Yang saya contohkan di atas adalah perkara remeh, hanya soal membetulkan genteng yang bocor. Faktanya, dalam kehidupan kita yang luas, masalah yang terjadi antara pria dan wanita—sehubungan dengan konstruksi sosial—tidak sebatas itu.

Konstruksi sosial kita punya aturan bahwa seharusnya pria menikah dengan wanita. Tidak cukup hanya mengimbau, konstruksi sosial kita bahkan sampai memerintah dengan berbagai dalih dan alasan, dengan segala diktum dan ajaran. Sebegitu kuatnya ajaran dan konstruksi yang telah dibangun, hingga pria hetero atau wanita hetero yang tidak menikah akan dianggap aneh, tidak normal, atau tidak umum.

Karenanya, seperti yang tadi saya bilang, tidak usah jauh-jauh sampai LGBT, bahkan kepada yang sama-sama hetero pun kita masih over sensitif. Seorang hetero yang memutuskan tidak menikah, misalnya, harus siap menghadapi berbagai gempuran sosial—dari tatapan aneh, komentar aneh, penilaian aneh, sampai dianggap orang aneh. Saya tidak perlu menunjuk orang lain sebagai contoh, karena saya sendiri pun mengalami hal itu.

Saya seorang pria, hetero, dan telah cukup umur untuk menikah. Tetapi sampai saat ini, saya masih memutuskan untuk tidak menikah. Sebagaimana orang lain yang memutuskan menikah dengan berbagai pertimbangan, saya pun memutuskan untuk tidak menikah karena berbagai pertimbangan. Saya menghormati mereka yang menikah, tetapi... kenapa mereka tampaknya sulit menerima apalagi menghormati keputusan saya untuk tidak menikah?

Dalam kehidupan sehari-hari, sangat sering saya menemui orang-orang sok pintar yang menceramahi saya tentang pentingnya menikah, berkeluarga, punya anak, dan bla-bla-bla, seolah mereka sangat tahu apa yang harus saya lakukan, seolah dunia akan kiamat hanya karena saya tidak menikah. Mereka menganggap saya tidak normal hanya karena saya tidak—atau belum—menikah, padahal menurut mereka seharusnya saya sudah menikah.

Pernah, saya menjadi pelanggan di suatu warung bakso. Karena merasa cocok, saya pun sering jajan bakso di tempat itu. Sering kali sendirian. Penjualnya—seorang ibu-ibu—cukup ramah, dan suka mengajak ngobrol kalau warung kebetulan sepi. Suatu hari, dia bertanya pada saya, “Anaknya sudah berapa, Dik?”

Saya mencoba tersenyum, dan menjawab, “Saya belum menikah.”

Seketika, ekspresi wajahnya berubah. Dan, sejak itu, sikapnya kepada saya tidak sehangat semula. Tidak perlu cenayang untuk dapat membaca pikirannya. Dia menganggap saya berbeda, tidak normal, atau tidak umum seperti dirinya.

Padahal, kalau mau frontal, sebenarnya saya punya alasan untuk marah. Saya ini bocah! Masak seorang bocah ditanya berapa anaknya? Itu benar-benar penghinaan sekaligus penistaan terhadap bocah!

Di lain waktu, saya suka membeli batagor di suatu tempat. Penjualnya sepasang suami istri. Mungkin karena sering melihat saya jajan di warung mereka, si istri pernah bertanya, “Kenapa istrinya nggak pernah diajak, Mas?”

Lagi-lagi saya mencoba tersenyum, dan menjawab, “Saya belum menikah.”

Dan, lagi-lagi, ekspresi wajahnya seketika berubah.

Sebenarnya, saya menunggu mereka melanjutkan pertanyaan, “Kenapa belum menikah?” Tapi mereka tidak pernah mengajukan pertanyaan itu, padahal pertanyaan itulah yang justru lebih penting. Daripada orang-orang menceramahi saya tentang pentingnya menikah, saya lebih ingin ditanya, “Mengapa tidak menikah?” Pertanyaan “mengapa” lebih empatik, dan tidak bersifat menghakimi.

Seperti orang-orang sok pintar yang biasa menceramahi saya tentang pentingnya menikah, berkeluarga, punya anak, dan bla-bla-bla. Mereka hanya menilai, menceramahi, mendoktrin, tapi tidak pernah sekali pun mereka bertanya, “Kenapa belum menikah?” Jadi, orang-orang itu hanya sok tahu, tanpa mau tahu latar belakang kenapa seseorang memiliki pilihan yang berbeda dengan mereka.

Dan, omong-omong, begitulah konstruksi sosial kita.

Coba lihat, saya bukan homo, saya hetero seperti mereka. Yang membedakan, mereka telah menikah, dan saya belum menikah. Tetapi bahkan hanya karena perbedaan itu, masyarakat sudah menganggap saya aneh, tidak normal, dan berbeda dengan umumnya mereka.

Kita terlalu peka, over sensitif, terhadap orang lain yang kita nilai berbeda. Sebegitu peka dan sebegitu sensitif, hingga kita kehilangan empati dan kearifan untuk memahami mengapa mereka sampai berbeda. Sebagaimana ada laki-laki yang tidak bisa membetulkan genteng yang bocor, dan sebagaimana ada perempuan yang tidak bisa melahirkan anak, setiap perbedaan memiliki alasan dan latar belakang.

Sayangnya, masyarakat kita lebih tahu cara menggunakan cocotnya dan sibuk berbicara, daripada belajar rendah hati untuk membuka telinga.

 
;