Kamis, 22 Oktober 2015

Hati Seorang Bocah

Prestasi terhebatku, kau tahu, adalah menyapa orang lain terlebih dulu.
Hanya untuk melakukan itu saja, aku harus belajar bertahun-tahun.
@noffret


Kami duduk di salah satu ruang di kafe ini. Siang itu cukup mendung, dan suasana kafe terasa hening seperti biasa, hingga kami bisa menikmati percakapan yang menyenangkan. Dia membawa tablet, yang kini tergeletak di meja. Kami bercakap-cakap sambil mengisap rokok, setelah merasakan perut kenyang oleh sajian yang sangat lezat.

Setelah cukup lama bercakap-cakap, dia berkata, “Aku punya teman di Facebook, yang sangat ingin ketemu denganmu.”

Saya mengisap rokok, kemudian menyahut, “Kenapa aku harus terkejut?”

Dia menatap saya. “Yeah... kupikir, mungkin kau akan tertarik menemuinya.”

“Wanita?”

“Wanita,” dia menyahut. “Kau mau menemuinya?”

“Tidak.” Saya tersenyum, lalu melanjutkan, “Kalau aku tertarik menemui setiap orang yang berharap ketemu denganku, mungkin setiap hari jadwal hidupku cuma menemui mereka. Sangat disayangkan, aku punya tumpukan pekerjaan yang harus kuurusi, dan aku tak punya waktu menemui orang-orang tidak jelas di dunia maya. Well, sebenarnya, aku sudah kehilangan minat untuk ketemu siapa pun yang cuma sebatas kenal di dunia maya.”

“Tapi temanku di Facebook ini, yang ingin ketemu denganmu, benar-benar orang jelas. Maksudku, dia bukan ‘orang tidak jelas’ seperti yang kaumaksud. Sebenarnya, dia bahkan wanita terkenal yang mungkin juga kau kenal.”

Sesaat, saya mengisap rokok, mengembuskannya perlahan, kemudian berkata, “Kau mau mendengar ceritaku?”

Dia mengangguk sambil nyengir. “Aku selalu senang mendengarmu ngoceh apa saja.”

Saya tersenyum. “Aku pernah kenal seorang wanita di dunia maya. Dia orang jelas, yang bahkan menarik minatku. Kami berkenalan, saling berinteraksi, dan dia tipe wanita menyenangkan—dia tidak sok jaim, tidak sok jaim, dan tidak sok jaim. Dia tahu aku introver, dan dia benar-benar tahu cara menghadapiku. Dia hanya fokus kepadaku, dan tidak mengurusi orang lain. Karena mungkin aku pasif, dia yang sering punya inisiatif untuk memulai interaksi, dan dia terus menjaga komunikasi kami hingga pelan-pelan aku nyaman bersamanya. Proses itu berlangsung sampai berbulan-bulan, dan dia terus sabar menghadapiku. Secara keseluruhan, dia tipe wanita yang menyenangkan bagiku. Lalu kami aktif berkomunikasi, saling bercerita banyak hal, hingga aku bisa tertawa bersamanya. Itu faktor yang sangat... sangat penting. Jika seseorang bisa membuatku tertawa bersamanya, aku akan tertarik menemuinya. Kami bisa berinteraksi dengan santai, seperti layaknya teman.”

“Lalu kalian bertemu?”

“Lalu kami bertemu.” Saya mengisap rokok sesaat. “Jadi, suatu hari, aku datang ke tempat tinggalnya. Kami janjian untuk menghabiskan waktu bersama, dan aku membayangkan kami bisa bercakap-cakap secara langsung seperti yang selama ini kami nikmati di dunia maya. Tetapi, well... kenyataannya bisa dibilang pertemuan itu mengecewakan.”

“Kenapa?”

“Mungkin karena kami punya ekspektasi berbeda,” saya menjawab. “Ketika akan menemuinya, aku membayangkan kami akan menghabiskan waktu dengan duduk-duduk tenang, bercakap, dan saling tertawa. Waktu itu aku sempat berpikir bahwa bertemu dengannya akan menjadi sarana refresing, meninggalkan kesibukanku sejenak, hingga aku merasa segar kembali. Tapi rupanya dia punya pikiran berbeda. Saat kami bertemu, dia mengajakku keluyuran ke mana-mana, pergi ke berbagai tempat, hingga aku sangat kelelahan. Bisa dibilang, selama bertemu, kami tidak punya waktu berkualitas untuk benar-benar bersama, karena waktu kami telah dihabiskan untuk jalan-jalan di mal, di bioskop, dan di tempat-tempat lain. Itu bukan jenis pertemuan yang kuharapkan.”

