Senin, 26 Oktober 2015

Siomay yang Quo Vadis

Jajan siomay dulu, biar tidak stres.
@noffret


Nyokap saya menggemari siomay yang ada di samping swalayan langganannya. Karena tahu saya juga suka siomay, nyokap pun memberitahu mengenai warung siomay tersebut. “Siomay di sana sangat enak!” ujar nyokap penuh keyakinan.

Sejak pertama kali mendengar keberadaan siomay di samping swalayan itu, saya penasaran dan ingin mencoba. Kadang, seusai belanja di swalayan, saya datang ke sana. Tapi melihat antrean yang berdesak-desakan, saya jadi hilang selera. Mau makan siomay saja kok susah, pikir saya. Warung siomay itu relatif sempit, tapi pembeli yang datang sangat banyak, dan melebihi kapasitas yang ada.

Di lain waktu, saya mencoba datang secara khusus ke warung siomay itu, berharap kali ini sedang sepi atau antreannya tidak terlalu ramai. Tapi tampaknya memang siomay di sana sangat enak, hingga kapan pun selalu ramai orang berdatangan. Jadi, selama waktu-waktu itu, saya belum juga merasakan siomay di sana, karena malas berdesakan dalam antrean. Tak peduli seenak apa pun, saya malas makan sesuatu sambil berdesak-desakan dengan banyak orang.

Dalam menikmati makanan di suatu tempat, saya tidak hanya memperhatikan makanannya (enak atau tidak), tapi juga tempatnya (nyaman atau tidak). Tak peduli seenak apa pun, saya tidak tertarik jika tempatnya tidak nyaman. “Nyaman” dalam versi saya adalah tenang, bersih, dan tidak berdesakan, apalagi sampai antre. Tidak harus di kafe mahal, di kaki lima pun banyak tempat nyaman seperti itu. Dan saya lebih suka makan di angkringan yang nyaman, daripada di restoran mahal tapi harus antre dan berdesakan.

Sayangnya, warung siomay yang membuat penasaran itu masuk dalam golongan “tidak nyaman” versi saya. Jadi, meski sangat penasaran dan ingin mencoba, saya terus menerus mengurungkan niat akibat melihat antrean banyak orang yang berdesakan. Hal itu berlangsung sampai sangat lama. Selama waktu-waktu itu pula, saya hanya bisa memendam penasaran.

Hingga kemarin malam, saya belanja ke swalayan bersama seorang teman, bernama Rizki. Seusai belanja, Rizki bertanya, “Kamu pernah nyobain siomay di sana?” (Maksudnya siomay di samping swalayan yang pernah dibilang nyokap).

“Belum,” saya menjawab. “Sebenarnya, aku pengin nyoba, sih. Tapi ramai terus.”

“Aku juga penasaran. Kata teman-teman, siomay di sana enak banget.”

Lalu dia mengajak ke sana.

Seperti yang kami duga, warung siomay itu ramai seperti hari-hari lain. Orang-orang tampak berjubel memenuhi warung, bahkan ada yang makan di bangku-bangku yang disediakan di depan warung. Kalau saja sendirian, saya pasti akan langsung balik badan. Tapi Rizki sudah melenggang ke tempat penjualnya, dan memesan dua porsi untuk kami.

Setelah itu, dia mengambil dua bangku yang tak terpakai di depan warung, dan membawanya ke tempat saya berdiri menunggu. Dalam hal keluwesan di tengah-tengah orang banyak, tampaknya saya masih perlu banyak belajar!

Jadi, kami pun duduk di depan warung, menunggu pesanan diantarkan. Cukup lama kemudian, kami sudah mulai menyantap siomay sambil menyeruput teh. Karena sudah penasaran sejak lama, saya pun menikmati siomay perlahan-lahan, ingin menghayati kenikmatannya. Wujudnya sama seperti siomay lain—telur, tahu, kubis, siomay, dengan sambal kental dan kecap. Tapi karena siomay di tempat itu digemari banyak orang—termasuk nyokap—saya pun ingin menyantapnya dengan penuh penghayatan.

Sambil menyantap siomay, Rizki bertanya, “Gimana menurutmu? Enak?”

Saya menelan siomay dalam mulut, lalu menjawab, “Menurutku, ini siomay yang quo vadis.”

Dia ngikik. “Kamu tuh, selalu punya istilah aneh-aneh. Jadi, enak apa nggak?”

“Lha ya itu, quo vadis—nggak jelas. Dibilang enak ya nggak, dibilang nggak enak ya nggak.” Lalu saya balik bertanya, “Kalau menurutmu, enak nggak?”

“Kayaknya sama yang kamu bilang barusan. Dibilang enak ya nggak, dibilang nggak enak ya nggak.”

“Berarti ini memang siomay yang quo vadis.”

Dia kembali ngikik.

Sebagai penggemar siomay, hampir bisa dibilang saya makan siomay setiap hari—dari warung kaki lima sampai di food court. Di komplek tempat saya tinggal juga banyak penjual siomay keliling, dan saya sering menghentikan mereka di depan rumah. Jadi, dalam urusan siomay, saya cukup tahu seperti apa siomay yang enak, yang tidak enak, atau pun yang tidak jelas enak-tidaknya.

Nah, siomay yang ada di samping swalayan itu—yang digemari banyak orang, termasuk nyokap saya—tidak bisa dibilang enak, meski juga tidak bisa dibilang tidak enak. Di lidah saya, siomay di sana biasa-biasa saja. Kalau mau menggunakan skala kenikmatan, siomay keliling langganan saya bahkan jauh lebih enak (dan lebih murah) dibanding siomay di samping swalayan.

