Senin, 14 Desember 2015

Seorang Wanita Menatap Suaminya

“Kalau kau ingin membaca cinta dan perkawinan,”
kata orang bijak, “bacalah dua buku yang berbeda.” 
Aku menuruti nasihatnya.
@noffret


Sebagai lajang, saya cukup sering menghadiri resepsi perkawinan sendirian. Umumnya, orang datang ke resepsi bersama pasangan, atau setidaknya dengan teman. Biasanya, saya memang datang ke resepsi bersama teman yang juga lajang. Namun, kadang pula saya harus datang ke resepsi sendirian, karena berbagai alasan dan kebetulan.

Seperti hari itu. Ada acara resepsi yang harus saya hadiri. Semula, saya mencoba mengontak beberapa teman, menanyakan apakah juga diundang. Kalau ya, setidaknya saya bisa datang bersama teman. Tapi rata-rata mereka tidak mendapat undangan. Saya masih mencoba menghubungi beberapa teman lain, siapa tahu ada yang mau diajak menemani. Tapi karena resepsi diadakan siang hari, dan bukan hari libur, rata-rata mereka tidak bisa menemani. Maka saya pun berangkat seorang diri.

Menghadiri resepsi perkawinan, bagi saya, tidak terlalu istimewa. Sejujurnya, dalam pikiran saya yang mungkin lugu, resepsi perkawinan hanyalah acara untuk menyatukan dua anak manusia yang bersepakat untuk hidup bersama. Mungkin istimewa bagi si pengantin. Tapi tidak istimewa bagi saya—wong saya cuma tamu yang datang ke resepsi mereka.

Siang itu, di acara resepsi, ritual perkawinan berlangsung sebagaimana biasa di tempat lain. Sepasang pengantin di pelaminan, acara demi acara berjalan, sementara tamu-tamu duduk di kursi sambil mengunyah makanan atau menyeruput minuman. Sebagian yang lain bergerombol di dekat meja prasmanan, antre mengambil makan.

Saya duduk di sebuah kursi, dan kebetulan di depan saya ada sepasang suami istri muda bersama anak mereka yang masih kecil. Si anak mungkin berusia 4 atau 5 tahun, seorang bocah laki-laki yang tampak lucu. Si suami sedang menyuapi si anak yang duduk di sampingnya. Sementara si istri duduk di samping suaminya, sambil menghabiskan es buah.

Semula, saya tertarik memperhatikan mereka, karena si anak yang lucu. Bocah itu memiliki tampang menggemaskan, hingga kita ingin mencubit pipinya. Jadi, selama bocah itu disuapi ayahnya, saya pun memperhatikan. Pada waktu itulah, tanpa sengaja saya menyaksikan sesuatu yang membuat terpaku. Wanita yang duduk di depan saya terlihat memandangi suaminya, yang sedang menyuapi anak mereka. Tatapan wanita itu sangat lembut—mungkin campuran antara kasih, kekaguman, cinta, dan rasa sayang.

Si suami tidak menyadari tatapan itu, karena sedang asyik menyuapi anak mereka. Tapi saya melihatnya. Di mata saya, itu tatapan terindah yang pernah saya saksikan. Dan tatapan wanita itu, entah mengapa, mengaduk-aduk batin saya.

....
....

Perkawinan, dalam pikiran saya selama ini, adalah konsep yang nyaris sampai di tubir jurang. Saya telah sampai pada titik “hampir tak percaya” pada perkawinan, hingga memutuskan untuk menjalani hidup sebagai lajang. Perkawinan adalah penjara yang merenggut kebebasan, rantai besar perbudakan, dan cinta adalah jebakan yang disiapkan alam untuk memerangkap sepasang manusia agar terjerat ke dalamnya.

Selama bertahun-tahun, saya menyaksikan banyak orang diam-diam menyesali perkawinan mereka. Sebagian sangat dekat dengan saya, hingga saya tahu betul masalah keluarganya, dan problematika macam apa yang mereka hadapi. Sebagai sesama lelaki, kadang mereka curhat masalah keluarga—khususnya ketika mereka tak kuat lagi menanggung seorang diri—dan rata-rata mereka menyatakan, “Wanita yang kunikahi sepertinya bukan lagi wanita yang dulu kucintai.”

