Kamis, 15 Oktober 2015

Antara Ada dan Tiada

Ada dan tiada. Seharusnya kita tak pernah tahu.
@noffret


Kita mengenal game-game simulasi kehidupan yang realistis semacam The Sims, The Movies, Virtual Families, Virtual Villagers, Spore, hingga Second Life. Di game-game itu, kita membangun sebuah kehidupan yang mirip dengan kehidupan yang kita jalani sebagai manusia. Ada lahan yang harus digarap, ada pekerjaan yang harus dikerjakan, ada peristiwa-peristiwa yang dijalani, dan—tentu saja—ada makhluk-makhluk yang bergerak dan beraktivitas menjalankan apa saja yang kita inginkan.

Dalam game The Sims, misalnya, kita bisa menciptakan sosok karakter mirip manusia, mengembangkan karirnya, sambil tetap memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya (makan, tidur, bersosialisasi, dan lain-lain). Bahkan, karakter yang kita ciptakan dalam game juga bisa kita lengkapi dengan aktivitas “manusiawi” semacam kuliah di kampus, memelihara hewan, hingga menemui berbagai peristiwa semacam melihat hantu atau ketemu vampir.

Kemudian, dalam game The Movies, kita bisa menjalankan permainan sebagai seorang produser di Hollywood. Melalui game The Movies, kita bisa memiliki studio film, memproduksi film, membangun set (tempat syuting) dan mengelola staf (aktor, sutradara, penulis, dan banyak pekerjaan lain). Setelah film selesai dibuat, kita pun merilisnya ke pasar, mempromosikan agar film ditonton banyak orang—pendeknya persis seperti yang terjadi di dunia nyata. Sementara itu, para pemain film (aktor dan aktris) dalam game yang kita mainkan juga punya “kewajiban” mengembangkan karir agar sukses dalam bidang entertainment.

Sekilas, game-game simulasi kehidupan semacam itu bisa dibilang tak jauh beda dengan kehidupan kita sebagai manusia. Tokoh-tokoh dalam game punya kewajiban dan kebutuhan hidup sebagaimana kita—bekerja, menjalankan sesuatu, menjauhi godaan, mengalami peristiwa demi peristiwa, sampai menikah, punya anak-anak, dan berkembang biak.

Saat memainkan game-game tersebut, kita mengendalikan mereka—makhluk-makhluk dalam simulasi. Kita tahu yang kita lakukan, kita menyadari bahwa kita mengendalikan mereka, bahkan kita pun bisa menentukan akhir kisah mereka. Tapi apakah mereka juga tahu kenyataan itu? Apakah sosok-sosok dalam video game juga menyadari bahwa mereka hanyalah tokoh-tokoh yang sengaja diciptakan untuk suatu simulasi game?

Dalam game The Movies, misalnya, kita bisa menciptakan sesosok aktor yang merintis karir di dunia film Hollywood. Sebagai pencipta sosok tersebut, kita pun memastikan dia benar-benar menjalani kehidupan dengan baik, rajin berlatih, menjauhi narkoba, dan lain-lain. Pendeknya, kita menentukan takdir sosok yang kita ciptakan dalam game tersebut. Kita tahu kenyataan itu. Tapi apakah tokoh yang kita ciptakan juga tahu kenyataan itu?

Dalam game yang kita mainkan, tokoh ciptaan kita menjalani hari demi hari, waktu demi waktu, serta berbagai peristiwa yang menyertai. Pernahkah dia menyadari bahwa sebenarnya dia tidak punya kehendak bebas, karena seluruh tindakan dan gerak hidupnya dikendalikan oleh kita melalui konsol game? Atau jangan-jangan tokoh dalam game menyadari bahwa dia hanyalah sosok virtual dalam sebuah video game yang diciptakan demi kesenangan kita?

Dalam game simulasi kehidupan, kita seolah-olah menciptakan sebuah kehidupan, lengkap dengan isinya, termasuk sosok manusia di dalamnya. Kita tahu bahwa kehidupan yang kita ciptakan dalam game hanyalah kehidupan virtual—antara ada dan tiada. Sebagai pencipta, kita menyadari bahwa kehidupan dalam game sebenarnya tidak ada, karena kita hanya menciptakannya seolah-olah ada, dan mengendalikan serta menjalankannya melalui peranti yang kita gunakan.