Menjelang maghrib, ada penjual siomay keliling yang telah menjadi langganan saya bertahun-tahun. Saat sampai di depan rumah saya, biasanya dia akan berhenti, dan menunggu saya keluar. Siomay-nya sangat enak, dengan sambal kacang yang kental dan nikmat. Harganya juga jauh lebih murah, khususnya jika dibandingkan siomay di samping swalayan. Tapi dalam urusan kenikmatan rasa, siomay keliling langganan saya jauh lebih unggul.

Jadi, ketika ditanya bagaimana rasa siomay di samping swalayan yang terkenal itu, saya pun berpikir bahwa siomay di sana quo vadis—tidak jelas mau ke mana. Dibilang enak ya tidak, dibilang tidak enak ya tidak. Biasa-biasa saja.

Yang tidak biasa-biasa saja adalah pembelinya yang luar biasa banyak—sampai antre dan berdesak-desakan, seolah itu satu-satunya warung siomay yang bisa ditemukan di planet Bumi. Jadi, saya pun heran, dan bertanya-tanya. Apakah sebenarnya siomay di sana memang enak, tapi lidah saya keliru? Ataukah lidah saya benar, dan para pembeli di sana yang keliru?

Yeah, ini mungkin hanya perbedaan selera. Sesuatu yang bagi saya biasa-biasa saja, bisa jadi sangat enak bagi lidah orang lain. Atau sebaliknya, sesuatu yang bagi saya sangat enak, tapi ternyata biasa saja bagi orang lain. Siomay, atau makanan lain, sering kali memang kembali pada selera penyantapnya. Bahkan, suatu makanan kadang sangat digemari sebagian orang, sementara orang lain malah tidak doyan. Dalam hal makanan, kenyataan semacam itu sangat biasa.

Seumur hidup, misalnya, saya tidak pernah makan pisang. Bukan apa-apa, tapi semata karena tidak doyan. Jangan tanya kenapa, karena saya sendiri tidak tahu. Yang jelas, saya tidak bisa makan pisang.

Saya pernah bertanya pada nyokap mengenai hal itu, dan nyokap menceritakan. Dulu, saat saya masih bayi dan mulai diajari makan makanan selain ASI, nyokap memberikan pisang yang dihaluskan, sebagaimana umumnya bayi lain. Tetapi, setiap kali saya diberi pisang, setiap kali pula saya muntah. Akhirnya, nyokap mencari alternatif. Karena menyadari saya tidak pernah mau makan pisang, nyokap mengganti dengan roti yang dihaluskan. Dan saya mau memakannya. Konon, kata nyokap, sejak itulah saya mulai menggemari roti, dan kegemaran itu bahkan masih berlangsung sampai dewasa kini.

Sampai dewasa kini, saya tetap tidak doyan pisang—segala macam pisang. Tak peduli dibuat dalam bentuk apa pun—misalnya kolak, keripik, atau pisang goreng—saya tetap tidak doyan. Dan saya sangat peka terhadap pisang. Jika menghadapi suatu makanan asing, dan terdapat pisang di dalamnya, saya akan menyadari, dan tidak akan menyentuh sama sekali.

Memang, kadang saya “tertipu”. Ketika makan roti, misal, kadang suatu roti menggunakan pisang sebagai salah satu bahan pembuatannya. Karena telah dihaluskan bersama bahan-bahan lain, wujud pisang pun tak tampak, dan saya tanpa sadar memakan sampai habis. Tetapi, ketika diberitahu bahwa roti tadi mengandung pisang, tubuh saya seketika memuntahkannya tanpa bisa dikendalikan.  

Jadi, saya tidak pernah makan pisang. Jangankan sampai memakan, saya bahkan selalu berusaha untuk tidak mendekati. Meski begitu, saya tidak benci terhadap pisang. Saya tidak doyan pisang karena sebab yang tidak saya pahami, bukan karena benci atau antipati. Karenanya, kalau nyokap atau adik saya makan pisang—dan mereka juga menyukai—saya pun tidak masalah. Wong cuma soal pisang ini. Teman-teman saya juga banyak yang menggemari pisang, dan saya tidak pernah mempermasalahkan.

Dalam soal makanan—siomay atau pisang atau lainnya—kita bisa berbesar hati menerima dan mengakui perbedaan. Bahwa setiap orang memiliki latar belakang, atau bahkan selera, yang bisa berbeda. Yang enak bagi satu orang, belum tentu enak bagi yang lain. Yang luar biasa bagi kita, bisa jadi biasa-biasa saja bagi mereka. Kita tidak marah. Kita bisa menerima kenyataan dan perbedaan itu, tanpa merasa lebih benar atau menganggap orang lain salah.

Tetapi, kenapa kita tampaknya kesulitan melakukan hal yang sama ketika menghadapi perbedaan di luar makanan? Kenapa untuk beberapa perbedaan tertentu kita harus merasa lebih baik dan lebih benar, sambil menganggap orang lain salah?

Kini, setiap kali saya ingin menyalahkan orang lain yang berbeda, saya mengingat siomay di samping swalayan yang saya anggap quo vadis. Ada banyak orang yang setiap hari berdesak-desakan di sana untuk menyantap siomay yang—bagi saya—sangat biasa dan tidak istimewa. Tapi saya tidak punya hak untuk menyalahkan mereka, sebagaimana mereka juga tidak punya hak untuk menyalahkan saya.

Dalam hidup, perbedaan adalah hal yang sangat... sangat biasa—jauh lebih biasa dari siomay yang biasa-biasa saja. Karenanya, sungguh mengherankan jika kita menganggapnya luar biasa, kemudian meributkannya, bahkan merasa lebih baik atau lebih benar dari orang lain yang berbeda.

Atau jangan-jangan kita makhluk yang quo vadis.

 
;