Dalam biologi, ada pepatah kuno yang disembunyikan, berbunyi, “Wanita dilahirkan ke muka bumi untuk satu misi—mendapatkan suami.”

Jadi, mula-mula, yang diinginkan wanita hanya satu—seorang suami. Tetapi, setelah mendapatkan suami, wanita akan menginginkan apa pun di muka bumi. Yang mengerikan, kenyataan itu kadang tidak disadari oleh si wanita, dan kesadaran itu baru muncul setelah mereka mendapatkan suami! Yang lebih mengerikan, kebanyakan lelaki tidak tahu kenyataan ini!

Jadi, secara biologis, setiap wanita (yang masih gadis atau lajang) akan berusaha menggunakan seluruh daya dan upaya untuk mendapatkan pasangan (suami). Maka mereka pun berusaha menampilkan diri secantik mungkin dan sebaik mungkin. Tujuannya cuma satu—menarik lelaki yang diharapkan menjadi pasangan! Dan kenyataannya lelaki memang tertarik pada perempuan, apalagi yang tampak baik dan cantik.

Lalu alam menyediakan sarana yang disebut cinta, dan struktur sosial kita melembagakannya dalam konsep yang disebut perkawinan. Sampai di sini, segalanya masih terlihat indah. Tetapi...

Tetapi... setelah perkawinan terjadi... sering kali wanita akan mulai terlihat aslinya.

Dalam psikologi, ada pepatah terkenal, berbunyi, “Ketika menikah, lelaki tidak ingin berubah, dan berharap pasangannya juga tidak berubah. Sebaliknya, ketika menikah, wanita ingin berubah, dan berharap pasangannya juga berubah.” Dua konsep yang jelas bertentangan, dan itu sering kali benar-benar terjadi, hingga saya nyaris apatis pada perkawinan. Bagaimana mungkin ada perkawinan bahagia di dunia ini, jika perkawinan dibangun oleh sepasang manusia yang memiliki konsep bertolak belakang?

Ketika seorang lelaki memutuskan untuk menikah, sering kali karena kesadaran bahwa dirinya telah siap, stabil, dan mantap. Karenanya, mereka tidak ingin berubah kembali labil. Bagi lelaki, perkawinan adalah tujuan. Sebaliknya, wanita—disadari atau tidak—menganggap perkawinan lebih sebagai sarana. Memiliki istri, bagi lelaki, adalah pencapaian. Tetapi, bagi wanita, memiliki suami lebih semacam batu loncatan.

Mungkin uraian ini terdengar suram, tapi perhatikanlah sekelilingmu—teman-temanmu, sanak familimu, tetanggamu, atau siapa pun yang kalian kenal, yang sudah menikah. Atau buktikan sendiri setelah kelak kalian menikah. Bahwa ada perkawinan yang bahagia, itu fakta. Tetapi bahwa ada perkawinan yang tidak bahagia, itu juga fakta. Bahwa ada teman kita yang mensyukuri perkawinannya, itu fakta. Tetapi bahwa ada teman kita yang menyesali perkawinannya, itu juga fakta.

Siapa pun yang menyatakan bahwa orang pasti bahagia setelah menikah, hampir bisa dipastikan dia seorang pembual. Dalam konteks kebahagiaan dalam perkawinan, tidak pernah ada kepastian.

Ada teman saya—sebut saja Farrel—yang pacaran hingga empat tahun dengan seorang perempuan yang sangat baik. Kami semua yang mengenal pacar Farrel berani bersumpah bahwa dia benar-benar perempuan yang baik—tipe perempuan yang membuat lelaki mana pun ingin memilikinya. Dia sopan, ramah, lemah lembut, bersahaja, dan sangat mencintai serta penuh pengertian terhadap Farrel.

Ketika mereka pacaran, kami semua mendoakan Farrel dan pacarnya sampai ke altar perkawinan, dan kami memprediksi mereka akan menjadi pasangan yang serasi. Farrel lelaki yang baik, dan dia mendapatkan pasangan yang baik. Mereka pasti akan bahagia selama-lamanya.

