Kamis, 01 Oktober 2015

Takdir Esok Hari

Seseorang berkata, “Nasib adalah kesunyian masing-masing.”
Dan sekarang aku mengerti, takdir bersenandung dalam hening.
@noffret


Sehari sebelum Idul Adha, dua ekor kambing milik tetangga ditambatkan di halaman samping rumah saya. Kambing-kambing itu disiapkan untuk disembelih pada hari raya kurban. Bersama kedatangan dua kambing itu, segerobak pakan berupa daun dan rerumputan juga didatangkan untuk memenuhi kebutuhan makan kambing. Belakangan, saya tahu, kambing-kambing itu juga baru keluar dari salon setelah menjalani perawatan.

Bagi yang mungkin belum tahu, saat ini telah ada salon kambing. Yaitu salon yang khusus ditujukan untuk merawat keindahan tubuh kambing. Saat ini, salon-salon kambing telah banyak bermunculan di Jawa Tengah, khususnya di Banyumas, Purworejo, dan Semarang. Di salon-salon itu, kambing menjalani perawatan dan pembersihan, termasuk creambath hingga pedikur. Ini serius!

Menjelang Idul Adha, salon-salon kambing biasanya penuh—banyak kambing yang didatangkan untuk mendapat perawatan. Di salon-salon itu, masing-masing kambing mula-mula dimandikan, lengkap dengan sabun dan shampo, hingga bulu-bulu mereka halus, lembut, dan tidak bau. Kemudian, tanduk dan kuku-kukunya juga dibersihkan, hingga mengilap. Tujuannya, tentu saja, agar kambing-kambing itu bisa terjual lebih mahal untuk keperluan kurban.

Begitu pula dua kambing yang ditambatkan di samping rumah saya. Tampangnya kelihatan cakep—setidaknya lebih cakep dibanding kambing-kambing lain yang tidak masuk salon. Bulu-bulu di tubuh mereka tampak bersih, begitu pula tanduk dan kuku-kukunya. Anak-anak kecil tetangga saya pun berkumpul menonton mereka. Bisa dibilang, dua kambing itu menjadi semacam “raja sehari”—mendapat perawatan salon, memperoleh makanan berlimpah, bahkan menjadi pusat perhatian—untuk kemudian disembelih.

Sore menjelang maghrib, saat anak-anak kecil telah pulang ke rumah masing-masing, saya duduk sendirian sambil merokok, memandangi kambing-kambing itu. Hewan-hewan itu tampak asyik melahap makanan yang disediakan di dekat mereka—sesekali mengembik, sesekali menatap ke arah saya, kemudian asyik makan lagi.

Saya bertanya-tanya dalam hati, tahukah kambing-kambing itu bahwa ajalnya telah sangat dekat? Sadarkah mereka, bahwa perawatan salon dan makanan berlimpah yang sekarang mereka nikmati akan menjadi kenikmatan terakhir di muka bumi? Mengertikah mereka, bahwa besok akan menjadi hari terakhir mereka di dunia?

Mungkin tidak. Kambing-kambing itu mungkin tidak tahu, tidak sadar, dan tidak mengerti, bahwa usianya akan selesai tidak lama lagi. Bagaimana pun, mereka masih sehat, bahkan sangat sehat. Mereka masih cakep, apalagi setelah mendapat perawatan salon. Sementara makanan juga tampak berlimpah tanpa mereka harus repot-repot bekerja mencarinya. Bagi kambing, mungkin, semua itu bahkan semacam jaminan bahwa hidup mereka masih lama.

Tapi kita tahu, mereka keliru. Semua karunia yang mereka dapatkan bukan jaminan bahwa hidup masih lama. Semua kenikmatan yang disuguhkan ke depan muka mereka bahkan menjadi gerbang menuju ajal. Kalau saja kambing-kambing itu tidak akan disembelih, kemungkinan besar mereka masih berada di kandang yang kotor dan bau, tidak mendapat perawatan salon, dan makanan mereka pun tidak akan seberlimpah sekarang. Mereka tidak tahu. Tapi kita tahu.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana jika hal serupa terjadi kepada kita?