Tetapi, bisa jadi, sosok-sosok yang kita ciptakan dalam game menganggap kehidupannya benar-benar nyata, karena mereka benar-benar menjalani. Mereka tercipta di sana, hidup di sana, makan dan minum di sana, bekerja di sana, membangun karir di sana, bersosialisasi di sana, mencapai kesuksesan di sana, bahkan juga mati di sana. Terlepas mereka menyadari bahwa mereka hanyalah ciptaan kita atau tidak, kemungkinan besar mereka meyakini bahwa kehidupan dalam video game benar-benar ada, karena mereka mengalaminya secara nyata.

Pertanyaannya, sekarang... bagaimana kalau kita di dunia ini sebenarnya juga sama dengan sosok-sosok virtual yang kita ciptakan di video game? Jangan-jangan, kita semua sebenarnya hanyalah makhluk-makhluk yang sengaja diciptakan untuk menjalani suatu simulasi kehidupan, dan seluruh gerak hidup kita dikendalikan oleh sosok-entah-apa melalui peranti-peranti mereka.

Jika memang begitu, jangan-jangan kehidupan yang kita jalani sebenarnya juga antara ada dan tiada—tak jauh beda dengan kehidupan dalam game yang kita ciptakan. Bagi kita, kehidupan ini benar-benar ada, karena kita lahir di sini, tumbuh besar di sini, beraktivitas dan bekerja di sini, bersosialisasi di sini, dan mati di sini. Tetapi, bagi pencipta kita, kehidupan yang kita jalani sebenarnya tidak ada, karena ini hanyalah kehidupan yang sengaja diciptakannya.

Jangan-jangan, sementara kita menjalani kehidupan dengan begitu serius, sosok pencipta kita malah tersenyum, dan diam-diam mencibir, “Serius amat, lo!”

Well, siapa tahu?

Robert Lawrence Kuhn, seorang pemikir Amerika, pernah menyatakan pemikiran serupa, bahwa dunia yang selama ini menjadi tempat tinggal manusia sebenarnya tidak pernah ada. Dalam teori Robert Kuhn, jagat raya yang kita diami adalah sebuah ilusi yang diciptakan “robot Tuhan”—tak jauh beda kalau kita memainkan game dengan tokoh-tokoh atau karakter di dalamnya.

Meski teori itu mungkin terdengar kontroversial, tetapi banyak ilmuwan dari universitas-universitas terkemuka yang mendukung teori Robert Kuhn. Nick Bostrom dari Oxford University, misalnya, mendukung teori itu dengan menyatakan, “Hidup manusia sebenarnya mirip film sains fiktif Matrix. Bedanya, manusia tidak butuh alat bantuan yang ditancapkan ke otak untuk bisa masuk dalam dunia ilusi Matrix, karena seluruh tubuh manusia sejak awal sudah masuk dalam ilusi tersebut.”

Untuk melahirkan ilusi tersebut, lanjut Nick Bostrom, dibutuhkan sebuah komputer raksasa untuk melakukannya, dan komputer itu bisa mengontrol semua hal, dari otak sampai saraf terkecil di tubuh manusia.

Silas Beane dari Bonn University adalah ilmuwan lain yang juga mendukung teori Robert Kuhn. Ia setuju bahwa manusia—kita semua—sebenarnya hidup dalam sebuah dunia ilusi. Untuk mendukung tesis tersebut, Silas Beane mengajukan argumentasi bahwa setiap benda terbuat dari susunan atom sangat kecil. Jika dicermati, hal itu mirip dengan program simulasi komputer yang setiap bagiannya juga terdiri atas data-data kecil.

Dalam perbandingan sederhana, lanjut Silas Beane, tiap bagian pada software komputer terdiri atas data-data kecil yang membentuk suatu tampilan. Dalam wujud tak jauh beda, tiap bagian pada jagat raya juga terdiri dari atom-atom kecil yang membentuk suatu zat atau benda.

Teori itu tentu saja masih kontroversial, dan setiap kita tentu bisa mengajukan persetujuan atau sanggahan. Sanggahan paling mudah untuk digunakan dalam konteks ini tentu kehendak bebas. Kita bisa menyatakan bahwa, sebagai manusia, kita memiliki kehendak bebas untuk menentukan apa yang akan kita lakukan atau yang tidak akan kita lakukan. Dengan kata lain, dunia yang kita jalani benar-benar ada, berada dalam kuasa kita, dengan bukti bahwa kita memiliki kehendak bebas.