Tapi apakah benar begitu? Tidak!

Mereka memang menikah. Tetapi, belum ada setahun, Farrel sudah stres dan frustrasi—sebegitu stres, hingga teman-temannya tahu semua yang dia alami. Perempuan yang menikah dengannya, yang dulu sangat baik, berubah menjadi perempuan yang “mengerikan”. (Saya tidak bisa menjelaskannya di sini, tapi yang jelas saya dan teman-teman tahu betul masalah yang dihadapi Farrel terkait istrinya).

Dan masalah seperti yang dihadapi Farrel tidak hanya terjadi satu dua kali—tapi dialami oleh hampir semua teman kami.

Ada teman kami yang dari luar tampak baik-baik saja, tapi kemudian curhat mengenai kesedihan dan penyesalannya karena menikah. Kebanyakan, mereka merasa “tertipu”—perempuan yang mereka nikahi tidak sama dengan perempuan yang dulu mereka pacari. Sosok indah yang dulu mereka cintai, entah bagaimana, berubah menjadi sosok berbeda yang nyaris tak mereka kenali. Dan perubahan yang terjadi, sayangnya, bukan dari baik menjadi lebih baik, tetapi dari baik menjadi buruk... bahkan kadang sangat buruk.

Apakah ini mengerikan? Jelas!

Kenyataan-kenyataan itu pun makin menyadarkan kami, khususnya saya, bahwa memang begitulah perempuan. Sebelum mendapatkan pasangan, perempuan akan melakukan apa pun—oh,well, apa pun—untuk mendapatkan pasangan. Karenanya, mereka bisa menyimpan rapat-rapat sosok aslinya di balik keindahan, menyembunyikan keburukannya di balik kecantikan, demi mendapat pasangan. Setelah pasangan didapat... sosok asli mereka pun keluar.

Masih ingat kisah Firman yang pernah saya ceritakan di sini? Dia menantang siapa pun, “Tunjukkan satu saja orang yang menikah dan hidupnya bahagia, maka aku akan menikah!” Sampai detik ini, belum ada satu orang pun yang berani menjawab tantangan Firman. Apakah itu mengerikan? Tidak perlu ditanyakan!

Rajaa Alsanea, wanita muda yang menjadi feminis di Saudi Arabia, menyatakan bahwa perkawinan tak jauh beda dengan tebak semangka. Bisa jadi kita mendapat semangka tanpa biji, bisa jadi pula semangka yang kita dapat penuh biji. “Semangka” yang dia maksud adalah pasangan dalam perkawinan. Kita tidak bisa yakin apakah pasangan kita baik atau buruk, dan sering kali kita baru mengetahui kenyataan itu setelah perkawinan terjadi. Sebagai lelaki, saya mengartikan “semangka” sebagai “wanita”.

Jadi, sebagai lelaki pula, saya nyaris kehilangan kepercayaan kepada wanita, dan kepada perkawinan. Saya selalu dihantui ketakutan; wanita yang kelak saya nikahi ternyata menyembunyikan keburukan dan kebrengsekannya, dan baru terlihat setelah kami menikah. Ketakutan itu dilatari karena banyaknya teman saya yang telah mengalami. Betapa perempuan-perempuan yang semula mirip bidadari bisa berubah menyerupai iblis setelah menikah. Itu mengerikan. Setidaknya bagi saya yang masih lajang.

Memang, di dunia ini ada wanita-wanita yang sungguh baik—sosok wanita yang menjadikan suaminya bersyukur karena telah menikahinya, sosok wanita yang mengubah kegelisahan menjadi ketenteraman, yang menjadikan rumah sederhana terasa tinggal di surga, yang menggantikan risau dan galau menjadi kelembutan rindu, yang membuatmu bahagia dan bersyukur sepanjang waktu... sosok seorang mbakyu.

Dan ketika menyaksikan wanita menatap suaminya dengan lembut dan penuh kasih di acara resepsi yang saya hadiri, diam-diam saya berharap, dan berdoa sepenuh hati, semoga wanita semacam itulah yang kelak akan saya miliki.

 
;