Andaikan saja saat ini kita masih muda, sehat, dan cakep. Kita punya pekerjaan dan tabungan yang memungkinkan hidup mapan, hingga tidak perlu mengkhawatirkan apalagi merisaukan masa depan. Dengan segala yang kita miliki—kemudaan, kesehatan, dan jaminan masa depan—kemungkinan besar kita tidak akan terpikir bahwa besok kita akan mati. Tapi bagaimana jika ternyata besok kita mati?

Kematian, kita tahu, tidak pernah peduli apakah kita masih muda atau sudah tua, tak peduli apakah kita segar bugar atau sakit dan sekarat, bahkan tak peduli apakah kita sedang kere atau banyak uang. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa besok kita masih bernapas untuk nge-tweet dan update status.

Seperti kambing-kambing di samping rumah saya. Kemungkinan besar mereka tidak tahu besok adalah hari raya kurban, dan mereka akan menghadapi ajal. Mungkin, sambil makan rumput dan dedaunan, dua kambing itu bercakap-cakap, “Alangkah nikmatnya jika setiap hari kita seperti ini. Makanan berlimpah, tampang kita cakep, dan orang-orang menonton kita dengan senang. Hidup ini sungguh indah.”

Oh, well, hidup ini sungguh indah. Berapa banyak orang yang pernah mengatakan kalimat seperti itu, dan besoknya sudah terbujur kaku? Teman kita yang kemarin asyik selfie, dan mengunggahnya ke media sosial, tiba-tiba hari ini dikabarkan meninggal dengan berbagai sebab. Padahal dia masih muda, sedang cakep-cakepnya, bahkan populer sebagai seleb di Twitter. Tetapi kematian, kita tahu, tak peduli apakah kau seleb atau bukan.

Marilyn Monroe mati, saat di puncak popularitas. Begitu pula Kurt Cobain, Janis Joplin, Jimi Hendrix, Ryan Hidayat, Poppy Mercury, Nike Ardilla... sebut lainnya. Popularitas, atau bahkan kemudaan, tidak menghentikan maut yang akan datang. Begitu pula kesehatan, kekayaan, atau bahkan kekuasaan—sama-sama tak berdaya di hadapan takdir ajal.

Betapa rapuhnya hidup, kalau dipikir-pikir. Kita menjalani kehidupan dengan harapan demi harapan, keinginan demi keinginan, impian demi impian, sambil tanpa sadar melupakan bahwa kematian bisa datang kapan saja. Kita menjalani hari dengan berbagai kesibukan, keasyikan, bahkan kerakusan, tanpa menyadari bahwa ajal bisa datang tanpa disangka-sangka.

Harapan, bagi sebagian orang, adalah energi untuk memperpanjang kekuatan dan kemampuan bertahan hidup. Sementara bagi sebagian lain, harapan adalah siksa yang memperpanjang luka dan penderitaan. Harapan melahirkan keinginan, dan keinginan sering kali menjadi sumber kegelisahan. Di antara kegelisahan demi kegelisahan, kita sering lupa ada takdir bernama ajal, hingga kita terus menjalani kehidupan tanpa sempat mengingat kematian.

Bahkan yang sudah tua pun sering lupa mati, apalagi yang masih muda. Bahkan yang sakit dan sekarat pun kadang yakin akan terus hidup, apalagi yang sehat dan bugar. Bahkan yang hidup menderita pun sering tak ingat ajal, apalagi yang kaya dan berkelimpahan. Padahal, kenyataannya hidup ini begitu rapuh—jarak kita dengan ajal bisa saja sehelai rambut, dan hanya takdir yang bisa menentukan apakah besok kita masih hidup.

Menyadari semua itu, saya menatap kambing-kambing di depan saya dengan perasaan galau—antara kasihan karena tahu mereka besok akan mati, dan bersyukur karena keberadaan mereka mengingatkan saya betapa rapuhnya hidup ini. Seperti kambing-kambing yang asyik melahap makanan berlimpah di depannya, dan mungkin berpikir akan hidup selamanya, saya tak pernah tahu kapan ajal akan tiba.

 
;