Saya mematikan puntung rokok di asbak. Kemudian melanjutkan, “Kita lihat. Sejak awal semuanya berjalan dengan baik—dia sangat komunikatif, dia sangat tahu cara menghadapiku, dia tidak sok jaim dan berhasil menarik minatku. Tetapi ketika kami benar-benar ketemu, hasilnya mengecewakan. Apa artinya itu? Artinya kami belum benar-benar saling memahami. Sekarang, mari pikirkan, jika yang telah intens berkomunikasi saja ternyata belum bisa saling memahami, apa lagi orang yang masih relatif asing? Karena itulah, aku jadi seperti trauma, dan kehilangan minat untuk bertemu siapa pun yang kukenal di dunia maya. Tak peduli digoda atau ditawari apa pun, aku sudah keburu malas, karena pengalaman telah memberiku pelajaran bahwa ekspektasi di dunia maya belum tentu sesuai realitas di dunia nyata.”

Dia menganguk-angguk. “Selain yang kauceritakan barusan, ada kasus lain?”

“Ada.” Saya mengambil sebatang rokok, dan menyulutnya. “Ada wanita lain... tapi sayangnya dia terlalu tolol menghadapiku.”

“Kedengarannya menarik.”

“Jadi,” saya memulai, “kami telah saling kenal di internet sangat lama, dan kami sama-sama tahu ingin bertemu. Kau tahu, aku sangat kebingungan saat harus memulai interaksi dengan seseorang, jika hanya sebatas kenal. Jadi, aku sering kebingungan saat ingin menyapanya. Kadang-kadang, saat ada moment tepat, atau ada sesuatu yang memungkinkanku menyapa, aku pun mencoba menyapanya. Dia merespons dengan baik, tapi kemudian komunikasi itu terputus. Dia menjawab, tapi tidak berusaha menjaga komunikasi terus berjalan. Akibatnya, kami hanya berkomunikasi selintas-selintas, dan tidak pernah intens. Kami ingin bertemu, tapi komunikasi kami hanya sebatas itu. Dan itu terus berlangsung, tanpa ada perubahan sedikit pun. Kupikir, sampai kiamat pun kami tidak akan pernah bertemu jika kadar komunikasi kami masih terus seperti itu.”

“Sampai sekarang kalian belum bertemu?”

“Seperti yang kubilang tadi, kami telah lama saling kenal di dunia maya, tapi dia terlalu tolol menghadapiku. Saat kusapa, dia menjawab sekadarnya. Lalu komunikasi kami terputus. Di lain waktu, aku kembali mencoba menyapa, dan lagi-lagi dia menjawab sekadarnya, lalu komunikasi kembali terputus. Dan begitu terus menerus. Kalau dia berharap aku mau menemuinya, bukan begitu caranya. Sejujurnya, aku bahkan sudah bosan dan lelah menghadapinya, karena melihat responsnya yang tak juga berubah, padahal dia sangat mengenalku. Oh, well, aku seorang bocah, dan dia tahu itu! Seharusnya dia tahu cara menghadapi seorang bocah!”

Dia tersenyum. “Jadi, bagaimana seharusnya menghadapi seorang bocah?”

Saya ikut tersenyum. “Menurutmu, bagaimana cara terbaik menghadapi seorang bocah?”

“Dengan bujukan?”

“Exactly!” Saya mengisap rokok kembali, kemudian berkata, “Seorang bocah hanya mau memenuhi keinginanmu jika dibujuk dengan tepat. Dan seorang bocah akan balik menantangmu jika kau mencoba menantangnya. Jadi, cara terbaik menghadapi seorang bocah adalah dengan langkah persuasif, bukan mencoba konfrontatif. Sebagai bocah, sejujurnya, aku mudah luluh dengan sikap yang manis dan ramah, senyuman, dan komunikasi yang menyenangkan. Sebaliknya, sebagai bocah, aku tidak suka ditantang. Jika seseorang mencoba menantangku, aku akan balik menantangnya, dan bilang persetan dengannya.”

Kami terdiam sesaat. Kemudian, dia mengambil tabletnya di meja, dan berkata, “Soal temanku di Facebook, yang sangat ingin ketemu denganmu... kau ingin tahu orangnya?”

“Sebenarnya tidak.”

Dia tersenyum. Lalu menyodorkan tabletnya ke arah saya. Di layar, tampak sebuah foto yang familier. Seorang wanita sedang tersenyum ke arah kamera. Saya tahu siapa wanita itu. Wajahnya tidak asing.

Dia kembali berkata, “Sekarang kau tahu, dia bukan orang tidak jelas. Sebaliknya, dia sangat jelas, karena aku yakin kau juga mengenalnya.”

“Ya.” Saya mengangguk. “Aku tahu siapa dia.”

“Jadi, kau mau ketemu dengannya?”

“Tidak.”

Dia tersenyum. “Oh, ayolah, kalau dia benar-benar ingin ketemu denganmu?”

“Seperti yang kubilang tadi, aku seorang bocah.”

“Jadi?”

“Jadi, kalau dia memang ingin ketemu denganku, dia harus tahu cara menghadapi seorang bocah.”

“Caranya?”

“Well, seharusnya dia tahu.”

 
;