Dengan adanya kehendak bebas, kita bisa melakukan banyak hal yang tidak mungkin dilakukan tokoh-tokoh dalam video game yang kita ciptakan. Kenyataan itu juga sekaligus membuktikan bahwa dunia kita berbeda dengan dunia dalam video game yang kita mainkan. Dunia kita benar-benar ada, sementara dunia dalam video game sebenarnya tidak ada. Kita memiliki kehendak bebas, sementara tokoh-tokoh dalam video game tidak memiliki kehendak bebas.

Tetapi, benarkah kita memiliki kehendak bebas...?

Kita tidak bisa memilih dari rahim siapa kita dilahirkan. Artinya, kita tidak memiliki kehendak bebas untuk menentukan siapa orangtua kita. Padahal, siapa orangtua kita akan menentukan sebagian besar hidup kita. Orangtua kita mewariskan gen, sifat, karakter, kebiasaan, kapasitas otak, bahkan latar belakang sosial mereka. Dengan kata lain, yang kita sebut “kehendak bebas” sebenarnya bukan kehendak bebas, karena sedari awal telah ditentukan—melalui gen orangtua yang diwariskan kepada diri kita.

Bahkan, kita juga tidak bisa memilih untuk lahir sebagai pria atau wanita, karena hal itu telah ditentukan oleh hormon yang mendominasi tubuh kita—testosteron membentuk pria, dan progesteron membentuk wanita. Jika untuk sesuatu yang bersifat dasariah saja kita tidak punya kekuasaan untuk memilih, bagaimana kita bisa mengklaim memiliki kehendak bebas?

Yang lebih mengerikan, hal-hal yang kita pilih atau kita lakukan dalam kehidupan ini sebenarnya juga ditentukan—atau setidaknya dipengaruhi—oleh gen-gen yang kita miliki. Orang dengan gen tertentu akan melakukan sesuatu yang bisa jadi jauh berbeda dengan orang lain yang memiliki gen berbeda. Kenyataan itu sempat disinggung oleh Robin Baker, dalam bukunya yang menggelisahkan, berjudul Fragile Science: The Reality Behind the Headlines.

Dalam buku tersebut, Robin Baker secara tak langsung menyatakan bahwa bisa jadi beberapa kejahatan tertentu dilakukan orang-orang tertentu, karena gen-gen tertentu yang ada dalam tubuh mereka. Tidakkah itu mengerikan?

Jadi, orang-orang itu melakukan suatu tindakan tertentu, kemudian masyarakat atau bahkan pengadilan memvonis mereka bersalah dan dijatuhi hukuman, padahal perbuatan yang mereka lakukan didasari oleh gen-gen tertentu dalam tubuh mereka. Dengan kata lain, mereka sebenarnya tidak menyadari saat melakukan tindakan itu, karena dipengaruhi oleh gen-gen yang ada di tubuhnya. Sekali lagi, tidakkah itu mengerikan?

Lalu kita kembali pada pertanyaan inti. Kalau memang begitu kenyataannya, di mana kehendak bebas? Benarkah manusia memiliki kehendak bebas sebagaimana yang kita percaya dan yakini? Benarkah kita semua hidup dalam dunia nyata yang benar-benar ada, sehingga kita memiliki kuasa penuh untuk menjalani dan mengendalikan? Kalau kita tidak memiliki kehendak bebas, maka artinya dunia yang kita kenal dan jalani sebenarnya tidak ada—tak jauh beda dengan kehidupan maya yang kita ciptakan di video game.

Atau jangan-jangan kehidupan kita memang hanya video game, sebagaimana yang dinyatakan Robert Kuhn?

Entahlah. Yang jelas, sekian ribu tahun lalu, Plato juga pernah memikirkan hal ini, sampai dia memperoleh kesimpulan bahwa sebenarnya manusia hidup dalam ilusi—atau simulasi. Karena itu, menurut Plato, hanya dengan matematika dan geometri saja manusia bisa memahami alam semesta. Implikasinya, menurut Plato, manusia tidak akan benar-benar bisa menentukan apa yang benar dan salah di dunia ini. Karena semua telah dikendalikan... bahkan sejak awal. Persis seperti tokoh-tokoh dalam video game.

Akhir kata, saya pusing!

 
;